Riwayat Tujuh Kata

6 AGUSTUS 1945 pagi. Sebagian warga Hiroshima baru saja selesai sarapan ketika pesawat pengebom milik Sekutu menderu di atas kedua kota itu. Sirene tanda bahaya meraung. Setelah itu bumi menggelegar. Bom atom telah meratakan kota industri tersebut. Selang tiga hari bom serupa memporak-porandakan Kota Nagasaki. Kaisar Tenno Heika tertunduk sedih mendengar laporan hancurnya Nagasaki dan Hiroshima itu. 14 Agustus, ia memutuskan untuk menyerah kepada Sekutu.

Berita kekalahan Jepang itu bergaung sampai ke Indonesia. Tiga hari setelah sang Kaisar menyerah kalah, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah republik baru telah lahir. Begitu cepatnya keputusan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diambil, sehingga Bapak-Bapak Bangsa kita tak sempat menetapkan sebuah undang-undang dasar. Selama sehari republik kita berjalan tanpa UUD. Hukum dasar bagi Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai UUD’45, sekalipun sudah dipersiapkan beberapa bulan sebelumnya, baru disepakati anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai dasar negara esoknya: 18 Agustus 1945.

PADA 18 Agustus 1945 pagi Teuku Moehammad Hasan bergegas meninggalkan Hotel Merdeka – lokasi bangunan ini di Jalan Gajah Mada. Jakarta Pusat, sekarang – untuk menghadiri rapat PPKI. Sekitar pukul U9.00, pemuka masyarakat Aceh itu sudah memasuki gedung Volksraad di Pejambon. Di situ sudah menunggu Mohammad Hatta, yang langsung mengajak Hasan ke sebuah kamar. Di kamar, yang juga ada Bung Karno, Hatta menjelaskan kepada Hasan bahwa negara berada dalam keadaan bahaya. Golongan Kristen dan Katolik menuntut agar tujuh kata yang tercantum di dalam pembukaan rancangan uud, yang hari itu akan disahkan menjadi UUD negara Indonesia, dihapuskan. Tujuh kata itu, yang tercantum menyusul kata Ketuhanan dalam mukadimah rancangan UUD tersebut, berbunyi: . . . dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. “Kalau tidak, kita akan pecah. Umat Kristen akan melepaskan diri dari Republik,” kata Hatta.

Hatta lalu minta Hasan melobi Ki Bagus Hadikusumo, pemuka Islam dalam PPKI, agar tak keberat tujuh kata itu dihapus. “Tolong Saudara yakinkan dia. Saudara bisa melakukan itu, karena Saudara berasal dari Serambi Mekah,” ujarnya. Hatta tak melakukannya sendiri, karena merasa, sebagai seorang nasionalis, tak bakal bisa meyakinkan Hadikusumo. Hasan, sekalipun berasal dari Aceh, sesungguhnya tak bisa dikategorikan ke dalam golongan Islam. Sarjana hukum tamatan Universitas Leiden ini bukan tokoh pergerakan Islam, seperti Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah itu. Belanda bahkan pernah mencurigainya sehagai penganut komunisme. “Saya memang bukan orang dari partai Islam, tapi saya lslam,” katanya.

Singkat kata, Hasan menyanggupi permintaan Hatta tersebut. Ia lalu menemui Hadikusumo, yang duduk sendiri di ruangan lain. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan serius. “Ki Bagus, kita harus menerima ini. Kalau tidak, kita akan pecah. Orang Kristen akan membuat negara sendiri, dan mereka akan dibantu Belanda.” kata Hasan. Hadikusumo, menurut Hasan, diam tak mendebat. Sebuah keputusan penting lahir dari pembicaraan 10 menit kedua tokoh itu: golongan Islam dapat menerima permintaan Hasan. Tujuh kata Piagam Jakarta, yang menjadi ganjalan selama sidang BPPKI, bulan-bulan sebelumnya, akhirnya terselesaikan juga.

Maka. ketika rapat PPKI untuk menesahkan UUD, siang itu, Piagam Jakarta bisa dicoret tanpa protes dari golongan Islam. Tapi dalam biografi Hidup ilu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun, yang ditulis Lukman Harun, tertera pada hari dan saat bersamaan, 18 Agustus 1945, Bung Karno minta Kasman melobi Hadikusumo. Bung Karno mengatakan kepada anggota PPKI itu, yang juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, usaha yang sama telah dicoba lewat Hasan, tapi tak berhasil. Baru setelah Kasman berbicara dengan Hadikusumo, sebagai sesama Muhammadiyah. persetujuan penghapusan tujuh kata itu dicapai. Mana yang benar? Hasan mengaku pernah menghubungi Kasman. beberapa tahun lalu, untuk menjelaskan soal ini. Menurut Hasan. Kasman berkata, ”Benar, Saudara meyakinkan dia (Ki Bagus Hadikusumo) dalam bahasa Indonesia, saya meyakinkan dia dalam bahasa Jawa.”

Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.

Dalam buku Sekitar Proklamasi 7 Agustus 1945, tulisan Mohammad Hatta, peristiwa ini dipaparkan lengkap. Pada 17 Agustus 194 sore, Hatta menerima telepon dari Laksamana Maeda. Perwira tinggi Angkatan Laut Jepang itu, yang dekat tokoh pergerakan Indonesia, menyarankan Hatta menerima seorang opsir Angkatan Laut (Kaigun). Shigetada Nishijima, staf Maeda yang lancar berbahasa Indonesia, akan menemani perwira itu. Opsir tersebut, kata Maeda, akan menyampaikan sesuatu yang amat penting. Hatta tak keberatan. Sore itu juga Nishijima membawa opsir tersebut ke rumah Hatta. Opsir itu, Hatta mengaku lupa namanya. yang disebutkan sangat setuju dengan kemerdekaan Indonesia, menyampaikan berita bahwa golongan Kristen dan Katolik di daerah kekuasaan Angkatan Laut Jepang di bagian timur Indonesia, keberatan pada tujuh kata Piagam Jakarta tersebut. Kata opsir Jepang itu, mengutip keberatan golongan Nasrani, meski Piagam Jakarta cuma mengikat rakyat yang beragama Islam, tercantumnya kalimat tersebut dalam UUD berarti mendiskriminasikan mereka sebagai golongan minoritas. Bila pasal itu tak diubah mereka memilih berdiri di luar Republik. Hatta mencoba membantah tuduhan itu. Ketika pembukaan UUD itu dirumuskan, katanya, A. A. Maramis, salah seorang pemuka Kristen, tak mengajukan keberatan dengan tujuh kata tersebut. Ia bahkan turut menandatangani Piagam Jakarta itu.

Sewaktu opsir Jepang itu mengingatkan sebuah semboyan yang ramai didengung-dengungkan pemimpin Indonesia, “bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, Hatta sadar bila terjadi perpecahan, Belanda tentu akan memanfaatkannya. Lalu ia minta opsir itu untuk menyabarkan pemimpin umat Kristen dan Katolik tersebut. dan jangan sampai dipengaruhi propaganda Belanda. Pada 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang PPKI dibuka, Hatta mengumpulkan tokoh-tokoh Islam. seperti Hadikusumo, Wahid Hasjim (versi lain menyebutkan ia tak ikut karena sedang mudik ke Jawa Timur), Kasman, dan Teuku Moehammad Hasan. Pada pertemuan yang tak sampai 15 menit itu Hatta memaparkan laporan opsir Jepang tersebut, dan semua yang hadir menyadari munculnya perpecahan bangsa bila tujuh kata Piagam Jakarta tak dihapuskan.

Tapi versi Nishijima, lain lagi. Ketika ditemui Kepala Biro TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, di rumahnya di Meguro, Tokyo, pekan lalu, Nishijima mengatakan, “Menurut saya, ingatan Bung Hatta itu salah. Hari itu saya tak membawa opsir ke rumah Bung Hatta.” Nishijima, yang pernah bekerja di sebuah yayasan milik perusahaan minyak di Tokyo, menambahkan, pada 18 Agustus 1945 itu ia menghadiri rapat PPKI sebagai pendengar. Ia duduk di ujung sebuah meja panjang. Tiba-tiba, G.S.S.J. Ratu langie, tokoh pendidik asal Minahasa, berbisik kepadanya menyatakan keberatan mereka akan tujuh kata Piagam Jakarta itu. Kenapa Ratu Langie tak langsung saja bilang kepada Hatta atau Soekarno? Nishijima menduga, sebagai wakil dari daerah Sulawesi dan Maluku. yang dikuasai Angkatan Laut Jepang, Ratu Langie tak berani langsung bicara pada Hatta. “Mereka merasa lebih bebas berbicara pada orang-orang dari Angkatan laut, seperti saya,” katanya. Setelah keberatan itu dibisikan Nishijima kepada seorang anggota PPKI (“Mungkin pada Soepomo, mungkin juga Hatta,” ujar Nishijima) tujuh kata yang mengganjal golongan Nasrani itu pun dicabut. Siapa sesungguhnya yang berperan dalam pencabutan tujuh kata Piagam Jakarta itu? Sejarah kita ternyata mencatat banyak versi. Entah mana yang akurat. Yang pasti, kesatuan bangsa kita tak pernah tercabik-cabik oleh perbedaan agama.

Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda: Menangisi susu yang sudah tumpah !?

Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”

15 Komentar

  1. alamendah berkata:

    Banyak juga versi sejarah tentang riwayat tujuh kata tersebut.

    >>>Nitip pesan buat semua:
    Saya ada tantangan buat para blogger Indonesia, ki. Yang siap bisa langsung ceck TKP di blog saya (Tantangan Untuk Para Blogger Indonesia)

  2. Usup Supriyadi berkata:

    Alhamdulillaah, Astaghfirullaah

    kalau dari buku pendidikan pancasila susunan Fakultas Filsafat UGM yang saya punyai, mengatakan bahwa penghilangan tujuh kata itu atas prakarsa Hatta. Dan, heran juga kalau golongan Nasrani dikatakan kurang sreg sedangkan perwakilan mereka menandatanganinya. Hm… banyak versi, namun seperti akang bilang, sejarah akan menemukan asalnya. setidaknya Soekarno sebagai (dan sering orang Indonesia menyebutnya serta mengakui) pendiri bangsa, memberikan janji untuk “silahkan berjuang” ya, pada hakikatnya, tujuh kata itu adalah rumusan awal yang benar-benar murni tanpa tekanan. Dan, itu adalah cita-cita luhur, betapa pembukaan yang berisikan kata “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa” pada uud RIS, dan sebagainya tidak bertahan lama, tetap kembali kepada, “Atas berkat rahmat Allah”

    pancasila bukan agama, dan tidak bisa dijadikan alasan untuk memasung hak umat beragama tertentu termasuk, Islam. Setahu saya, TB Simatupang menjelaskan dalam bukunya bahwa Iman Kristen memang tidak menganjurkan sebuah negara Kristen, sedangkan Islam sebagaimana sejarah dan nash-nash banyak yang menjurus kepada kewajiban untuk berpayung pada hukum Islam, terkhusus bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata itu, seharusnya tetap dijalankan, atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana agama-agama memiliki ruang hidupnya sendiri-sendiri…

    wa allaahu a’lam, piagam jakarta, akan tetap jaya! di hati mereka yang mengerti akan sejarah bangsanya…

    —————-
    Kopral Cepot : Tararengyu Kang Usup 😉 …….. J A K A R T A juga tujuh hurup, kalo hilang gimana yah 😆

    1. Usup Supriyadi berkata:

      ya, tergantung hurup apa yang hilang, kang. 😆

  3. Dianabal berkata:

    I like serbasejarah.wordpress.com , bookmarked for future reference

  4. sikapsamin berkata:

    Samin malah mencari riwayat2 para Utusan Sang Pencipta yang konon Menetapkan Satu-Utusan dengan bahasa Kaumnya…

    Kamanaaa…milarina?

  5. nirwan berkata:

    Secara politik, Islam dan tokoh-tokoh Islam memang sudah kalah. Soekarno pintar, jitu dan cerdas, sementara tokoh-tokoh Islam yang teguh pendiriannya itu, terpasung pada soal akhlaq al-Karim, bahwa janji mesti ditepati, walaupun terlambat. Mereka menunggu dan bersabar karena adalah lebih baik berhusnusdzon daripada bersuudzon. Adalah lebih baik berprasangka baik daripada yang buruk. Cita-cita yang mulia mestilah didapatkan dengan cara-cara yang suci. Taklah sah sebuah shalat bila air wudhu’nya didapatkan dari mencuri. Bersabar adalah lebih baik untukmu, jika engkau mengetahui. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

    Umat Islam mesti belajar banyak dari kekalahan ini, dengan sama sekali tidak mengorbankan prinsip-prinsipnya, dengan tidak mengorbankan perilaku yang karim dalam mencapai tujuannya. Taklah tokoh-tokoh Islam itu menjadi terdakwa dalam pengadilan akhirat nanti, karena saya akan bersaksi bahwa mereka telah berjuang sekuat-kuatnya, sesabar-sabarnya, semampu-mampunya.

    Pada Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo, ayahanda Muhammadiyah, semoga engkau mendapatkan surgamu yang terbaik, aku akan bersaksi untukmu: demi pena dan apa yang dituliskannya.

    Kepada Hatta, Muhammad Natsir, Sjahrir dan mereka-mereka tokoh-tokoh Islam yang diselewengkan oleh sejarah yang berkuku hitam, maka naiklah ke hadapan Tuhanmu dengan kepala tegak, karena kalian telah mewariskan khasanah yang indah dari manis, sabar dan keikhlasan perjuangan. Sesungguhnya, taklah kami sanggup menjadi pewarismu, seperti halnya hanya segelintir ulama yang sanggup menjadi pewaris para nabi.

    Maka wahai Muhammad al-musthafa, engkaulah yang terpilih dari segenap makhluknya, persaksikanlah pengikut-pengikutmu yang kuat itu, persaksikanlah bahwa mereka telah menjalankan titahmu dan merekalah sebaik-baik umat yang telah mendahului kami, memberi kami pelajaran sesungguhnya dari perjuanganmu, dari ghirahmu akan kejujuran dan keadilan. Maka berikanlah syafaatmu kepada mereka karena kasihmu.

    Jazakallah khair al-Katsir
    nirwan.

  6. diko berkata:

    boleh tau referensinya kang..?? jzklh

    ———————
    Kopral Cepot : Referensinya diantaranya Majalah Tempo Edisi 18 Agustus 1989

    1. diko berkata:

      wuallacchh muantep tenan. hatur thankyuuu kang..: )

  7. arif berkata:

    tujuh kata yang menggema….hilang dalam peradaban sejarah, tetapi akan muncul kembali dengan peradaban sejarah yang baru……hatur nuhun pa kopral 😉

  8. Muthofar Hadi berkata:

    kita satu Negara, namun berbeda dalam memahami sejarah. Sejarah yang baik perlu kita kenang, dan belajar darinya. namun sejarah yang buruk perlu kita ambil pelajarannya, dan berusaha agar keburukan itu tidak terulang lagi. Saya menyesalkan keputusan dihilangkannya 7 kata di dalam Piagam Jakarta hingga menjadi PANCASILA. Selamat berjuang, saya juga sedang berjuang, kita sama-sama menunggu.

  9. Ashidiq Nugraha berkata:

    Assalamualaikum…..?
    Maaf,, kalo boleh tau Siapa ya yang menghapusnya…? kok berani sekali, Dalam Islam, Siapa Saja yang mengnggap Huku Allah Itu Tidak baik, Maka orang tersebut Bisa saya katakan kafir.

  10. ingin tahu yang menghapusnya khan yang jelas yaa bukan :abri-tni-militer-pagar negara dll sebutan karenanya sang jabang bayi belum nongol alias belum ada yang namanya abri-tni dst dstnya (kala itu)

  11. sukirno berkata:

    sekalipun 7 kata telah dilenyapkan dengan dalih persatuan bangsa, kemudian tinggal “ketuhanan yang maha esa” tapi yg inipun diselewengkan sejauh-jauhnya. coba telaah dengan mendalam agama mana selain islam yg berketuhanan yang maha esa. tidak ada bukan? semua agama selain islam mempersekutukan Tuhan dengan tuhan yg lain. jadi yg mengamalkan sila pertama pancasila itu agama mana? jawabnya hanya islam. sedangkan yg lain penentang pancasila tapi berteriak paling pancasilais.

Tinggalkan Komentar