Tapak Jejak Negeri Memilih Demokrasi

“Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, haruslah rakyat insyaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul” -Mohammad Hatta-

Katanya, ide filosofis demokrasi sebenarnya telah ada sejak zaman yunani kuno dengan adanya Negara kota (polis) di Athena pada abad ke 4 dan ke 5 SM. Sebuah negara kecil yang juga dengan penduduk yang tidak banyak sehingga demokrasi bisa langsung dijalankan secara partisipatif. Warga Athena tersebut setidaknya bertemu empat puluh kali dalam setahun untuk membahas persoalan-persoalan public . Nah dari siniliah definisi demokrasi klasik terbangun yakni demokrasi asal dan tujuan. Pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat (government of, by and for people).

Menurut Robert Dahl pandangan Yunani tentang demokrasi, bahwa warga Negara adalah pribadi yang utuh yang baginya politik adalah aktivitas social yang alami dan tidak terpisah secara tegas dari bidang kehidupan lain. Nilai-nilai tidak terpecah tetapi terpadu karena itu mereka aktif dalam kegiatan politik. Namun dalam prakteknya pula demokrasi Yunani dalam hal kewarganegaraannya merupakan hal yang eksklusif, bukan inklusif. Persyaratan kewargaanegaraan adalah kedua orang tua harus warga Athena asli. Jika orang asing aktif dan memberikan sumbangan besar pada kehidupan ekonomi dan intelektual akan mendapat status tertentu.

Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Dalam perkembangannya, demokrasi kemudian mengalami redefenisi khususnya bagi Negara-negara besar modern yang mulai muncul pada abad ke-16. Gagasan barupun tentang demokrasi pertama kali dimunculkan oleh kaum Leveller, kelompok republican inggris abad ke-17 dengan menawarkan prinsip perwakilan dalam demokrasi yang kemudian dimatangkan lagi oleh James Mill dan John struat Mill (1806-1873). Prinsip perwakilan dalam demokrasi bagi Destutt de tracy merupakan suatu penemuan baru karena dapat berlaku dalam waktu yang sangat lama dan cakupan wilayah yang sangat luas.

Indonesia Mencari demokrasi

Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu.

Prof. Dr. Miriam Budiarjo dalam bukunya tentang Dasar-dasar Ilmu Politik Edisi Revisi (2008) menjelaskan adanya empat Masa Republik Indonesia dalam sejarah dengan pengetrapan demokrasi yang berbeda-beda. Masa RI pertama tahun 1945-1959 dianggap sebagai masa pengetrapan Demokrasi Konstitusional. Masa RI kedua tahun 1959-1965 dengan pengetrapan Demokrasi Terpimpin. Masa RI ketiga tahun 1965-1998 dengan pengetrapan Demokrasi Pancasila. Serta masa RI keempat tahun 1998 sampai sekarang sebagai Masa Reformasi. Pada masa Demokrasi Konstitusional, 1945-1959, peranan parlemen dan partai-partai politik sangat kuat dan karena itu disebut juga sebagai Demokrasi Parlementer.

Sistem Demokrasi ini membuat kabinet tidak stabil dan karenanya proses pembangunan hampir tidak dapat dilaksanakan. Karena kegoncangan yang tidak ada habisnya itu Presiden Soekarno pada tahun 1959 membubarkan parlemen dan menyatakan RI kembali ke UUD 1945. Masa itu kemudian disebutkan sebagai Masa Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin yang disebutkan berdasarkan UUD 45 dikritik sebagai menyimpang dari demokrasi konstitusional. Salah satu yang dianggap tidak tepat adalah karena Parlemen dibubarkan, padahal tidak ada ketentuan tentang hal ini. Selanjutnya Bung Karno juga diangkat menjadi Presiden seumur hidup, yang juga tidak menurut ketentuan UUD 45 tersebut.

Masa Demokrasi Pancasila tahun 1965-1998 sesungguhnya merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Dengan sistem Demokrasi ini terjadi pemisahan kekuasaan yang wajar, pemerintah lebih stabil sehingga pembangunan yang menguntungkan rakyat banyak bisa berjalan lebih baik. Suasana keamanan lebih stabil sehingga rakyat merasa lebih nyaman dan bisa bekerja dengan lapangan kerja yang memadai. Daya beli rakyat bertambah baik, dan pembangunan yang menguntungkan rakyat banyak bisa berjalan. Kritik yang muncul adalah bahwa Pak Harto, yang muncul kepermukaan karena jasanya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan dalam menumpas G30/PKI dianggap terlalu kuat sehingga hampir semua kekuatan lain tidak bisa menyatakan pendapat dengan bebas dan hampir tidak mungkin menggantikan kekuasaannya.

Masa Reformasi mulai tahun 1998 sampai sekarang, menginginkan tegaknya demokrasi konstitusional sebagai koreksi terhadap sistem Demokrasi yang dianut selama ini. Untuk itu MPR mengadakan empat kali amandemen UUD 45 untuk mengoreksi dan mencegah terjadinya praktik-praktik politik selama masa Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Terpimpin, atau Demokrasi Pancasila. Dengan sistem yang sedang berjalan ini sebagian rakyat beranggapan bahwa reformasi yang kita lakukan “kebablasan” dan pengetrapan demokrasinyapun juga dianggap kebablasan.

Masa Depan Demokrasi Indonesia

Demokrasi Indonesia memang masih dalam proses. Demokrasi membutuhkan sosok yang mampu mengarahkan ke mana demokrasi akan dibawa. Sosok yang mempunyai visi yang benar mengenai demokrasi, memiliki cara komunikasi politik yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan akademik dan emosional untuk membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis. Masalahnya: Indonesia inflasi dengan “demokrasi”, (orang bebas bicara apa pun atas nama demokrasi, orang memblokir jalan tol yang merugikan kepentingan publik dengan dalih demokrasi, atas nama demokrasi orang bisa menghakimi kelompok lain yang dicap sesat), tetapi di sisi lain Indonesia mengalami defisit demokrat. Inilah tantangannya!

Banyak yang mulai menyebut bahwa demokrasi akan kehilangan pesona. Upaya meruntuhkan demokrasi juga terjadi dengan kemunculan kelompok-kelompok teroris dan fundamentalis, serta gerakan-gerakan politik yang mendefinisikan suara publik dengan sekehendak hati. Kelompok-kelompok itu berasal dari gerakan-gerakan internasional yang bertarung di tingkat nasional, tetapi juga dipicu oleh orang-orang yang pernah menjalankan pemerintahan dan kecewa dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Uniknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga bertarung pada level serendah ini, dengan cara memberikan jawaban atas keberadaan kelompok-kelompok yang hendak mengganti pemerintahan secara non-demokrasi. Pada satu sisi, Presiden Yudhoyono memperlihatkan dukungan positif atas demokrasi, tetapi pada sisi yang lain terlihat betapa efisiensi penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan maksimal, sehingga mengganggu capaian-capaian keberhasilan program yang sudah ditetapkan.

Masa depan demokrasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan dan kinerja pranata-pranata demokrasi formal, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Demokrasi juga membutuhkan kaum demokrat. Dalam level yang luas, demokrasi membutuhkan partai-partai politik moderen dan profesional yang sekarang masih terlihat gagu dan hanya memikirkan diri sendiri. Mulai masuknya unsur-unsur perseorangan dalam proses kontestasi demokrasi juga memungkinkan keberadaan alternatif-alternatif kepemimpinan yang tidak hanya berasal dari partai-partai politik. Keabsahan pengendalian pemerintahan kurang mendapatkan gangguan berarti. Kalaupun terdapat usaha untuk mendukung atau mengoposisi pemerintah, kekuatan itu muncul dari kalangan partai-partai politik.

Hanya saja, dari sisi kinerja, demokrasi bukan hanya sekadar melegitimasikan kekuasaan secara konstitusional, tetapi digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara. Dalam banyak aspek, krisis representasi terjadi, ketika aktor-aktor dan lembaga-lembaga demokrasi tidak lagi bekerja demi publik, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu, diperlukan ikatan yang lebih luas antara publik dengan partai-partai politik, misalnya, dalam soal penjaringan calon-calon anggota legislatif dan eksekutif yang diajukan. Memang pada sebagian besar negara-negara demokrasi, tidak ada undang-undang yang mengikat partai politik tentang bagaimana memilih kandidatnya dan setiap partai politik memiliki kebebasan untuk membuat peraturan sendiri (Gideon Rahat, Journal of Democracy, Volume 18: January 2007). Metode penjaringan yang dipilih mengarah kepada inklusifitas dan ekslusifitas. Akan tetapi, demi kepentingan yang lebih luas, publik bisa melibatkan diri dengan cara mengajukan para kandidat yang dijamin lewat undang-undang.

Dengan pelbagai capaian yang sudah diraih oleh Indonesia, terasa sekali ada kebutuhan untuk menjaga agar dinamika demokrasi berlangsung stabil. Unsur-unsur negatif dalam perkembangan demokrasi layak dicegah, misalnya kembalinya militer ke kancah politik, ketertutupan informasi di kalangan penyelenggara negara, pengebirian pers, pengadilan atas pikiran, pelarangan buku, dan ribuan negative list lainnya yang bisa ditemukan dalam setiap catatan sejarah bangsa ini. Sistem politik, pemerintahan dan pranata demokrasi harus menjamin agar daftar negatif itu tidak kembali dalam bentuk tertutup atau terbuka, tidak sengaja, apalagi kalau disengaja.

Sembari itu, cita-cita negara kesejahteraan layak terus-menerus diusung dan dicarikan padanannya oleh setiap penyelenggara negara dan warga negara. Tanpa peningkatan kesejahteraan, baik materiil, maupun spirituil, maka demokrasi saja tidak akan cukup. Demokrasi tidak akan berjalan tanpa makan pagi dan makan siang. Kekurangan selama era Soekarno adalah perkembangan pesat demokrasi yang kemudian juga memicu kekecewaan, sementara pada masa Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai oleh demokrasi. Tugas kita sekarang adalah menggabungkan sisi-sisi positif pada masing-masing era itu, yakni menumbuhkan demokrasi dan memaksimalkan pembangunan, sembari menghilangkan kemiskinan dan juga bentuk-bentuk diktatorisme yang tanpa penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

dari berbagai sumber

9 Komentar

  1. itempoeti berkata:

    demokrasi adalah antithesa dari monarki…
    lalu apa antithesa dari demokrasi???

  2. masblankon berkata:

    Manusia sebagai makhluk dari Sang Khalik.. Jika Demokrasi adl tatanan dimana manusia mengatur manusia,.. maka antithesa demokrasi adl Manusia diatur oleh Sang Kholik.. Sesungguhnya Allah adl Raja Langit dan Bumi..

  3. New Bie Oon berkata:

    bicara politik.. kaga mudeng saya.. 🙂

  4. haniifa berkata:

    Mantaps… @Kang

    Sayangnya negara kita masih mendekati democrazy.. hehehe

  5. nbasis berkata:

    Si Petruk, Si Gareng dan Semar (tanpa Bagong) berbincang serius dan panjang tentang Robert Dahl.
    Dari berbagai sumber, inilah ramuan ceritanya:

    PERCAKAPAN PETRUK, GARENG DAN SEMAR TENTANG DEMOKRASI (Bagian 1)

  6. JAMES TONTEY berkata:

    Pria Jika wanita marah ajaklah dia berbelanja atau ke salon. Niscaya amarahnya langsung hilang.

Tinggalkan Komentar