Sebagian manusia menyembah Yang Maha Menciptakan (Alloh)
Sebagian kecil manusia sibuk “menciptakan” sembahan-sembahan (Ilah) bagi sebagian manusia yang banyak

Kata-kata Immanuel Kant (1724-1804), “Sapere Aude! artinya “Beranilah Berpikir Sendiri“, filsuf asal Jerman ini mengajak orang-orang untuk semakin berani dan bebas menggunakan akalnya. Kant adalah mata rantai masa Aufklarung. Dimulai oleh Sir Francis Bacon (1561–1626) atau lebih dikenal dengan Francis Bacon, adalah seorang filsuf, negarawan dan penulis asal Inggris, merupakan tokoh awal masa Aufklarung membawa gagasan bahwa “Knowledge is Power”, manusia harus bertindak sendiri dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan tidak bergantung kepada Tuhan. Dari Sir Bacon berlanjut kepada Rene Descartes (1596-1650) dengan slogan yang terkenal Cogito Ergo Sum “saya berpikir maka saya ada”. Bagi Descartes cogito ergo sum harus berperan menjadi fundamentum certum et inconcussum veritatis, dasar yang pasti dan tak tergoyahkan untuk kebenaran. Karena itu, kaum rasionalis selalu mengedepankan akal sebagai alat utama memperoleh pengetahuan. Ide dibantah oleh John Locke (1632-1704) dan kawan-kawannya sehingga melahirkan aliran empirisme. Locke meyakini bahwa manusia saat dilahirkan berada dalam keadaan kosong. Gagasan ini kemudian dikenal dengan Teori Tabularasa.
Teori Tabularasa Locke diyakini sebagai cikal bakal lahirnya aliran empirisme dalam sejarah perkembangan filsafat[1]. Para ahli filsafat mengakui bahwa di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan orientasi. Jika pada masa Descartes pengetahuan yang paling berharga bersumber dari akal, maka Locke memandang bahwa pengalamanlah yang menjadi dasar segala pengetahuan.
Munculnya dua aliran filsafat Rasionalisme dan Empirisme menjadi penanda zaman yang disebut Aufklarung, zaman pencerahan yang bagi Eropa merupakan perubahan abad kegelapan (dark ages) dengan jembatan masa Renaissance.
John Locke, hidup dimasa monarki absolut, Locke dikenal sebagai perintis Empirisme modern, karyanya bukan hanya bidang filsafat tetapi juga poliik. Ia hadir sebagai penentang dari monarki absolut di negaranya. Ia memiliki kritik bahwa masyarakat yang dapat membentuk sebuah civil society yang bertujuan sebagai gugatan terhadap institusi yang superior (dalam hal ini kerajaan Inggris) yang dalam prakteknya melakukan hal yang semena-mena terhadap rakyatnya. Kritiknya dituangkan dalam buku yang berjudul Two Treatises of Government. Selain itu, dia juga mengembangkan konsep tentang pembatasan kekuasaan negara. Karena ia melihat bahwa selama ini raja memiliki wewenang dan kekuasaan yang tidak terbatas. Selain itu John Locke melakukan cara pemisahan kekuasaan dengan cara mengimplementasikan kedalam tiga lembaga yakni legislatif, eksekutif dan federatif yang dikenal sebagai “Trias Politica”.
John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu: (1) Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-undang. (2) Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, termasuk mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang. (3) Federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar negeri.
John Locke juga memisahkan wewenang negara dan agama dengan amat ketat. Locke menegaskan keduanya terpisah dan tidak boleh saling mencampuri. Urusan agama, tegas John Locke, adalah keselamatan akhirat, sedangkan urusan negara adalah keselamatan di dunia saat ini atau ketika manusia masih hidup.
Selain John Locke, ada Montesquieu (1659-1755), Filsuf Politik asal Prancis terkenal karena The Spirit of Laws (1748), salah satu karya besar dalam sejarah teori politik dan yurisprudensi. Buku dengan judul asli L ‘esprit des Lois ini menawarkan alternatif mengenai sistem pembagian kekuasaan yang agak berbeda dengan John Locke, filsuf asal Inggris. Montesquieu menjelaskan, pemisahan kekuasaan negara dibedakan dalam tiga organ. Montesquieu mengenalkan bentuk kekuasaan Negara yang dibagi menjadi tiga (trias politica) yang meliputi: (1) Kekuasaan legislative (pembuat undang-undang), (2) Kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), (3) Kekuasaan Yudikatif (pengawas dan pengadilan pelanggar undang-undang).
Teori kedaulatan rakyat John Locke dan Montesquieu diamini oleh filusuf Perancis Jean-Jacques Rousseau (1712—1778). Jean Rousseau menerbitkan sebuah karya politik yang banyak dikecam oleh masyarakat pada 1762, yaitu The Social Contract. Karangannya itu terbagi ke dalam empat buku. Pertama berisi kontrak sosial yang harus dibuat oleh masyarakat yang ingin hidup di sebuah lingkungan, kedua berisi hak-hak kedaulatan, ketiga berisi penerapan demokrasi, dan keempat berisi lembaga sosial. J.J Rousseau berperan penting dalam melahirkan sebuah era baru di Eropa pada abad ke-19, yaitu Era Romantisme.
“Manusia dilahirkan dalam kondisi bebas, namun di mana-mana ia terbelenggu.” Itulah ungkapan paling terkenal dari Jean Jacques Rousseau dalam karyanya The Social Contract. The Social Contract merupakan sebuah buku kontroversial yang mendorong meletusnya Revolusi Prancis pada 1789. Buku itu menjadi acuan para revolusioner untuk melakukan pergerakannya ketika menjatuhkan kekuasaan para bangsawan kerajaan di Prancis.
Dia berpendapat bahwa ketika suatu negara gagal untuk bertindak dengan cara yang bermoral, maka negara itu telah berhenti menggunakan otoritasnya atas para individu. Hukum yang benar harus dilandaskan pada hukum yang adil, diciptakan oleh rakyat dan dijalankan oleh rakyat.
Retorika Jean Rousseau yang sangat keras dalam The Social Contract membuat para penguasa Prancis dan Swiss marah besar kepadanya. Kondisi tersebut membuat Jean Rousseau harus melarikan diri ke Rusia dan Inggris. Pada 1768, Jean Rousseau kembali ke Prancis dengan menggunakan nama samaran dan hidup sederhana sebagai pembuat salinan.
Jean Rousseau tidak sempat menyaksikan momen bersejarah hasil dari semangat perjuangannya, yaitu Revolusi Prancis pada 1789. Diduga Jean Rousseau terganggu mentalnya, sehingga ia harus tinggal di rumah sakit dan meninggal dunia pada 1778.
Dari Pemikiran Ke Gerakan Revolusi
Pengaruh Locke paling banyak tersebar melalui karya yang ditulisnya, baik dalam bidang filsafat maupun politik. Tulisan dan pemikiran filsafatnya ikut mempengaruhi Declaration of Independent Amerika Serikat, bahkan selalu dikatakan bahwa selama berlangsungnya American Revolution, maka party line-nya adalah John Locke.
Pada 30 April 1789 George Washington secara resmi dilantik menjadi presiden pertama Amerika Serikat (AS). Buah dari Revolusi Amerika (1765 – 1783), peristiwa perlawanan rakyat koloni Amerika terhadap pemerintah kolonial Inggris yang ada di Amerika. Ditengah berkecamuknya revolusi Amerika, 4 Juli 1776 menjadi hari bersejarah bagi Amerika, yakni momen Declaration of Independence dibacakan di Lapangan State House yang kemudian dijadikan Hari Kemerdekaan Amerika. Deklarasi tersebut disusun oleh Benjamin Franklin, John Adams, dan Thomas Jefferson.
Tiga bulan setelah George Washington dilantik menjadi presiden AS pertama, di Perancis pada tanggal 14 Juli 1789, nyaris seluruh rakyat Perancis berbondong-bondong menyerbu dan merebut Bastille, benteng kerajaan di Paris. Louis XVI, yang pada waktu itu berdiam di istana , Versailles, pingsan dan tidak dapat berbuat apa-apa tatkala rakyat mendeklarasikan bahwa mereka adalah warga negara Perancis dan bukan lagi bawahan dari raja Perancis. Louis XVI sudah begitu lama tidak peka terhadap lingkungan sehingga ia tidak tahu seberapa dalam ketidakpuasan yang dirasakan rakyatnya”. Inilah momentum yang dikenal dengan Revolusi Perancis.
Revolusi Perancis merupakan akumulasi dari penderitaan rakyat Perancis karena adanya pembedaan status kewarganegaraan pada Rejim Lama. Sistem politik Rejim Lama adalah monarki absolut ketuhanan. Raja “L’etat, c’est moi” yang berarti “negara adalah aku” mendapatkan tahtanya hanya dari Tuhan dan hanya bertanggungjawab kepada Tuhan. Wewenangnya tidak dapat dikontrol atau di batasi oleh siapapun. Dengan demikian, kewajiban utama rakyat jelata hanyalah mematuhi perintah raja. Buku dan surat kabar apapun hanya boleh diterbitkan setelah melalui sensor. Karena agama Katolik adalah agama yang dianut raja, maka rakyat Perancis tidak berhak menganut agama lain. Raja berhak menyita harta benda rakyatnya; dengan surat perintah yang disebut letter de cachet , raja berhak memenjarakan seseorang tanpa melalui proses peradilan dan untuk waktu yang tak terbatas. Rakyat Perancis hidup didalam Rejim.
Masa sebelum terjadinya revolusi, pemerintahan dipegang oleh Raja Louis XVI yang memerintah pada 1774-1789. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI masih menerapkan sistem Monarki Absolut, yang pada masa inilah Raja Louis XVI mendirikan Penjara Bastille untuk memenjarakan orang-orang yang melakukan penentangan terhadap raja. Dengan kata lain, orang-orang yang melakukan yang tidak sejalan oleh raja akan dipenjarakan di Penjara Bastille tersebut.
Perancis yang dipegang oleh Raja Louis XVI mengalami krisis ekonomi yang beberapa di antaranya diakibatkan oleh menumpuknya hutang negara, Bangsawan menolak untuk membayar pajak, dan di samping krisis ekonomi tersebut Marie Antoinette (pasangan Raja Louis XVI) mengendalikan pemerintahan dan hidup dalam kemewahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Prancis.
Pembagian golongan masyarakat menjadi tiga golongan, mendorong terjadinya ketimpangan masyarakat. Kewajiban yang membebankan rakyat biasa dan golongan lain hidup dalam ketenangan di atas penderitaan masyarakat lainnya, hal itulah yang menjadi kecemburuan sosial. Pembagian golongan masyarakat menjadi tiga golongan tersebut (Bangsawan, Agamawan, dan Rakyat Biasa) dan kecemburuan sosial tersebut melatarbelakangi terjadinya revolusi Perancis.
Revolusi Perancis dikenal dengan semboyannya, yakni Liberte, Egalite, et Fraternite. Dengan semangat Liberte, Egalite, dan Fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), rakyat merusmuskan pemerintahan baru yang berbentuk republik. Kemenangan rakyat Prancis semakin absah ketika Louis XIV dan istrinya dipenggal dengan guillotine (alat hukum pancung) karena menolak revolusi.
Sejak proses jalannya revolusi Perancis itu, spirit Liberte, Egalite, dan Fraternite dari Revolusi Perancis dan konsep-konsepnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Revolusi Perancis dengan hebat mempengaruhi jalannya revolusi dunia. Dengan itu, mulai terjadi revolusi di berbagai belahan negara lainnya, seperti revolusi Rusia, revolusi budak di daerah Karibia, dan masih banyak lagi. Revolusi Perancis adalah bukti nyata bahwa rakyat dapat meruntuhkan kedudukan monarki absolut. Kata kuncinya adalah kemanusiaan dan persamaan adalah hak semua orang. Dan penindasan adalah hal yang salah.
Maximilien Robespierre : Anak Ideologis J.J Rousseau
Revolusi Perancis yang sukses mengobrak-abrik injak tatanan feodal dan menghantui seluruh istana di Eropa itu meluncurkan karier politik sejumlah anak muda, di antaranya Georges Danton, Jacques Hébert, Camille Desmoulins, dan Maximilien Robespierre. Mereka sampai di puncak kekuasaan pada usia 30-an dan mati dilahap arus revolusi sebelum menginjak usia kepala empat.
Beberapa orang, seperti Danton dan Desmoulins, sebelumnya telah masuk lingkaran luar kekuasaan istana atau menjadi bagian dari oposisi kelas menengah Paris. Yang lain seperti Hébert hidup di jalanan. Robespierre sendiri berasal dari kota kecil Arras, Perancis utara.
Apapun latar belakang mereka, para tokoh revolusi Perancis adalah angkatan yang dibesarkan oleh Du contrat social-nya Jean-Jacques Rousseau sebagaimana generasi revolusioner dua abad berikutnya dibaptis oleh The Communist Manifesto. Mereka percaya masyarakat feodal telah membelenggu dan merusak keluhuran (virtue) jiwa manusia. Mereka yakin kebebasan umat manusia yang mereka perjuangkan akan sia-sia tanpa perubahan struktur politik, seperti halnya kelak kaum komunis percaya bahwa mustahil umat manusia memperoleh kemerdekaan sejati jika tatanan ekonomi kapitalis tak disingkirkan.
Maximilien Robespierre lahir di Arras pada 6 Mei 1758 dari keluarga kelas borjuis kecil. Revolusioner bermata hijau sayu itu, kerap disejajarkan dengan Stalin, Hitler, Mao Zedong, Pol Pot, hingga belakangan Osama bin Laden dan Julian Assange.
Suatu hari di bulan Mei 1789, Robespierre tak bisa pulang ke Arras dan tertahan di Paris. Merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari penggerak sejarah, Robespierre mendirikan klub politik Jacobin untuk mempropagandakan gagasan-gagasan republikan dan anti-monarki.
Pada 1789 utang Perancis menumpuk setelah menyokong Revolusi Amerika dan bertahun-tahun menopang gaya hidup Kanjeng Ratu Marie Antoinette beserta sanggul satu meternya itu. Kas negara telah kosong selama hampir setahun. Sejak Mei États généraux, yang berfungsi sebagai parlemen, kembali berkumpul untuk membahas krisis setelah lebih dari seabad reses. Tatkala menteri Keuangan Jacques Necker meletakkan jabatan dan tersebar kabar bahwa Louis XVI akan kabur dari Perancis, kaum Jacobin segera mengorganisasi pemberontakan massa.
Rakyat Paris bangkit dan menyerbu Penjara Bastille yang menjadi simbol represi politik. Momen yang kelak secara simbolik dikenang sebagai awal Revolusi Perancis itu berlanjut dengan penghapusan hak-hak feodal dan pengesahan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara pada Agustus 1789.
Para pemimpin revolusi ini awalnya moderat. Sebagian bahkan cukup puas dengan corak pemerintahan monarki konstitusional gaya Inggris. Namun Louis XVI berkali-kali khianat. Ia berulang kali berusaha kabur ke luar negeri dan berkomplot dengan monark-monark tetangga untuk meremukkan revolusi.
Pada 1792, ketika pasukan Prusia dan Austria masuk ke Perancis, pecahlah sebuah pemberontakan selama sebulan lebih. Sans-culottes (kaum miskin kota) menyerbu kediaman raja di Taman Tuileries. Pada September 1792, ketika pemberontakan usai, Perancis resmi menjadi republik. Desember tahun yang sama, pidato Robespierre di Konvensi Nasional (Convention Nationale) mengawali perdebatan apakah Tuan dan Nyonya Louis patut dihukum mati.
“Raja harus mati supaya negeri ini bisa hidup,” terang Robespierre pada awal Desember 1792. Kurang dari dua bulan setelahnya, Louis XVI tinggal sejarah.
Karier Robespierre sejak itu terus menanjak, dari memimpin Jacobin pada 1790, mewakili pemerintahan revolusioner kota Paris dua tahun berikutnya, mengepalai Comité de salut public, dan akhirnya menduduki jabatan puncak di Konvensi Nasional, sebuah lembaga yang memerintah di Perancis sejak tahun ketiga revolusi. Selama empat tahun di Paris, ia selalu mendapat dukungan dari kaum sans-culottes.
Hanya satu tahun (1793-1794) Robespierre diusia 35 tahun memegang pemerintahan revolusioner. Selama satu tahun itu Robespierre dan kaum Jacobin memang memenggal belasan ribu kepala, menghabisi kawan-kawan sendiri, menghukum siapapun yang tidak antusias mendukung revolusi, bahkan memenjarakan setiap orang yang dianggap mencurigakan berdasarkan Undang-Undang Kecurigaan (Lois des suspects).
Lahirnya Rezim Teror
Perang menjadi masalah serius selama 1790-1794. Pemerintahan jatuh bangun karenanya. Gereja dan kaum bangsawan di desa-desa melawan balik. Kaum borjuis di perkotaan melakukan sabotase ekonomi, memborong barang-barang kebutuhan pokok. Persis seperti yang terjadi di Rusia pada 1917-1922, seluruh penguasa Eropa ingin membunuh Revolusi dan masuk ke perbatasan. Bagi kelas-kelas yang berkuasa ini, revolusi berarti penghancuran privilese, penyitaan properti, rekrutmen serdadu, serta ditinggalkannya gereja, adat, dan paham lama.
Kaum Jacobin dihadapkan pada satu tantangan besar: mempertahankan nyawa republik di tengah ancaman musuh-musuh dari dalam dan luar. Tantangan inilah yang gagal dijawab kaum Girondin. Di sisi lain, massa sans-culottes kian mendesak pemerintahan revolusioner untuk terus memperdalam revolusi.
Kaum Girondin—yang awalnya adalah faksi moderat Jacobin—menghendaki Perancis memperluas revolusi ke negeri-negeri tetangga, termasuk Austria, kampung halaman Marie Antoinette. Robespierre mengambil posisi yang berseberangan. Ia bersikeras bahwa mengekspor revolusi dengan agresi militer—meski bertujuan membebaskan rakyat dari ancien régime—akan sulit diterima warga di tanah pendudukan. Bagi Robespierre, perang hanya akan memecah Perancis dan memberikan kesempatan bagi kaum kontrarevolusioner untuk mengorganisasi diri. Yang tak kalah krusial dan tak dilihat Girondin: sebagian besar perwira tinggi yang dikirim ke perbatasan adalah bagian dari kelas ningrat yang loyalitasnya masih diragukan.
Di kemudian hari Girondin tersingkir dari Konvensi Nasional dan jadi pesakitan ketika faksi Montagnard (termasuk Robespierre di dalamnya) memenangkan perebutan kekuasaan. Salah seorang kadernya, Charlotte Corday, membunuh Jean-Paul Marat, dokter, ilmuwan, dan orator ulung yang suaranya mewakili kaum miskin kota. Pembunuhan itu, dan kembalinya sans-culottes ke jalanan pada Mei-Juni 1793, mengawali pengambilalihan Konvensi Nasional dari tangan Girondin.
Sejak itu kaum Jacobin mendirikan Comité de salut public alias Komite Keselamatan Publik. Tugasnya? Membersihkan anasir-anasir kontrarevolusioner di dalam negeri, menghukum para priayi gembeng dan pemberontak, mengeksekusi mata-mata, menyita properti para bangsawan untuk pembiayaan perang, hingga mengganyang para spekulan yang memainkan harga kebutuhan pokok.
Sejak April 1793 teror resmi menjadi kebijakan negara yang diumumkan secara terbuka dan seluas-luasnya. Guillotine mulai dipasang. Sekitar 13.000 hingga 17.000 mati dicukur oleh “Pisau Nasional” (Le Rasoir National). Yang lain dieksekusi dengan peluru atau ditenggelamkan ke sungai atau membusuk di penjara.
Robespierre sering kali secara keliru diingat sebagai orang di balik pendirian Komite Keselamatan Publik. Sebenarnya, rencana itu justru datang dari Danton. Belajar dari rapuhnya pemerintahan Girondin dan hebatnya amuk massa-rakyat sebagaimana selama 1789-1792, Danton mengusulkan: “Kita harus berani kejam agar rakyat tidak brutal”.
Lewat kekerasan itulah pemerintahan Jacobin menjadi wujud instrumen dari apa yang disebut-sebut Rousseau sebagai “Kehendak Umum” (Volonté générale) . “Barang siapa menolak mematuhi kehendak umum ,” tulis Rousseau dalam Du contrat social (1762) “harus dipaksa patuh oleh seluruh masyarakat; artinya, ia akan dipaksa untuk bebas”.
Dengan kata lain, teror, sebagaimana dipahami kaum Jacobin, menyiapkan prakondisi untuk masyarakat yang merdeka.
Kaum Jacobin memang tak seperti para arsitek “Revolusi warna-warni” hari ini yang percaya bahwa revolusi sekadar mengganti pemerintah dan memasang tatanan legal-politik yang lebih demokratis. Mereka betul-betul paham bahwa kelas yang berkuasa alias kaum 1% akan melakukan apapun untuk merebut kembali privilese yang telah mereka nikmati berabad-abad. Sulit bagi sebuah revolusi untuk tidak brutal jika tujuannya adalah merombak total masyarakat dan menyikat habis rezim lama.
Siapapun yang menghadapi ancaman invasi militer dari negeri-negeri jiran dan sabotase ekonomi kaum kaya mustahil percaya jika revolusi cukup dilakukan dengan guyonan subversif, aksi carnivalesque, bikin thread di Twitter, dan dansa-dansi di jalanan—seperti yang dirayakan Washington Post ketika rakyat Armenia menggulingkan Perdana Menteri Serzh Sargsyan beberapa tahun silam.
“Ousting your prime minister can be seriously hard work. But it should be fun, too,” tulis Washington Post.
Bukan. Bukan berarti koran milik Jeff Bezos—manusia terkaya di bumi—itu keliru. Rupanya, menggulingkan penguasa sambil bersenang-senang juga terjadi pada 1789-1794. Produk-produk kebudayaan selama Revolusi Perancis kadang memang terasa ironis: bahkan pada fasenya yang paling berdarah, rakyat Paris tak kekurangan lagu bernada riang dan optimis, dengan lirik berisi ejekan kasar terhadap raja, ratu, kaum ningrat, dan aparat gereja. Karya-karya grafis populer zaman itu juga menggambarkan anak-anak yang bermain mengelilingi ibu-ibu yang menjahit di samping kepala yang menggelinding.
La revolution, c’est moi!
Di tangan Jacobin, Republik menjadi eksperimen termaju pada zamannya yang kelak ditiru di banyak tempat hingga menjadi kelaziman. Dokumen-dokumen resmi menyebutkan republik perdana itu dilandasi prinsip “bonheur commun”—yang diterjemahkan oleh Georges Lefebvre sebagai “kesejahteraan umum”—seperti yang tertulis dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara (1793). Sejarawan Revolusi Perancis Jules Michelet menulis: “Orang memang jauh lebih bahagia pada hari-hari itu.”
Tapi menjalankan teror secara rutin terbukti bukan hal enteng. Kewarasan dan komitmen untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan betul-betul dipertaruhkan. Pada akhirnya satu per satu kawan Robespierre sendiri menjadi korbannya. Pada awal 1794 Desmoulins mulai menyesalkan ekses-ekses teror melalui korannya, Les Vieux Cordeliers. Ia bahkan melontarkan ejekan bahwa sudah semestinya Komite Keselamatan Publik berganti nama menjadi “Komite Pengampunan Publik”. Sebagaimana dicatat Ruth Scurr dalam Fatal Purity, Robespierre berusaha melindungi Desmoulins dengan mengusulkan agar Les Vieux Cordeliers cukup dibakar. Namun, sikap Desmoulins yang menolak usulan sobat masa kecilnya itu membuat dirinya sulit menahan serangan dari para anggota Komite lainnya.
Desmoulins dieksekusi pada 5 April 1794 bersama Danton, orang nomor satu di Konvensi Nasional yang didakwa melakukan korupsi dan menerima suap selama menjabat. Setelah kematian dua kompatriotnya itu, Robespierre praktis menjadi orang nomor satu di republik—untuk beberapa bulan. Eksekusi itu kelak diingat sebagai titik balik kariernya. Banyak kawan dan sekutu mendadak merasa nyawa mereka ada di ujung tanduk seandainya perjaka fanatik ini terus berkuasa.
Pada Juni 1794 Perancis telah aman dari serangan Austria. Namun Robespierre menolak membubarkan pemerintahan darurat. Ada alasan yang tepat untuk tidak cepat-cepat membubarkan aparatus teror: kemenangan Perancis terhadap Austria, tulis Marisa Linton dalam Choosing Terror: Virtue, Friendship, and Authenticity in the French Revolution (2013), tidak membuat situasi di Eropa lebih bisa diprediksi.
Penolakan itu dimanfaatkan sejumlah anggota Konvensi untuk menjatuhkan Robespierre. Ketika Robespierre jatuh sakit dan nyaris sebulan tak mengikuti rapat-rapat Komite, mereka tahu kesempatan emas itu ada di tangan.
Robespierre baru muncul lagi pada 26 Juli 1794 untuk berpidato di depan Konvensi Nasional. Pidato itu tak disambut baik. Ia dikecam sebagai diktator. Hari berikutnya, para anggota Konvensi memutuskan dengan suara bulat agar Robespierre, Saint-Just, Couthon, dan lainnya ditahan. Namun, tak satu pun penjara di Paris bersedia menerima mereka. Robespierre dan kamerad-kameradnya segera diselamatkan massa sans-culottes ke Hotel de Ville. Malamnya, hotel legendaris itu diserbu pasukan Konvensi Nasional. Dalam keributan itu, Robespierre tertembak, rahang kirinya hancur dan harus dibalut kain agar tidak lepas sampai keesokan paginya. Adiknya, Augustin Robespierre, diinjak-injak hingga badannya remuk. Para pelaku kudeta juga melempar Couthon dari kursi roda.
Peristiwa itu kelak dicatat sebagai Reaksi Thermidor (Réaction thermidorienne) atau Kudeta Thermidor yang kini telah menjadi kata ganti untuk menggambarkan revolusi yang dikhianati dan kembalinya tatanan politik yang dibesarkan rezim lama. Ironisnya, para pentolan Kudeta Thermidor bukan orang suci yang menginginkan teror berakhir. Mereka—di antaranya Jean-Marie Collot d’Herbois, Paul Barras, Louis-Marie Stanislas Fréron, dan Joseph Fouché—adalah orang-orang hipokrit yang memperkaya diri selama revolusi. Kecuali d’Herbois, mereka semua selamat hingga akhir revolusi. Fouché—Judas Iskariot dalam sejarah Perancis—menduduki posisi penting hingga dalam pemerintahan Napoleon. Ketika Napoleon tamat, ia bahkan mengkhianati sang kaisar dan masuk kabinet Louis XVIII, adik dari Louis XVI yang dikirimnya ke guillotine.
Robespierre melakukan kekejaman tidak biasa terhadap orang-orang luar biasa—ningrat, kaum kaya, dan aparatus istana Versailles. Komplotan Thermidor melakukan kejahatan luar biasa terhadap orang-orang biasa. Mereka, catat Marisa Linton, adalah alasan mengapa Robespierre mempertahankan rezim teror. Ia, sang incorruptible, berencana membersihkan pemerintahan dengan membikin perhitungan terhadap gerombolan oportunis ini.
Pada 28 Juli 1794, Robespierre menghadap algojonya. Wajahnya tenang dan hanya terlihat muram tatkala mendengar sebilah pisau raksasa menggilas leher sang adik, Augustin. Sejengkal menuju maut, ia menjerit sangat keras ketika si algojo dengan kasar menarik perban yang membalut rahangnya. Jeritan yang luar biasa keras, pilu, dan panjang itu, demikian Scurr dalam Fatal Purity, adalah “babak akhir dari seseorang yang menubuhkan revolusi ke dalam dirinya sendiri”. Di pagi hari bertepatan dengan tanggal 10 Thermidor tahun ke-II Revolusi, pemuda canggung itu mati dengan wajah menatap ke langit. Ke guillotine.
[1] Kata filsafat berasal dari kata „philosophia‟ (bahasa Yunani), yang artinya „mencintai kebijaksanaan’. Sedangkan dalam nahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah „philosophy‟, dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah „falsafah’, yang biasa diterjemahkan dengan „cinta kearifan’
mantap bro…sya suka baca sejarah
Artikel Bagus. Terima kasih sudah terus aktif dalam update WordPress ini.
tulisannya sangat bermanfaat, saya izin share ya di website sya, sya cantumkn sumbernya juga kok,, klo mau email saya silahkan disni fhathaliz@gmail.com
izin share materi2 nya di websita saya