Beureueh, “Pemberontakan” dengan Sebab Klasik

CERITA ini bermula pada sebuah dokumen rahasia. Tak ada yang tahu isinya dengan persis. Di kalangan tentara Darul Islam Aceh-gerakan pemberontakan yang mencuatkan nama Teungku Daud Beureueh sebagai ikon perlawanan dari Serambi Mekah-ia hanya disebut sebagai “les hitam”.

Sejarawan Belanda Cornelis van Dijk menyebutnya “daftar hitam”. Selebihnya, dalam sengkarut revolusi yang membakar Tanah Jeumpa pada awal 1950-an, ia bahan gunjingan yang hangat. Pengirimnya disebut-sebut adalah pemerintah Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo, yang membawanya ke Medan. Tapi ada juga yang menyebutnya warisan kabinet Sukiman. Yang terang, isinya menggambarkan puncak perseteruan pemerintah Jakarta dengan rakyat Aceh: Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh-sumber lain menyebut 190 tokoh-melalui sebuah operasi rahasia. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan kawasan di ujung barat Sumatera akan menggelar pemberontakan melawan pusat.

Tapi tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen itu. Sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” katanya. Secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” kata Van Dijk.

Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu. Tak penting benar apakah dokumen itu ada atau tidak. Yang pasti, rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. “Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” kata Nur el-Ibrahimy, menantu Beureueh sekaligus saksi sejarah Aceh yang kini berusia 94 tahun. Setelah itu, kita tahu, sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah perlawanan Aceh pasca-era kolonial-sesuatu yang hingga kini belum juga berakhir-dan memunculkan Daud Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah. “Les hitam” bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada.

Membela Republik di masa perjuangan kemerdekaan, Daud Beureueh merasa dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari 1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara (lihat Di Bawah Kibaran Darul Islam).

Van Dijk bercerita. Dua hari setelah keputusan itu diambil, pemerintah Jakarta melantik Abdul Hakim menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibu kota pemerintahan. Beureueh, yang saat itu adalah gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, bahkan tak tahu perihal pengangkatan gubernur baru tersebut. “Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureueh,” tulis Van Dijk. Kesumat tak hanya muncul karena wewenang kekuasaan yang dilanggar.

Telah lama Aceh merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus-yang memungkinan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam-tak kunjung dipenuhi Bung Karno.

Itulah sebabnya Beureueh lalu bergandengan tangan dengan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu “membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah ini. Menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Karto di Bandung pada 13 Maret 1953. Utusan Karto, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953.

Kemarahan Beureueh ini mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)-lembaga yang dipimpin oleh Beureueh-di Langsa, April 1953, menggumpallah iktikad melawan Jakarta. Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh.” Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu. Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Beureueh pada September 1953. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarnya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.

Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Sukarnolah yang mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Sukarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.

Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Sukarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme. Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.

Dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, Muhammad Daud adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid-orang tua Farhan Hamid, anggota DPR asal Partai Amanat Nasional. Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Daud adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daud bisa menyihir orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid.

Tak hanya memukau, Daud tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka. Karena karismanya itu, Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI).

Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler. Tapi Daud bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA-lembaga yang didirikannya pada 1939-terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda.

Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menunding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah Perang Cumbok yang terkenal itu (lihat Cumbok, Sepotong Sejarah Gelap Aceh). Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.

Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “‘Teungku Daud Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk. Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah El-Ibrahimy. Menurut dia, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut-sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dari Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.

Pemberontakan Daud Beureueh berlarut-larut: sebagian pimpinan DI/TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang. Dalam surat-menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama. Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak.

Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy. Ia tutup usia di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)-masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali terbuka.

Sumber tulisan Arsip Majalah Tempo Tahun 2003
* Sumber foto kkrencong.wordpress.com

18 Komentar

  1. Saka berkata:

    pertamaaaaaaaxxxx heula nya kang :mrgreen:

  2. Saka berkata:

    Kangen ka kang kopral cepot 😆

    Mantap kang sejarahnya… Saya harap semua pengunjung mau membaca setiap tulisan akang sampai tuntas. Biar para pengunjung bener2 mengetahui sejarah yang terjadi di negeri ini – jangan mengenal sejarah setengah2…

    wilujeng sonten kang 🙂

    1. kopral cepot berkata:

      Hatur tararengkyu tamu ti dayeuh 😆

  3. udadede berkata:

    Kang Cepot,
    Mohon ijin copas ya ceritanya, menarikk bangettt!
    hatur nuhun kang….

    —————
    Kopral Cepot : Silaken uda.. moga manfaat 😉

  4. bunz berkata:

    saya orang aceh. jujur saya juga pernah mendengar cerita ini (meski kurang jelas) dari nenek saya bahwa soekarno dulunya sampai nangis di hadapan Daud Beureueh utk meminta aceh bergabung kembali ke pangkuan RI. saya bukanlah orang yg religius apalagi menginginkan negara islam. tapi yg jadi pertanyaan saya mengapa soekarno melanggar janjinya? dan bila secara demokratis rakyat aceh menginginkan daerah otonomi islam kenapa tidak dibiarkan saja? saya juga baru tahu tentang perang cumbok. bagaimana kelanjutan perang itu? dan ketika DOM diberlakukan di aceh apakah itu ada kaitannya dengan gerakan penerus DI/TII atau mungkin GAM dimasa awal atau ada tujuan lain (secara konspirasi) hehe. tolong dijawab ya mas kopral. maklum msh newbie. 🙂

    —————-
    Kopral Cepot : Ngasih soalnyah sulit-sulit nih 😉 harusnya aq yang nanya sama rang aceh … Saya hanya tahu bahwa rakyat aceh mengalir darah pejuang … apa yang terjadi hari ini bukan titik tapi koma krn aliran darah Cut Nyak Dien, darah ibu pejuang mengalir pada anak cucu nya …. hatur tararengkyu dah berbagi disini 😉

    Allah hai do kudaidang
    Seulayang blang kaputoh taloe
    Beu rayek sinyak rijang-rijang
    Jak meuprang bela nanggroe

    timang anakku timang
    layang-layang sawah putus benang
    cepat besar anakku sayang
    pergi berperang bela negara

    1. bunz berkata:

      meskipun saya orang aceh dan notabenenya islam tetap aja saya tidak kaffah adat :(. pikiran saya sudah “westernized”. saya pikir hampir semua pemuda2 aceh yang exodus saat memuncaknya pemberontakan separatis di akhir thn 90’an bersikap sama. mereka tidak terlalu peduli lg dengan “aceh” kecuali ketika terkena tsunami kemarin. aceh yang pejuang, aceh yang islami, aceh yang luasnya sampai deli dan malaka, aceh yang jd tangan kanannnya turki ottoman di asia, dan bla bla bla. sekarang aceh hanya tinggal nama. saya cinta aceh tapi saya lebih cinta indonesia. kemajuan aceh sebenernya sangat ditentukan oleh kemajuan islam. klw islam mandeg ya mandeg juga aceh. seperti mandegnya negara2 arab(islam) sekarang. saya menghormati apa yg dilakukan daud beureueh seraya mengutuk rezim kediktatoran soeharto. apapun itu latar belakangnya semuanya hanya menyengsarakan rakyat aceh. sengsara itu seolah diperlengkap lagi dengan keganasan tsunami. sekarang rakyat aceh mencoba bangkit kembali. hanya waktu yg bisa menjawab.
      oh iya, nenek saya bisa cerita bgtu karena kakek saya dulu pejuang DII/TII. tapi memisahkan diri dari beureueh karena lebih memilih indonesia tapi berhaluan islam. “abu’nek” saya memanggil beliau. adalah orang yg berpangkat tinggi (tp saya ga tau pangkatnya hehe) dan salah satu elit politik aceh. sewaktu kecil saya sempat ditunjukin fotonya salaman ama soekarno sekarang entah kemana. karena tetap mengusung misi keislaman, abu’nek akhirnya jadi tapol. sempat dipenjara di sabang sebelum akhirnya diasingkan ke medan agar tidak memicu pemberontakan rakyat aceh. Keluarga besar kami justru lahir di medan. sebelum akhirnya ayah saya berkeluarga dan bekerja di aceh. 🙂 begitulah kira2. atos ah. tp blogna aleus euy. hatur nuhun kang

      —————————
      Kopral Cepot : Gening ??? urang Aceh bisaan sunda 😉 Hatur tararengkyu atos share di sini … banyak cerita menarik tentang Abu Daud Beureueh

      1. adien berkata:

        mungken droen neuh aceh leklap

  5. Zulfikar Akbar berkata:

    Sangat berterima kasih dengan tulisan ini. Salam

  6. Rahman berkata:

    Jangan Pernah Ada Lagi Yang namanya….
    pemberontakan….
    separatisme….

    Di ACEH…..

    Saya Minta….
    Pleaseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee…………………….!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

  7. defri berkata:

    wah ini..tulisan menarik…ada dulu di republika..tulisan ahli…saya sedang cari dokumennya) bahwa disitu ditulis…sebab daud beureuh mengangkat senjata setelah keluar deklarasi di Pusa (banyak ulama kura2) di medan…sesungguhnya engku benar di khianati leh soekarno….

  8. Arihinul Qirom berkata:

    Assala’mu’alikum Warohmatullohi wabarokatuh. Ustadz saya orag lombok,tepat di pulau kecil di wilayah Republik Indonesia ini. Banyak memahami tentang seputar perjuangan aceh,kemudian bergabungnya dengan Republik Indonesia. Namun ternyata oleh Pemerintah ternyata banyak daerah yang kemudian di kibulin oleh pemerintah,sebagaimana yang di alami Aceh.

    Namun harapan saya marilah,perjuangan ini wajib di usung dan tetap di lanjutkan. Tangisan serta tetsan darah dari,oreang tua kita terdahulu telah banyak berceceran’Sehingga rasanya kita pantas merenungkan sya’ir lagu yang satu ini.

    Bonda senyum riang

    Menerima bahtera Merdeka

    Putra putri sayang

    Putra putri sayang

    Sedang berjuang

    Fajar telah tiba

    Nan menyinsing membawa harapan

    Tanah Semenanjung

    Tanah Semenanjung

    Pusaka Bangsa

    Jiwa dan raga

    Buktikanlah pada nusa bangsa

    Supaya negara maju jaya

    Aman Merdeka

    Duhai ibu pertiwi

    Putra putri datang sujud bakti

    Ingin menunaikan

    Ingin menunaikan

    Sumpah dan janji

    ARIHINUL QIROM
    From Lombok Nusa Tenggara Barat.

  9. Muamar Morvin berkata:

    selama pemerintah di pimpin oeh yang bermana O jangan harap lebih maju dari sekarang, . .sampai kapan pun daerah kita tetap tertindas. .

  10. Ishnoor berkata:

    Masa lalu Aceh adalah pengalaman suka dan duka bangsa Aceh yang menjadi pilar utama menggapai masa depan.
    Sejarah bangsa Aceh bermula dari tahun 1400 Masehi hingga 1909 Sultan Muhammad Daud Syah. Sultan terakhir mangkat tahun 1939.
    Sultan Aceh adalah hamba Allah sanggup berjuang membela agama dan tanah air untuk mendapat ridha Allah ST dan sanggup kehilangan jiwa raga, harta, tahta dan keturunannya, sangat berbeda dengan raja – raja lain di nusantara. Oleh Aceh tidak dijajah Belanda.
    Cerita adalah pengalaman baiknya. Cerita dukanya adalah Setelah Sultan terakhir mangkat pada 1939, maka pada tahun yang sama berdiri Ormas PUSA=Persatuan Ulama Seluruh Aceh yang ketuanya adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, kehadiran Daud Beureueh ketika ingin menggantikan posisi Sultan karena PUSA sudah menguasai seluruh ulama di Aceh tapi bukan seluruh rakyat Aceh. Teungku sudah merasa sebagai sultan maka ketika Ir. Sukarno Presiden RI merayu Teungku untuk dengan RI dan beliau menyanggupinya inilah pengkhianatan terbesar kepada Kesultanan Aceh dan rakyat Aceh yang tidak bisa diampunkan dosa hingga hari kiamat. Drama hidup Teungku ini adalah sebuah experiment sosial luar biasa mahal costnya hingga ribuan nyawa melayang sia – sia karena pengkhianatan kepada tanah airnya sendiri hingga beliau berakhir hidupnya dengan penuh penyesalan dengan kegagalan. Dari pengalaman duka ini perlu diambil pelajaran kepada generasi muda Aceh bahwa setiap keputusan jangan melihat pada keuntung dahulu pikir akibat kerugian yang ditimbulkan nanti seperti kata pepatah sesal dulu pendapatan karena sesal tak berguna.
    Episode drama pengkhianatan Dr. Hasan Tiro telah mengulangi experiment sosial yang pertama juga bermotif ingin jadi Sultan padahal kakek beliau adalah panglima perang Aceh kepercayaan sebagai pembantu Sultan yaitu Teuku Chik Di Tiro. Experiment sosial inipun menelan cost yang lebih mahal lagi hingga ribuan nyawa melayang sia – sia sehingga drama ini berakhir dengan penyesalan dan kegagalan dan hingga rakyat Aceh masih miskin dan menderita yang hebat adalah para umara juara dalam kontes korupsi se Indonesia.

Tinggalkan Komentar