Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (5)

*Sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”. Lanjutan dari bagian keempat : Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (4)

***************

Sebuah karangan berjudul “Budi Utomo dan Sarekat Islam”, terbit dalam Boedi Oetomo 1 Maret 1913, karya pengarang bernama samaran “S”, menyatakan: Ketika Budi Utomo lahir, diharap akan menerima bantuan dari semua bupati untuk mengembangkan organisasi itu. Permintaan demikian diulang kepada para bupati oleh pengurus cabang-cabang Budi Utomo. Tetapi hampir di semua tempat permintaan ini ditolak atau diabaikan. Malah ada juga bupati yang sangat merintangi kegiatan Budi Utomo. Karena Budi Utomo ini penuh dengan daya hidup, dan tidak sekadar diam berpangku tangan, maka akhirnya memperoleh arahnya yang mantap. Sekarang bisa saya katakan, Budi Utomo telah meluas ke keraton Jawa, di Yogyakarta dan Surakarta.

Marilah kita penduduk pribumi semua mengucap syukur kepada Tuhan! Dewasa ini sebagian besar bupati telah berubah sikap. Mereka tidak mau membantu organisasi, seolah-olah karena organisasi W telah menentang bupati. Untungnya, rakyat pribumi menerima bantuan dalam bentuk dukungan mantap dari keraton Jawa. Apakah hasil perkembangan ini? Rakyat pribumi tak bisa tidak akan memberikan dukungan mereka terhadap keraton Jawa, dan tak mau peduli lagi terhadap kalangan bupati. Antagonisme antara daerah kerajaan dan bupati bukan merupakan perkembangan baru. Sejarah Jawa sebelum 1900 menunjukkan, hubungan antara kedua pihak ini umumnya lebih bersifat bersaing ketimbang bekerja sama.

Terpilihnya Pangeran Noto Dirodjo sebagai ketua jela mempertajam perasaan antibupati di kalangan sementara anggota Budi Utomo. Usaha mengurangi perasaan antipati demikian, melalui orang-orang seperti Koesoemo Oetoyo, yang memainkan peranan penting baik di dalam.Budi Utomo maupun di dalam persatuan bupati, ternyata sia-sia. Kendati berulang-ulang ia menyatakan bahwa persatuan bupati tersebut akan bersikap bersahabat terhadap Budi Utomo, nada permusuhan di pihak persatuan bupati itu pun semakin menajam.

Beberapa anggota mereka konon memperolok-olokan Budi Utomo sebagai Budi Olo, atau “usaha buruk”. Dalam karangannya yang lain, “S” terang-terangan menyatakan, hari depan adalah milik Budi Utomo, bukan milik bupati: Gerakan Budi Utomo adalah gerakannya rakyat pribumi, yang mengikuti perkembangan zaman. Andai kata gerakan ini dirintangi langkahnya, dari arah mana pun (rintangan) itu datang, ia tak akan terlawan. Barangsiapa berusaha hendak menghentikannya, ia pasti gagal dan bahkan akan tergilas roda gerakan. Semakin keras ia berusaha, semakin cepat ia akan runtuh. Jika perhimpunan para bupati menganggap diri mereka sekuat seperti batu karang di laut, maka bumiputra adalah ibarat gelombang. Jika gelombang menghantam sekali atau dua kali batu karang memang tak akan goyah. Tet.pi jika ia menghantam dan menghantamnya terus-menerus bertahuntahun, semakin lama gelombang memukul, semakin besar gelombang datang bergulung-gulung. Batu karang tak bisa tidak pastilah akan pecah menjadi dua, tenggelam ke dasar laut diseret gelombang.

Penulis “S” dengan tepat melihat pengaruh bupati yang makin memudar, karena lalai akan kenyataan berkembangnya organisasi-organisasi yang ternyata berpengaruh kuat, dan akhirnya menutupi Budi Utomo. Organisasi itu ialah Sarekat Islam dan Indische Partij. – Organisasi Sarekat Islam didirikan, menurut Tirtoadisoerjo, karena: Setiap orang tahu bahwa zaman sekarang ini dipandang sebagai zaman kemajuan. Kita harus mempunyai pedoman (dalam mencari kemajuan itu): janganlah mencari kemajuan sekadar dalam kata-kata saja. Usaha mencari kemajuan ini menjadi kewajiban kita sebagai orang Islam, karena itu kita telah memutuskan untuk mendirikan perhimpunan Sarekat Islam. Seperti Budi Utomo, Sarekat Islam juga menekankan perlunya kemajuan. Tetapi alasan fundamental di balik gagasan ini sangat berbeda dari Budi Utomo. Sarekat Islam menekankan kepada aksi, dan tidak sekadar berbicara. Pada mulanya, aksi ini ditujukan untuk melawan saingan dagang yang paling kuat, yaitu para saudagar Cina, sehingga sentimen anti-Cina tersebar di seluruh Jawa Timur.

Solidaritas para pengusaha batik di Surakarta sangat diperkukuh oleh perasaan adanya musuh bersama ini Pada 10 September 1912, Oemar Said Tjokroaminoto berhasil membentuk “Sarekat Islam Raya” dengan mempersatukan sejumlah organisasi lokal menjadi satu kelompok pusat di Surabaya. Anggaran dasar organisasi gabungan ini menyerukan supaya:

  • Dikembangkan semangat dagang di kalangan penduduk pribumi,
  • Membantu anggota yang kesulitan, dan tidak lantaran kesalahan mereka sendiri,
  • Ditingkatkan pembangunan jiwa dan semangat kebendaan di kalangan penduduk pribumi,
  • Melawan pikiran-pikiran keliru mengenai Islam, dan mengembangkan hukum dan adat kebiasaan Islam.

Dua tiang utama organisasi ini ialah semangat dagang dan agama Islam. Semangat keislamannya tidak hanya ditujukan terhadap santri di kalangan penduduk pribumi, tetapi juga kalangan pedagang Islam dari negara-negara Arab. Di bawah pimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam dengan cepat berkembang menjadi suatu gerakan politik, dan jumlah anggotanya pun segera membengkak.

Pertambahan keangotaannya yang luar biasa selama dua tahun pertama umur organisasi ini dicatat Bernhard Dahm: April 1912 4.500 Desember 1912 93.000 April 1913 150.000 April 1914 366.913 Angka-angka ini sangat menakjubkan bila dibanding dengan jumlah tertinggi anggota Budi Utomo yang, pada akhir 1900, hanya sebanyak 10.000 orang. Jumlah anggota bukanlah satu-satunya perbedaan penting antara dua organisasi ini.

Menurut laporan Asisten Penasihat Urusan Pribumi, D.A. Rinkes, pada 1912: Juga terlihat bahwa orang-orang dari segala tingkat oposisi (terhadap pemerintah sekarang) mendapatkan tempatnya di sana. Artinya, ada orang-orang yang menentang usaha-usaha pembangunan modem dan pembaruan seperti yang dilakukan Budi Utomo Surakarta (sic) (usaha tersebut tidak berjalan baik di tempat lain), tetapi juga orang-orang yang menentang kaum bangsawan yang berleha-leha itu. Karena itu, di dalam Sarekat Islam bisa ditemukan orang-orang yang berpikiran sempit dan reaksioner tegar, tetapi juga orang-orang yang menganjurkan segala bentuk pembaruan modern.

Tidak seperti Budi Utomo dan (gerakan) kebangunan Cina, para penganjur Jawanisme yang di dalamnya berhimpun berbagai aliran ke arah demokrasi sejati ini, idak menghendaki Eropanisasi, tetapi lebih cenderung hendak mempertahankan masyarakat Jawa yang khas. Bisalah dikatakan bahwa anggota Sarekat Islam adalah nasionalis, dan para demokrat yang berdasarkan keagamaan. Dari kedua sudut itu mereka menentang kaum internasionalis yang berpaham kosmopolitan. Rinkes agaknya terlalu berlebihan mengemukakan penekanannya pada “Jawanisme” dalam Sarekat Islam karena aspek ini ternyata segera meluntur. Tetapi ia melihat dengan tepat perbedaan pandangan antara kedua organisasi itu: Budi Utomo mendukung pembaruan secara etis, khususnya dalam wujud perbaikan pendidikan, adapun Sarekat Islam berisikan berbagai elemen yang tak puas, yang merasa dirugikan oleh perubahan sosial yang berlangsung cepat. Perbedaan pandangan.tersebut tentu saja tercermin pada corak tokoh-tokoh yang memasuki kedua organisasi itu.

Seperti dikemukakan Fromberg pada 1914: Satu ciri gerakan Sarekat Islam ialah menuding para pejabat pemerintah pribumi sebagai penanggung jawab utama kemelaratan rakyat. Orang yang bukan pribumi terlihat membawa lari keuntungan dari negeri ini, dan para pejaba pribumi itu ternyata bukan pelindung rakyat. Rakyat merasa dikekang oleh hukum adat yang menindas setiap usaha mengangkat diri selalu gagal, dan para pejabat pribumi terlihat seperti pembela-pembela terkemuka hukum adat itu. Maka, setiap elemen yang merupakan tiang utama Budi Utomo – yaitu kaum priayi – menjadi sasaran utama kritik Sarekat Islam.

Hendaknya diingat bahwa perlawanan secara lisan dan bahkan jasmaniah terhadap kekuasaan keduniawian memang kuat secara tradisional di kalangan guru-guru agama. Sikap seperti ini diteruskan di dalam Sarekat Islam. Karena itu, Budi Utomo berperangai seperti partai semipemerintah, sedangkan Sarekat Islam mengambil sikap kritis terhadap pemerintah.

Prasangka anti-pemerintah ini merupakan ciri mencolok pada semua pemimpin terkemuka Sarekat Islam dari awal. Semua pernah mengalami dipecat dari birokrasi pribumi atau keluar dengan kemauan sendiri. Tjokroaminoto, orang yang berasal dari keluarga terpandang, lulusan OSVIA Magelang, pernah bekerja di kalangan pemerintahan pribumi. Setelah mencapai kedudukan patih, ia keluar dan bekerja di sebuah pabrik gula di luar Kota Surabaya. Ketika itu, ia masuk Sarekat Islam.

Raden Goenawan, anak seorang asisten wedana, lulusan OSVIA Probolinggo, bekerja di lingkungan pamong praja, dan dipecat setelah bertengkar dengan atasannya mengenai masalah diskriminasi. Ketika ikut dalam kegiatan Sarekat Islam, ia hidup dalam dunia usaha. Abdoel Moeis, yang juga berasal dari keluarga terpandang, menyelesaikan pendidikannya di kursus persiapan STOVIA, bekerja sebagai juru tulis pada Departemen Pendidikan, kemudian keluar karena kecewa dengan suasana pekerjaan. Setelah itu, ia bekerja sebagai wartawan, dan pada 1912 menerbitkan Kaum Muda, sebuah harian progresif di Bandung. Dengan demikian, ketiga orang itu bisa dipandang sebagai “intelektual merdeka” yang telah berpaling dari birokrasi pribumi, dan mengharap akan mencapai posisi lebih baik sejauh dimungkinkan oleh pendidikan dan asal mereka. Mereka membenci birokrasi kolonial yang tidak adil, dan memandang rendah para pejabat pribumi yang menghambakan diri mereka untuk itu. Wajar apabila Sarekat Islam tidak mencari anggota dari kalangan pejabat pribumi.

Tak heran, beberapa anggota tak resmi Budi Utomo yang berusia muda, dan yang kecewa oleh kegiatan organisasi yang hangat-hangat tahi ayam, tertarik kepada perjuangan Sarekat Islam. Para pimpinan Budi Utomo menyadari, mereka sedang berhadapan dengan saingan besar yang didukung oleh massa. Maka, berlawanan dengan sikap antipati yang terus terang dari kalangan banyak anggota Sarekat Islam terhadap Budi Utomo, mereka memberikan pernyataan-pernyataannya tentang kelompok yang lebih militan ini dalam kata-kata yang sangat berhati-hati. Rinkes menyatakan: Sikap Budi Utomo terhadap organisasi baru itu sangat berhati-hati. Hanya sesudah tampilnya residen (G.F. van Wijk, Residen Surakarta, yang menyokong kegiatan imigran Cina pada saat berdirinya Sarekat Islam itu), Budi Utomo dengan bersemangat menyatakan simpatinya terhadap Sarekat Islam. Tetapi kesan yang timbul, simpati itu sama sekali tidak berasal dari kesetujuannya terhadap aspirasi-aspirasi Sarekat Islam, melainkan timbul karena ketakutan terhadap eksistensi (Budi Utomo) sendiri.

Massa telah bergabung dengan Sarekat Islam. Mereka menemukan jalan yang paling mudah untuk bersatu, maka masuklah ke sebuah organisasi tanpa terlalu banyak merisaukan prinsip-prinsip organisasi itu. Begitu mereka itu berjalan bersama arus zaman. Sukarlah membutakan diri terhadap popularitas Sarekat Islam sebagai “arus” zaman. Jelas, ia mempunyai daya tarik lebih kuat ketimbang Budi Utomo. Bahkan penulis karangan “Budi Utomo dan Sarekat Islam”, yang terbit dalam organ resmi organisasi itu, tidak mengemukakan soal, manakah di antara kedua organisasi ini yang akan atau harus hidup.

Ia hanya mengatakan: Jika baik Budi Utomo maupun Sarekat Islam ternyata harus mati, untuk mempertahankan cita-citanya sampai akhir, seperti gelombang di tengah samudra, akan segera lahir suatu gerakan baru yang lebih kuat. Pemerintah sadar tentang hal ini. Maka, ia tidak mau mencampuri perkembangan gerakan-gerakan ini. Sebaliknyalah, pemerintah dengan riang melayari alun gelombang itu, seperti seorang juru mudi di atas kapal. Bukan saja pemerintah, bahkan rakyat pribumi pun tidak bisa mengendalikan gerakan-gerakan yang lahir oleh tuntutan zaman ini. Terlepas dari sikap lahiriah yang tak acuh terhadap cepatnya keberhasilan Sarekat Islam, para pejabat pribumi yang merupakan penyangga utama Budi Utomo itu sesungguhnya merasa sangat cemas terhadap masa depan perkembangan organisasi saingannya itu. Walaupun kata-kata mereka diucapkan dengan lunak, perasaan anggota inti Budi Utomo terhadap Sarekat Islam “dari naluri kepriayian atau perasaan semacam itu, sangat bercenderung memberi Sarekat Islam”.

Saingan besar kedua Budi Utomo dalam hal dukungan massa ialah Indische Partij, yang didirikan E.F.E. Douwes Dekker pada.6 September 1912. Tujuan partai ini: Menggugah patrioisme di kalangan rakyat Hindia terhadap tanah air yang telah membesarkannya, bertujuan mempersatukan mereka dalam kerja sama atas dasar asas persamaan politik untuk menciptakan kemakmuran bagi tanah air, Hindia, dan menuju satu negara nasional yang merdeka.

Tujuan ini mencakup dua cita-cita, yang oleh orang-orang seperti Tjipto Mangoenkoesoemo diusahakan dukungannya dari Budi Utomo, tapi gagal, yaitu persatuan seluruh rakyat di Hindia dan persamaan politik. Tetapi mengingat kondisi sosial yang ada di Jawa, penduduk pribumi lebih lemah dibanding dari dua golongan penduduk bukan Belanda lainnya, Indo Eropa maupun Cina. Karena itu, Djajadiningrat menunjukkan kelemahan seruan Indische Partij tentang persatuan itu, ketika belakangan dikemukakannya, “keberhasilan cita-cita Indische Partij hanya akan berarti pergantian tuan (bagi penduduk pribum itu).” Tetapi seruan persatuan itu memperoleh sambutan dari kalangan Indo Eropa, yang menganggap diri mereka sebagai wakil sah bagi penduduk bukan Belanda, yang merasa semakin kecewa oleh persaingan dari penduduk pribumi terpelajar yang semakin besar jumlahnya dan harus dihadapi.

Tidak seperti Budi Utomo, yang sering dipandang sebagai perhimpunan silat-lidah, Indische Partij merumuskan sebuah program politik yang nyata. Bertindak, dan bukan berbicara, itulah pendirian mereka. Terlepas dari adanya perasaan serba lebih yang membuai rata-rata orang Indo Eropa, para pemimpin Indische Partij benar-benar berusaha menjembatani jarak antara golongan Indo Eropa dan penduduk pribumi. Djajadiningrat mempertanyakan kesungguhan usaha ini, yang dilukiskannya, “orang-orang Indo Eropa itu berpura-pura menyamakan diri dengan rakyat”. Sementara itu, takut terhadap perkembangan radikalisme politik, pemerintah mulai melakukan pembatasan-pembatasan pada organisasi baru ini. Pada 30 Juni 1913 Gubernur Jenderal Idenburg, kendati secara pribadi bersimpati terhadap organisasi ini, menolak memberikan pengesahan pada pengurus pusat Sarekat Islam. Barulah pada 1916, sesudah kedudukan hukum pengurus pusat itu akhirnya diakui, Sarekat Islam diizinkan menjalankan kegiatannya, dan itu pada tingkat lokal saja. Sikap pemerintah terhadap Indische Partij lebih keras.

Pada Maret 1913, pemerintah tegas-tegas menolak mengakui anggaran dasar yang diajukan partai untuk mendapatkan pengesahan. Lebih lanjut organisasi ini bahkan dituduh sebagai revolusioner, dan selama satu tahun Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Suryaningrat dibuang dari Hindia, atas dasar kegiatan kewartawanan mereka yang melampaui batas. Menarik diperhatikan, Gubernur Jenderal setelah menjalankan keputusannya itu segera mengambil langkah pencegahan, dengan menanyakan kepada Rinkes apakah Sarekat Islam akan memprotes hukuman pembuangan tersebut. Bagaimana sikap Budi Utomo tidak perlu dipertanyakan, karena mereka segera melancarkan protes.

Sebuah surat dari Rinkes kepada Hazeu tertanggal 12 Agustus 1913 menyatakan: Dwidjosewojo menemui Rinkes di Surabaya, membicarakan masalah penahanan Soewardi. Dwidjo (sewojo) mengajukan permintaan campur tangan Rinkes, jika mungkin agar menjamin pembebasan (Douwes Dekker, Tjipto, dan Soewardi), dengan syarat bahwa mereka berjanji akan berbuat baik kemudian hari. Dalam hal Tjipto, Dwidjosewop sudah kehilangan harapan. Menurut Dwidjosewojo, hal ini karena Tjipto oenderung bersikap seperti pembesar, dan juga seorang yang sangat keras kepala. Tetapi Soewardi, orang yang telah dikenal Dwidjosewojo dengan baik di Yogyakarta, pada pendapatnya, seorang muda yang baik dan patuh. Ia sekadar tersesat. Jika Soewardi berjanji tidak hendak mengikuti tindakan-tindakan yang memberontak, kata-katanya bisa dipercaya.

Pembebasan baginya, dengan syarat-syarat tersebut, akan menimbulkan kesan baik masyarakat. Wahidin juga berpendapat sama, dan sama sekali bukan karena adanya hubungan Soewardi dengan keraton Pakualaman. Dwidjosewojo, Boediardjo, dan beberapa orang lain lagi, termasuk jaksa Sragen, Sastrowidjono, membentuk semacam panitia untuk pembebasan Soewardi. Rinkes menyatakan pandangannya, dan membicarakan masalah itu dengan terbuka bersama Dwidjosewojo, serta menyarankan agar Dwidjosewojo merundingkan soalnya dengan Hazeu. Kesan buruk para pemimpin Budi Utomo terhadap si pembangkang Tjipto berlawanan sama sekali dengan simpati mereka terhadap Soewardi, salah seorang kerabat keraton Pakualaman, pelindung paling berjasa terhadap Budi Utomo.

Tetapi segi yang paling menarik adalah, ternyata pimpinan Budi Utomo menghubungi Rinkes dan Hazeu, tokoh-tokoh penasihat pemerintah mengenai urusan pribumi. Jelas, kedudukan Dwidjosewojo sebagai pejabat pemerintah pribumi mempermudah hubungan tersebut dibandingkan pemimpin dari organisasi lain. Komunikasi antara Budi Utomo dan pemerintah kelihatannya menjadi semacam saluran yang bagus bagi kaum etisi. Walau oleh organisasi-organisasi lain Budi Utomo sering dikritik “terlalu bersahabat” dengan pemerintah, sikap periode etis itulah yang memungkinkan Budi Utomo bisa berfungsi sebagai jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah.

Gagasan mendirikan sebuah organisasi yang mencerminkan kepentingan pribumi – yang mendapatkan jalan keluamya yang paling populer pada Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij ditiru oleh sejumlah kelompok kepentingan lainnya yang lebih kecil. Pada Agustus 1912, rakyat Minahasa mendirikan Rukun Minahasa, yang berkantor pusat di Semarang. Tahun 1913 orang-orang Ambon, yang tinggal di Jawa Tengah, mendirikan organisasi sendiri, juga di Semarang. Dengan demikian, harapan semula Budi Utomo dalam tahun-tahun permulaan, seperti diucapkan Soewarno dalam pernyataannya pada September 1908, bahwa satu organisasi bisa mewakili “tanah aan rakyat Hindia Belanda” telah mengalami kegagalan.

Di samping kegiatan organisasi-organisasi ini, perkembangan pesat sosialisme di Eropa dan Asia juga memperoleh gemanya di Jawa. Kaum sosialis Belanda di bawah pimpinan H.J.F. Sneevliet mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pada 9 Mei 1914 di Surabaya. Muhammadiyah dan perhimpunan bupati pun masih tetap hidup. Bahkan Muhammadiyah memperluas kegiatannya dengan mendirikan sekolah-sekolah dan masjidmasjid, serta menerbitkan buku-buku dan surat kabar sendiri. Namun, semua kegiatannya itu masih terbatas pada daerah santri di Yogyakarta. Pada 1912, Dwidjosewojo mendirikan organisasi guru yang pertama di Hindia Belanda – yang dikenal dengan nama Perserikatan Goeroe-Goeroe Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini diakui pemerintah pada 18 Desember 1912. Dalam rapat pada 25 Oktober 1913 Badan Pengurus memutuskan mendirikan sebuah “organisasi beasiswa dengan tujuan amal”. Organisasi yang bernama Darmo Woro ini diakui pemerintah pada 29 Juli 1914.

Walau Badan Pengurus, khususnya Wahidin, menyambut hangat rencana ini, tak adanya dana pada Budi Utomo berakibat organisasi baru tersebut hanya mungkin hidup dengan subsidi pemerintah. Pangeran Soeriadiningrat, seorang kerabat dari keraton Yogyakarta, bertindak selaku ketua Darmo Woro, dengan tujuh orang anggota pengurusnya semua berasal dari Yogyakarta, dan umumnya juga mempunyai hubungan dekat dengan kerabat Sultan atau Pakualam. Sekretaris, Ardiwinata, sekaligus juga sekretaris kedua Budi Utomo, dan komisariskomisaris, Dwidjosewojo dan Gondoatmodjo, juga anggota-anggota berpengaruh Budi Utomo. Dengan demikian, praktis organisasi beasiswa ini adalah sebuah cabang dari Budi Utomo.

Walaupun beasiswa itu harus diberikan Darmo Woro setiap tahun bagi siswa yang pandai agar bisa meneruskan pelajaran mereka, entah di Negeri Belanda atau di Hindia Belanda. Dari lima orang siswa yang terpilih hanya seorang, yaitu Mas Samsi, yang dikirim ke Negeri Belanda. Siswa kedua, Mas Samoed, gagal dalam ujian saringan untuk menjadi guru bantu di Banung, tetapi kemudian berangkat sendiri ke Negeri Belanda, dan di sana berhasil lulus dari ujian yang sama dengan pujian. Tiga orang siswa lainnya lulus ujian di Hindia tanpa harus ke luar negeri. Dapat disimpulkan, anggaran tahunan untuk beasiswa ini hampir tidak cukup untuk mengirim seorang siswa ke Belanda, dan membiayai siswa-siswa lainnya di sekolah-sekolah di Hindia. Biaya untuk melaksanakan program ini, kecuali beban keuangan rutin Budi Utomo, mendorong pengurus setiap kali mengajukan petisi kepada pemerintah, agar diizinkan mengadakan undian guna mencari dana. Pada 26 September 1916 pemerintah akhirnya menyetujui gagasan itu, yang disambut dengan luapan kegembiraan dua organisasi tersebut. Tinjauan terhadap kegiatan Budi Utomo selama 1912-1914 ini memperjelas bahwa organisasi ini tidak sangat berpengaruh.

Walau semangat kegiatan organisasi agak menjadi hidup kembali sesama ketua kedua, relatif perannya menurun bertepatan dengan saat lahirnya sejumlah organisasi lain. Selanjutnya kegiatan Budi Utomo terbatas di bidang pendidikan dan kebudayaan, dan dalam hal ini subsidi pemerintah sangat diperlukannya. Bahkan dalam hal majalah Goeroe Desa yang beroplah 4.100 eksemplar, Verslag Boedi Oetomo tahun 1917- 1918 menyebutkan, pemerintah membiayai 3.166 eksemplar setiap penerbitannya. Melihat kegiatan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Budi Utomo tidak bisa hidup tanpa bantuan pemerintah. Pada sisi lain, dukungan ini telah memotong kebebasan dan efektivitas organisasi. Karena itu, pimpinan Budi Utomo lebih banyak menunggu reaksi pemerintah kolonial ketimbang reaksi masyarakat pribumi sendiri. Maka, di mata masyarakat pribumi, Budi Utomo umumnya dipandang sebagai dikendalikan pemerintah.

6 Komentar

  1. Hasprabu berkata:

    Ja, teroesken Toean Tjepot koempoelken daripada kita poenja archief jang seperti. Karena kita orang soedah lama takkan bisa batja lagi setjaranja moedah. Sedjarah haroes selaloe dikenang dan ditiroe jang baiknja. Bagaimana Pot?.

    —————
    Kopral Cepot : Betul skali pak…. Arsip ini sya dapet dari majalah tempo yang sekarang sudah tidak GRATIS lagie… btw inih cara nulis koment yg beda zaman he he he 😉

  2. komentar saya adalah ” sebuah kajian artikel yang masih sangat diperlukan dan terlalu relevan ” untuk periode sa’at ini ( dari KNBDSDJ bagian satu sampai dengan lima ). angkat topi buat a’a kopral dengan segala yang ada pada artikel ini .

    begini a’a kopral ( dengan hormat ) kalau ada tulisan artikel atau apapun juga yang berhubungan dengan sosok ” dr Syaiful Anwar ” , dimana pada sa’at ini saya sedang dalam proses mencari dan mengumpulkan yang berhubungan dengan beliaunya untuk sebuah tulisan ( yang nantinya akan dalam wujud buku ) dimana namanya dipergunakan untuk sebuah rumah sakit ” pendidikan ” maupun ” rujukan “. terimakasih , atas bantuan informasinya ataupun berita2 dr.Syaiful Anwar ……….

    SALAM HYPPOCRATES CERDAS !!! ( doktertoeloes malang ).

  3. ronal simbada berkata:

    kopral Cepot makasih ya untuk kiriman artikelnya.

  4. Helmia berkata:

    Hidup KOPRAL CEPOT……..!
    Kalau belum punya bini, aku mau dilamar dong…..!
    Aaaaaach Aa Kopral Cepooooooot……..!

  5. D ulu , engkau pilihan dari berbagai macam jurusan fakultas favorit yang ada

    O ngkosmu mahal nian untuk hanya mendapatkan sebuah gelar prestise , katanya

    K uliahmu lama sekali , bolehlah dibilang paling terlama dari semua fakultas

    T idak terjangkau oleh masyarakat terbawah , yang mayoritas penghuni negeri ini

    E ncyclopedia , literatur , belajar dan pulang pagi adalah hal2 biasa bagiku

    R esep disulap , dikamuflase untuk mendapatkan uang yang melencengkan sum –

    pahmu , sumpah itu ……..sumpah hyppocrates . (doktertoeloes malang).

  6. alkisah ( tetapi nyata ) saya punya teman ” dokter spesialis ” prakteknya ( ma’af )

    sepi pasien . dihilangkanya label predikat yang melekat didirinya beralih ( jurusan

    …kayak angkot saja ) menjadi ” dokter umum ” . pasienya luar biasa banyak dan

    otomatis penghasilan meningkat yang semula ” breakfast ” nya sarapan pagi ke –

    dai jalanan ( meski dokter spesialis ) sekarang minimal rumah makan padang.

    pertanya’an yang muncul sekarang ” merosot memang , turun memang , kendor –

    memang tetapi ( ada tetapinya ) pendapatan – penghasilan – pemasukan ( dan –

    lain2 nama apapun namanya ) amat sangat meningkat tajam ” . NAH !! yang mem –

    buat merinding – bergidik ( bulu romaku ) ” Adakah semangat yang diruang anato-

    mi ( asal mula kasak – kusuknya berdiri BO ) masih ada – masih melekat dan masih

    menyala – nyala kalau masih bergulat dengan urusan perut dan duit ( sekali lagi –

    duit ) . moga2 tidak terlalu berlebihan ( mendramatisir ) hanya terjadi pada satu –

    dari sekian juta teman sejawat dan yang perlu digaris – bawahi INILAH KENYATA’AN

    ITU . ( doktertoeloes “swiss van java “………mantan wartawan kampus ).

Tinggalkan Komentar