Max Havelaar dan Warisan Budaya Korupsi Para Penguasa

DI tengah laut, ketika cuaca baik, seekor anjing kecil melompat dari gendongan seorang nyonya muda yang tengah berlayar. Si nyonyapun menjerit. Awak kapal pun ribut. Tak begitu dengan lelaki berperawakan sedang, yang tampak cukup kukuh tubuhnya, dan berkumis. Ia, suami nyonya itu, tanpa ba atau bu, langsung terjun menolong si anjing. Itulah sepenggal adegan dalam film Max Havelaar, produksi bersama Indonesia-Belanda.

Sebuah film yang diangkat dari novel berjudul Max Havelaar juga, sebuah karya sastra sepanjang zaman, kata iklan film itu. Max Havelaar memang novel yang dibaca. Terbit pada 1860, dalam waktu singkat telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Buku ini konon selalu dikantungi oleh Belanda muda yang datang ke Indonesia di zaman kolonial. Tapi di Indonesia baru lebih dari seratus tahun kemudian, persisnya 1972, muncul terjemahannya oleh kritikus sastra kita, H.B. Jassin.

Tak mengherankan, nama Max Havelaar yang kemudian dianggap identik dengan Multatuli atau Douwes Dekker — adalah nama yang punya makna. Di hati sejumlah orang terpelajar Indonesia, terutama angkatan awal abad ke-20, dialah teladan: seorang pejuang pembela yang tertindas. Menurut H. B. Jassin, buku ini dijadikan salah satu sumber ilham oleh para perintis kemerdekaan Indonesia, antara lain Soekarno, Moh. Yamin, dan Husni Thamrin. Memang, dalam buku bacaan sekolah menengah di zaman Belanda, pidato Havelaar di Lebak dicantumkan. Sebuah pidato yang menjanjikan pembelaan terhadap si tertindas, “Sekali lagi saya minta Tuan-Tuan menganggap saya sebagai sahabat, yang akan membantu Tuan-Tuan di mana dapat, terutama di mana ketidakadilan harus diberantas.”(1)

Multatuli (MULTATULI – dari bahasa Latin yang berarti : Aku Yang Menderita) lahir di Amsterdam tahun 1820, wafat di Nieder-Ingelheim, Jerman, tahun 1887. Sejak umur 18 tahun dia menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Perlakuan yang tak berperikemanusiaan terhadap penduduk negeri jajahan menimbulkan kegusaran dalam dirinya. Ia mengambil sikap yang membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati pribumi yang dilindungi oleh residen Belanda… Setelah dengan berani membela kaum yang tertindas di distriknya dengan melancarkan perjuangan melawan ketidak-adilan selama 20 tahun yang tak berhasil, dia meninggalkan Indonesia… Pada awal tahun 1858 dia tiba di ibukota Belgia, Brussel. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama ” In de kleine prins “, Rue de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itulah lahir kreasinya yang kemudian menjadi termasyhur, berjudul Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappi atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda

Dalam novel yang lebih merupakan otobiografi ini, dengan keras Multatuli mengecam pemerintah Belanda yang membiarkan berlakunya tindakan yang sewenang-wenang, dimana dia sendiri selaku saksi-mata. Di tempat penginapan itu Multatuli menderita kedinginan ; seringkali, untuk menggarap novelnya dia turun ke ruang tamu yang juga merupakan kabaret itu. Seperti halnya di tempat-tempat lain kemudian, semasa di Brussel pun dia sering berhutang-pinjam. Walaupun demikian, dalam kemelaratan dia mampu melahirkan karya besanya seperti “Max Havelaar ” itu, selain “Minnebrieven” (Surat-surat cinta), “Dialog-dialog Jepang”, “Ide-Ide”, dalam 7 jilid (1862-1877) dan sebagainya.(2)

Yang menarik dan kemudian menjadi semacam cerita rakyat di Jawa adalah satu bab dari novel ini. Yakni kisah tentang Saijah dan Adinda. Mereka anak petani, yang harus menderita karena kerbaunya dirampas Demang Wirakusuma. Padahal, kerbau itulah yang telah menyelamatkan Saijah dari terkaman harimau. Tak tahan hidup di Lebak, apalagi setelah Adinda tak diketahui rimbanya, Saijah lari ke Lampung, bergabung dengan rakyat Lampung yang melawan penjajah, dan akhirnya mati di ujung bayonet.

Saijah dan Adinda

Aku tak tahu di mana aku akan mati
Aku melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang
Ke sana dengan ayahku, untuk membuat garam ;

Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku dilempar ke air dalam,
Ikan hiu berebutan datang ;
Berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya : “siapa antara kita
akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air ?”-
Aku tak akan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku akan mati
Kulihat terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena
ia mata gelap ;

Bila ku mati dalam rumah sedang terbakar, kepingan-kepingan
kayu berpijar jatuh menimpa mayatku ;
Dan di luar rumah orang-orang berteriak melemparkan air pemadam api ; –
Aku takkan mendengarnya.

Aku tak tahu dimana aku kan mati
Kulihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, waktu memetik
kelapa untuk ibunya ;
Bila aku jatuh dari pohon kelapa, mayatku terkapar di kakinya,
di dalam semak, seperti Si Unah ;

Maka ibuku tidak kan menangis, sebab ia sudah tiada. Tapi
orang lain akan berseru : “Lihat Saijah di sana !”
Aku takkan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku kan mati
Kulihat mayat Pak Lisu, yang mati karena tuanya, sebab rambutnya
sudah putih ;

Bila aku mati karena tua, berambut putih, perempuan meratap
sekeliling mayatku ;
Dan mereka akan menangis keras-keras, seperti perempuan-perempuan menangisi mayat pak lisu ; dan juga cucu-cucunya akan menangis, keras sekali ; –
Aku takkan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Banyak orang mati kulihat di badur. Mereka dikafani, dan ditanam di dalam tanah ;
Bila aku mati di badur, dan aku ditanam di luar desa, arah ke timur di kaki bukit dengan rumputnya yang tinggi ;

Maka adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan mengingsut mendesir rumput, …….

Aku akan mendengarnya..

(Max Havelaar, Multatuli)

Sikap dan tindakan serta kreativitasnya yang kongkrit cukup membuktikan bahwa Multatuli adalah seorang pengarang sekaligus humanis yang besar. Selaku manusia, sebagaimana semua manusia, barang tentu dia mempunyai kelemahan-kelemahan. Sementara orang menuding kelemahannya terutama dalam hal keuangan dan wanita. Namun orang yang berpikiran waras dan tak munafik tentulah pandai membedakan segala sesuatunya dan menempatkannya pada tempatnya yang layak.

Pada 2008, kita baru memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dengan acara gegap gempita di Istora Bung Karno. Pada 2009 ini kita sebenarnya perlu merayakan 150 tahun ditulisnya novel Max Havelaar oleh Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker) di sebuah kota kecil di Belgia pada 1859. Novel itu membunuh kolonialisme, kata Pramoedya Ananta Toer. Namun, rezim keadilan pascakolonial ternyata masih mengidap ”rumpang keadilan” dari pendahulunya 150 tahun lalu.

Saijah dan Adinda adalah penduduk Kabupaten Lebak, Banten. Prita Mulyasari juga penduduk Provinsi Banten. Keduanya sama-sama mengalami ”rumpang” antara rasa keadilan masyarakat dan rezim keadilan ”resmi”. Maka, tidak berlebihan bila kita katakan, orang-orang semacam Prita dan Minah ialah Saijah dan Adinda pascakolonial.

Cerita Warisan Budaya Korupsi

Kata “korupsi” memang tidak satu kali pun digunakan dalam novel Max Havelaar of de Koffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda karangan Multatuli, alias Eduard Douwes Dekker yang telah ditulis hampir satu setengah abad yang lalu. Tapi buku itu adalah kisah tentang penguasa yang korup, baik yang kulit putih maupun yang kulit coklat.

Melalui karya Willem Frederik Harmans, penulis buku Multatuli yang Penuh Teka Teki (judul asli De raadselachtige Multatuli) dengan peterjemah edisi Indonesia HB Yassin, yang juga menerjemahkan Max Havelaar ke dalam bahasa Indonesia, kita mendapat penjelasan tentang latar belakang peristiwa yang menjadi pangkal tolak mahakarya ini. Dari bahan dokumentasi, diketahui apa latar di balik pertentangan antara asisten residen Douwes Dekker dengan pihak atasannya, residen Brest van Kempen dan gubernur jendral Daymaer van Twist.

Max Havelaar yang telah menjadi bagian dari khazanah sastra dunia itu, pada dasarnya berinti kepada gugatan Douwes Dekker terhadap Bupati Lebak Karta Nata Negara yang dituduhnya memeras dan menindas rakyat. Pertentangan yang kemudian mengakibatkan Douwes Dekker berhenti menjadi asisten residen. Di dalam Max Havelaar peristiwa itu digambarkan walaupun agak berat sebelah dan dilihat dari sudut subjektif pengarangnya, sehingga menimbulkan kesan karya ini semacam tulisan pembelaan diri.

Yang jelas telah terjadi bentrokan dan salah tafsir atas nilai nilai kebudayaan yang berlainan. Multatuli atau Douwes Dekker dengan gagasan-gagasan abad 19-nya yang menjunjung tanggung jawab dan kebebasan manusia di Eropa, berhadapan dengan tanggapan hak dan adat feodal masyarakat pribumi yang sudah terhitung berabad lamanya mengakar di daerah Lebak.

Paralel dengan Indonesia

Sekarang Multatuli dengan Max Havelaar-nya berhasil membukakan mata kaum politisi di Negeri Belanda saat itu tentang kebobrokan yang terjadi di daerah jajahannya, Akibatnya, sejak terbitnya Max Havelaar pada tahun 1860 pemerintah Belanda memulai usaha-usaha mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia, walaupun pada masa itu masih terjadi ekspedisi militer menaklukkan Aceh, Bali, dan Lombok.

Sesungguhnya novel politik Max Havelaar telah mengujungtombaki pemberantasan korupsi di Hindia Belanda pada masa itu atau sekitar satu setengah abad sebelum Indonesia menjadi negara dan bangsa yang merdeka.

Buku ini pula yang kemudian menyulut perubahan politik penjajahan Belanda, antara lain melalui politik balas budi (ethische politiek) di Hindia Timur, yang ujung-ujungnya kemudian mewujud kepada lebih diperhatikannya hal ihwal yang bertalian dengan pendidikan dan kesehatan untuk para pribumi Nusantara.

Politik etis ini kemudian berbuah bumerang bagi sang penjajah, karena daripadanya tersulut kesadaran bumi putra untuk bergerak menentukan nasib diri sendiri yang lebih satu abad kemudian berhasil memproklamasikan diri sebagai bangsa Indonesia.

Perihal tersebut di atas kita angkat di sini, bukan semata hari ini adalah hari lahir Eduard Douwes Dekker, tetapi kita sungguh tertusuk oleh ironi sejarah : Kenapa, jika Indonesia yang kini telah menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan bahkan telah mewujud selama lebih dari 60 tahun, yang antara lain berkat buku Max Havelaar berthesis dan thema pokok emoh korupsi, justru sekarang korupsi makin ber”serimaharajalela” di Indonesia?

Tidakkah kita menyadari bahwa justru di alam kemerdekaan dengan sistem pemerintahan demokrasi kita selayaknya juga emoh korupsi, seperti yang diprotes oleh Multatuli melalui buku Max Havelaar, yang termasuk ditujukan kepada Raja Belanda, Willem III

Kenapa sistem pemerintahan demokratis kita justru seakan-akan menyuburkan sekaligus memuja korupsi bahkan sebagai “gaya hidup” (way of life) yang notabene sebagian besar justru dilakukan oleh mereka-mereka yang merasa diri berkuasa serta “memiliki lisensi untuk berbuat korupsi?” Kita melihat adanya paralelisme antara yang terjadi di Indonesia sekarang dengan di jaman Hindia Belanda pada jaman Multatuli.

“Lebih Penjajah” daripada Belanda

Perbedaannya adalah, Multatuli (melalui karyanya Max Havelaar) dapat mengadukan kekejaman yang dilakukan terhadap jutaan penduduk Hindia Belanda pada pertengahan abad 19 kepada Raja Willem III yang wilayah kekuasaannya meliputi Hindia Timur. Di Indonesia sekarang, walaupun kita memiliki seperangkat lembaga demokrasi dan pengawasan yang lengkap, dalam melaksanakan niat memberantas korupsi tetap saja kita menghadapi tembok tebal. Karena yang sedang terjadi di Indonesia, korupsi dilakukan di semua lini penyelenggaraan negara.

Yang lebih ganjil lagi, jika di jaman satu setengah abad lalu karena adanya tabrakan antara nilai-nilai budaya Eropa dengan nilai-nilai lokal adat dan kebudayaan kita, di awal abad ke-21 sekarang di Indonesia justru tidak terjadi “tabrakan antarnilai”. Kenapa?

Karena nilai-nilai lokal dan tradisional telah tergerus oleh nilai-nilai abad ke-21 yang makin menjadi hedonistis, materialistis, dan makin menjauh dari nilai-nilai luhur seperti dirangkum dalam mukadimah UUD 1945 yang mendahulukan ketakwaan kita kepada Tuhan yang Maha Esa serta perike-manusiaan yang adil dan beradab.

Mungkin semuanya akhirnya terpulang kepada diri kita baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Rela dan sudikah kita menjadi lebih “penjajah” ketimbang Belanda yang dengan ethische politiek-nya masih bersedia memberikan pendidikan dan kesejahteraan kepada bangsa yang dijajahnya Atau sebaliknya kita justru lebih suka membiarkan kehidupan bangsa sendiri makin terkatung-katung dalam memecahkan masalah antara “mencukupi pangan dengan produksi sendiri atau mengimpor beras?” Sambil membiarkan nyaris tiadanya kesejahteraan karena masih semrawut dan tidak tertibnya roda pemerintahan yang sedianya berjalan sesuai dengan kesepakatan di dalam UUD 1945 termasuk Panca Silanya?(3)

Jika kita tidak mampu atau lebih suka menutup mata dan tidak menjawab pertanyaan ini dengan arif dan hati-hati, maka kita bukan lagi individu maupun bangsa yang beradab serta merdeka yang berani mensejahterakan diri, melainkan masih lebih primitif ketimbang nenek moyang kita yang satu setengah abad lalu pun sudah dibela oleh Eduard Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya. Untuk apa menghapuskan kolonialisme, bila feodalisme tetap juga memeras rakyat? Multatuli, yang meninggal pada 19 Februari 1887, telah menyerukan suara mereka yang digilas oleh kekuasaan, atas nama apa pun.

SELAMAT HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA

bersatu dalam gerakan anti korupsi
siapa yang ngaku bangsa indonesia
mestinya tau penyebab kemiskinan
akibat tikus rakus rakyat pun binasa

43 Komentar

  1. Lakukan PEGEL KORUPTOR sebagai realisasi langkah konkret yang artinya adalah PEnembakan GELap terhadap para koruptor terutama yang kelas kakap .
    Yang teknis maupun methodenya tergantung dari diri pribadi ( Individu ) kita masing2. seruan !! LAKUKAN PEGEL KORUPTOR . sekali lagi – seruan !! LAKUKANLAH PEGEL KORUPTOR. (ra Wa Liang Mieng).

  2. dewi berkata:

    Apa betul perilaku korup merupakan watak bangsa Indonesia? kalu mau jujur rasa2nya iya, coba saja kita tanya pada diri kita sendiri. Ketika kita ditraktir teman dg yg berprofesi sbg PNS apakah terbersit dalam pikiran kita asal usul uang atau fasilitas yg disediakan oleh teman tsb utk menjamu kita? Rasa2nya tidak, bahkan dlm setiap acara reuni kita pasti akan meminta dana atau fasilitas kpd teman2 kita yg pejabat agar reuni berjalan sukses. Atau jika sanak keluarga kita kebetulan ada yg pejabat kita juga pasti tidak akan peduli akan asal usul harta kekayaan yg dimiliki oleh kerabat kita tsb, bahkan kemungkinan besar kita ikut menikmati harta kekayaan tsb. Selama tolok ukur kesuksesan seseorg diukur dg materi yg dimiliki org tsb maka slama itu juga perilaku korup akan menjadi way of life bangsa kita.

Tinggalkan Komentar