Inlanderpolitiek

M.natsirAdalah Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, yang telah memberikan dasar penentukan sikap Pemerintah Belanda terhadap rakyatnya yang 85% ber-Agama Islam itu. Setelah beberapa lama menyelidiki keadaan di Turki, dan setelah beberapa tahun pula tinggal di Mekah dengan nama ‘Abdul Ghafar, tinggal pula di Indonesia ini bertahun-tahun sebagai Penasihat Pemerintah, dapatlah Prof. Snouck tersebut memberi tuntunan politik menghadapi orang Islam di Indonesia ini atas 3 dasar yang penting, yang tahan uji, yaitu:

(a) terhadap urusan ‘ubudiyah, Pemerintah harus memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya dan yang sejujur-jujurnya.

(b) terhadap kepada urusan muamalah ia harus menghormati; akan adanya instelling-instellin yang sudah ada, sambil memberi kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur ke arah kita (Pemerintah Belanda), malah yang demikian itu harus diajak dan digemarkan;

(c) terhadap kepada urusan yang berhubung dengan politik, harus Pemerintah menolak dan memberantas cita-cita dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan-Islamisme, yang wujudnya hendak membukakan pintu bagi kekuatan-kekuatan asing untuk mempengaruhi perhubungan Pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur”.

Syahdan, terhadap caranya Pemerintah Belanda yang sekarang ini menjalankan “Islam politiek” inilah, Prof. G. H. Bousquet, Guru Besar dalam Ilmu Hukum Islam di Aljazair itu, telah mengemukakan kritik-kritiknya, yang sekarang ramai diperbincangkan dalam kalangan politisi dan orang-orang yang ahli tentang kebijaksanaan permerintahan jajahan (Koloniaal Tiydschrift: Maart dan Mei; P. Y. Gerke; Nederlandsche Koloniale Politiek van de 20 ste eeuw”, A.I.D. dan lain-lain).

Prof. G. H. Bousquet tersebut datang melawat ke Indonesia ini dan tinggal di sini 6 bulan lamanya. Sekembalinya di Aljazair diterbitkannya dua buah buku yang kita sebutkan diatas tadi, yaitu buku: Introduction a l’Etude de l’Islam Indonesien” dan “La Politique Musulmane et Coloniale des Pays Bas”.

Bukan maksud kita disini akan memperbincangkan isi kitab tersebut dengan agak luas, tetapi cukup kita ambil dua-tiga keberatan Guru Besar tersebut yang besar-benar saja:

(1) Terhadap kepada pergerakan yang bersifat keagamaan semata-mata, Pemerintah, — katanya —, bersikap tidak mau tahu dan meremehkan saja. Terhadap aliran yang bersifat sosial dan etis, Pemerintah hanya sekedar menunjukkan sukanya saja, padahal, —katanya —, harus didorong dan digemarkan.

(2) Adapun terhadap “aliran kaum muda” dalam lapangan politik, Prof. Bousquet melukiskan dengan satu perkataan: “ajaib” (incomprehensible). Yakni Prof. Bousquet tidak mengerti kenapakah Pemerintah Belanda terlampau memperlihatkan muka manisnya terhadap kepada aliran ini. Kenapakah Pemerintah Belanda amat membukakan pintu bagi pengaruh-pengaruh yang datang dari negeri “Arab yang modern.” Tidakkah dikuatiri bahaya Pan-Islamisme yang diperingatkan oleh Snouck Hurgronje?

Kenapakah Pemerintah amat menghampiri perkumpulan Islam dan seolah-olah dengan itu merasa akan lebih mudah melawan pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan? “Perbandingkanlah sikap Pemerintah terhadap kepada “Muhammadiyah” dan “Taman Siswa” niscaya akan terlihatlah, — kata Prof. Bousquet —, garisan-garisan besar dari politik Pemerintah Belanda yang “pro-lslam” dan “anti-nasional”!

(3) Terhadap masalah Pan-Islamisme dan pengaruh-pengaruh “modernisme” dari luar itu, —menurut pendapatnya —, Pemerintah mengambil sikap yang sia-sia.

Walhasil, Prof. Bousquet tidak setuju dengan sikap Pemerintah Belanda terhadap orang Islam, sikap yang dipandangnya “terlalu lembek dan mengambil muka”.

Sekarang marilah kita perhatikan, bagaimana kalau masalah politik Pemerintah Hindia Belanda menghadapi kaum Muslimin ini, dilihat dari sudut mata kita.

Masalah ini tidak akan dapat diperbincangkan lebih dalam sebelum kita mengetahui apakah yang jadi buah pertimbangan dari Prof. Snouck tatkala membentangkan garis-garis yang harus dipakai oleh Pemerintah Belanda di Indonesia ini dalam menghadapi kaum Muslimin. Kalau diselidiki, pertimbangan-pertimbangan Prof Snouck dalam tulisan-tulisannya yang bertebaran, atau dalam tulisan-tulisannya yang bersifat standaardwerk, nyata kepada kita yang Snouck mengetahui betul, bahwa:

(1) Orang Islam baru besar bahayanya bagi pemerintah jajahan, bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan mereka beragama terganggu. Makin dilarang mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ‘ubudiyah, semakin “fanatik” mereka mengerjakannya.

Bertambah berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan perkumpulan-perkumpulan tarikat yang mengajarkan “perang sabil”, hal mana mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri.

Dari sini Prof. Snouck sampai kepada natijah: “Biarkan kaum Muslimin beribadah dengan seluas-luasnya! Biarkan mereka bersembahyang, jangan dicampuri mereka dalam urusan berjum’at dan berpuasa; jangan disempitkan mereka naik haji dan lain-lain, sehingga merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa merdeka itu, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa bahwa mereka diperintahi oleh bangsa yang beragama lain!”

Berhubung dengan ini Prof. Snouck seringkah membawakan satu semboyan yang katanya umum dibenarkan dalam dunia Islam (hal mana kita tak berani jamin!), ialah: “Een staat kan duurzaam ziyn in ongeloof maar niet in ongerechtigheid”. Satu kerajaan mungkin tetap berdiri dalam kekufuran akan tetapi tidak mungkin dalam kezaliman.”

(2) Ruh ke-Islaman itu mungkin bangkit juga, bilamana mereka mendapat gangguan dalam urusan mu’amalah, seperti urusan perkawinan warisan dan yang berhubung dengan itu. Lantaran itu: “Hormati” instelling-instelling mereka dibawah penilikan kepala-kepala mereka (regen-regen dan raja-raja).

Dengan begini mereka akan merasa diperintah oleh wet-wet mereka sendiri, dan tidak timbul lagi cita-cita kenegeraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau sudah ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi, kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian dan warisan mereka itu, sehingga tidak masuk pengaruh “modern” yang menimbulkan semangat mereka.

Dan kalau disamping itu anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang menjauhkan mereka dari Agamanya, sehingga mereka “terlepas dari genggaman Islam” (geemancipeerd van het Islam-stelsel), besarlah harapan yang mereka akan menyatukan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah satu “assosiasi”, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang memerintah dan yang diperintah.

Bilamana assosiasi ini sudah tercapai, menurut keyakinan Snouck, tak adalah lagi yang akan menyusahkan Pemerintah.

“La solution de la question islamique depend de l’adhesion des indigenes a notre civilisation”, katanya, yakni: “Manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat antara penduduk Bumiputera dengan kecerdasan kita (kecerdasan Belanda), tak adalah lagi yang akan disusahkan berhubung dengan kaum Muslimin ini”.

(3) Apabila urusan dalam sudah diatur seperti itu, tinggal lagi yang harus dijaga, ialah supaya jangan ada perhubungan dengan Muslimin di Luar Negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu nasihat Prof. Snouck: “Jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!

Sekianlah ringkasnya aliran fikiran Prof. Snouck dalam adpisnya: pada Pemerintah Belanda, dalam menghadapi kaum Muslimin Indonesia ini.

Pan-Islamisme

Sebenarnya berkenaan dengan masalah Pan-Islamisme ini penjagaan Pemerintah Belanda sudah sampai cukup. Sebab, memang “bahaya” ini sebenarnya di zaman sekarang tidak berarti “bahaya” lagi. Cita-cita Khilafat boleh dikatakan tidak ada lagi dalam sanubari kaum Muslimin sekarang. Satu Muktamar Muslimin paling akhir yang bersifat internasional dan yang sedikit mencemaskan orang, ialah yang diadakan kira-kira 13 tahun yang lalu, (1926) di Mekah, di kerajaan Ibnu Sa’ud. Akan tetapi kenyataan, bahwa sedikitpun tidak ada cita-cita waktu itu, baik pada Ibnu Sa’ud ataupun pada wakil-wakil Umat yang menghadiri Muktamar tersebut, hendak mengadakan satu Khilafah dengan Ibnu Sa’ud menjadi Khalifahnya.

Selain dari pada itu lagi Muktamar di Palestina yang betul ada menambah rasa persatuan kaum Muslimin, tetapi tidak mempunyai arti politik yang mungkin mengguncangkan hati Negara-negara yang mempunyai jajahan. Pembukaan satu Mesjid di Tokio memang telah pula menarik beberapa wakil kaum Muslimin dari segenap pojok dunia, tetapi, toch Ruh Pan-Islamisme…, masih jauh sekali!

Belum lama ini dipropagandakan dengan sekuat-kuatnya, bahwa Raja Farouk akan diangkat jadi Khalifah. Tapi manakah suara kaum Musilimin diluar Tanah Mesir yang menunjukkan berkobarnya Pan-Islamisme itu?

Muslimin Palestina tetap ribut menghadapi Yahudi-nya. Orang Islam di Indonesia bisa juga mengumpulkan sedikit uang pembeli obat dan membantu Palestina dengan doa qunut yang sudah di “keur” oleh Inlandsche Zaken dan sedang repot pula dengan undang-undang kawin bercatat dan artikel 177 I.S. Muslimin di Albania dihancurkan kerajaannya oleh Italia, tapi tetap tak seorangpun diantara pemimpin Islam yang berziarah kesana. Muslimin India sedang menyelesaikan urusannya dengan kaum Hindu. Dalam pada semua urusan repot begitu, konon kabarnya King Farouk berpangkat Khalifah, Amirul Mu’minin!

Prof. Bousquet masih saja menyesali Pemerintah Belanda, lantaran menurut pandangannya Pemerintah disini membiarkan saja masuknya semangat modernisme ke dalam dunia Muslimin Indonesia,semangat yang ia namakan “pengaruh Arabia-modern”. Yang dimaksudnya tentu semangat kebangunan Islam sebagaimana yang mulai kelihatan sekarang ini.

Sesalan ini menurut hemat kita tidak pada tempatnya. Bagaimanakah Pemerintah boleh dinamakan lalai dalam urusan ini, kalau diperhatikan, bagaimana lengkap dan rapinya penjagaan sebagaimana yang ada sekarang ini.

Untuk sekolah-sekolah partikelir-Islam sudah ada ordonansi sekolah liar. Untuk pesantren dan kiai-kiai sudah ada “regenteninstructie” dan guru-ordonansi. Untuk muballigh-muballigh yang dirasa perlu diawasi sudah ada passenstelsel, artikel 153 bis dan ter dan artikel yang lain-lain lagi. Polisi sekarang sudah berhak masuk rapat-rapat yang tertutup. Untuk pers sudah ada persbreidel tersedia. Penjagaan jangan masuk angin modern dari Mesir dengan perantaraan surat-surat atau surat-surat kabar sudah ada sensor yang streng. (Perhatikan peranyaan tuan Soangkupon berhubung dengan surat-surat dari Perpindom). Kalau undang-undang negeri belum cukup lagi, sudah tersedia “exorbitante rechten” pada Pemerintah Tinggi. Kalau ini belum juga cukup, ada pula disana-sini hukum adat yang bisa dipergunakan penambah-nambah, yang pada hakikatnya lebih tajam lagi makannya dari “exorbitante rechten” itu sendiri. Bagaimanakah akan dinamakan Pemerintah “teriaki” dalam urusan ini!

Sampai-sampai pada tuan P. Y. Gerke sendiri timbul pertanyaan yang dihadapkannya kepada Prof. Bousquet, dari manakah lagi mungkin datangnya “bahaya yang gaib” itu. Katanya, — setelah menerangkan bahwa Pemerintah tetap awas dan paraat terhadap soal ini:

“De omvang van een plaatseliyke explosie zalr mocht ziy ontstaan dus geen verrassing geven; de hoofden ziyn geteld. Waar schuilt dan het mysterieuze toekomstige gevaar, — Ditakdirkan terjadi peletupan disalah satu tempat, sudah tentu hal itu bukan satu barang yang datang mendadak bagi Pemerintah. Berapa banyak kepalanya, sudah dihitung (oleh Pemerintah). Dari manakah kiranya mungkin datang bahaya yang gaib itu lagi.”

Adapun yang sampai sekarang belum terganggu, hanyalah urusan ibadat. Akan tetapi bukankah testamen Prof. Snouck yang juga dibenarkan oleh Prof. Bousquet, berkata: “Dalam urusan ibadah hendaklah diberi kesempatan yang seluas-luasnya!” Lagi pula urusan ibadat ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang Islam, memang satu urusan yang rumit (tere kwestie).

Bagaimanakah ‘kan tidak! Orang Islam mungkin dilarang berapat. Akan tetapi bagaimana akan melarangnya bersalat Jum’at, tetap sekali seminggu, pada hal salat Jum’at ini sebenarnya sifatnya tak berapa berbeda dengan satu rapat atau kursus sekali tujuh hari?

Orang Islam bisa dilarang membaca buku-buku yang berbau politik. Akan tetapi bagaimana melarang mereka membaca Kitab Suci mereka Al-Quran; walaupun cukup diketahui bahwa Quran itu bukan mengurus tayammum dan istija’ saja, akan tetapi lengkap dengan tntunan ruhani dan anjuran-anjuran yang berhubungan dengan keduniaan!

Orang Islam bisa, -kalau suka- dilarang menuntut ilmu ke Mesir, India, Jepang atau Philipina, supaya jangan kemasukan angin modernisme. Akan tetapi bagaimana caranya akan melarang naik haji; walaupun telah diketahui bahwa seseorang yang mengerjakan haji ini, tak dapat tidak akan mendapat kesempatan untuk bertukar paham dan perasaan dengan bermacam bangsa yang berjumpa, baik ditanah “Arabia modern” itu sendiri, ataupun dalam perjalanan pulang pergi!

Kita akui, bahwa banyak pula antara jamaah haji kita itu yang pulang ibarat “kucing dibawa ke Mekah”, sekembalinya hanya pandai mengeong juga, akan tetapi dari puluhan ribu yang pulang pergi tiap tahun ke Mekah itu, paling sedikit seribu, dua-ribu orang ada juga yang terbuka matanya, yang mempunyai persediaan cukup untuk menerima bermacam aliran baru.

Dalam hal ini, maka bagaimana akan menutupnya pengaruh “Arabia Modern” itu, supaya tertutup mati? Memang Agama Islam itu ada mengandung beberapa peraturan-peraturan ubudiyah dan muamalah, yang pada hakikatnya, yang satu tak dapat diceraikan dari yang lain.

Tiap-tiap suruhan Islam yang bersangkut dengan ibadat bersangkutpaut serta berjalin-berkelindan pula dengan urusan keduniaannya. Ini bedanya Islam dari lain-lain agama!

Tidak akan ber-lebih-lebih-an apabila kita berkata, bahwa disinilah terletaknya salah satu mu’jizat Islam. Hal ini cukup diakui oleh orientalisten Barat yang menyelidiki masalah politik-politik Islam dalam tanah jajahan umumnya.

Prof. H. A. R. Gibb, setelah ia mengakui bahwa Agama Islam semakin banyak dimasuki oleh bermacam-macam ajaran diluar Islam dan cita-cita persatuannya bertambah lemah apabila sudah bertebaran diatas dunia ini, lantas berkata lagi, bahwa adalah satu faktor yang utama dalam Islam yang bisa menangkis segala bahaya itu kembali, yakni:

“Ada satu faktor (dalam Islam) penangkis bahaya ini, yakni perhubungan yang senantiasa berlaku antara bermacam-macam daerah dalam dunia Islam, terutama antara negeri yang dipinggir dengan negeri? yang ditengah, di Asia Barat dan Mesir. Satu alat yang paling kuat untuk menanam perhubungan ini ialah naik hadii, yakni suruhan wajib atas tiap-tiap orang Muslim yang sanggup, paling sedikit sekali seumur hidupnya. Dan seterusnya kita akan dapat saksikan, bahwa kewajiban naik haji ini tetap akan mengandung kesaktiannya yang lama itu, sebagai suatu alat penghiduvkan semangat keaaamaan dan peneguhkan persatuan kaum Muslimin umumnya…”

Pelajaran apakah, yang dapat kita ambil dari semua ini? Ialah, bahwa di zaman kaum Muslimin di dalam kelemahan dan kekalahan, terutama dalam hal seperti sekarang ini, dimana kaum Muslimin tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi, tetaplah Agama Islam itu menyimpan dan memelihara untuk pengikutnya “satu benteng yang penghabisan, yakni benteng ibadat!”

Meninggalkan benteng-ibadat ini, berarti bagi kaum Muslimin memutuskan hubungan dengan Ilahi, sumber dari segenap kekuatan, jasmani dan ruhani, serta memutuskan pertalian dengan merekayang se-Agama dan secita-cita. Memalingkan muka dari peribadahandan menganggap ibadat itu sebagai “urusan person” atau urusan tetek-bengek, berarti melepaskan benteng Islam yang paling penghabisan.

Di waktu itu akan terbukalah pintu untuk melapetaka bagi yang meninggalkan itu, yang akan menyerbu dari segenap pihak. “Malapetaka dan kehinaanlah yang akan menimpa mereka, dimana saja mereka berada, kecuali apabila mereka mempunyai perhubungan dengan Allah” dan pertalian sesama manusia” (QS Ali Imran: 112).

Penutup

Apakah dengan ini berarti bahwa politik-Islam dari satu pemerintah- jajahan sudah boleh dinamakan “gagal” lantaran tak bisa menyetop semangat modernisme itu dengan semati-matinya? Jawab:”Tidak” dan „Ya”.

“Tidak”, apabila memang yang menjadi niat dari pemerintah jajahan itu, satu motif yang bersifat ideeel, yakni lantaran hendak menjalankan “mission sacree”, kewajiban-suci, hendak mendidik anak-jajahan kepada tingkat kecerdasan yang tinggi; kalau sebenarnya soal berhak atau tidaknya memegang tanah-jajahan itu hendak disandarkan kepada “pendidikan yang diberikan kepada anak-jajahan itu”.

Dan jawabnya, “Ya”, kalau yang jadi motif itu semata-mata hendak mengeruk kehasilan harta-benda serta hendak mengekalkan keadaan perhubungan antara yang menjajah dan yang didiajah itu terus-menerus, lantaran menyangka bahwa hal itu dapat dikekalkan dengan kekuatan tangan manusia.

“Maar wie is het, die nog aan dit sprookye gelooft?”, — “Siapakah yang masih percaya kepada teori (dongengan) yang semacam ini?” —, bertanya Dr. G. Y. Nieuwenhuis.

Dan Quran dengan tegas telah memberi ketetapan dan keputusan dalam hal ini: “Dan zaman (Kejayaan) itu Kami per gilirkan diantara manusia…!” (QS Al-’Imran: 140).

Prof. Bousquet sendiri rupanya tidak pula memberikan satu resep yang positif terhadap urusan ini. Ia hanya berkata, bahwa ia tidak setuju dengan sikap Pemerintah Belanda yang berlaku itu. “Cobalah kita lihat dua~puluh-lima tahun lagi!”, — kata Bousquet —“Siapakah yang benar, Pemerintah Belanda kah atau saya?” Dijawab oleh Gerke: “Dus, tot 1964!”, — “Tunggu, sampai tahun 1964!”

“Kita menunggu sampai tahun 1964 (seribu sembilan-ratus enam puluh empat)”…!

Perjalanan Bousquet menurut keterangannya banyak mengandung pelajaran bagi dirinya sendiri. Antara lain ia berkata: “Orang Inggris dan Perancis selama merasa dirinya rendah dan kecil, bila melihat kecakapan orang Belanda mengurus jajahannya (le genie colonisateur des Hollandais). “Sayapun”, — katanya seterusnya —, mempunyai perasaan demikian juga ketika mulaimasuk ke Hindia Belanda. Akan tetapi tatkala saya meninggalkannya, perasaan kecil itu sudah lenyap sama-sekali!”, — “Y’etais moi-meme en proie a une “complexe” en arrivant aux Lndes Neerlandaises. Ye ne l’ai plus du tout en les quittant.”

Kita hanya dapat berkata: “Boleh jadi!… Selain dari itu. Wallahu a’lam!”

Ref : Capita Selecta (cetakan ke-3), M. Natsir – Oleh-oleh dari Algiers , hal 184.

12 Komentar

  1. suatu itikad untuk melanggengkan kekuasa’an ditempat tanah jajahanya . sebegitu detailnya dan terinci sampai keperso’alan yang paling subyektif dari fitrah manusia yaitu yang dinamakan ” agama ” . akankah penjajahan modern akan mengambil alih berbias dan berubah wujud dan bentuknya , tentu kita harus berhati – hati dan MAWAS DIRI .

    ( doktertoeloes “swiss van java” ).

  2. Solochanger berkata:

    memang benar, Islam itu sangat beragam. apalagi di seluruh dunia.
    maka dari itu harus bisa saling menjaga dan menghargai perbedaan 🙂

  3. abdi berkata:

    tjara-tjara Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje la’natoelloh ‘alaih adalah pola jang paling efektip dipraktikan oleh tokoh-tokoh pemikir orientalies dalam oepajanja menghantjoerkan islam dari dalam islam itoe sendiri. sampai sekarang, kita mengenal islam tradisionil jang bandel dgn keordokannja (anti penjempoernaan islam), islam romantisme jang merasa tjoekoep dgn proelarisme & toleransinja terhadap globalisasi (batja : gombalisasi) & belakangan ada poela islam ekstrimisme (terorisme) jang sengadja diboeat mereka sendiri oentoek meroesak tjitra islam.
    oemat islam bangsa indonesia wake up…!!!

  4. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    Assalamualaikum wr. wb.,

    Hanya memberi saran biar ga tambah bocor dan bobrok aja, mau dipake atau tidak terserah:

    1. Dengan memperhatikan diskusi pa saldi isra, sebaiknya, sebelum pilkada/pemilu, peserta menyetorkan biaya/dana pemilu ke kpu/yang ditunjuk pemerintah dengan batasan paket2 tertentu dan diumumkan ke publik jumlah dan planningnya, dari paket hemat hingga eksklusif, yg mana paket2 tsb terdiri fasilitas2 yg dapat di monitor panwaslu atau dibatasi penempatan dllnya. subkon2 (moga2 selalu bejo mas dan ga ketipu) bahan kampanye menagihnya ke pemegang dana.
    2. Mungkin sebaiknya wakil2 bupati ditunjuk/diusulkan oleh gubernur dengan persetujuan dprd, dan sebaiknya dari PNS karir, wakil2 gubernur juga berasal dari PNS diusulkan/ditunjuk oleh mendagri dengan persetujuan DPR.
    3. Bappenas, inga, ga semua daerah itu sama, mbok ya ada2 paket2 terstandarisasi dari pahe sampe eksklusif dengan karakter2 masing yg mana ini mungkin dikawal oleh wakil2/sekda, juga sering2 survey2 internal, heran banyak sekali survey2 tentang pilkada atau swasta di media, tapi survey2 pemerintahan jarang terpublikasi.
    4. aku benar2 lupa, lain kali aja

  5. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    wakil2 bisa diberhentikan kapan aja, dan ditempatkan di mana saja, dan tidak boleh ikutan pilkada hingga 10 tahun.

  6. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    apakah demokrasi itu nekolim? kok makan biaya banyak agar rakyat ‘ngeh’?

  7. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    apakah pendirian indonesia itu selalu berpatokan dengan majapahit? kayak urutan mata uang ri aja, yg ke 1 kan 100rb an, soekarno hatta, dst. majapahit itu beneran ada ga sih?

  8. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    fotone sopo seh iku?

  9. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    intel2 pdip, jangan maruk

  10. saha eta nu ngangge pangsi? berkata:

    intel2 pdip jangan kau remote berita yg kubaca

  11. besar juga perna beliau untuk islam

  12. broto s angkara berkata:

    itu mengapa demokrasi tetap di pertahankan!!
    Saya faham sekarang. Bahwa indonesia memang belum pernah merdeka.

Tinggalkan Komentar