Setelah Satu Abad …..

Memanusiakan sejarah, inilah hal yang sering saya sampaikan manakala ada kesempatan bincang-bincang dengan para sohib manakala “uplek” ngobrol tentang bagaimana kita memahami sejarah. Sejarah berbeda dengan dongeng meskipun bila sedang asik bercerita sepertinya itu sebuah dongengan, sejarah juga bukan sebuah mitos meskipun tak bisa dipungkiri bahwa realitas sejarah sering diselimuti alam mitos yang me-wah-kan peristiwa sejarah. Memanusiakan sejarah berarti memahami hakikat dari perjalanan sejarah adalah perjalanan hidup dan kehidupan manusia dalam satu masa atau zaman.

Ketika sejarah “dipaksakan” sebagai sebuah dongeng maka sikap dan tindak para pelaku sejarah di masa lalu menjadi suatu “hil yang mustahal” untuk ditiru oleh generasi manusia yang hidup abad kini atau masa kedepan. Ketika sejarah dihiasi oleh beragam mitos yang menyelimutinya, maka lahir tokoh-tokoh sejarah yang digjaya, sakti madraguna, maha luar biasa yang oleh generasi kini hanya untuk dipuja dipuji di pupusti disimpan dalam etalase museum, dijadikan jimat, mantra dan tak bisa dijangkau oleh “manusia biasa”. Memanusiakan sejarah adalah agar kita bisa memandang sebuah fakta dan realitas masa lalu sebagai realitas hidup yang bisa diambil “ibrah” pelajarannya untuk bisa ditiru yang baik dan benarnya dan untuk menghidari kesalahan-kesalahan sejarah yang dilalukan oleh generasi masa lalu, sehingga peradaban manusia bisa continu dan maju.

Memanusiakan sejarah berarti juga melekatkan perjalanan sejarah terutama terhadap para pelaku sejarah dengan waktu atau usia hidup para pelaku tersebut. Tentunya tidak pada tempatnya misalkan dalam mempelajari jejak hidup Ir. Soekarno sebagai presiden pertama RI, meletakan titel ke-insinyur-annya dan titel presidennya disandang sejak beliau lahir, masa anak-anak, remaja dan seterusnya. Dengan meletakan waktu atau usia hidup para pelaku dengan peristiwa dari sebuah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku sejarah kita dan tidak mencampur baurkannya dengan keadaan-keadaan selanjutnya kita bakal lebih memahami atas apa yang diperbuatnya dan mengambil pelajaran sebuah tindakan sesuai usianya.

Kalo kita meneliti catatan-catatan sejarah anak bangsa Indonesia yang berperan penting dalam perubahan negeri di paruh abad 20, maka kita akan temukan hampir semua pelaku sejarah lahir di paruh waktu 10 tahun awal abad ke-20. Ini berarti banyak tokoh-tokoh sejarah yang kita ingat kiprah perjalanannya dan diperingati oleh anak bangsa sekarang sebagai “peringatan SATU ABAD”.

Dari catatan Om Wiki misalnya, Soekarno lahir 6 Juni 1901, Moh. Hatta lahir 12 Agustus 1902, M. Yamin, Supomo, WR Supratman lahir tahun 1903Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir 7 Januari 1905Moh Roem lahir 16 Mei 1908, Sutan Syahrir lahir 5 Maret 1909, Syafruddin Prawiranegara presiden PDRI lahir 28 Februari 1911. (catatan data Om Wiki dimungkinkan tidak akurat) Tentu pada masa 10 tahun pertama abad 20 mereka belum menjadi apa-apa, mereka adalah bayi-bayi yang lucu dan imut 😉 yang belum terpengaruh apalagi berpengaruh bagi pergerakan kebangkitan kaum Bumiputera.

Kalo kita split rentang satu abad itu sampai 2011, maka di tahun 1911 ada juga calon tokoh pergerakan yang menginjak usia anak-anak atau remaja, seperti Soekarno usia 9 tahun, Moh. Hatta usia 8 tahun,  Semaun lahir tahun 1899 (11 tahun), Tan Malaka atau Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir 19 Februari 1896 (15 tahun), dan Mas Mansur lahir 25 Juni 1896 (15 tahun).

Selain kelahiran calon tokoh pergerakan bangsa Indonesia, 10 atau 11 tahun pertama abad 20 juga ditandai dengan kelahiran organisasi-organisasi pergerakan yang tentunya diprakarsai oleh generasi sebelum Tan Malaka lahir.  Diantaranya Syarikat Dagang Islam yang berdiri tahun 1905 diprakarsai oleh H. Samanhudi (lahir 1868/di usia 37 tahun ) yang selanjutnya berubah menjadi Syarikat Islam tahun 1911 yang dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto (lahir 1882/ diusia 29 tahun), R.M Tirto Adhi Soerjo juga mendirikan SDI di Bogor (lahir 1880/ di usia 31 tahun), beliau juga pendiri surat kabar pertama Soenda Berita (1903-1907), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Organisasi pergerakan lainnya adalah Boedi Utomo yang didirikan tanggal 20 Mei 1908 oleh Soetomo (lahir 1888/diusia 20 tahun) dengan penggagas Wahidin Soedirohoesodo (lahir 1852/ diusia 56 tahun).

Menjadi pemimpin di usia muda. Itulah yang terjadi dalam masa pergerakan. Tokoh-tokoh muda yang memiliki latar belakang pendidikan cukup baik telah mendirikan dan memimpin partai maupun organisasi pergerakan, karena mereka sadar melalui wadah organisasilah, tujuan-tujuan perjuangan–terutama kemerdekaan—bisa dicapai.

Tokoh muda yang cukup spektakuler pada zamannya adalah Semaoen. Dalam usia yang masih sangat muda (sekitar 18 tahun) ia sudah memimpin Sarekat Islam (SI) Semarang bersama rekannya, Darsono. Setelah melalui perdebatan panjang, karena ketertarikannya pada gerakan sosialisme/ISDV ia pun berpisah dengan SI dan mendirikan Persyarekatan Komunis India (PKI) tahun 1920 dan menjadi ketua pertama. Baru di tahun 1921 organisasi itu berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia/PKI dengan Tan Malaka sebagai Ketua (lihat Suradi; Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Pustaka Sinar Harapan, 1997).

Generasi tokoh muda di atas adalah politisi dalam arti sesungguhnya: Mereka membentuk gerakan dan berlanjut menjadi partai politik, mendidik masyarakat, baik langsung melalui rapat-rapat umum terbuka dan kursus-kursus kader partai, pengajaran di sekolah swasta, maupun tidak langsung, yakni lewat pamflet dan surat kabar.

Setelah satu abad ….

Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang terlibat pergerakan, mengajukan pertanyaan retoris, “Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?” Lantas ia jawab sendiri, “Kalau mahasiswa Belanda, Perancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serba menggembirakan, pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya.”

Satu keberhasilan generasi bangsa Indonesia di paruh pertama abad 20 adalah keberhasilan dalam pendidikan politik, keberhasilan dalam mencetak kader-kader pemimpin bangsa. Pendidikan politik yang mencerdaskan meski dalam ruang-ruang ideologi politik yang beragam.

Pada masa perjuangan kemerdekaan  dan para the founding fathers (para pendiri bangsa) masih dapat menyaksikan buah yang mereka tanam sebelumnya. Para pemimpin pada masa ini tidak hanya mampu memberi visi, inspirasi, semangat kepada rakyat, tetapi juga teladan dan arah yang nyata untuk mengabdikan dirinya demi kepentingan bangsa. Ucapan para pemimpin meresap ke dalam hati, bahkan masih diingat dan dikutip oleh rakyat di pelosok yang paling jauh sekalipun.

Perang melawan Belanda dimenangkan bukan karena keunggulan senjata juga bukan karena kecerdasan bangsa ini, tetapi lebih ditentukan oleh keuletan dan kekuatan mental pemimpin dan rakyat yang telah ditempa dalam berjuang di medan gerilya dan di meja perundingan di bawah suluh moral kebangsaan dan kerakyatan, sekalipun dalam serba berkekurangan.

Setelah satu abad … krisis melanda bangsa Indonesia, susah mencari pemimpin yang menjadi guru di “gugu dan ditiru”. Pendidikan politik tak lagi mencerdaskan malah menyesatkan, bangunan ideologis semakin rapuh diterjang tsunami dan gempa pragmatisme.

Kini sebelas tahun awal abad dua satu, sulit bertemu dengan generasi yang mau maju dengan ideologi-ideologi baru. Ideologi cerdas untuk Revolusi Cerdas.

Bila kita inginkan adalah “kedamaian negeri” maka hanya ada dua jalan untuk memperolehnya. Pertama pakailah jurus “Uya Kuya” untuk menghipnotis anak bangsa supaya tertidur pulas dengan mimpi-mimpi dalam alam bawah sadarnya selama-lamanya sehingga menemukan sensasi damai atau kedua pasarkan ideologi baru dengan cerdas berkelas.

So… jangan hanya pandai menjadi generasi penghujat, pengancam, pencibir. Siapapun kita hari ini apakah dari trah karno, trah karto, atawa trah harto cerdaskanlah rakyat Indonesia sampai rakyat menentukan pilihannya sendiri. Ingat waktu senantiasa bergulir dan bergilir… tak kan ada siang selamanya siang, tak kan ada malam selamanya malam, cahaya matahari berganti sinar rembulan, pagi menjelang ayam berteriaaaak  untuk “Indonesia Jaya”. Dan suatu saat “KOPRAL” menjadi “JENDERAL” 😆

Fi’atin qolilatin gholabat fiatan katsiro bi’idznillah

Hatur tararengkyu n semangat always 😉

9 Komentar

  1. Bupil.com berkata:

    Saya suka sekali kalo belajar sejarah waktu sekolah dulu bos. Sejarah membuktikan betapa indahnya naskah jalan hidup manusia yg telah dibuat Allah. Lebih indah dari film holiwut

    1. kopral cepot berkata:

      Kenapa bisa pertamax terus yah 😉

  2. wardoyo berkata:

    Pertamaxxx…
    Sudah kutunggu-tunggu tulisan yang menyodok jantung kesadaran seperti ini. Setuju banget bung Cepot… Apalagi yang terakhir itu : suatu saat “Kopral” bisa jadi “Jendral”…
    Muuahh, saya suka sekali!

    Mantap.

    ————
    Kopral Cepot : Hatur tararengkyu n semangat always 😉

  3. Tary Sonora berkata:

    dan nantinya kita juga akan jadi sejarah ya kop, bagi anak cucu kita nanti 🙂

    ————–
    Kopral Cepot : Sejarahnyah para blogger Indonesia 🙂

  4. Memorabilia berkata:

    blogwalking skalian blogreading. Alus euy bahasana. pemuda skarang emang dibesarkan mnjadi generasi kritikus jadi kurang kurang menghargai masa lalu. lebih mudah menghujat daripada mengapresiasi dengan proporsional.

  5. ralarash berkata:

    bener nih..
    sebagian sejarah tuh di perbuas..
    seharusnya ada tim validator untuk otentikitas sejarah?
    ato emang sudah ada prosedurnya ya??

  6. itempoeti berkata:

    REVOLUSI belum selesai!!!
    melanjutkan REVOLUSI adalah sebuah REVOLUSI cerdas…

  7. Heri " Kapten " berkata:

    untuk NUSANTARA JAYA….” Cerdas Universal “..saatnya yang berada di balik Tembok…untuk keluar dan meneriakan pekik ….Merdeka Abadi

Tinggalkan Komentar