Jong Islamieten Bond : Meng-Islam-kan Kaum Terpelajar

Sejarah adalah cerita kaum muda ~

Jong Islamieten BondKita mengenal tokoh-tokoh pejuang Islam di Indonesia seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, S.M. Kartosoewirjo. Mereka lahir dari dua organisasi Islam kalangan muda waktu itu yang berperan membina sikap dan keyakinan mereka sebagai muslim pejuang yang dididik di Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studentent Islam Studie Club (SIS), perkumpulan mahasiswa untuk studi Islam.

Jong Islamieten Bond adalah perkumpulan pemuda Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1925 oleh pemuda pelajar ketika itu. Tujuan pertama pembentukannya adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi para pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para pemuda terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan sebelumnya masih menjadi anggota perkumpulan daerah, seperti Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatra (9 Desember 1917), dan lain-lain. Sedangkan SIS didirikan pada tahun 1930-an.

H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem,  S.M. Kartosoewirjo dan Kasman Singodimedjo adalah tokoh-tokoh di JIB, sementara Jusuf Wibisono dan Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh-tokoh di SIS. Sekalipun Jusuf Wibisono pernah di JIB dan Kasman pernah di SIS. Kedua organisasi ini dapat menghambat gagasan sekularisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Snouck Hugronje karena mereka mempelajari Islam secara kritis sehingga basis keislaman mereka di JIB disamping sebagai pejuang kemerdekaan dapat terbangun dengan baik. Di JIB H. Agus Salim adalah merupakan tokoh pembangun karakter sehingga selain Mohammad Natsir, Mr. Mohammad Roem adalah anak kesayangan H. Agus Salim.

JIB bukanlah organisasi politik. Hal ini terlihat dari pidato Samsurijal, yang terpilih sebagai ketua umum, pada Konggres JIB I pada tahun 1925 di Yogyakarta yang mengatakan, “Pada kursus-kursus, ceramah-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik“. Susunan Pengurus Pusat JIB pertama adalah: Raden Samsurijal (ketua); Wibowo Purbohadidjojo (wakil ketua); Syahbuddin Latif (sekretaris I); Hoesin (sekretaris II), Soetijono (bendahara I); dan So’eb (bendahara II). Komisaris-komisaris adalah Moegni, Thoib, Soewardi, Syamsuddin, Soetan Palindih, Kasman Singodimedjo, Mohammad Koesban, Soegeng, dan Haji Hasim. Pengurus Pusat tersebut mula-mula baru memiliki empat cabang: Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Kedudukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tersebut berada di Jakarta.

Dalam catatan sejarah, keluarnya Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java (Perkumpulan Pemuda Jawa) dan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/ Perhimpunan Pemuda Islam) adalah karena organisasi Jong Java menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.

Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942″ menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)

Selain Syamsuridjal, permintaan agar Islam diajarkan dalam pengajaran di Jong Java juga disuarakan Kasman Singodimedjo. Kasman bahkan mengusulkan agar Jong Java menggunakan asas Islam dalam pergerakan dan menjadi pionir bagi organisasi-organisasi pemuda lain, seperti Jong Sumatrenan, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Kasman beralasan, Islam adalah agama mayoritas di Nusantara, dan mampu menyelesaikan segala sengketa dalam organisasi-organisasi yang saat itu banyak terpecah belah. Karena tak disetujui, maka pada 1 Januari 1925, para pemuda Islam mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/Perkumpulan Pemuda Islam) di Jakarta. Dengan menggunakan kata “Islam”, JIB jelas ingin menghapus sekat-sekat kedaerahan dan kesukuan, dan mengikat dalam tali Islam.

Dalam statuten JIB dijelaskan tentang asas dan tujuan perkumpulan ini:

Pertama, mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan agama.

Dalam kongres pertama JIB, Syamsuridjal dengan tegas menyatakan : “Allah SWT mewajibkan kami tidak hanya berjuang untuk bangsa dan negara kita, tetapi juga untuk umat Islam di seluruh dunia. Hanya, hendaknya di samping aliran-aliran Islam, kita selalu memberi tempat kepada aliran-aliran nasionalistis. Selain kewajiban yang utama ini, kami wajib berjuang untuk umat Islam seluruhnya, sebab kami orang Islam adalah hamba Allah SWT. dan kami hanya mengabdi kepada-Nya, Yang Maha-kuasa, Maha-arief, Maha-tahu, Raja alam semesta. Inilah prisip yang menjiwai JIB”.

Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan terhadap Islam, para pemuda Islam yang tergabung dalam JIB kemudian mendirikan Majalah Het Licht yang berarti Cahaya (An-Nur). Majalah ini dengan tegas memposisikan dirinya sebagai media yang berusaha menangkal upaya dari kelompok di luar Islam yang ingin memadamkan Cahaya Allah, sebagaimana yang pernah mereka rasakan saat masih berada di Jong Java. Motto Majalah Het Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini dengan tegas merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.

JIB juga membentuk Organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderij, disingkat Natipij), organisasi pandu pertama yang memakai nama Indonesia, suatu istilah yang belum lazim dipakai ketika itu. Di setiap cabang, JIB mengadakan kursus-kursus agama Islam. Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) sejenis SD untuk anak Bumiputra golongan atas di Tegal dan pada bulan November 1931 dibangun lagi HIS di Tanah Tinggi Batavia.

Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan. Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia. Alasan penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi, Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.

Jong Islamieten Bond dalam kongresnya yang ketiga, Jogjakarta 23-27 Desember 1927, membicarakan masalah Islam dan kebangsaan juga nasionalisme dalam pandangan Islam yaitu mencintai tanah air, bangsa dan agama. Organisasi ini kelak berperan banyak dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II bersama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Indonesia, dan beberapa organisasi pemuda lainnya.

Pada tahun 1922, sebagaimana ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam “Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke Indonesia” disebutkan bahwa di Loge Broderketen, Batavia, juga pernah terjadi aksi pelecehan terhadap Islam oleh salah seorang aktivis Freemason yang memberikan pidato pada saat itu dengan mengatakan, “Islam menurut mereka itu merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen. Indonesia mempunyai kultur sendiri, dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana mereka mempunyai Borobudur dan Mendut?

Para aktivis nasionalis sekular, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh agama, cukup dengan nalar dan moral manusia.

Paham kebangsaan yang diusung oleh kelompok nasionalis sekular pada masa lalu di negeri ini adalah ideologi “keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan kerap dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular, sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan. Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola pemerintahan.

Kiblat kelompok kebangsaan kepada Turki Sekular tercermin jelas dalam pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo yang mengatakan, “Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas, bahwa cita-cita “Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”

Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktivis Islam yang dituduh memiliki agenda mengobarkan Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk dalam PPKI, kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan hancur.

Pernyataan Tjipto Mangoenkoesomo makin memperjelas sikap kalangan pengusung paham kebangsaan atau nasionalis sekular yang berusaha membendung segala upaya dan cita-cita Islam dalam pergerakan nasional dan pemerintahan di negeri ini. Sebelum kemerdekaan, perdebatan soal Islam dan kebangsaan antara kelompok nasionalis sekular yang diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dengan kelompok Islam yang diwakili A. Hassan, M. Natsir, dan H. Agus Salim begitu menguat ke publik. Berbagai polemik tentang dasar negara menjadi perbincangan terbuka di media massa. Kelompok Islam menginginkan negara yang nantinya merdeka, menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Sementara kelompok nasionalis sekular berusaha memisahkan agama dan pemerintahan. “Manakala agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim, dan orang-orang tangan besi,” kata Soekarno mengutip perkataan Mahmud Essad Bey.

Sarekat Islam (SI), sebagai organisasi pergerakan yang mengusung cita-cita Islam, melalui tokohnya HOS Tjokroaminoto memang menyerukan kepada SI untuk melancarkan gerakan tandzim guna mengatur kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut asas-asas Islam. Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.

Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok ”laa diniyah” (netral agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya. Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan, “Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh, Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”

Sementara kelompok kebangsaan, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason, mengampanyekan bahwa nasionalisme yang dibangun di negeri ini harus sesuai dengan doktrin humanisme, di mana manusia berhak menentukan hukum buatan sendiri yang bertujuan untuk mengabdi kepada kemanusiaan, tanpa campur tangan agama manapun. Van Mook, tokoh Freemason di Hindia Belanda ketika itu, dalam sebuah pidato di Loge Mataram, Yogyakarta, tahun 1924, mengatakan, “Freemasonry membimbing nasionalisme menuju cita-cita luhur dari humanitas.”

Paham humanisme yang dibawa oleh elit-elit kolonial, teruatama mereka yang aktif sebagai anggota Theosofi dan Freemason inilah yang kemudian “ditularkan” kepada “anak-anak didik” para priyai dan elit Jawa yang menjadi abdi kompeni. Mereka mengampanyekan soal kesamaan semua agama-agama, tidak percaya dengan hukum Tuhan dan mempercayai kodrat alam, dan tentu saja sebagaimana trend imperialisme negara-negara Eropa ketika itu, adalah mengampanyekan bahaya “Pan-Islamisme”, semangat solidaritas Islam dunia untuk membangun sebuah pemerintahan.

Karena itu, untuk membendung Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika itu banyak tokoh-tokoh Islam yang pulang dari haji dan menimba ilmu di Makkah juga menyuarakan Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial membentuk basis-basis tandingan dengan mendukung berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga merangkul para priyai sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial, memberi keluasan bagi anak-anak keturunan mereka untuk bersekolah di negeri Belanda, dan mendirikan pendidikan-pendidikan netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.

Tak sedikit dari para elit dan priyai Jawa ketika itu, baik yang aktif dalam organisasi kebangsaan ataupun mereka yang menjabat sebagai residen, asisten residen, wedana, dan sebagainya yang masuk dalam organisasi Theosofi dan Freemason. Bahkan, tak sedikit juga dari mereka yang masuk sebagai anggota Rotary Club, sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk oleh Zionisme Internasional. Pelecehan demi pelecehan terhadap Islam dilakukan oleh para pengusung kebangsaan, seperti pernyataan bahwa ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, pergi haji adalah upaya menimbun modal nasional untuk kepentingan asing, Islam adalah agama impor yang berusaha menjajah tanah Jawa, dan sebagainya.

Era kepemimpinan R. Samsurizal (Raden Sam), di JIB dari awal berdiri 1 Januari 1925 sampai tahun 1926, setelah itu berturut-turut yang menjadi Ketua JIB adalah Wiwoho Purbohadijoyo (1926-1929), Kasman Singodimejo (1929-1936), M. Arifaini (1935-1936) dan Sunarya Mangunpuspito (1936-1942). Atas perintah Pemerintah fasis Jepang semua organisasi dibekukan, termasuk JIB. Baru pasca kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 4 Mei 1947, JIB “bangkit kembali” dengan nama Pelajar Islam Indonesia (PII), dideklarasikan di Yogyakarta, dengan deklalatornya Yusdi Ghozali.

Peran organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) sangat besar dalam kebangkitan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, namun deislamisasi sejarah Indonesia menyebabkan nama dan peran organisasi itu lenyap dari ingatan. JIB menjadi katalis penting bagi tranmisi tradisi-tradisi politik “intelektual” Muslim dari generasi pertama ke generasi kedua intelegensia Muslim. Keyakinan JIB bahwa solidaritas Islam dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi problem-problem sosial layak untuk terus diperjuangkan oleh kaum muda intelektual Muslim di zaman sekarang ini.

~ sejarah adalah cerita kaum muda…. maka layaklah bila hari ini saatnya kaum muda untuk membuat cerita..

~ Wahai pemuda… bersatulah semua, seperti dahulu, lihatlah ke muka, keinginan luhur kan terjangkau semua”.

24 Komentar

  1. MSF berkata:

    “Pemuda hari ini Pemimpin masa Depan”
    Pemuda Muslim hari ini harapan agamanya.
    Tawaran tertinggi bagi jiwa-raga dan harta mereka adalah Jannah;
    Maghfirah, rahmat dan Ridha-Nya.

    pertamax

  2. interupsi a’a kopral ” 5 Mei 1947 , JIB bangkit kembali dengan nama PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII), dst.nya …dst.nya …….. “. Kalau di tingkat mahasiswa ada PMII ( Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia ) , kemudian tingkat pelajarnyapun ada PII ( Pelajar Islam Indonesia ) . Apakah PII ini kebangkitanya daripada JIB a’a kopral ? ( yang berafiliasi kepada N.U ) . Mohon ma’af sebelumnya …..Salam !

    1. Kopral Cepot berkata:

      Secara organisasi Pelajar Islam Indonesia yang berdiri 4 Mei 1947 bukan kelanjutan dari JIB, akan tetapi spirit PII memiliki spirit yg sama dng JIB yang dilatar belakangi adanya dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. JIB dan PII sama-sama sebagai organisasi independen yang tidak berafiliasi dengan ormas atau orpol.

      Mula pertama organisai pemuda Islam yang terbentuk adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) 2 Oktober 1945 ketua terpilih adalah Harsono Tjokroaminoto. Selanjutnya Anton Timur Djailani dipercaya memimpin GPII mengantikan Harsono Tjokroaminoto menyepakati GPII bagian pelajar bergabung dengan Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS dan Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta mendirikan Pelajar Islam Indonesia (PII) 4 Mei 1947. (maaf bukan 5 Mei). Setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

      Pasca kemerdekaan banyak bermunculan organisasi pemuda atau pelajar Islam seperti HMI, PMII dan lainnya.. baik yang afiliasi maupun yg independen.

      Salam.. tangkyu 😉

      1. amar berkata:

        hatur tengkyu pa kopral amat berharga penyemangat jiwa sebagaipemuda,

      2. Surya Indrayudi berkata:

        Sebelum PII berdiri, ad HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) tlh berdiri pd tgl 5 Februari 1947 🙂

        1. Ajudan Kopral berkata:

          Mantap Bos surya Indrayudi. Kelihatannya, materi Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia (SPUII) di LK I nya belum tuntas yach.

          1. Salah Satu Tugas yang diamanahkan kepada GPII, sejak berdiri tahun 1945 adalah Mengoptimalkan Seksi Mahasiswa dan Seksi PElajar, menjadi satu Organisasi Sendiri. Amanah ini baru dapat dilaksanakan PAda Tahun 1947, sehingga Pada 5 Februari 1947 Berdiri HMI dan 4 Mei 1947 bangkit lah PII.

          Dapat dilihat bersama, bahwa Para Pendiri / Pengurus GPII, HMI dan PII pada Tahun 1947, terdapat beberapa orang yang sama.

          2. Pada Tahun 1949 di Deklarasikan Perjanjian Seni Sono atau Malioboro Komitmen, yaitu :

          1. Satu Partai Politik Islam, ialah Masyumi
          2. Satu Organisasi Pemuda Massa Islam, ialah GPII
          3. Satu Organisasi Pelajar Islam, ialah PII
          4. Satu Organisasi Mahasiswa Islam, ialah HMI
          5. Satu Pandu Islam, ialah Pandu Islam Indonesia (Hizbul Wathan)
          6. Satu Organisasi Guru Islam, ialah HMI
          7. Satu Sekretairat penghubung, mengkoordinir kerjasama antar organisasi Islam, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, ialahBadan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI)

          3. Dalam Pola Kaderisasi PII, HMI yang diselenggarakan sejak awal Berdiri, Zaman Colombo Plan 1950-an, Zaman Agitasi 1960-an, Zaman Pemikiran Intelektual Islam Cak Nur (HMI) dan Mas Tom (PII) tahun 1970-an (HMI berbasis NDP/NIK, sedangkan PII berbasis 11 Bintang Matahari Plus Rembulan) , sampai dengan Asas Tunggal pada pertengahan 1980-an, sudah dibangun komitmen oleh Para Pimpinan Organisasi Islam, yaitu :
          a. ketika PElajar aktif di PII;
          b. Alumni PII Ketika menjadi Mahasiswa aktif di HMI;

          Dasar pemikiran terhadap Tindak Lanjut Kader ini, adalah :
          1. Inti Pola Kaderisasi PII adalah membangun Mentalitas, dan PEnguatan Afeksi, Kognisi dan Psikomotorik;
          2. Inti Pola Kaderisasi HMI adalah membangun Intelektualitas dan Penguatan Kognisi, Psikomotorik dan Afeksi;

          Hanya disayangkan, sejak tahun 80-an, Pola Pemikiran dan Tindak Lanjut Kader ini, tidak dijalankan secara optimal. Mengapa ?

          Silahkan dicari Jawabannya;

  3. salma berkata:

    izin copas dong 🙂

  4. Assalaamu’alaikum wr.wb, Kang KC…

    Apa khabar ? Didoakan sihat selalu untuk berbagi hikmah bermanfaat.
    Wah… pagi-pagi lagi Kang KC sudah membuat saya tersenyum membaca yang ini:

    “Sejarah adalah cerita kaum muda”

    hehehe.. iya, benar banget apa yang dikatakan itu. Sejarah masa lalu adalah untuk orang-orang muda dan semuanya orang muda. Hanya orang tua yang selalu mengeluh tentang masa tuanya kerana kurang cergas seperti masa muda.

    Kerana itu, jangan bermain-main dengan masa muda yang akan segera meninggalkan kita. Buatkan sejarah hebat dan tinggalkan sesuatu yang bermanfaat untuk diambil iktibar oleh generasi muda akan datang.

    Membaca posting Kang KC, menyemarakan jiwa muda saya di dalam jasad tua ini…hehehe, rasanya masih muda lagi nih… untuk terus berkhidmat kepada Allah swt bagi meninggikan syiar Islam agar umat Islam yang sudah jauh dari manhaj Nabawi agar kembali kepada kehidupan Islam yang benar.

    Salam hangat selalu Kang KC. 😀

  5. Assalaamu’alaikum wr.wb, Kang KC…

    SELAMAT HARI IBU untuk semua anak-anak dan ibu-ibu di Indonesia yang meraikan HARI IBU pada hari ini. Sebagai menghargai ibu yang dicintai, saya menghadiahkan 2 AWARD HARI IBU untuk dijadikan kenangan dari Malaysia.

    Silakan kutip award-award tersebut di sini:

    CT143. 22 DISEMBER 2012: SELAMAT HARI IBU UNTUK SAHABATKU… IBU-IBU DI INDONESIA

    Salam mesra dari Sarikei, Sarawak.

    ———
    Kopral Cepot : Hatur tangkyu bunda …

  6. Wa Liang Mieng berkata:

    yang bisa merubah dunia adalah para pemudanya . adalah masa depan bangsa dan negara juga tergantung dalam genggaman kepalan tangan para pemudanya. masa – masa produktif kehidupan dunia sebagian besar dilewati sebagian besar dalam usia – usia pemudanya. dan seabreg perana pemuda kalau diutarakan dalam kolom ini. kalau ada hari anak , kenapa yaa a’a kopral cepot kok tidak ada hari pemuda ?? (Wa Liang Mieng Rogojampi s/d Situbondo).

    1. MSF berkata:

      Bagaimana kalau kita jadikan 28 Oktober sebagai “Hari Pemuda” ?
      Kang Kopral kumaha setubuh teuk?

      ——–
      Kopral Cepot : Se7 🙂

  7. ANHAR berkata:

    mantap,, salam MCP,,:)

    1. Ajudan Kopral berkata:

      MCP adalah istilah yang dipopulerkan oleh Kanda Omdin awal tahun 2000.
      Kalau untuk kaderisasi sebelumnya, PII pernah menmpopulerkan Catur Bakti dan Tri Komitmen, termasuk Save Our Student (S.O.S)…

  8. Ibnu Sunarka berkata:

    Didalem kita poenja sedjarah, memang kaoem moeda selaloe tampil dimoeka. Kita soeka tjerita en pengalaman dahoeloe diketahoei bersama.

    Pemoeda tiang negara, pemoedi tiang isteri. Pemoeda harapan bangsa, pemoedi jang baik harapan pemoeda…Landjoetken pot…

  9. herman berkata:

    Saya melihat Jong Islamieten Bond ini sebagai usaha awal para pemuda Islam untuk membendung merebaknya sekulerisme dan ajaran2 Theosofi yang mewabah di kalangan intelektual2 muda. Sementara jika PII memiliki spirit yg sama (pada mulanya), yang jadi pertanyaan saya, kemana “mereka” hari ini? Padahal pemuda-pemuda Islam saat ini jadi sasaran empuk untuk berkembangnya virus2 sekulerisme, liberalisme dan pluralisme (pengejawantahan theosofi dengan bahasa ain).. ini saya pikir perlu jadi bahan renungan bersama, sebab generasi muda adalah ujung tombak negeri untuk bangkit..

  10. Ping-balik: Tes | Rumah Hantu
  11. Para pemudah sangat berpengaruh besar buat bangsa 😀

  12. hilmifuadi berkata:

    Hatur Nuhun aa kopral, sudah selayaknya sejarah dipegang kaum muda. Yang ingin saya tanyakan adakah hubungan antara JIB dengan SI?

      1. hilmifuadi berkata:

        Hatur nuhun sebelumnya aa kopral, disertasi yang sangat menarik melengkapi kajian JIB sebagai gerakan keagamaan selain gerakan sosial. Dari disertasi tersebut saya tangkap tidak ada hubungan langsung antara JIB dan SI, tapi menilik dari kedekatan antara H. Agus Salim dan H.O.S Tjokroaminoto dapat disimpulkan minimal kedua organisasi tersebut memiliki kesamaan ideologis.. Yaitu pembaharuan islam modern yang tidak bersifat kedaerahan normatif tetapi seimbang antara teks dan konteks sebagai dasar kemerdekaan bangsa.

        Yang ingin saya tanyakan lagi adalah apakah warisan ideologis ini dilanjutkan oleh organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa Islam saat ini? Ataukah sudah berubah? Dan apabila sudah berubah di bagian mananyakah yang menjadikannya tidak sama? Hatun nuhun..

        1. Kopral Cepot berkata:

          Jujur saja..saya termasuk yang awam dalam memotret perkembangan organisasi pelajar dan mahasiswa Islam kekinian. Sehingga tidak bisa menyimpulkan apakah warisan ideologis dilanjutkan secara organisatoris atau tidak. Ada beberapa persoalan dalam ideologisasi organisasi yang saya lihat di organisasi pelajar atau mahasiswa diantaranya :

          pertama : Pragmatisme adalah buah jaman kiwari yang memberikan jurang antara teks dan konteks. Secara teks mungkin ditemukan idealisme perjuangan akan tetapi dalam realitasnya terbawa arus keadaan

          kedua : Ideologisasi perlu pemahaman yang pas tentang siapa musuh yang dihadapi. Bila dulu para pemuda bisa secara tepat memahami teks dan konteks musuh bersama adalah PENJAJAH sehingga solusi yang bersifat nasionalitas adalah ISLAM, maka hari kiwari kita masih gagal paham dalam mengkristalkan musuh perjuangan.

          ketiga : persoalan mental juang…. konsistensi, spirit juang, pantang menyerah dll menjadi persoalan basic dari pemuda kiwari..ini sebenarnya masih terkait dalam persoalan pragmetisme…

          Mungkin tidak menjawab…but hatur tangkyu dah singgah dan ngobrol disini 😉

  13. salman berkata:

    Artikel nya bagus sekali, menambah pandangan baru tentang pergerakan islam sbelum proklamasi RI 1945

Tinggalkan Komentar