Ruang Sastra Dalam Bingkai Sejarah Indonesia

kupu2Sastra (Sansekerta शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.

Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.(1)

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia.

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:(1) Pujangga Lama, (2) Sastra “Melayu Lama”, (3) Angkatan Balai Pustaka, (3) Pujangga Baru, (3) Angkatan ’45, (4) Angkatan 50-an, (5) Angkatan 66-70-an, (6) Dasawarsa 80-an,dan (7) Angkatan Reformasi.

Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.(2)

Format Baru Sejarah Sastra

Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.

Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut.

Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu (1) masa pertama mencakup tahun 1900-1945, (2) masa kedua mencakup tahun 1945-1965, (3) masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan (4) masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.

Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut:

  1. Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia.
  2. Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia.

Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.(3)

Sastra Eksil, Sastra Rantau

eksilDalam bahasa Inggris istilah “exile”, yang diindonesiakan menjadi “eksil”, memiliki tiga pengertian. Pertama, sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri, dan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah “exile” itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “exsilium” (pembuangan) dan “exsul” (seseorang yang dibuang).

Dari ketiga pengertian istilah “eksil” di atas kita bisa melihat bahwa faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing merupakan faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu. Dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan oleh negara secara resmi ataupun karena pilihan pribadi. Pada kasus pertama, para pelarian politik segera muncul dalam pikiran kita sebagai representasi dari mereka yang diusir dari negeri kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara pada kasus kedua kita segera teringat pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.

Dari ketiga pengertian “eksil” tersebut kondisi pembuangan politik dari negeri kelahiran ke negeri asing oleh sebuah pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan definisi arti yang dipakai dalam apa yang disebut sebagai “sastra eksil”.

Sastra Eksil adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya pembuangan politik tersebut.

Dalam sejarah sastra modern Indonesia para sastrawan yang punya hubungan dengan institusi seni di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan hidup dalam pengasingan/pembuangan politik di luar Indonesia selama pemerintahan rejim fascis kapitalis Orde Baru adalah para sastrawan eksil Indonesia menurut definisi arti di atas. Para sastrawan yang kebanyakan hidup di Eropa Barat yaitu di negeri Belanda dan Prancis itu dengan terpaksa memilih hidup dalam pembuangan politik itu karena keyakinan mereka bahwa mereka akan segera dijebloskan ke dalam penjara atau Pulau Buru kalau mereka kembali ke Indonesia. Atau mungkin juga dibunuh. Apa yang terjadi pada ratusan ribu korban kudeta militer di tahun 1965, yang dinyatakan oleh pemerintahan militer yang berkuasa kemudian sebagai kudeta yang didalangi oleh PKI, menjadi alasan masuk akal bagi para sastrawan Lekra untuk tidak kembali ke Indonesia dan memilih hidup eksil di negeri asing.

Keberadaan “sastra eksil” Indonesia di luar negeri selama ini hanya diketahui oleh segelintir pembaca sastra modern Indonesia yang kebetulan hidup di negeri yang sama atau berdekatan dengan negeri tempat hidup para sastrawan ini atau yang mendapat akses ke karya mereka walau hidup di dalam negeri Indonesia sendiri.

Eksistensi “sastra eksil” ini menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia sendiri dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar baru-baru ini. Kumpulan puisi yang tebal dan berkesan luks ini memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi buku Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama-nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.(4)

Dapatkah Sastra Eksil Berbicara?

Tanah air adalah sebuah proyek yang ditempuh bersama-sama. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus.

Bagi Goenawan, Tanah Air adalah sebuah ruang masa kini kita arungi karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanah Air adalah sebuah engagement. Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas, dan berharap (Goenawan Mohamad, Tempo, 28/5/2000)

Seperti halnya bangsa, Tanah Air, tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Benedict Anderson, 1999: 7).

Berbeda dengan pengungsi yang menganggap status pengasingan diri mereka sementara dan karenanya ikatan yang tercipta dengan tanah baru tempat mereka mengasingkan diri hanya sedikit, eksil menganggap tanah pengasingan adalah rumah baru mereka sehingga ada ikatan yang lebih kuat antara pribadi eksil dengan tanah pengasingannya ini.

Dengan demikian, komunitas-komunitas eksil semacam ini, menjadikan tanah pengasingan mereka yang baru sebagai rumah dan menciptakan kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya.Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Terutama untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.(5)

Tikus Berdasi Alias Pencuri

generasi muda yang tak mau tau sejarah
seperti apa rupanya masa berdarah?
mungkin sebaris syair mimpi ngeri

atau balada sedih sepiring nasi campur
getar gema kutukan korban politik lumpur
ke langit ke tujuh mencari arti kata jujur

pura-pura tak tau itu sadis yang oportunis
ide komplotan demi korsi kekuasaan
segala macam cara dijadikan alasan
machiavelli asli punya ilmu turunan

setan pun bisa nyaru jadi orang suci
dan kau tertipu lagi tertipu lagi
atas janji palsu yang tak ditepati

tikus berdasi curi nasi dari perut si anak miskin
politikus busuk berkotbah soal manipulasi
pahlawan bergelar penjahat kemanusiaan?
awas sihirnya propaganda jalan sesat
jangan sampai terjebak rayuan jahat

Heri Latief, Amsterdam, 18/11/2008

19 Komentar

  1. hak1m berkata:

    woah kepanjangan bro… jadi belon tuntas nich
    besok berkunjung nian lagi ach

  2. alamendah berkata:

    (maaf) izin mengamankan KEDUA dulu. Boleh kan?!
    Eman ada ya, tikus berdasi. Dari spesies mana, tuh?
    Keknya tak cari-cari di buku taksonomi gak nemu.

  3. casrudi berkata:

    Adoh Kang,, asa nuju balajar basa Indonesia di sakolaan… 🙂

    Puisi nya kena banget sama situasi sekarang, banyak tikus berdasi, berimajinasi dan mengukir kemiskinan diseluruh pelosok negeri…

    ———
    Kopral Cepot : Sami abdi ge asa siga janten guru sd 😉

  4. sikapsamin berkata:

    Yth. Mas Kopral…,

    Terima kasih kunjungannya mas. Sama-sama, saya juga belajar.
    Saya sangat appreciate pada blog ini, blog ‘penelusuran-sejarah’.
    Nasihat leluhur katanya “Sejarah Bagai AKAR-TUNGGANG tanaman”, plus akar2 cabang/serabut.
    Dengan AKAR-TUNGGANG, akan tumbuh pohon besar, kokoh, rindang, bentang cabang, dahannya jauh melebar menaungi Dan memberi keteduhan, bahkan akan akan tumbuh keaneka-ragaman hayati.

    Begitu AKAR-TUNGGANG(Sejarah) dihilangkan, jadilah Pohon(Bangsa)-Kerdil.
    Akar cabang/serabut ibarat ‘Penggalan-Sejarah’

    Biar Sejarah Yang Bicara
    Salam…Terima kasih kunjungannya

    ———————–
    Kopral Cepot : Hatur tararengyu atas appreciate dr “Sikap Samin”, suatu “kebanggaan” .. “bangga” klo menurut bahasa sunda itu “berat tuk dipikul” .. terus terang semakin kesini semakin berat sy memikul appreciate temen, sahabat, saudara, dan para tamu lainnya atas blog ini. Semoga Mas sikapsamin menerima segala kekurangan dari “sang pembelajar

  5. ruanghatiberbagi berkata:

    selamat akhir pekan ya,,, happpy selalu

  6. Fitri berkata:

    @Kopral Cepot

    Maaf saya jawab disini supaya cepat diketahui.

    Saya enggak pernah berkomen dengan menggunakan nama Fietria lagi. Saya selalu berkomen dengan nama Fitri atau kerajaanagama.

    Saya juga enggak tahu kang Haniifa kemana. Saya pernah kirim email tapi tidak dibalas, jadi kemungkinan Haniifa enggak online.

    Saya juga belum pernah bertemu dengan kang Haniifa. Saya rasa ada orang iseng yang pakai nama saya. Tapi mudah-mudahan kang Haniifa sehat selalu.

    ————-
    Kopral Cepot : hatur tangkyu info nya 😉 semoga Kang Haniifa Sehat

  7. nirwan berkata:

    ilmu bagus di pagi hari, cocok untuk bahan tulisan… hihihi 😀

    ————–
    Kopral Cepot : ini ti2pan pak guru .. buat ngajar bahasa Indonesia hari ini 😀

  8. ricky berkata:

    artikel yang bagus.. salam kenal ya bro…

  9. a'ak budi berkata:

    sastra indonesia memang luar biasa,, salah satunya sastra yang aku tulis di citago…tapi cumak cerpen biasa

  10. iis berkata:

    salam kenal kopral,,,,,
    terima kasih banyak artikelnya kueren n mantab !!!

    ————–
    Kopral Cepot : Hatur tararengkyu 😉

  11. Salam sastra kawan?…Bagus puisinya?…santer tapi aku agak terlitik miris dengan kata tikus….waduh….hahahaha…kayaknya lebih asyik diganti dengan kata”BADUT AJA”….treng…tereng…..cuma coment Bos.

  12. Mandalajati Niskala berkata:

    Ass~Sampurasun.

    Ruang Sastra Dalam Bingkai Sejarah Indonesia
    SANGAT MENARIK

    Salam dari Mandalajati Niskala buat: Kopral Cepot, Heri Latief, hak1m, alamendah, casrudi, sikapsamin, sikapsamin, ruanghatiberbagi, wardoyo, Fitri, nirwan, ricky, a’ak budi, iis, zefara azzahra & semuanya.

    Nis ada oleh~oleh sebuah syair, semoga menjadi bahan tafakur yang bermanfaat. Amin.

    PUISI DAN LUKISAN
    Mandalajati Niskala; Bandung, 21 Juli 2000

    Apakah ini sebuah artikulasi ?
    Yang satu menyuguhkan alunan kata.
    Yang satunya menampilkan tata warna.

    Yang satu butuh lantun.
    Yang lainnya butuh cahaya.

    Yang satu buat telinga.
    Yang lainnya buat mata.

    Pena dan kwas.
    Bagaikan penyair dan pelukis.
    Semua orang dapat membuat dan merenungi.
    Puisi dan lukisan sama-sama menawarkan tema dan cerita.

    Yang satunya dibunyikan dengan kata.
    Satunya lagi dipamerkan dengan warna.

    Perhatikan ?
    Jika aku tulis dan bacakan karya khairil dan Taufiq Ismail.
    Dia tersenyum terenyuh.
    Tapi jika aku lukis dan pamerkan karya Afandi dan Basuki Abdullah.
    Bisa jadi akhli warisnya akan mendakwa.

    Bagi Khairil dan Taufiq Ini apresiasi.
    Tapi bagi pihak Afandi dan Basuki Abdulah.
    Ini adalah pembajakan.

    Aneh bukan ?
    Puisi yang bagus gelandanganpun tak butuh.
    Lukisan yang indah konglomerat mengejar-ngejar.
    Membuat puisi cukup dengan melamun.
    Tapi tinta, kanvas dan kuas tidak datang tiba-tiba.

    Melarat dan senang adalah cerita lama.
    Ibarat sebuah lintasan yang membentang.
    Di satu ujung ke ujung lainnya.
    Disana kedua seniman berkisah.

    Coba kita tanyakan kepada air yang jernih.
    Dan api yang datang dan hilang.
    Atau kepada hujan dan matahari.
    Atau kepada saat yang terus bergerak.
    Atau kepada gelombang suara dan cahaya.
    Atau kepada hakekat ada dan tiada.
    Kepada bertahan dan musnah.
    Atau kita himpun lebih banyak lagi ?

    Coba saja yang satu ini.
    Khairil Anwar.
    Sajak Aku.
    Tak dirawat tak pernah musnah.

    Banyak lukisan menawan tinggal cerita.
    Terancam entah dimana rimbanya.

    Apakah setiap puisi akan abadi ?
    Dan setiap lukisan terancam musnah ?

    Renungi ini !
    Yang buta mata mampu menikmati syair.
    Yang tuli bisu dapat menatap lukisan.

    Puisi dan lukisan sarat makna untuk jadi pelajaran.

    Jika kita tak tahu apa itu puisi ?
    Cari tahu lebih dulu apa itu lukisan ?
    Jika tak ada jawaban ?
    Lebih baik kita renungkan !

    Bandung,
    Mandalajati Niskala
    50 Puisi Filsafat Gelombang Baru

    1. Kopral Cepot berkata:

      Hatur tangkyu oleh-olehnyah…. Luar biasa sekali … sarat makna dan perenungan.. btw.. Mandalajati Niskala banyak yg nyari-nyari he he he

      1. Mandalajati Niskala berkata:

        Waduh kasian ya, nyari~nyari yang namanya MANDALAJATI NISKALA.
        Pasti suatu saat juga bisa ketemu.

        Den Kompral, saya lagi tirakat nih di Gunung,
        enak bercengkrama dengan alam sambil mengakses info langitan.

        Salut buat situs Den Kopral; SANGAT RAMAH DAN ASPIRATIF.

        Itu temen yang berlebihan, nama saya diorbitkan di buku
        SANG PEMBAHARU DUNIA DI ABAD 21 & bukunya ga terbit~terbit.

        Katanya lebih baik terbit th 2013 sebab kalau terbit sekarang “BISA NGAGEUNJLEUNGKEUN DUNYA”, sedangkan kita belum mempunyai kesiapan SDM yang mampu merekonstruksi keadaan menuju fitrah.

        Heheh gimana baiknya saja.

        Terima kasih disertai salam hormat buat Den Cepot dan semuanya, semoga kita berada dalam perlindungan Tuhan Rabbul’alamin. Amin.

        1. Mandalajati Niskala berkata:

          Puteeeeeen ga ke edit.
          Mau tulis ‘Den Kopral’ kok jadi ‘Den Kompral’

          Jangan marah ya Den….!

        2. Kopral Cepot berkata:

          Ngak apa-apa salah dikit… jadi “Den Kompral” mungkin kalo di kepolisian maksudnya “Kompol” 😆
          Hatur tangkyu terus memantau kemari.

          Btw.. Jejak “Mandalajati Niskala” memang layak untuk dicari dan ditelusuri.
          Satu yang saya temukan yaitu tentang “Ekonomi Global Stamo~2013″… moga bukunya segera terbit.. bukan hanya penasaran tapi saya kira lebih dari itu.. Sebagai karya intelektual sunda “Sistim Tribanda Aset Masyarakat Otomatis 2013” memberi solusi bagi mewujudkan kesejahteraan umat manusia diseluruh Dunia.

          Sekali lagi.. saya sangat terhormat sekali bisa bersapa dengan tamu istimewa walau di dunia maya.

          Moga Mandalajati Niskala diberi kesehatan dan pulang dari tirakat gunungnya bawa oleh-oleh yang banyak … 😉

  13. Mandalajati Niskala berkata:

    Ass~Sampurasun

    Den Kopral Cepot & teman semua yang saya mulyakan

    Merenung mencari jawaban tak mesti di gunung, kalau seandainya kita mampu membangun nafas yang mutmainah bagi kemaslahatan alam dan segala isinya.

    Mungkin gunung akan banyak memberikan inspirasi kepada kita sebab gunung diciptakan oleh Rabb sebagai pasak agar bumi tidak goncang.
    Makna demikian yang menyebabkan saya menyenangi berada di dataran tinggi.
    Dalam bahasa Sunda; GUNUNG adalah kata sifat, sedangkan GUNDUNG adalah kata benda (wujud). Oleh karena itu dalam bahasa Sunda biasa

    menggunakan kata Gunung maupun Gundung.

    Sebuah makna yang sangat menarik untuk dijadikan pelajaran, sebab GUNDUNG dalam bahasa Sunda merupakan kependekan dari ‘hariGU iNDUNG’

    yang artinya PAYUDARA IBU, sedangkan Bumi sendiri adalah Ibu atau biasa disebut IBU PERTIWI. Gundung bentuknya mirip dengan payudara ibu,

    demikian juga maknanya sama dengan Payudara Ibu. Payudara Ibu mengeluarkan ‘CAI SUSU’ (air susu) bagi kemaslahatan dan keberlangsungan

    hidup keturunannya, sedangkan Gundung mengeluarkan ‘CAI NYUSU’ (mata air) bagi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup umat manusia

    seluruhnya. Berawal mentafakuri Gundung yang merupakan simbul keberlangsungan hidup, tentu tidak bisa terlepas dari keberadaan Bumi yang

    merupakan SIMBUL IBU dan Langit merupakan SIMBUL BAPA.

    Sebuah ‘Pitutur Palasifah’ (Kata Filsafat) kehidupan dalam bahasa Sunda yang sarat akan makna bagi PERWUJUDAN KESETIMBANGAN HIDUP,

    tak lain dengan cara ‘MENGKAWINKAN DUA FILSAFAT’, yaitu Filsafat Ibu dengan Filsafat Bapa. Hal demikian terdokumentasi dalam ‘KAWINAN

    KATA’ sebagai berikut:
    ::Indung HAWA ~ Bapa ADAM
    ::Indung BUMIAN ~ Bapa LANGITAN
    ::Indung MAWA SUNDA ~ Bapa MAWA SUNAH (Suna+Da ~ Suna+H)
    ::Indung ANU NGANDUNG ~ Bapa ANU NGAYUGA
    ::Indung TUNGGUL RAHAYU ~ Bapa TANGKAL DARAJAT
    ::Indung NGURUS LEMBUR ~ Bapa NGOLAH JAGAT
    ::Indung SATUNGTUNG UMUR ~ Bapa SATALANGRAGA
    ::Indung NUMUT KA WAKTU ~ Bapa NAMAT KA JAMAN
    ::NgaIndung KA WAKTU ~ Ngabapa KA JAMAN ~ Anak NURUS KU TURUNAN.
    Inilah sebuah RAHASIA BESAR yang harus disingkap, atau dalam Siloka Sunda disebut GUNUNG GEDE BITU dan TALAGA BEDAH.

    Perlu sebuah ‘Tafakur Akbar’ agar menuntun kita kepada hal~hal yang bersifat fitrah.
    WANITA difitrahkan untuk kawin dengan PRIA atau IBU difitrahkan untuk kawin dengan BAPAK.
    Ibu dan Bapak kawin akan melahirkan GENERASI BARU yang dicintai oleh Ibu dan Bapanya.
    FILSAFAT IBU harus kawin dengan FILSAFAT BAPAK agar melahirkan Generasi Baru yang diridhoi Ibu Bapaknya.

    Ada isu ‘Ke~Dulu~an’ hingga ‘Ke~Kini~an’ yang hanya bisa dijawab oleh ‘Pitutur Palasipah’, yaitu sbb:
    ::Filsafat BUDAK ANGON harus kawin dengan Filsafat BUDAK JANGGOTAN agar lahir generasi baru berupa FILSAFAT RATU ADIL atau
    ::Filsafat SATRIA PININGGIT harus kawin dengan Filsafat SATRIA PINANDITA agar lahir generasi baru berupa FILSAFAT RATU ADIL
    ::Filsafat BUMIAN harus kawin dengan Filsafat LANGITAN agar lahir generasi baru berupa FILSAFAT JAMAN BARU ‘KIAM~MAUT’
    ::Filsafat SUNDA harus kawin dengan Filsafat SUNAH agar lahir generasi baru berupa FILSAFAT KEKHALIFAHAN
    ::Filsafat TUNGGUL RAHAYU harus kawin dengan Filsafat TANGKAL DARAJAT agar lahir generasi baru berupa FILSAFAT KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN
    :: Filsafat NGURUS LEMBUR harus kawin dengan Filsafat NGOLAH JAGAT agar lahir generasi baru berupa FILSAFAT MAMAYU HAYUNING

    BUWANA atau RAHMATAN LIL ALAMIN, dst.

    Lho……, ini kan ruang sastra. Apa hubungannya yang saya ceritakan dengan sastra?
    Rupanya sastra bukan hanya sekedar bicara Puisi, Prosa, Prosa Liris dan sebagainya.

    ::Sastra harus dipandang sebagai JEMBATAN AKBAR menuju alam ilmu.
    ::Sastra adalah sebuah sistem bahasa atau disebut juga sebagai SISTEM KALAM menuju kepada penjelasan ALAM & SEGALA ISINYA.
    ::Sastra disebut juga sebagai SISTEM ASMAAKULAHA yaitu Sistem Kosakata seluruhnya.
    ::Sastra disebut juga sebagai SISTEM SASTRAJENDRA yaitu Sistem Bahasa yang tanpa limit.
    ::Sastra harus mengantarkan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan diantarkan oleh bahasa.

    Jadi sangat tidak salah kalau urusan apapun dibahas dalam ruang sastra, sebab SASTRA JENDRA HAYU NINGRAT PANGRUWATING DIYU

    merupakan kunci UNTUK MEMBONGKAR SEGALA RAHASIA ILMU.

    Apa benar……?
    Heheh………..?

    Den Kopral, maaf belum bisa bercerita lebih panjang, butuh waktu untuk menyusun segala yang telah meresap pada alam fikir dan hati saya.
    Terima kasih atas kebaikan Den Kopral Cepot juga teman~teman semua.
    Saya Mandalajati Niskala mohon maaf atas segala kehilapan.

    Cag amitpun; Wass.
    MANDALAJATI NISKALA

Tinggalkan Komentar