Surat Kepada Soekarmadji

Oleh : Syaukani Al Karim*

AKU merasa kita pernah bertemu suatu ketika, meski Tuan akan mengatakan tidak. Waktu itu tahun 1938, dan Tuan berusia 33 tahun. Di atas podium, Tuan, sebagai wakil ketua Partai Syarikat Islam Hindia Belanda, yang kemudian disebut Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dengan bersemangat menjelaskan konsep ‘’hijrah” kepada peserta kongres ke-22 di Surabaya. Dengan nada yang berapi-api, Tuan menjelaskan bahwa hijrah, bukanlah semata-mata penolakan, bukan semata-mata sikap non-kooperasi, tapi bermuatan lebih positif, yaitu penolakan yang diikuti oleh usaha membentuk kekuatan hebat yang menuju Darul Islam: sebuah negeri yang dibangun dengan konsep kemaslahatan.

Pada waktu itu, kalimat Tuan yang menyebut Darul Islam, tentu saja tak bermasalah. Pada tahun 1938 tersebut, secara de facto dan de jure, Indonesia masih sesuatu yang imajiner.  Indonesia belumlah ada, kecuali dalam sederet mimpi dan sehasta rindu. Indonesia hanya ada dalam perbincangan-perbincangan elit politik yang mencoba menjadikan nama itu sebagai sumbu gairah perlawanan. Yang dihadapi waktu itu adalah Belanda, dan Islam, merupakan sentimen yang kuat dan seksi untuk menumbuhkan semangat perlawanan.

Politik hijrah yang Tuan usung, meski didukung oleh beberapa pihak, juga mendapat penolakan yang keras. Akhirnya Tuan dikeluarkan dari partai. Namun demikian, sebagai seorang yang keras keyakinan, Tuan tak peduli dengan ketidaksetujuan itu. Tuan terus melawan dengan mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran (KPK) PSII, yang sering disebut sebagai PSII tandingan. Selain mengurus PSII tandingan, Tuan juga mendirikan Institut Suffah, sebuah pondok pesantren, yang sekaligus dijadikan basis latihan laskar Hizbullah dan Sabilillah.

Aku merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin tahun 1945. Akhirnya hati Tuan luluh juga, meski sebelumnya Tuan mati-matian menentang konsep Soekarno dan Hatta dalam menghadapi Belanda. Dengan hati yang penuh, Tuan pun menerima Indonesia yang Pancasila. Aku mencoba menebak dari mana persetujuan Tuan berpangkal. Mungkin karena pemimpin masa itu, Tuan pandang dapat menerjemahkan konsep hijrah Tuan dalam kepemimpinan mereka.

Aku juga ingat, ketika 27 Juli 1947, ketika Belanda melakukan agresi pertama. Tuan mengeluarkan resolusi jihad. Resolusi itu, membuat pasukan Tuan bersedia mati berkalang tanah demi Indonesia. Bersedia, hanya dengan bermodal bambu runcing, mempertarungkan rindu akan merdeka dengan nyawa. Tuan pernah kecewa, ketika pemimpin Indonesia bersedia untuk berunding di kapal US Renville (perjanjian Renville) yang berujung ditariknya pasukan RI dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Karena kecewa dengan perjanjian itu, Tuan memutuskan untuk tak ikut menarik pasukan keluar dari Jawa Barat. Lalu, Tuan menamakan pasukan yang tersisa dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII).

Tuan terus bertempur, dan kembali mengobarkan jihad sewaktu agresi Belanda ke-II. Tapi ketika wilayah itu sudah Tuan kuasai, dan kemudian divisi Siliwangi meminta agar Tuan menyerahkan wilayah tersebut kepada mereka, maka Tuan pun tersinggung. Tuan  menganggap pemerintah pusat sudah tidak beretika, sudah tidak amanah, serta tidak istiqamah dalam berpolitik. Tuan meradang, lalu berbalik menempur tentara Siliwangi dan sekaligus Belanda. Pada kemarahan yang puncak itulah, Tuan lalu memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII), pada 7 Agustus 1949 di Malangbong.

Aku merasa  kita pernah bertemu suatu kali, meski Tuan tetap berkata tidak. Hari itu 16 Agustus tahun 1962. Tuan diadili dan dijatuhi hukuman mati. Bagiku, bukan kematian itu benar yang menusuk kalbu, tapi kekukuhan tuan dalam memegang teguh apa yang Tuan yakini itulah yang menggetarkan jiwa. Menjelang ajal, Tuan tetap menolak menidakkan NII yang tuan dengungkan, meski dengan imbalan keringanan hukuman. Aku tak peduli, apakah NII itu benar atau tidak, tapi sikap yang Tuan tunjukkan adalah pelajaran bahwa sebuah  prinsip perlu dijaga dengan dengan satu kata : Istiqamah.

Aku merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin dalam kitab sejarah. Di kitab itu, nama dan tindakan Tuan ditulis dengan huruf-huruf yang buram dan murung, untuk selanjutnya diterjemahkan dalam kalimat-kalimat yang kusam. Di kitab itu, pasukan tuan disebut dengan “gerombolan” dan perjuangan Tuan disebut dengan “pemberontakan” dan Tuan dicap pula sebagai “pemberontak”.

Ah, aku tak percaya Tuan seorang pemberontak. Tuan tak sejahat itu, sebab bagaimana mungkin seorang ulama besar seperti Daud Beureureh, atau tokoh seperti Kahar Muzakkar, dengan rela membai’at Tuan sebagai pemimpin. Saya percaya, seperti yang Tuan katakan, bahwa apa yang Tuan lakukan adalah sebuah respon terhadap kekuasaan yang menyimpang, sebuah kekuasaan yang Tuan sebut “tidak konsisten”, atau sebuah kekuasaan yang dalam praktik, bertolak-belakang antara aqidah dan ibadah, antara konsep dan tindakan.

Tapi tak usahlah Tuan risau, karena sejarah hanya soal persepsi, soal ruang dan waktu. Soal pihak mana yang menulisnya. Pihak pemenang akan menulis yang kalah sebagai pengkhianat, dan ketika musim berganti, maka berganti pula kisah sebuah sejarah. Siapa pahlawan dan pengkhianat tergantung sebuah situasi psikologi pada waktu sejarah itu ditulis. Soekarno pernah ditulis sebagai pahlawan pada suatu masa, lalu ditulis sebagai pengkhianat pada masa yang lain, lalu ditulis kembali sebagai pahlawan pada masa berikutnya. Hal yang sama pernah terjadi pada Teungku Daud Beureureh, pada Tan Malaka, bahkan kepada Soeharto, yang dari pahlawan ditulis menjadi pengkhianat ketika Ia kalah.

Tak usahlah Tuan risau, karena Aku dan Tuan, hidup pada sebuah Negara, yang sejarah tak selalu berisi kebenaran, tapi lebih banyak pembenaran. Kita hidup pada sebuah Negara, dengan buku-buku sejarah yang sarat kepentingan, dengan kisah sejarah yang selalu diarahkan untuk melegitimasi sebuah tujuan. Di negeri kita, sejarah bukanlah sepenuh “history” tapi sudah bergeser kepada “His- Story”, pada sebuah kisah pribadi dan golongan. Sekali lagi, usahlah risau, karena meski aku masih mempertanyakan konsep Negara Islam yang Tuan proklamirkan, aku tetap memandang Tuan sebagai pahlawan, karena telah berjuang, baik ketika menjadi anggota Jong Java, Jong Islamieten Bond, maupun ketika memimpin pasukan melawan Belanda, Tuan telah bertungkus-lumus berjuang, telah mempertaruhkan nyawa demi memberikan kemerdekaan, untuk  kami simpan.

Aku merasa kita pernah bertemu, mungkin kemarin dan kemarinnya lagi, di antara bunyi bom yang memekakkan telinga, di tengah larian ketakutan, di antara tatapan kosong para ibu yang kehilangan anaknya, antara kematian orang-orang yang tak bersalah, antara tatap benci dan dendam yang entah kapan selesai. Mereka menghubungkan bom dan kehilangan anak-anak itu dengan gerakan Tuan. Aku tak percaya Tuan akan setuju dengan cara itu, karena Tuan bukan pengecut. Sepanjang hidup Tuan, segala sesuatu selalu Tuan hadapi dengan jantan, tidak dengan cara mengorbankan orang yang tak bersalah.

Aku cuma tidak tahu, dari mana datangnya sebuah tafsir yang membenarkan bom menjadi jalan bagi pencapaian cita-cita. Aku juga tidak tahu mengapa mereka menerjemahkan Negara Islam dengan mendirikan khilafah dengan pengertian raja. Aku tentu saja sepakat dengan tuan, bahwa kita membutuhkan seorang Khulafa ar Rasyidin, tapi dalam makna yang sebenarnya, yaitu seorang pemimpin atau pengganti yang cerdas dan baik secara aqidah (Khulafa ar-Rasyidin), karena dengan pemimpin yang cerdas dan baik, sebuah negeri berpeluang menjadi lebih maju, sejahtera, dan bermartabat.

Aku dan Tuan, pada hari ini mungkin akan sama-sama heran melihat banyak orang yang mengaku pengikut Tuan, menerjemahkan kekhalifahan dengan mendirikan raja. Seolah-olah, hanya dengan kerajaan, negeri ini bisa ditata dengan baik. Tuan dan aku mungkin sama-sama maklum, bahwa begitu banyak raja dalam dinasti Islam, gagal menjadi pemimpin yang cerdas iman atau menjadi pengganti yang baik itu. Mereka hanya tegak sebagai raja, semata-mata sebagai raja. Negara Islam di mataku, bukanlah sebuah monarkhi, tapi adalah sebuah demokrasi yang bersandar pada kemaslahatan. Islam menyuruh kita “memilih” dengan jalan musyawarah, bukan “menunjuk” seseorang sebagai raja, apa lagi sampai berketurunan.

Aku juga tak percaya, bahwa Tuan hendak mendirikan raja. Tuan pasti tahu, bahwa jika raja adalah sumber kemaslahatan, maka pastilah Tuhan telah menjadikan semua nabi sebagai raja. Tapi ketika Tuhan hanya menjadikan segelintir nabi, seperti Daud dan Sulaiman sebagai raja, dari sekian banyak utusan-Nya, maka kita dapat mengambil petunjuk, bahwa bukan raja yang utama.

Aku ingat kita pernah bertemu, mungkin hari ini, mungkin kemarin, di antara sisa-sisa mayat, di antara hujan hujatan, atau mungkin di tengah wajah-wajah penduduk yang cemas, di tengah ceracau negara yang tak pernah merasa salah, dan pada raut kepedihan menatap kematian. Ya, aku merasa bertemu denganmu pada hari ini, karena semua peristiwa dinisbatkan kepadamu, dan engkau dijadikan tepat berlindung bagi sebuah teror lain yang justru lebih besar: korupsi, tarik-menarik kekuasaan yang tiada habis, penistaan, kemiskinan, dan orang-orang yang lelah menanti cahaya.

Aku ingat kita pernah bertemu, mungkin di rumah sejarah. Berbincang di ruang kenangan. Aku mengagumimu dengan hati nan pedih, lalu dengan suara lamat-lamat aku menyebut namamu: Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.

****

*Syaukani Al Karim, sastrawan Riau yang telah menghasilkan banyak karya. Tulisannya tersebar di berbagai media, maupun antologi. Kini bermastautin di Pekanbaru.

Judul aslinya  “Surat Kepada Maridjan”  Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 April 2012

21 Komentar

  1. MSF berkata:

    Pertemuan imajiner yang bagus tampaknya.
    mengagumi pribadi Soekarmadji maridjan Kartosoewirjo
    tapi.. sekaligus meragukan perjuangannya.
    terkesan begitu.
    kayaknya kita pernah bertemu “dua duri” dalam daging (Syaukani)
    entah kapan, juga entah dimana.
    salam kang kopral, memang ramai orang seperti pak Syaukani
    di sini.

    1. Kopral Cepot berkata:

      Memang beragam macam kejadian “pertemuan imajiner” antara masa kini dengan masa lalu, antara pelaku sejarah dimasa lalu dengan generasi dimasa kini. Bisa bertemu secara “imajiner” melalui bacaan-bacaan sehingga apa yang dibaca itulah yang dipresepsikan. Ada pula yang bertemu secara “imajiner” dengan kajian yang lebih mendalam melalui karya intelektualnya maupun karya juangnya, dan ada pula yang bertemu secara “imajiner” dengan melanjutkan apa yang menjadi PR bagi masa kini dan depan….

      Pilihan “imajiner” untuk menjadi Pengagum…. Pengikut…. atau Pelanjut

      Apapun pilihannya semoga kita tercerdaskan..

      Salam hangat buat Pak MSF … hatur tangkyu silaturahminya di ramadhan ini 😉

  2. Wulan berkata:

    sejarah senantiasa berulang.. dan kita adalah pelaku sejarah untuk generasi selanjutnya, amiin..

    1. soe hok gie berkata:

      yuu marii………..apanya yg berulang bu?……kolek candil tiap puasa berulang…..ada yg meneruskan jualan….ada yg baru jualan……ada yg nggak pernah jualan……ada yg berhenti jualan………sy sih berenti beli…..makannya….tetep…. 😉

  3. Irf berkata:

    ituah bedanya penonton dan pemain, penonton ada yang selalu mencaci maki pemain yang dikaguminya ketika kalah dan disanjung ketika menang

  4. tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini apalagi yang namanya sejarah , sejarah suatu yang amat sangat mahal nilai harganya . sm kartosoewirjo telah menciptakan sejarah untuk mewujudkan cita2 yang terluhur untuk beliau , lalu kita kapan ?

  5. kesimpulan yang diminta oleh penulis artikel ini amat banyak dan kompleks bila diterapkan dalam kondisi dan situasi sa’at sekarang yang sangat amburadul ..dul … tapi bisa diungkapkan salah satunya adalah perlunya sm kartosoewirjo muda untuk menyelamatkan perjalanan bangsa dan negara ini yang entah menuju kemana dan cuma sekedar berjalan saja ( kalau boleh saya katakan tanpa tujuan …..itupun kalau seandainya harus minta ijin dulu bila saya katakan. )

  6. Asep berkata:

    Sekar madji seorang pahlawan yang dianggap penghianat dia dengan DI/TII nya mempertahankan Jawa Barat dari penjajahan Belanda yang pada waktu itu ditinggalkan pasukan Siliwangi

  7. Assalaamu’alaikum wr.wb, Kang KC…

    Sungguh menyentuh hati membaca kalimat demi kalimat Surat Kepada Soekarmadji di atas. Dengan bahasa yang baik penuh menjiwai apa yang dimaksudkan dalam penyampaiannya.

    Namun, kini jarang ada sesiapa yang mahu menulis surat secara terangan kepada sesiapa yang berada di atas dengan secara terbuka dan membawa bukti-bukti yang bisa dihujjah sebagai membenar apa yang dibahaskan.

    Dengan adanya laman sosial dan kemudahan elektronik mas kini, apa juga ketidakpuasan hati mudah tersalur dengan cepat hatta tanpa nama dengan melampiaskan kemarahan dan bahasa yang kurang enak dibaca.

    Mudahan banyak yang bisa kita ambil dari sejarah lalu untuk mengorak sejarah baru yang lebih efektif dan konsudif sifatnya.

    Salam mesra selalu dari Sarikei, Sarawak. 😀

  8. Muadin Efuari berkata:

    AH, Tuhan belum menunjuk aku meneruskan sikap mu…

  9. uciha madara berkata:

    aku ingin bertemu dengan mu… sulit sekali mengikuti jejak jejak mu

  10. Abu Husznul berkata:

    Perjuangan yang di ridhai Alloh adalah Perjuangan menurut Al-Qur’an dan Sunnah nabi SAW. …memenangkan yang Haq harus dengan yang Haq pula bukan dengan yang bathil..

  11. anonym berkata:

    begitu indah untaian kata yang penulis tuturkan…..

  12. helfi berkata:

    Saya orang Jawa Barat, Priangan Timur. Dimana tempat yang namanya kecamatan SALOPA. Penulis barangkali tidak mendengar tentang cerita D.I / T.I.I di Jawa Barat, khususnya dari penduduk warga pasundan di tahun 50-60 an. Harusnya Anda bertanya kepada orang tua Kami tentang sepak terjang DI/TII di tanah Pasundan. Coba Anda tanya pada orang-orang yang saat ini masih hidup yang menjadi saksi atas sepak terjang DI/TII di daerah Kami. Mungkin anda tidak pernah mendengar tentang sebuah cerita pertandingan sepak bola antara suatu kampung yang Basis DI/TII dengan suatu kampung penduduk biasa, dalam pertandingan itu, kampung DII/TII kalah….dan malam harinya kampung biasa itu dibakar ludes dengan isi penduduknya, orang-orang seperti udang …melengkung angus…padahal sama-sama orang muslim….

    gara-gara kalah main bola, kampung penduduk biasa di bakar, dan disembelih ( PEUNCIT KURILING). Seluruh isi PENDUDUK JAWA BARAT PASUNDAN TAHU itu semua, dan mengalaminya, maka nya oleh rakyat, DII / TII di sebut gerombolan….tidak percaya silahkan ANda survey ke tanah pasundan….dan tanya tentang masa lalu DI/TII….

    Kalau ANda berkunjung ke JAwa barat, seperti kota ….TASIKMALAYA, CIAMIS, GARUT, SUMEDANG….Coba tanya hubungan kalimat ” PEUNCIT KURILING” dengan DI/TII…

    Saya yakin Anda akan menemukan kebenaran yang hakiki…

    1. faruq berkata:

      penggemar judi bola ko ngomentari tentang sejarah..! membaca sejarah itu yang obyektif, pantas aja kampung anda dibakar karena hukuman orang munafik ya di bakar, seperti hal nya Abdullah bin ubay mulut nya mengaku islam tetapi tindakannya justru membenci akan tegaknya Islam…. “Perjuangan untuk menegakan Daulah Islam tidak akan pernah hilang.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.

    2. hadi berkata:

      Kalau boleh tau memang ada bukti otentik nya yang menunjukan dibakar oleh kampung yang berbasis DI/TII? kalau hanya dari cerita saja hmm…

    3. Sy mungkin tak banyak tahu soal D.I/TII…namun jauh di lubuk hati sy, bahwa juang D.I/TII, tak sprti tafsir sejarah yg disbtkan akang. Krn kenyataan bahwa tak hx DI/TII. RMS jg dibantai olh SILIWANGI. Pdhl klu ditilk benarx, mk tak ada pejuang yg berjuang tuk orng lain, kecuali untuk kemenangan negerinya.

  13. sdr helfi , anda ditunggu ulasanya maupun komentar2 anda ( apapun namanya ) adalah hal yang biasa dan lumrah pro dan kontra dalam menyimak perso’alan yang semua ( kita tahu ) meskipun itu sensitive ” adanya ” . pernah memang saya mendengarnya walaupun tidak begitu saya tanggapi berita yang ada , sepertinya masuk telinga kiri keluar telinga sebelah kanan . mohon sekali lagi penjelasanya dan ” jangan terlalu takut ” dalam mengungkapkan yang berkaitan dengan judul artikel diatas.

    kontribusi saya hanyalah belajar sejarah an sich dan hanya benar2 ingin sejarah yang benar saja lewat blognya bung kopral . oke bung helfi , panjenengan kita tunggu ulasan komentar penjabaran sejarah ( apapun namanya ) dari – anda …………salam !!

    ( ra Wa liang Mieng – Rogojampi s/d Situbondo yang mewakili komunitas sejarah…..oke ).

  14. dodi setiawan berkata:

    untuk mas helfi,kenapa fitnah dalam Al-Qur’an itu lebih kejam dari pembunuhan ? sebenarnya yg bakar rumah penduduk itu bukan TII tapi intelejen RI yg pake baju TII,itu kata kakek saya lhoo yg kebetulan bekas TNI…tentara islam kok jadi penjahat ga logis atuh,apalagi yg dibunuh pendukungnya sendiri…

  15. nay kirey berkata:

    abdi mag,, ari kna kasaean mag ngiringan bae,, pmi kna kalepatan mag ach alim,,, !

  16. wawan berkata:

    helfi Salopana palih mana? raraosan nu kisahna jiga kitu mah mun teu anak ABRI nya musuh DI/TII. abdi ge orang SALOPA hayu urang silih buka-bukaan kisah ti puhun urang sarera

Tinggalkan Komentar