Kenapa Rumit Mentafsirkan Sejarah?

Sepanjang menyangkut ihwal tentang kajian kesejarahan, yang umumnya diketahui bahwa yang menjadi permasalahannya adalah mengenai metod tafsir seperti apa yang paling accountable dalam usaha untuk memahami konstruksi realiti di masa lampau.

Para peminat sejarah, mulai dari kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan, tak jarang di antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung alasan yang saling bertolak belakang.

Kesulitan metodik semacam itu jelas mustahil di atasi, mengingat upaya penafsiran, sebagaimana diakui para ilmuwan sejarah seperti Arnold J. Toynbee, tak mungkin sterile dari nilai-nilai subjektiviti masing-masing penafsir. Sehingga secara normatif boleh dikatakan bahawa nilai subjektiviti tersebut merupakan saudara kembar metode tafsir dalam bentuk apapun.

Ini disadari lantaran apa yang disebut dengan sejarah bukanlah sebuah upaya membangun atau menghidupkan kembali (reconstruct) sesuatu peristiwa atau teks masa lampau. Tapi, lebih sebagai proses penalaran tentangnya, yang secara aksiologi dimaksudkan agar seseorang memahami posisi dan arti dirinya dalam kerangka waktu tertentu.

Namun, terlepas dari keriuhan dan kerumitan perdebatan metodik tersebut, tak boleh dinafikan bahawa apa yang diistilahkan dengan sejarah (yang diakui bahawa erti literalnya sampai sekarang sepenuhnya berasal dari bahasa Inggeris “history”, yang berakar dari bahasa Yunani kuno, istoria, atau belajar dengan cara bertanya-tanya) bukanlah dimaksudkan sebagai upaya merekonstruksi secara material dan faktual segenap kenyataan yang pernah terjadi di masa lalu.

Tapi, sebagai proses penalaran yang berorientasi menyingkap makna yang terselip di antara reruntuhan monumen bisu, jejak-jejak peristiwa, serta antologi tekstual. Di mana secara aksiologi, semua itu dianggap amat signifikan bagi seseorang yang ingin memahami posisi dirnya dalam kerangka waktu tertentu.

Berdasarkan paradigma semacam itu, bahawa tugas seorang sejarawan bukanlah “menghidupkan kembali” konstruksi kenyataan masa lalu – yang di akui mustahil untuk dilakukan – tapi lebih kepada memperoleh pemahaman berdasarkan nalar tentangnya, menjadi sulit menolak fakta bahawa tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot subjektivitas pengamat.

Motif serta berjalannya sebuah proses penalaran pada dasarnya sudah mencerminkan adanya kepentingan serta subjektiviti itu sendiri. Jadi, tak satu pun karya dalam bidang sejarah yang sterile dari pandangan – bahkan prasangka – pribadi maupun primordial.

Sejarah ; Fungsi Akademis dan Propaganda

Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Arab menyatakan bahwa para penguasa selalu berusaha untuk menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Bahkan kalau perlu ia melakukan manipulasi data seperti yang dilakukan Ken Arok ketika ia mendirikan Singasari dan membuat silsilah yang menerangkan bahwa ia adalah keturunan dari Raja-raja Mataram.

Dalam konteks tersebut, sejarah memainkan peranannya sebagai sarana propaganda dan melupakan mission sacre-nya sebagai sebuah ilmu objektif yang mengungkapkan sebuah kebenaran.

Fungsi akademis ilmu sejarah yang berlandaskan pada objektivisme selama ini terabaikan ketika sejarah dibawa ke dalam ruang publik. Dalam ruang publik yang plural, setiap kelompok, terutama kelas penguasa selalu berusaha merebut tafsir sejarah yang sedang berlaku. Terbukanya ruang penafsiran yang begitu lebar dalam disiplin ilmu sejarah memberikan kesempatan yang luas bagi penguasa untuk menafsirkan, meromantisasi dan bahkan memanipulasi sejarah sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian selama berabad-abad usia ilmu pengetahuan, ilmu sejarah hanya memotret sebuah peristiwa dan tokoh-tokoh besar dan mengabaikan peranan rakyat jelata. Hal ini pun direpresentasikan dalam istilah sejarah dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan). Sejarah dengan demikian identik dengan miliknya kelas penguasa (ruling class) dan bahkan bersifat maskulin, mengingat tokoh-tokoh besar dalam sejarah hampir semuanya laki-laki. Selain itu, sifat maskulin sejarah juga bisa terlihat dengan hanya diungkapkannya peristiwa-peristiwa kekerasan berdarah yang berstereotipe maskulin dan jarang menceritakan peristiwa-peristiwa kedamaian dan toleransi antarumat manusia yang bersifat feminin.

Selama berabad-abad sejak ilmu sejarah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, karena telah mempunyai metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan data)-kritik atas data-interpretasi-historiografi, ilmu sejarah hanya bersemayam di istana raja-raja bukan di gubuk-gubuk reot rakyat jelata. Berbagai monopoli tafsir dan manipulasi sejarah telah berulangkali dilakukan oleh para penguasa, baik untuk melegitimasi kejayaan atau bahkan memaklumkan kekalahannya.

(diambil dari berbagai sumber)

Kesimpulan.
Ilmu sejarah hanya bersemayam di istana raja-raja bukan di gubuk-gubuk reot rakyat jelata. Nah sebagai kopral (red-kopral cepot) sebenarnya mana pantas untuk mentafisrkan sejarah.

Ada hal yang menggembirakan dalam sudut pandang akademik dimana ;
– menjadi sulit menolak fakta bahawa tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot subjektivitas pengamat.
– Para peminat sejarah, mulai dari kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan, tak jarang di antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung alasan yang saling bertolak belakang.

Sederhananya adalah “Tidak ada rumus baku dalam mentafsirkan sejarah” inilah yang bikin aku PD (percaya diri) untuk membuat “Tafsir Sejarah Versi Gue”.

Tinggalkan Komentar