Gincu dan Garam : Sebuah Artikulasi Politik Islam Yang Kian Memudar

‘Imaduddin Abdurrahim (alm), pada tahun 1962 bersama enam rekan aktifis Islam, ia menyatakan kekecewaannya kepada Bung Hatta.  “Kami, para pemuda Islam, sangat kecewa kepada Bapak, karena kami menganggap Bapak tidak bertanggung jawab kepada bangsa ini …. Bapak meninggalkan kursi kewakilpresidenan. Padahal, Bapak tahu kalau Sukarno tidak pernah mendengarkan perkataan orang lain kecuali kalau Hatta yang bicara. Sekarang, setelah Bapak meninggalkan dia, dia jadi merajalela. Buku Bapak mengenai Ilmu Klasik itu saja dilarang.”

“Saya bangga pada kalian, karena walaupun kalian insinyur, kalian tetap memperhatikan politik …. Untuk menjadi pemimpin politik, orang tidak perlu pintar-pintar seperti kalian. Orang yang pandai omong berapi-api tetapi bohong bisa menjadi pemimpin politik …. Yang penting adalah bagaimana mendidik kader yang betul-betul bertanggung jawab, pintar, ikhlas, bertakwa dan sebagainya.”

Husein Umar kemudian bertanya, “Bapak berbicara mengenai takwa dan kejujuran, bahkan mengenai Pancasila, tetapi tidak pernah bicara tentang Islam. Apakah sebabnya?”

Jawab Bung Hatta, “Perbedaan saya dengan Natsir  ibarat segelas air di depan saya ini, yang tampaknya begitu bening dan transparan. Nah, cobalah teteskan setetes gincu  dan kocok. Warnanya jelas berubah namun rasanya tidak berubah. Tetapi, coba masukkan setengah sendok garam dan kemudian kocok. Warnanya tidak akan berubah namun rasanya berubah. Natsir menganggap Islam seperti gincu, sementara saya menganggap Islam seperti garam. Tanamkan Islam di dalam hati pemuda-pemuda dan mereka akan membereskan seluruh negeri ini.”

”Pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa. Janganlah pakai filsafat gincu, tampak tapi tak terasa.” Inilah yang diinginkan Bung Hatta yaitu agar nilai-nilai Islam dapat menggarami kehidupan budaya bangsa, hingga akhlak mulia dan keadilan dapat ditegakkan secara nyata, bukan dalam format retorika politik yang tidak bertanggung jawab.

Meskipun gincu versus garam yang disematkan pada Natsir versus Hatta ini debateble dan patut diuji kesahihannya, tapi apa yang dikatakan Hatta seperti sebuah sinyal kuat bagi sebuah proses artikulasi politik umat islam pada masa orde baru. Hatta sepertinya tidak berbicara gincu dan garam pada masa-nya dimana ideologi menjadi faktor yang mendasari lahirnya partai politik termasuk masyumi dengan Islam-nya,  justru sinyal Hatta ini ditangkap oleh kalangan “neo modernis” dalam menghadapi era Soeharto yang memainkan kartu “the end of Ideology”.

Gebrakan Cak Nur misalnya yang setahun sebelum pemilu 1971 mengumandangkan slogan “Islam yes, Partai Islam no” menjadi katalis politik islam akomodatif dalam menghadapi zaman orde baru yang memberlakukan azas tunggal Pancasila. Cak Nur sering mengutip filsafat garam Bung Hatta. Di awal pemerintahan militer Suharto, diperlukan strategi filsafat garam. Tak tampak, tetapi memengaruhi kelezatan masakan. Umat Islam, ajak Cak Nur, harus meninggalkan filsafat gincu, yang kata Bung Hatta terlihat (“formalisme”) tetapi tidak berpengaruh bahkan palsu dan sementara.

Filsafat garam juga banyak diamini oleh tokoh-tokoh intelektual Islam lainnya, di tahun 2001 saat mencuat kembali keinginan sebagian umat Islam untuk mengusung “Piagam Jakarta” sebagai landasan negara, Tempo mewawancarai sejumlah tokoh Islam, antara lain M Amien Rais. Pada Tempo edisi tersebut Amien Rais mengatakan, “Jika politik bendera atau gincu yang dipegang, akan tampak berkibar-kibar dan menyala-nyala. Tapi hal itu akan menimbulkan reaksi dari kelompok lain. Sebaliknya jika politik garam yang dipegang, itu tak akan menyala atau berkibar-kibar. Cuma rasa gurih dan asinnya langsung dirasakan masyarakat.”

Sejak masa reformasi, posisi ideologi politik sebuah parpol dalam kancah kontestasi tidak memiliki arti apa-apa. Singkatnya, ideologi tersimpan rapi di dalam rak meja, selanjutnya para politisi duduk berhadapan di atas meja menyatukan persepsi yang cukup singkat; Anda dapat apa dan Saya dapat apa.

Terjungkalnya partai-partai Islam dalam kontes pemilu baik di tahun 2004 terlebih di tahun 2009 adalah fakta pragmatisme politik tanah air karena parpol hanya mampu dan semarak dalam menampilkan bendera atawa gincu tanpa tindakan politik nyata. Azas Islam hanya dijadikan pemanis retorika dan hiburan panggung gembira. Sehingga bisa dikatakan tahun 2009 adalah tahun dimana politik gincu berakhir “layu sebelum berkembang“.

Fenomena Metamorfosa PKS pasca munas II yang mengusung jargon “Partai Kita Semua”  meniscayakan akan ketidakpercayaan ideologi Islam menjadi barang yang “laku dijual” untuk pemilu 2014. Inklusifitas yang dibangun PKS saat ini dengan menerima pluralitas bukan dikarenakan rakyat yang beragama Islam di Indonesia sekarang minoritas sehingga butuh “ceruk” pasar baru dengan menerima simpatisan dan kader dari agama selain Islam agar memenangkan pemilu ataupun pilpres 2014 tetapi sekali lagi karena “situasi pasar” yang dilanda krisis identitas. Artinya seandainya mayoritas umat islam punya ketetapan hati dan ideologinya hanya menerima Islam, tentu partai Islam akan mengokohkan dirinya sebagai “penyambung lidah umat” seperti halnya Masyumi tahun 1945 yang hanya satu-satunya wadah perjuangan umat Islam.

Dengan situasi politik tanpa ideologi di kalangan elite, wajar seandainya jika kita bertemu orang-orang awam yang sikap politiknya juga oportunistik dan pragmatis. Kelonggaran afiliasi politik adalah ciri utama sikap politik yang oportunis sekaligus pragmatis. Sikap politik tidak dibentuk oleh kesamaan ideologi atau cara pandang tentang garis besar kebijakan yang harus dilaksanakan, akan tetapi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang barangkali akan sangat cepat usai.

Banyak parpol yang berbasis Islam yang dengan tegas mengkampanyekan partai mereka sebagai partai terbuka, pluralis dan majemuk. PKS misalnya cukup berani melakukan manuver untuk membuktikan kepada public bahwa PKS bukan partai yang berbasis ideologi tertentu. Bagi PKS, bukan lagi saatnya menyebut partai tertentu sebagai partai Islam, Nasionalis dll. Namun yang terpenting adalah kinerja dari parpol itu. Sekilas gagasan dan pilihan ini cukup substansial untuk menutupi kelemahan politik gincu yang lebih mengedepankan symbol seperti yang disebut di atas. Namun strategi politik garam yang demikian itu tetap saja bagian dari de-ideologisasi parpol. Dampaknya de-ideologisasi parpol akan terus memicu inflasi parpol, sebab setiap saat semua orang dapat mendirikan parpol dengan tujuan menjaga dan meraih kepentingan politik sesaat, tanpa terbebani oleh tanggung jawab ideologi politik tertentu. Pada titik inilah, upaya de-ideologisasi parpol perlu ditinjau ulang? ? (sumber)

Entah alpa atau lupa. Hatta, Cak Nur, Amien Rais dan lainnya hanya mengambil satu tinjauan politik garam hanya pada peribahasa “bagai sayur tanpa garam” sehingga dengan filsafat garam seolah masyarakat akan merasakan “gurihnya”. Tapi bagaimana jika  “Membuang garam ke laut” sebuah peribahasa yang artinya melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya. Maka apalah artinya filsafat garam jika hanya “se sendok garam itu berbaur pada air laut syahwat politik” yang akhirnya “Kelihatan garam kelatnya”.

Islam Gincu No!, Islam Garam No! Karena Islam Utuh Menyeluruh … Islam Indallah

16 Komentar

  1. Usup Supriyadi berkata:

    Islam Indallah

  2. Padly berkata:

    Ridha Allah swt merupakan dasar setiap perkara, kalau bukan ridha Allah swt sebagai dasar semua aktivitas, maka secara natural dia tidak akan menghasilan apa-apa kecuali apa yang bertentangan dengan maslahat. Kalau ridha Allah swt sebagai pijakan awal setiap manusia, maka manusia itu akan menjalankan tugasnya dengan baik dan sempurna. (Bangsa ini tdk mencari keridhaan Allah, Tapi hanya mencari pemuasan “syahwat” kepentingan. Dan beginilah hasilnya)

    Oh… Seandainya 80% dari setiap umat Islam bangsa ini melempar sebiji batu, tentulah akan menjadi gunung!

  3. Abdul Aziz berkata:

    Assalamu’alaikum,
    Setuju sekali Kang dengan kalimat penutup itu.
    Pertanyaan Husein Umar juga sangat menarik, karena itu yang sejak lama ingin saya ketahui.
    Sekarang banyak orang bicara Kartini yang “berkaitan” dengan agamanya, tapi saya belum menemukan hal yang sama untuk Hatta.

    Saya bersyukur sekali kalau Akng menyajikannya di sini.
    Terima kasih.

    —————–
    Kopral Cepot : Coba diusahakan … hatur tararengkyu 😉

  4. julianusginting berkata:

    wah…artikel yg menarik kawan…seneng membacanya

  5. sapta berkata:

    setuju.. islam itu menyeluruh.. Islam Indallah.. 😉

  6. JO berkata:

    hehe…menarik, apalah arti sejumput garam bila dilempar ke tengah lautan “syahwat”..kagak berasa bos..benar benar bagus analisanya

  7. Ruang Hati Blog berkata:

    analisanya sangat mendalam nih tajam serta luas, trims pencerahannya Kopral, semoga hepi selalu di akhir pekan

  8. sikapsamin berkata:

    pertanyaannya adalah :

    ‘POLITIK’ masuk kategori yang mana, Garam, Gincu atau Syahwat?

    ————-
    Kopral Cepot : Pertamax hatur tararengkyu atas kedatangan kembali “sikapsamin” 😉

  9. nbasis berkata:

    dlm perspektif anti gincu ini mungkin ijtihad PKS. who knows.

  10. Amarkhoir berkata:

    Setuju pisan, isLam yg harus kaffah [totalitas]. . . Jgn mmilih”, jika isLam Lg mnguntungkan diri baru mngkuti d isLam,

  11. majorprad berkata:

    hanya mengcopy dari posting Kopral Cepot,

    Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di Indonesia tidak memiliki ideologi. Kalaupun ada, yang disebut ideologi itu tak lebih hanya aksesori, tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan dalam perjuangan politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi itu hanya simbolis.

    Dengan situasi politik tanpa ideologi di kalangan elite, wajar seandainya jika kita bertemu orang-orang awam yang sikap politiknya juga oportunistik dan pragmatis

    Memangnya apa sih ideologi itu? Lagi-lagi dari postingan Kopral Cepot,

    Ideologi itu adalah Sebuah orientasi yang menjadi karakteristik dari pemikiran sebuah kelompok atau negara.

    Selengkapnya silakan dibaca saja. sambil buka-buka arsip serbasejarah hehe…
    Jadi gincu, garam, topeng, atau apapun itu akan terlihat jelas apakah murni atau oplosan.

    Partai politik apapun bentuknya itu oplosan… targetnya menang, uang banyak, posisi oke, bisa utak-atik deh… hehe… namanya juga demokrasi…sebuah ide oplosan. 😀

  12. Love4Live berkata:

    sangat mencerahkan… 😉

  13. dian berkata:

    Terima kasih artikelnya yang menarik dan berbobot.
    Semakin cinta dengan bung Hatta

  14. endang seminar berkata:

    islam secara kaffah lah….

  15. oe,ong berkata:

    oke bosss setuju pisan…. eui……………………
    islam tetep rohmatan lil alamin…
    bos klo bicara parpol ayas agak awam
    cuma ayas perhatiin & ikutin ketika paripurna kenaikan BBm yg ampe pkl 1 dini hari
    tuh kliatan kedoknya para wakil rakyat yg ngaku-ngaku bealin rakyat ampe minta maaf segala klo tdk bisa membawa suara rakyat pada hasil sidang yg berahir dengan voting.
    klo ihlas bawa suara rakyat ya gkusah sambil promosi kampanye partainya la…
    hampir semua partai berlomba lomba mencari simpati rakyat…
    ahhhh GOMBAL…
    ya.. mungkin walaupun hanya oknum…
    tapi kok banyak ya……………..

  16. isonetea berkata:

    jadi ingat tulisannya Pak Syafii Maarif

    Selasa, 19 Juli 2011 pukul 10:42:00
    Oleh Ahmad Syafi’i Maarif

    Mungkin sebagian pembaca sudah paham bahwa saya adalah penganut “filosofi garamnya Bung Hatta” sebagai lawan “filosofi gincu” ketika berbicara tentang Islam dan kekuasaan. Perhatikanlah, perilaku garam yang luluh dalam makanan, terasa tetapi tak tampak. Berbeda dengan gincu di bibir perempuan, sangat kentara tetapi tak terasa. Dengan filosofi inilah saya akan mengurai kemenangan Partai AKP ( Adelat ve Kalkinma Partisi/ Partai Keadilan dan Pembangunan) pimpinan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan (57) untuk ketiga ketiga kalinya dalam pemilu di Turki pada 12 Juni 2011. Dari 550 kursi yang tersedia di parlemen, AKP telah merebut sejumlah 325 (sekitar 49,9 persen). Jumlah kursi ini memang turun dibandingkan dengan perolehan pada pemilu 2002 dan 2007 (sebesar 363 dan 341). Erdogan tentunya telah melakukan introspeksi mendalam tentang tren penurunan jumlah kursi ini, sekalipun masih meraup kemenangan besar.

    AKP adalah kelanjutan dari Refah Partisi (Partai Kemakmuran) pimpinan mentor Erdogan Dr Mecmettin Erbakan yang kemudian diterpedo pihak militer, pewaris Kemal Ataturk, pembangun sekularisme yang gagal di Turki. Erbakan hanya setahun menjabat perdana menteri (1996-1997) untuk kemudian diturunkan oleh pihak milter karena orientasi keislamanan nya dipandang berbahaya bagi kelangsungan sekularisme di Turki. Pihak militer yang bersikap kaku ini tidak mau menyadari dan tetap menutup mata bahwa sekularisme yang dibanggakan selama 79 tahun itu tidak menjadikan Turki menjadi negara makmur dan berwibawa.

    Upaya sistematis untuk memisahkan publik dari nilai-nilai keislaman di Turki dengan penduduk sekitar 78 juta itu telah berakhir dengan sia-sia, berkat munculnya tokoh semisal Erbakan yang kemudian diteruskan oleh Erdogan dengan kapasitas kepemimpinan yang dahsyat tanpa mengusung slogan syariah. Tampaknya, Erdogan juga penganut filosofi garam kare na tidak mudah baginya menggusur sekularisme yang tercantum dalam konstitusi Turki.

    Dalam ungkapan almarhum Mohammad Natsir, Erdogan harus pandai berpirau bersama ombak yang mengitari batu agar terhindar dari benturan kepala dengan karang sekularisme yang konstitusional itu. Sungguh, strategi Erdogan ini patut benar dicermati oleh partai-partai Islam di negeri ini yang sampai hari ini telah gagal melahirkan Erdogan-Erdogan made in Indonesia.

    Dalam sebuah kolom pada mingguan Ibu Kota Agustus 2007, saya menulis tentang Erdogan dalam menyambut kemenang an AKP dalam pemilu, “Di tangan Erdogan, Islam menawarkan solusi, bukan slogan formalisme seperti yang diusung oleh berbagai kelompok yang buta realitas. Selamat Erdogan, tidak mudah bagi Anda menghapus citra Islam yang dituduh orang sebagai agama antidemokrasi. You are on the right track, for sure.” AKP memenangkan pemilu melalui sistem dan mekanisme demokrasi, sebuah sistem yang masih saja dipersoalkan oleh sementara umat Islam yang berfikir ahistoris.

    Bagi kaum sekuler, kemenangan besar lewat pemilu ini tentu sangat menyulitkan posisi mereka sebab jika ditumbangkan lagi akan berhadapan dengan separo rakyat Turki yang memilih AKP. Bukankah ini sebuah risiko yang tidak kepalang tanggung? Apalah artinya tentara tanpa dukungan rakyat, bukan?

    Karena keberhasilan Erdogan membangun Turki, politik dan ekonomi, dunia pada akhirnya harus memberikan penghargaan kepada tokoh ini. Pertumbuhan ekonomi Turki pada 2010 berada pada angka 8,9 persen, hampir mengejar Cina. Popularitasnya kini telah menyamai Kemal Ataturk ketika berhasil mempertahankan kemerdekaan Turki yang terus saja dirongrong oleh imperialisme Eropa sejak abad ke-19, sekalipun Imperium Turki Usmani yang sudah tua renta dan nyinyir itu harus ditumbangkannya. Di atas puing imperium yang berusia selama tujuh abad inilah Ataturk membangun pilar sekularisme yang kemudian ternyata tidak bermanfaat bagi Turki.

    Sekalipun semula dicurigai Barat, Erdogan tetap saja melaju meniti karier politiknya yang spektakuler. Sampai detik ini, tidak kurang dari 19 Doktor Kehormatan telah diterimanya dari berbagai negara dan 31 Award (penghargaan) lain sebagai bukti atas keberhasilannya membangun Turki, sesuatu yang gagal diperbuat oleh tokoh-tokoh sekuler yang terbaratkan sekian lama.

    Erdogan memang belum berhasil sepenuhnya meratakan keadilan untuk seluruh rakyatnya. Tetapi, kemenangan yang diraih AKP adalah simbol pengakuan bahwa di bawah Erdogan negara Turki sekarang telah berubah secara fundamental ke arah kemajuan yang tak pernah terbayang kan sebelumnya. Membangun dengan slogan syariah, tetapi membuahkan malapetaka, bukanlah cara Turki berurusan dengan dunia modern yang sedang mencari keseimbangan baru.

    Judulnya Membangun tanpa Slogan Syariah

Tinggalkan Komentar