Antasari – Antikorupsi – Antisirri ; Menulis Sejarah Korupsi Bumi Pertiwi “bareng Rani Juliani”

Pengantar

Antasari sedang menulis sejarah korupsi di bumi pertiwi, negeri yang kaya makmur gemah ripah lohjinawi yang terhampar luas dalam miniatur lapangan golf. Siapa yang tak kenal kiprahnya yang menggebu-gebu dalam pemberantasan korupsi melalui institusi yang paling ditakuti di abad 21 ini yaitu KPK, sejak KPK dipimpin oleh Antasari Azhar, insititusi pemberantasan korupsi mendapat kepercayaan besar dari masyarakat, Selama sekitar 2 tahun kepemimpinan, telah banyak pejabat tinggi baik di legislatif maupun petinggi-petinggi daerah seperti Gubernur dan Bupati. Masih segar dalam ingatan kita bahwa keberanian KPK dapat membawa Sarjan Taher, Hamka Yandhu, Al Amin Nasution, Saleh Djasit, Jaksa Urip, Artalyta yang melambungkan nama Antasari Azhar.

Tapi biarlah beliau dengan segala tindak tanduknya yang sekarang mendapat perhatian besar atas kasus “pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen” jelang Pilpres 2009 melanjutkan “jejak penulisan sejarah” yang akan dikenang dimasa datang. Supaya jejak penulisan sejarah memiliki kontinuitas masa kini dengan masa lalu, ada baiknya kita mengenal pula “Sejarah Korupsi di Bumi Pertiwi” tentu tanpa “Rani Juliani” :D. (mohon maaf judulnya tidak terlalu nyambung dengan posting yang akan dibahas, maklum admin-nya lagi keranjingan membaca blog yang ngebahas beliau-beliau). Serba Sejarah tetep konsisten hanya menulis sejarah dan seputar yang ada kaitannya dengan sejarah. Sebagai rasa penasaran, keingintahuan dan pembelajaran tentang seluk beluk korupsi, serba sejarah mencari via mbah google tentang sejarah korupsi. Bebarapa hal yang ditemukan kami tuliskan dalam :

“SEJARAH KORUPSI DI BUMI PERTIWI”

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Jika ditelusuri lebih dalam lagi, gejala korupsi yang berkembang bukanlah gejala penyakit sosial yang muncul di era modern saat ini. Namun, melalui sebuah proses dari setiap masa yang dilewati. Periode yang di lewati dalam sebuah tradisi atau gejala sosial akan memuncak dan muncul minimal setelah tiga generasi dengan perhitungan satu generasi selama 25 tahun. Korupsi yang saat ini mendera masyarakat Indonesia telah berakar kuat karena adanya proses yang cukup panjang. Tidak hanya di Indonesia, tetapi semua bangsa juga berakar dari sejarah ke masa silam. Korupsi adalah suatu gejala sosial dalam sejarah dan masa kini.

Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua, apakah benar korupsi itu sudah menjadi budaya bangsa kita sejak zaman kerajaan dulu? Jika benar korupsi sudah menjadi budaya bangsa kita sejak zaman kerajaan, lalu kenapa semua itu tidak kita jadikan pelajaran untuk bangsa kita agar tidak mengulanginya lagi saat ini? Apakah korupsi baru muncul tiga generasi kebelakang sehingga saat ini korupsi masih belum bisa diberantas dengan baik, ataukah ada perubahan definisi? Pada zaman kerajaan memberi upeti adalah hal yang biasa dan wajib, tetapi untuk saat ini upeti dapat dianggap sebagai tindak korups

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

Dalam sejarah masyarakat feodal sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat ditemukan tradisi upeti bangsawan rendahan kepada bangsawan yang memiliki kekuasaan lebih tinggi. Tujuannya adalah agar kedudukan lapisan bawah ini aman, terlindung, tetap berkuasa, atau mendapat legitimasi untuk melakukan eksploitasi terhadap para pengikut di daerah kekuasannya. Pola relasi seperti ini dipertahankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara menempatkan pejabat-pejabat pribumi di distrik tertentu untuk menguasai daerah serta penduduknya. Pemerintah Kolonial Belanda akan mempertahankan pejabat-pejabat pribumi yang berhasil melaksana-kan kebijakannya dan yang memberikan upeti kepada pejabat kolonial. Upeti yang diberikan pejabat pribumi itu berasal dari hasil eksploitasi mereka terhadap penduduk pribumi. Pola relasi seperti ini telah melahirkan kebiasaan bangsa pribumi yang memiliki kedudukan tertentu menjilat penjajah (penguasa) agar kedudukan mereka tetap dipertahankan. Sedangkan rakyat jelata berusaha menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman pamong praja yang menjadi kepanjangan tangan penguasa kolonial dengan berbagai cara termasuk, jika diperlukan, mengorbankan sesamanya.

Korupsi Dari Masa Ke Masa

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan.
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan.
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).

Korupsi Masa VOC

Dalam tulisannya yang berjudul “The Ideal of Power in Javanese Culture”, Benedict Anderson (1972) menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia. Tengara Anderson ini tidaklah berlebihan, terutama jika kita mengikuti sejarah perkembangan lahirnya negara Indonesia jauh sebelum dideklerasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penelitian ini mencoba mendeskripsikan korupsi sejak masa datangnya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di wilayah Nusantara.

VOC adalah sebuah asosiasi dagang yang pernah menguasai dan memonopoli perekonomian di wilayah Nusantara. Dalam catatan sejarah, asosiasi ini bahkan bertindak sebagai “pemerintah” yang berkuasa atas wilayah Nusantara. Praktik dagang yang dikembangkan sangat monopolis, sehingga tidak berlaku “hukum” mekanisme pasar dalam perekonomian. Tak ada kesejahteraan buat mereka yang tidak menjadi bagian elite monopolis. Hubungan dagang diwarnai oleh kecurangan-kecurangan dan persekongkolan yang cenderung korup. Karena tingginya tingkat korupsi di tubuh VOC itulah maka akhirnya VOC mengalami kebangkrutan. Sebagai bukti tingginya praktik kecurangan dan korupsi, kalangan kritis waktu itu memplesetkan VOC bukan kepanjangan dari “Verenigde Oost Indische Compagnie” tetapi kepanjangan dari “Verhaan Onder Corruptie” yang artinya runtuh karena korupsi. Menurut catatan sejarah, kebangkrutan VOC setidaknya terjadi pada paruh kedua abad XVIII.

Jika sejarah bangsa Indonesia ditelusuri dari adanya berbagai pengaruh dunia luar sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, maka masa VOC turut berkontribusi menjadikan tumbuh dan berkembangnya korupsi di Indonesia hingga menjadi budaya (budaya korupsi). Pelajaran lainnya adalah bahwa ternyata korupsi berdampak negatif pada perekonomian, yang ditunjukkan oleh keruntuhan VOC itu sendiri yang disebabkan oleh akutnya praktik korupsi di dalam tubuhnya. Para pejabat VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga juru tulis, banyak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam banyak kasus ditemukan jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan perdagangan diperjualbelikan dan diberikan kepada orang yang memberikan penawaran tertinggi.

Korupsi Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Dalam bukunya yang berjudul “Politik, Korupsi, dan Budaya”, Ong Hok Ham menyatakan bahwa korupsi telah merasuk dan menjadi kenyataan hidup bangsa Indonesia. Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sejak jaman penjajahan Belanda. Ini dapat ditelusuri dai munculnya terminologi (istilah) “katabelece” sebagai salah satu modus operandi korupsi. “Katebelece sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti Surat Sakti. Gunanya untuk mempengaruhi kebijakan/keputusan untuk kepentingan atau tindakan yang sifatnya menguntungkan pribadi atau kelompok“ (Thamrin, 2000).

Pernyataan Ong Hok Ham tersebut cukup memberi penegasan bahwa membudayanya korupsi di kalangan masyarakat saat pendudukan dan pengaruh VOC ternyata berlanjut hingga VOC itu sendiri hengkang dari bumi Nusantara. Berdasarkan catatan sejarah, munculnya penjajahan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari cerita dagang VOC di bumi Nusantara. Karena itu ketika Belanda menjajah Indonesia, korupsi yang sudah membudaya di kalangan masyarakat itu sulit diberantas.

Pergantian era dari VOC ke era Pemerintahan Hindia Belanda tidak menjadikan wilayah Nusantara terbebas dari praktik dan budaya korupsi. Meskipun upaya pemberantasan korupsi dilakukan, tetapi korupsi tetap saja terjadi, bahkan faktanya korupsi semakin merajalela. Politik tanam paksa yang diambil Belanda malah menjadikan praktik korupsi tumbuh subur di kalangan pejabat “pemerintahan” dalam negeri (yang merupakan orang-orang pribumi). Praktik korupsi sudah benar-benar merambah ke pejabat pribumi yang diberi kewenangan oleh Belanda. Korupsi bahkan tetap dan terus terjadi meskipun Belanda mencabut system tanam paksa dan diganti dengan system perekonomian liberal. Hal ini semakin memberikan pengetahuan kepada kita bahwa korupsi sudah tidak lagi dapat diselesaikan dengan pendekatan system perekonomian. Karena sudah terlampau merasuk merusak moral.

Korupsi Masa Pendudukan Jepang

Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu (Thamrin, 2000).

Korupsi pada masa pendudukan tentara Jepang diperparah oleh adanya kekacauan ekonomi rakyat, dan terlalu berorientasinya Jepang pada ambisi untuk memenangi perang di kawasan Asia, sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Thamrin (2000), ahli sejarah banyak yang mencatat bahwa korupsi pada saat pendudukan Jepang bahkan lebih parah dibandingkan masa VOC maupun masa pemerintahan Belanda.

Ketiga, Fase Zaman Modern.
Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.

Penutup

Masalah sosial yang muncul dalam sejarah perjalanan bangsa ini tidak hanya menarik untuk dikaji dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan juga bisa menjadi bahan pelajaran yang menarik dikembangkan dalam pembelajaran sejarah.

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi—dengan berbagai pertanyaan yang harus dijawab—saat ini dapat dikatakan atau disepakati telah mengakar dan membudaya. Para pengamat korupsi banyak yang memaparkan mengenai asal-usul korupsi pada hakikatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal sistem pemerintahan feodal (oligarki absolut). Secara sederhana dapat dikatakan pemerintahan yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (raja-raja atau sultan) yang notebene memiliki kekuasaan penuh. Korupsi yang ada saat ini berasal dari masa lalu yang bertumpu pada kekuasaan “birokrasi patrimonial” dan bertumpu sistem feodal.

Mentalitas feodal yang belum hilang pada jati diri bangsa inilah salah satu sebab sulitnya membangun masyarakat yang bersih dari korupsi serta membangun masyarakat modern. Feodal juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya karena Jepang yang dulunya—mungkin sampai saat ini—merupakan negara feodal mampu bangkit dan maju. Mereka mampu mengendalikan zaman dengan feodalnya, bukan tertinggal zaman dengan alasan adanya mental feodal.

Akhirnya kini bumi pertiwi masih sedang dan akan menulis “Sejarah Korupsi di Bumi Pertiwi” yang akan dibaca oleh anak cucu bangsa Indonesia di fase generasi selanjutnya… dan diantara yang pasti akan dibaca adalah “Antasari – Antikorupsi – Antisirri : Menulis Sejarah Korupsi Bumi Pertiwi “bareng Rani Juliani” … 😀

Referensi link :

  1. alsekut.multiply.com/journal/item/10
  2. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/03/opi01.html
  3. herdiansyah-hamzah.blogspot.com/2008/01/seri-tulisan-hukum.html
  4. alumni.upi.edu/?p=Agenda&id=29
  5. swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M
  6. blog.unitomo.ac.id

14 Komentar

  1. tirtaamijaya berkata:

    asswrwb….trims utk kunjungannya….informasi sejarahnya OK banget !…tapi tolong dong carikan info yang lengkap tentang “Cinta segitiga Nasrudin-Rani Yuliani- Antasari Azhar”…soalnya nada terlanjur posting judul itu…..postingkan diblog anda, nanti saya kunjungi lagi….kalu gak ada …ogah ah !…..Thanks…

    ———————————-
    Kopral Cepot : Jangan gitu donk mas, masa ngak mau mampir lagiiii.. :D, klo info cinta segitiga… liat ajah di blog sebelah… masalahnya cinta segitiga beliau-beliau belum masuk jadi “file sejarah”

  2. masmpep berkata:

    korupsi sudah menjadi realitas. bagaimana ya, kita keluar dari belenggunya. membuat frustasi dan malu menjadi orang indonesia, he-he-he.

    salam,
    masmpep.wordpress.com

    ————————-
    Kopral Cepot : emang bener dah jadi realitas tanpa penyelesaian yang tuntas… mestinya yang malu itu yang korupsi tapi klo di liat-liat malah mereka bangga jadi orang indonesia… entah lah mas… 🙂

  3. Ncadvertise berkata:

    Kasihan Antasari, tapi kasus ini kayaknya juga menutupi kekisruhan pemilu ya
    kujungi juga Newbie dari Komunitas Blogger Banyuwangi 57net.co.cc

  4. Chat S3x berkata:

    Kasihan ya mereka2 itu, harta dan tahta (jabatan) udah dpt eh malh jtuhnya oleh wanita (mem*k)… yah mo gmna lg… Good article!

  5. Me berkata:

    Buat orang Indonesia…! Be smart….!!! SEMUDAH DAN SESIMPEL ITUKAH SEORANG ANTASARI AZHAR MERANCANG SEBUAH PEMBUNUHAN BERENCANA…????
    Beliau mengungkap kasus2 KPK dengan teknologi IT tingkat tinggi loohhh…, masak mengancam dan memerintahkan pembunuhan berencana dilakukan lewat HP…???? Duoooh…… Jangan gampang dong opini dibentuk oleh MEDIA….. BE SMART…..!!!!!!
    Polisi gampang buangeet nangkep para eksekutor Nasrudin Zulkarnaen, tapi susah banget melacak keberadaan Rani Juliani (biarpun sekarang ‘KATANYA’ sudah diamankan….). Trus, katanya para eksekutor itu memberikan identitas yang jelas waktu menyewa mobil (rental) yg dipake utk operasi pembunuhan….?! hi hi hi . . . kok kyk latihan nyari jejak pramuka ajahhhhh…… (jejak sengaja ditinggalkan, hua ha ha ha ha . . . .). Trus, kata pembela para eksekutor itu, pembunuhan dilakukan secara terang2an karena ini tugas negara…. hua ha ha ha ha. . . . Ini sinetron apa acara CUPU ya….????????

    Ini mah konspirasi…. tapi konspirasi yang dangkal…!! Terlalu dangkal dan mudah disibak oleh nalar…!!! Kalaupun benar seorang Antasari Azhar memerintahkan membunuh…., minimal sekelas pembunuhan Munir lah……!!! Be smart….!!!!! Jangan gampang terpengaruh GOSIP MURAHAN….!!!!!!!1

  6. Kinanta berkata:

    Lengkap betul Sejarahnya, Nice Article

  7. itempoeti berkata:

    Nampaknya sekali lagi terjadi moderasi bahkan distorsi atas pemaknaan kata oleh para ahli sejarah kita. Upeti, seperti halnya kalimat ‘lengser keprabon madek pandito’ yang digunakan oleh Soeharto ketika mundur dari kursi kekuasaannya telah mengalami pergeseran makna.

    Soharto menggunakan istilah ‘lengser keprabon madek pandito’ untuk menjustifikasi mundurnya dia dari jabatan presiden. Padahal sesungguhnya kalimat tersebut sangat tidak tepat ditempatkan dalam konteks mundurnya Soeharto.

    ‘Lengser keprabon madek pandito’ digunakan oleh seorang Raja yang memang sudah memutuskan untuk mundur sebagai raja dengan sukarela tanpa paksaan dan tekanan pihak manapun. Sang Raja, sudah mempersiapkan suksesor untuk menjadi penerusnya dan mengalihkan kekuasaannya kepada Putera Mahkota.

    Raja lalu meninggalkan semua atribut kebangsawanan dan keksatriannya untuk menempuh hidup baru mengasingkan diri dari keduniawian untuk menjadi seorang Brahmana, mandito, menjadi pendeta untuk mencapai apa yang disebut mokswa atau ngahiang sebagai bentuk pencapaian kesempurnaan hidup.

    Mundurnya Soeharto sebagai Presiden tentu sama sekali tidak memenuhi apa yang sudah dijelaskan di atas tentang ‘lengser keprabon madek pandito’. Yang jelas dan pasti, Soeharto adalah seorang presiden bukan seorang Raja.

    Demikian pula dengan pemaknaan upeti. Upeti dalam konteks kekinian dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh bawahan yang memberikan atau menyetorkan sejumlah harta atau benda kepada atasannya untuk menyenangkan hati atasannya. Tindakan yang dilakukan murni bersifat personal bukan institusional prosedural.

    Sementara, upeti dalam konteks kerajaan di jaman dulu adalah sebuah mekanisme institusional prosedural yang dilakukan sebagai bentuk kontrol terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik raja-raja kecil, kadipaten maupun tanah-tanah perdikan.

    Penyerahan upeti dilakukan secara periodik dalam sebuah resmi kenegaraan yang dihadiri oleh seluruh pembesar/petinggi daerah. Mereka masing-masing menyerahkan upeti secara terbuka dan diketahui oleh publik. Jenis, kuantitas dan kualitas upeti diumumkan langsung sehingga diketahui tidak saja oleh seluruh undangan yang hadir, namun juga oleh publik.

    Jenis, kuantitas dan kualitas yang diserahkan sesungguhnya adalah representasi dari tingkat kemakmuran daerah tersebut. Apabila upeti yang diserahkan mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya, Raja akan menanyakan apa yang menjadi penyebab terjadinya penurunan upeti.

    Tentu saja Raja tidak serta merta menerima begitu saja semua laporan yang diberikan. Raja juga mempunyai pasukan telik sandi yang selalu memberikan laporan perkembangan yang terjadi di semua wilayah kerajaan sehingga tercipta mekanisme check and balance antara laporan dari para penguasa wilayah dengan laporan para telik sandi.

    Yang seringkali menimbulkan kerancuan adalah justru ketika para ahli sejarah dan antropologi tidak bisa membedakan antara upeti dan buah tangan (oleh-oleh). Dalam masyarakat kita yang penuh dengan persaudaraan, keguyuban dan semangat gotong royong; kebiasaan saling kunjung mengunjungi dengan membawa buah tangan atau oleh-oleh adalah hal yang biasa dna lumrah.

    Demikian juga ketika ada sanak saudara dan handai taulan yang akan pamit pulang (setelah selesai berkunjung) atau akan pergi ke suatu tempat yang jauh, biasanya akan diberi sangu baik berupa uang atau perbekalan.

    Hal-hal tersebut, apabila dilihat dalam perspektif KKN yang dikembangkan oleh barat, sudah barang tentu dianggap memenuhi unsur-unsur KKN. Oleh karena itu, sangat tidak proporsional jka kita mencoba memotret fenomena yang terjadi di masa lalu dengan cara pandang kacamata kekinian dimana sudah terlalu banyak pemahaman filosofis dan nilai-nilai etos dan mitos yang sangat berbeda bahakan bertolak belakang.

  8. erna berkata:

    Kak boleh tanya? Bisa kasih tau yang Thamrin (2000) itu siapa dan judul bukunya apa ya?

Tinggalkan Komentar