Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (4)

*Sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”. Lanjutan dari bagian ketiga : Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (3)

**********

Setelah Penbaru Islam Bergabung dengan Budi Utomo

Hubungan yang sangat berbeda, yang terjadi selama tahun-tahun pertama, adalah antara Budi Utomo dan kelompok beragama ketiga: Muhammadiyah, suatu gerakan pembaru Islam Hadji Achmad Dachlan, calon pemimpin Muhammadiyah masa depan, tahun 1909 menjadi anggota Budi Utomo dengan maksud hendak mengislamkan anggota-anggotanya. Agaknya ia mengharap, dengan menjalin kontak di kalangan anggota Budi Utomo yang kebanyakan guru sekolah negeri dan pejabat pemerintahan itu, akan terbuka kemungkinan baginya untuk memberikan pelajaran tentang gagasan-gagasan pembaruan keagamaannya di sekolah-sekolah.

Ceramah-ceramahnya ternyata sangat berhasil, dan disambut baik oleh sementara anggota Budi Utomo yang diam di kampung-kampung santri di Yogyakarta. Di antara para pendukungnya yang paling bersemangat adalah sekretaris kedua Budi Utomo, R. Sosrosoegondo, guru Kweekschool di Yogyakarta dan muridnya, Mas Radji. Tidak seperti anggota badan pengurus lainnya, Sosrosoegondo sangat memandang penting pelajaran keagamaan diberikan bagi anak-anak sekolah. Dalam sebuah karangan berjudul “Pengadjaran Agama dalam Sekolah”, yang terbit pada majalah tengah bulanan Boedi Oetomo, Sosrosoegondo mengemukakan pendapatnya, sekolah-sekolah hendaknya memberikan sekurang-kurangnya satu jam pelajaran agama setiap minggu.

Agama yang dimaksudkannya tentu saja agama Islam, yang pada pendapatnya, “telah merupakan kebutuhan bagi seluruh bangsa.” Ia menambahkan hal ini tidak akan bertentangan dengan “pendidikan bebas” yang sudah menjadi pendirian Budi Utomo. Para pendukung Dachlan melangkah lebih jauh dengan saran agar dibuka sebuah sekolah di daerah santri di Yogyakarta, yang akan terurus lebih baik serta dibiayai lebih cukup ketimbang keadaan pesantren tradisional. Sekolah itu benar-benar berdiri dan menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah sejak 1912. Kepentingan yang sama dalam masalah pendidikan antara Budi Utomo dan Muhammadiyah menyebabkan keduanya menjadi sekutu dalam tahun-tahun permulaan. Tidak aneh apabila Muhammadiyah kelak tumbuh menjadi organisasi yang independen, hubungan dekat dengan Budi Utomo tersebut tetap dipertahankan.

Walau pada 1909 setidak-tidaknya sudah ada sebuah organisasi yang berhaluan Islam, barangkali hubungan pribadi antara Dachlan dan anggotaanggota Budi Utomo cabang Yogyakarta itulah yang membawanya lebih akrab dengan organisasi tersebut daripada dengan organisasi lain. Di samping itu, terlepas dari prinsip kenetralan beragama yang dianut Budi Utomo, bisa dimengerti apabila dalam beberapa tahun pertama gerakan nasional, banyak orang berpikiran maju dari kalangan pribumi, baik santri maupun abangan, memandang Budi Utomo sebagai lambang persatuan nasional yang telah lama mereka nantikan.

Masalah Muhammadiyah merupakan contoh bagaimana Budi Utomo merangkul berbagai elemen dalam tubuh organisasinya, hal yang bahkan sudah tercermin dalam proses penetapan haluannya ketika organisasi ini merumuskan anggaran dasarnya. Adanya kelompok-kelompok keagamaan yang mencerminkan berbagai pandangan pikiran dalam tubuh organisasi, terdapat pula banyak perbedaan pendapat tentang masalah kegiatan politik.

Siswa-siswa STOVIA menyatakan keluar dari kegiatan cabang di Weltervreden dan Batavia pada November 1909, dengan alasan agar bisa mencurahkan waktunya untuk belajar. Tetapi pengaruh kaum muda ini tetap membayanginya, seperti tampak pada rencana untuk menerbitkan harian organ organisasi. Masalah mencari seorang editor yang tepat tiba-tiba timbul sesudah kongres pertama. Dan Douwes Dekker didesas-desuskan sebagai calon utama untuk jabatan itu. Pada kongres kedua, masalah surat kabar itu kembali dibicarakan. Dwidjosewojo menganjurkan penerbitan organ itu sekaligus dalam bahasa Belanda, Melayu, dan bahasa daerah. Alasan penggunaan bahasa Belanda, agar tokoh-tokoh penting Eropa bisa membacanya, juga sebagai sarana agar penduduk pribumi bisa meningkatkan kemahirannya dalam bahasa ini Mengenai bahasa Melayu, agar penduduk Jawa, Madura, dan mana pun bisa membacanya. Tentang bahasa-bahasa daerah, supaya terjamin setiap orang bisa menangkap isinya. Dwidjosewojo juga mendesak agar pemimpin redaksi pertamanya seorang Eropa berpengetahuan yang baik dalam hal bahasa maupun bidang kewartawanan. Ia tentu saja harus dibantu oleh redaksi pribumi yang, setelah menguasai keahlian di bidang ini, bisa mengambil alih pimpinan. Dwidjosewojo tidak menyebut nama Douwes Dekker terang-terang.

Tetapi dengan penegasannya tentang pengalaman kewartawanan, jelas menunjukkan bahwa orang Eropa yang satu inilah yang terpikir olehnya. Sementara itu, menurut surat Hazeu kepada Gubernur Jenderal tertanggal 28 Januari 1910, Douwes Dekkersendiri menunjukkan keinginannya menerima jabatan tersebut. Karena itu, agaknya, bahkan sesudah keluarganya, dua anggota lagi yang berhaluan radikal dari badan pengurus, calon terkemuka pimpinan redaksi surat kabar Budi Utomo, adalah seorang tokoh yang dikenal antikolonial dan yang berpandangan politik seradikal seperti Tjipto. Den Haag menanggapi serius masalah ini. Menteri Tanah Jajahan J.H. de Waal Malefijt pada Desember 1909 menulis kepada Gubernur Jenderal bahwa Staten-Generaal membahas kabar angin tentang seorang Eropa, “yang menurut karangan-karangannya yang (sudah diterbitkannya), baik di dalam, maupun di luar Hindia bersifat menghasut, agaknya bersikap memusuhi pemerintah Belanda itu”, mungkin akan memegang pimpinan redaksi organ Budi Utomo. Namun, sebelum masalah ini berkembang lebih jauh, greget di dalam Budi Utomo sendiri merosot untuk sementara disebabkan oleh masalah-masalah keuangan.

Ketika pada 10 Januari 1910 rencana itu dikemukakan kembali keadaan sudah sangat berubah. Nama Douwes Dekker memang disebut-sebut, tetapi kali ini tidak lagi sebagai satu-satunya calon, dan juga bukan calon terkuat sama sekali. Ia kehilangan popularitasnya, menurut surat Hazeu, karena bertentangan dengan “kehendak keras sementara anggota badan pengurus yang berpengaruh serta anggota tetap organisasi.” Perubahan sikap itu mencerminkan kecenderungan yang sedang terus tumbuh di dalam tubuh badan pengurus, yaitu untuk menyingkirkan anggota-anggota yang radikal dari kedudukan-kedudukan penting dalam organisasi.

Douwes Dekker meninggalkan Hindia untuk belajar ke Eropa selama 1910 sampai 1911. Tetapi ia tetap menunjukkan minatnya yang besar terhadap Budi Utomo. Satu petunjuk dalam hal ini terlihat pada sebuah karangan yang ditulisnya untuk majalah Koloniale Rundschau, selama ini tinggal di Munich tahun 1910. Karangan ini berisi sebuah uraian yang bagus mengenai arus nasionalisme di Hindia, diawali dengan uraian tentang kejadian-kejadian yang penting di Asia, seperti ulah kiprah imperialisme Jepang, kebangkitan Cina, kemelut di Persia, kecakapan luar biasa orang-orang Muangthai dalam diplomasi, dan revolusi di Turki. Ia berpendapat, kemenangan Jepang atas Rusia dan kegiatan politik serta pendidikan yang dilakukan orang-orang Cina imigran di Jawa telah menjadi dua faktor pendorong utama bagi rakyat Jawa. Karangan itu juga mrupakan uraian panjang lebar tentang Budi Utomo sebagai organisasi orang Jawa yang pertama. Ia meemuji organisasi tersebut sebagai hasil wajar dari “perjuangan untuk hidup” bangsa Jawa. Tetapi ia juga menyatakan kekecewaannya terhadap langkah mundur yang, menurut dia, dialami organisasi sejak kongres kedua sebagai akibat terpilihnya badan pengurus “yang terutama terdiri dari para pejabat tinggi pribumi”.

Kegagalan kongres kedua ditandai dengan pengunduran diri Tjipto dan Soerjodipoetro. Douwes Dekker memuji Budi Utomo, karena didasarkan pada “prinsip-prinsip demokrasi”, dan mewakili “kaum bangsawan muda terpelajar”. Namun, ia memperingatkan kongres ketiga, yang direncanakan berlangsung Oktober 1910, akan sia-sia belaka manakala hegemoni kaum konservatif terus berlanjut. Terlepas dari ramalah-ramalahnya yang pesimistis, Douwes Dekker tidal kehilangan harapannya, bahwa Budi Utomo akan membantu gerakan nasionalisme di Hindia. Karangannya yang lain konon dimuat dalam surat labar Jerman, Tagliche undschau, awal tahun 1911. Baik berita tentangnya maupun surat kabar tersebut tak lagi tersimpan. Sementara itu, sebuah laporan rahasia ke Kementerian Tanah Jajahan di Negeri Belanda menyebutkan, Douwes Dekker telah menulis karangannya yang kedua tentang nasionalsime Hindia, kali ini di bawah nama samaran Budi Utama. Ini agaknya bisa menjadi petunjuk tentang minatnya yang belum padam terhadap organisasi itu. Namun, pada saat kernbali ke Hindia, Douwes Dekker tampak telah matang dengan rencana mendirikan Indische Partij, mengingat ia tak lagi menyebut-nyebut Budi Utomo.

Foto. Groepsportret tijdens een ledenvergadering van de Sarekat Islam (SI) in Kaliwoengoe. Aanwezig zijn leden van de Sarekat Islam afdelingen in Kaliwoengoe, Peterongan en Mlaten (beide in Semarang), alsmede leden van de Vereeniging van Spoor- en Tramwegpersoneel (VSTP) in Semarang.. Groepsportret tijdens een ledenvergadering van de Sarekat Islam (SI) in Kaliwoengoe

Organisasi politik kedua yang mulai memuai dalam tahun-tahun awal ini ialah Sarekat Islam, yang kelak ternyata merupakan gerakan massa yang pertama di Hindia Belanda. Daya dorong bagi terbentuknya organisasi ini lebih bersifat dagang ketimbang agama. Ini agaknya sebagai reaksi terhadap kegiatan perekonomian imigran Cina yang berkembang cepat di seluruh Jawa. Bangsa Cina di Hindia dibangkitkan oleh gerakan nasionalisme di Cina dan oleh kejengkelannya melihat bangsa Jepang di Hindia yang mendapat kedudukan lebih tinggi. Tuntutan-tuntutan mereka berhasil dengan dihapusnya sistem pajak jalan yang berat dan merintangi kegiatan perdagangan mereka. Keberhasilan imigran-imigran Cina ini menimbulkan kekaguman sekaligus kerisauan kalangan penduduk pribumi. Meningkatnya kegiatan perekonomian Cina itu selanjutnya berakibat pada persaingan yang semakin menajam antara perajin serta pedagang Cina dan bukan Cina, khususnya di daerah vorstenlanden. Gagasan mendirikan organisasi untuk mengembangkan perdagangan di kalangan penduduk pribumi semula berasal dari Raden Mas Tirtodisoerjo, seorang wartawan dan pengusaha di Bandung. Pada 1909 ia mendirikan Sarekat Dagang Islamijah di Batavia, dan tahun 1911 organisasi kedua, Sarekat Dagang Islam, didirikan di Bogor. Ia kemudian pindah ke Surakarta untuk mengorganisasikan pedagang batik. Patut diperhatikan semua organisasi yang berdasarkan kebangkitan kesadaran nasional ini – Budi Utomo, Muhammadiyah, Sarekat Islam – lahir di daerah vorstenlanden.

Sementara itu, seperti diramalkan Douwes Dekker, Budi Utomo memasuki masa kemandekannya. Alasan menurunnya kegiatan itu ialah ketiadaan dana. Sebagai badan pusat dengan sekian banyak cabang, organisasi ini sangat bergantung pada iuran anggota di cabang-cabang. Bantuan yang dikirim ke kantor pusat Budi Utomo sejak bulan-bulan pertama setelah kongres pertama sebesar 727,25 rupiah Belanda. Walau bendahara organisasi memegang uang sebanyak 105,40 rupiah Belanda sepanjang tahun 1909-1910, Badan Pengurus memandang jumlah ini jauh dari memadai untuk membiayai kegiatan pusat. Karena itu, Sekretaris Pertama Dwidjosewojo, di depan cabang-cabang yang hadir pada kongres kedua, mengumumkan kebijaksanaan sebagai berikut: Semula dikandung maksud bahwa Badan Pengurus akan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan organiasi, pengurus cabang sekadar diberi wewenang mengajukan pendapat tentang kegiatan cabangnya masing-masing, dan untuk menerima petunjuk tentang tugas-tugas seperti telah ditetapkan Pengurus. Inilah alasannya maka ditetapkan bahwa 75% dari kontribusi yang diterima masing-masing cabang harus dikirim ke Badan Pengurus.

Keputusan tersebut mempunyai arti sangat penting dalam menentukan hubungan antara badan pusat dan cabang-cabangnya. Seperti berulang-ulang ditulis Hazeu dalam surat-suratnya, ciri Budi Utomo yang paling mencolok ialah spontanitasnya. Ini dasar nasihatnya agar tetap menempuh politik “lepas-tangan”, nasihat yang umumnya diikuti oleh pemerintah kolonial.

Sekarang spontanitas itu muncul di cabang-cabang, dan badan pusat dihadapkan pada kemungkinan pembangkangan cabang-cabangnya itu, apabila ia berusaha memaksakan kontrolnya. Maka, diputuskan bahwa organisasi akan bisa hidup lebih baik jika sebagai federasi organisasi-organisasi lokal ketimbang sebagai kesatuan yang terpusat. Menurut Dwidjosewojo, tugas Badan Pengurus tinggal mengawasi dan memberi nasihat kepada setiap cabang, serta menjadi “pintu bagi Budi Utomo terhadap pemerintah dah lain-lain”. Perubahan ini tentu saja berpengaruh pada redistribusi anggaran belanja. Karena Pengurus tidak bisa lagi meneruskan tuntutannya sebesar 75% dari pemasukan cabang-cabang. Dwidjosewojo menjelaskan peraturan baru itu: Agar bisa melaksanakan tugas-tugasnya, walau tugas itu sekecil apa pun, Pengurus tetap memerlukan uang.

Karena itu, masing-masing cabang dituntut memberikan kontribusi yang diambil dari pemasukannya. Adapun besarnya ditetapkan sebanyak 10% dari kontribusi yang diterima masing-masing cabang. Peraturan baru ini kelihatan lebih praktis. Tetapi juga berarti, keadaan keuangan badan pusat sudah makin memburuk. Hal ini tentu saja memperlemah wibawa badan pusat atas cabang-cabangnya. Kendati terjadi kelesuan organisasi secara menyeluruh dan melemahnya peranan badan pusat, hasrat organisasi untuk memasuki bidang kegiatan penerbitan masih tetap ada.

Sebuah karangan terbit dalam Sumatra Post tanggal 28 April 1910 meringkas keadaan Budi Utomo sebagai berikut: rencana Budi Utomo untuk menerbitkan organnya sendiri, menurut pendengaran saya, belum lagi disisihkan. Akhir-akhir ini tak banyak didengar tentang organisasi orang-orang Jawa ini. Tetapi ia belum menghilang dari panggung. Walau semangatnya tidak lagi sebesar seperti pada awalnya, dan walaupun “budi utama” itu menghilang dari penglihatan banyak orang, sesungguhnya langkah-langkah mantap dicapai oleh sementara cabang, khususnya di Jawa Timur. Rapat-rapat diselenggarakan, dan di sana dibahas berbagai masalah penting.

Di mata umum terlalu jarang organisasi ini dipandang sebagai organisasi yang benar-benar kuat. Anggota-anggotanya pun agaknya memahami keadaan ini. Mereka merasa bahwa tidak ada satu agama pun yang akan mernenuhi hasratnya untuk berkembang dalam semangat Barat, jika hasrat ini tidak muncul dari dalam kalangan mereka sendiri. Dengan alasan itulah maka pikiran benar-benar dicurahkan untuk adanya penerbitan surat kabar, mungkin juga sebuah mingguan, yang akan bisa menjadi cermin bagi gagasan-gagasan bangsa Jawa. Koran seperti itu memang punya kemungkinan.

Tetapi masalahnya, bagaimana membiayainya, karena keuangan Budi Utomo tidak dalam keadaan menggembirakan. Tengah bulanan Boedi Oetomo akhirnya terbit pada 1 Juli 1910, di bawah pimpinan redaksi bersama: Mas Boediardjo, Dwidjosewojo, dan Sosrosoegondo. Boediardjo berpendapat, organ ini harus terbit dalam versi lebih dari satu. Karena, “bagaimana kita bisa berhasil jika hanya memberikan satu surat kabar untuk sebagian besar kaum terpelajar Jawa, begitu juga untuk rakyat desa yang hampir tidak bisa membaca itu.” Karena alasan keuangan, hanya satu penerbitan yang akhirnya muncul dan ditulis “dalam bahasa Melayu rendah yang mudah.” Dwidjosewojo orang yang paling bersemangat dalam kegiatan penerbitan ini, sehingga ia mengundurkan diri sebagai sekretaris pertama, supaya bisa mencurahkan waktunya lebih banyak bagi tugas-tugas keredaksian.

Pada saat organisasi pusat hendak mewujudkan rencana menerbitkan surat kabar itu, cabang di Semarang mengajukan permohonan kepada pemerintah pada 27 Mei 1911, agar diizinkan membuka sebuah “toko buku Jawa dan kantor percetakan Budi Utomo”. Izin itu diberikan pada 3 Juli 1911 dengan G.J.H. Wagener sebagai wakil cabang tersebut. Tak disebut-sabut tentang hubungan antara organ tengah bulanan yang terbit di surat kabar dan kantor di Semarang ini. Tetapi kegiatan kantor Semarang tersebut mungkin sekali merupakan kegiatan yang diprakarsai oleh cabang itu sendiri. Tak banyak yang diketahui tentang Boedi Oetomo, karena hanya ada beberapa nomor saja yang masih tertinggal. Namun, petunjuk mengenai isinya dapat ditemukan dalam ulasan yang ditulis Antoine Cabaton, seorang Prancis yang ahli masalah Islam: Sebagian besar ruangan diisi dengan masalah-masalah hubungan dengan pemerintah yang ditulis dengan sangat hormat. Sentimen nasionalismenya yang kuat tetap diungkapkan lewat artikel-artikel tentang negara-negara luaryang ditulis dalam nada agak pedas.

Yang dimaksudkan dengan “masalah-masalah dalam hubungan pemerintah” barangkali surat-surat terbuka kepada pemerintah dan jawabannya kepada Budi Utomo, jika diberikan, mengenai berbagai masalah politik kolonial, khususnya mengenai pendidikan. Adanya artikel-artikel tentang negara luar menunjukkan bahwa Boedi Oetomo merupakan penerus penting Retnodhoemilah, dan penerbitan lainnya yang terkenal di kalangan priayi Jawa sebelum Budi Utomo lahir. Ditinjau dari beberapa penerbitannya yang masih ada, apa yang dikemukakan Cabaton agaknya sangat tepat. Tiap eksemplar hanya terdiri atas kira-kira delapan halaman, tetapi meliput kejadian-kejadian penting di Hindia dan Negeri Belanda, begitu juga dari penjuru dunia lain.

Ruang cukup luas tersedia untuk berbagai masalah politik Asia. Tetapi setiap nomor juga memberitakan keadaan cabang-cabang organisasi. Tentu saja masalah pendidikan banyak dikemukakan pada setiap masalah yang disoroti. Misalnya, pada penerbitan 16 Desember 1911, dimuat sebuah artikel tanpa nama berjudul “Hal Sekolah Bahasa Belanda bagi Anak Djawa”, yang mengemukakan kembali keinginan lama Budi Utomo untuk meningkatkan pengajaran bahasa Belanda bagi anak-anak Jawa, supaya mereka dengan lebih mudah bisa diterima di sekolah-sekolah menengah. Dapat disimpulkan, penerbitan tengah bulanan itu benar-benar mencerminkan pandangan Budi Utomo pada tahun-tahun tersebut.

Kecuali Boedi Oetomo dan penerbitan berkala di cabang-cabang, Budi Utomo sekurang-kurangnya membiayai sebuah penerbitan lainnya, majalah bulanan bernama Georoe Desa, yang terbit pertama bulan September 1910. Goeroe Desa ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan dan berisi nasihat tentang bagaimana menggarap tanah, mengelola perdagangan, pemeliharaan ternak, unggas, dan lebah. Berkala ini juga memuat karangan-karangan tentang kesehatan, ketaatan terhadap orangtua, percintaan, tata krama, dan soal lain yang disebut “kunci kebahagiaan”. Tidak seperti Boedi Oetomo, yang terbit tak teratur, Goeroe Desa mempunyai dukungan mantap, termasuk dari “beberapa pemuda pandai”, sehingga sejak Maret 1916 berkembang menjad tengah bulanan.

Popularitasnya yang tak terduga itu mendorong redaksi menerbitkan juga versi bahasa Sunda sejak 1 Mei 1913. Karena tak ada dukungan, baik dari pemerintah maupun penduduk Sunda sendiri, maka edisi kedua berkala ini tidak diteruskan setelah berumur satu tahun saja. Budi Utomo juga menjalin hubungan erat dengan beberapa surat kabar setempat. Pada 1912 Hazeu melaporkan, sebuah perusahaan Cina yang menerbitkan surat kabar Melayu-Jawa, Darmo Kondo, telah menyerahkan semua hak penerbitan surat kabarnya kepada kantor percetakan Budi Utomo cabang Surakarta. Sebaliknya, cabang tersebut menerima hak 1% dari keuntungan surat kabar. Darmo Kondo menggantikan peranan Boedi Oetomo selama tenggang waktu November 1913 sampai November 1915, ketika organ resmi organisasi, berhenti terbit untuk sementara. Jumlah oplah secara pasti dari berbagai penerbitan Budi Utomo dalam tahun-tahun permulaan ini tidak diketahui.

Menurut Cabaton tahun 1912, oplah Darmo Kondo sekitar 800, yang agaknya dianggapnya, “luar biasa . . . untuk surat kabar pribumi atau lagi pula berbahasa Belanda.” Melihat jumlah oplah tahun 1917-1918 ketika itu Boedi Oetomo 1.600, dan Georoe Desa sekitar 4.100 atau 4.200, maka kemungkinan oplah dalam tahun-tahun awal tersebut tidak akan kurang dari 800. Pendeknya, mengingat bahwa pada 1916 hanya terdapat enam suratkabar berbahasa pribumi yang terbit di Jawa, jelaslah bahwa peranan penting dimainkan oleh berkala dan penerbitan yang bertalian dengan Budi Utomo. Tujuan utama Budi Utomo dalam tahun-tahun awal ini tetap untuk memajukan usaha pendidikan. Tetapi hanya sesudah mendapat pengakuan pemerintah tahun 1909 organisasi ini dapat melakukan langkah positif.

Walau pemerintah mendirikan lembaga pendidikan menengah yang baru – sekolah kehewanan tahun 1907 dan sekolah hukum 1909 masalah jaminan pendidikan Barat bagi anak-anak pribumi bahkan semakin memburuk, terutama pada tingkat sekolah dasar. Arti penting pendidikan dasar Barat ini ditegaskan Hazeu dalam suratnya tanggal 27 Januari 1909 kepada M.S. Koster, Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan: Hanya melalui medium bahasa Belanda orang bisa memperoleh pengetahuan dasar dan meneruskan kemajuannya di tengah-tengah keadaan kepulauan kita sekarang ini. Di semua sekolah untuk pendidikan menengah pribumi, bahasa Belanda merupakan bahasa wajib, karena kepandaian dan kemahiran dalam bahasa ini menjadi conditio sine qua non, tidak saja untuk memasuki sekolah-sekolah itu, tetapi juga demi keberhasilan pendidikan mereka bila telah memasukinya. Mereka yang ingin belajar sendiri pun bisa melakukannya dengan menggunakan buku-buku pelajaran yang berbahasa Belanda sebagai alat Dan akhirnya semakin bertambah luasnya jabatan pemerintahan maupun swasta, yang hanya terbuka bagi penduduk pribumi yang telah lulus dari apa yang disebut “ujian untuk pegawai rendah ” dengar nilai tinggi.

Pendek kata, orang yang tidak menguasai bahasa penguasa dengan baik, kesempatan sangat kecil baginya untuk bisa maju ke arah manapun. Dikemukakan Hazeu, para pejabat rendah pribumi itu.benar-benar menunjukkan kemauannya untuk menjadi mahir berbahasa Belanda, kendati pendidikan yang diperlukannya sulit diperoleh, bahkan di sekolah-sekolah dasar pribumi kelas satu pun. Karena di sekolah-sekolah ini bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar hanya untuk kelas tiga ke atas, para siswa priayi itu dituntut menguasai kepandaian yang diperlukannya untuk selama tiga tahun duduk di tiga kelas terakhir. Apabila beberapa siswa berhasil memenuhi tuntutan persyaratan itu, maka diberitahukan bahwa mereka sudah terlalu tua untuk bisa diterima mengikuti sekolah-sekolah persiapan ke pendidikan tingkat menengah.

Maka, tidak heran jika priayi-priayi itu tidak puas terhadap peraturan yang ada, walau keadaan tersebut telah lebih baik dari keadaan pada beberapa dasawarsa sebelumnya. Bagi priayi lapisan atas yang kaya, masalah pendidikan ini tidak terlalu menyusahkan. Maka, bisa dimengerti, keluh-kesah tentang pembatasan memasuki sekolah-sekolah Eropa timbul dari kalangan “kebanyakan pegawai rendah pribumi”. Misi Budi Utomo adalah mewakili kepentingan mereka itu. Pada 23 Mei 1910 Budi Utomo mengajukan petisinya yang pertama keapada pemerintah, yang di dalamnya dikemukakan keluh-kesah kaum priayi bawah: Tanpa prasangka terhadap anak-anak Eropa akan hak mereka, usaha rakyat pribumi mencapai kemajuan mendapat sambutan. Diminta agar lembaga pendidikan khusus untuk pribumi yang dibuka pemerintah mengajarkan mata pelajaran yang sama seperti pada sekolah-sekolah dasar Eropa, dan yang dihubungkan dengan pendidikan persiapan untuk STOVIA serta sekolah hukum pribumi.

Demikian juga dengan pendidikan dasar lanjutan atau menengah. Petisi ini menunjukkan keinginan “kalangan pegawai rendah pribumi” untuk memberikan pendidikan dasar bahasa Belanda bagi anak-anak mereka, supaya mereka bisa meneruskan pendidikannya di sekolah menengah, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Menarik diperhatikan, karena STOVIA dan sekolah hukum disebut-sebut secara khusus menunjukkan betapa besar hasrat kalangan priayi ini untuk bisa masuk sekolah tersebut. Dari sudut organisasi itu, petisi ini sungguh menarik. Tetapi aspek yang paling menarik ialah adanya banyak persamaan antara petisi ini dan gagasan-gagasan yang dikemukakan Hazeu dalam suratnya tanggal 27 Januari.

Penalarannya pada dasarnya sama, hanya kesimpulan mereka yang berbeda. Hazeu menyarankan agar kurikulum sekolah pribumi kelas satu diperluas, agar memungkinkan anak-anak pribumi memulai belajar bahasa Belanda sejak kelas pertama. Adapun petisi menuntut agar kesempatan masuk ke sekolah dasar Eropa bagi anak-anak pribumi dibuka lebih lebar, juga sekolah anak-anak pribumi agar diberi “pelajaran yang benar-benar sama seperti pada sekolahsekolah dasar Eropa.” Tanggapan pemerintah terhadap petisi itu pun bersahabat. Dalam jawabannya yang dikirim oleh sekretaris pertama, tanggal 8 September 1910, diberitahukan kepada Budi Utomo bahwa “memperluas kesempatan bagi anak-anak pribumi untuk menerima pendidikan Eropa, dan lebih khusus lagi pendidikan bahasa Belanda”, merupakan langkah yang patut dipertimbangkan. Namun, setelah dua tahun berlalu, tak ada satu pun tindakan diambil guna memperbarui pendidikan dasar pribumi itu. Pada 1913, sekolah pribumi kelas satu diberi nama baru Hollandsch-Inlandsche School, sekolah pribumi Belanda, dan ditetapkan bahasa Belanda diajarkan mulai dari kelas satu. Pembaruan ini mengakibatkan jumlah murid yang memasuki sekolah-sekolah ini bertambah besar.

Sumbangan pimpinan Budi Utomo dalam pembaruan di bidang pendidikan lainnya, yaitu kecakapan mereka dalam menimbang mana-mana yang patut dan bisa dicapai, sebelum tuntutan-tuntutan mereka itu diajukan kepada pemerintah. Kecanggihan mereka meninjau situasi, di satu pihak karena pengalaman mereka sebagai priyayi, dan pada pihak yang lain lantaran kedudukan mereka yang menguntungkan sebagai pejabat pemerintah. Mengapa Budi Utomo tidak bisa memberikan dampak yang lebih langsung terhadap bidang pendidikan? Alasannya, kesulitan yang dihadapi organisasi selama tahun-tahun permulaan di dalam menanggulangi segala macam kegiatannya sepenuhnya.

Dalam suratnya tertanggal 20 Desember 1909 kepada Direktur Pengadilan di Batavia, Hazeu meringkas kemandekan organisasi mengatakan: “sementara ini orang tak bisa mengharapkan banyak dari Pengurus, melainkan lebih baik memandang kepada kegiatan di cabang-cabang yang sama sekali merdeka”, dengan mengutip sebagai contoh ialah keberhasilan cabang Klaten dalam melawan kesesatan bangsa Jawa – demam judi dan adat kebiasaan masyarakat yang mahal. Anggota cabang ini juga berjasa dalam mendirikan sebuah toko koperasi kecil dan persatuan dagang. Tentang organisasi pusat, Hazeu meramalkan, Pengurus tidak akan bisa melaksanakan sesuatu apa pun yang penting selama beberapa tahun mendatang”. Kemungkinan itu terbukti pada 1910, ketika Pengurus, karena alasan keuangan dan keorganisasian, memutuskan untuk tidak menyelenggarakan kongres ketiga, yang sedianya akan diadakan Oktober.

Rapat lokal yang diselenggarakan cabang Batavia pada 21 Agustus dihadiri oleh empat ratus pengunjung. Sebuah sidang yang semarak, dengan dihadiri wakil-wakil dari perhimpunan calon pegawai pribumi, siswa-siswa STOVIA (tidak seorang di antara mereka ini menduduki jabatan penting dalam organisasi saat itu), dan siswa-siswa dari sekolah hukum di Batavia. Nada persidangan mencerminkan petisi yang dikirim kepada pemerintah bulan Mei lalu dan masalah paling menonjol ialah perlunya ditingkatkan mutu sekolah-sekolah dasar pribumi, agar murid bisa meneruskan pendidikan menengahnya pada lembaga-lembaga dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Juga dibicarakan masalah sekolah desa dan organ baru organisasi, tetapi suasana rapat pada umumnya mencerminkan kelesuan Budi Utomo.

Untuk mengatasi kesulitan keuangan organisasi, Pengurus mengajukan petisi kedua kepada pemerintah pada 31 Desember 1910, dengan minta izin untuk menyelenggarakan undian guna mengumpulkan dana. Pendapatan yang diperkirakan sebesar f 250.000 hendak dipergunakan, menurut perumusan samar-samar petisi, untuk “mendirikan sekolah Frobel dan sekolah dasar untuk anak-anak pribumi laki-laki dan perempuan.” Keyakinan dipertaruhkan pada undian semacam itu sebagai sarana untuk memperbaiki keadaan keuangannya didorong oleh perhitungan keuntungan yang akan sebanyak enam belas kali lebih dibanding dengan seluruh kekayaan Budi Utomo ketika itu.

Namun, rencana itu ditolak pemerintah, karena undian sebesar tersebut, dan tidak untuk tujuan amal, merupakan hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah tanah jajahan. Di tengah-tengah kesulitan . ini pimpinan Budi Utomo mengalami pergantian pada 25 Agustus 1912. Noto Dirodjo, anak Pakualam V, terpilih sebagai ketua menggantikan Tirtokoesoemo. Walau Tirtokoesoemo terpilih kembali sebagai ketua untuk masa jabatan kedua pada rapat 16 September 1911, kepemimpinannya selama beberapa tahun terakhir sesungguhnya tinggal bersifat nominal saja. Kelumpuhan organisasi ini jauh dari sekadar ketiadaan kepemirnpinan belaka. Sebuah artikel oleh juru ulas bernama Wirontani, yang terbit 18 November 1911 pada De Locomotief, memperingatkan akan adanya kontradiksi fundamental di dalam watak organisasi ini sendiri. Kritiknya ini dibahas di dalam majalah bulanan Indische gids: Dikatakan Wirontani, walau Badan Pengurus tak mengakuinya, Budi Utomo adalah sebuah organisasi politik. Tapi ia kekurangan “darah”, karena keanggotaa dirinya terutama terdiri atas pejabat pemerintah.

Selain itu, tidak adanya daya untuk berkembang bahkan dinyatakan oleh anggota-anggota pengurus yang konservatif. Maka, bagi kaum progresif lebih baik tidak melibatkan diri di dalam organisasi ini jika tak ingin kesal. Di luar kalangan birokrasi sangat sedikit orang Jawa yang sadar akan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan mereka. Karena itu, diperlukan waktu cukup lama sebelum Badan Pengurus menerima haluan demokrasiyang amat sangat digandrungi rakyat itu. Budi Utomo, yang lahir sebagai anak ajaib, menurut penulis, tetap masih kanak-kanak, walau umurnya telah memasuki tahun ketiga, masih harus belajar bagaimana berjalan. Darah segar harus dialihkan ke tubuh Budi Utomo, jika orang ingin melihat impiannya segera menjadi kenyataan.

Untuk tujuan ini barangkali orang-orang pribumi yang sudah belajar di Eropa iu akan menjadi pimpinan yang diinginkan. Dengan tepat penulis menunjukkan bahwa Budi Utomo pada tiga tahun umurnya masih harus menghadapi kenyataan yang kejam: betapapun hebatnya ia berusaha menghindari agar tidak menjadi organisasi politik, namun ia tak pernah mampu memecahkan masalah yang dihadapinya baik yang dari dalam maupun yang dari luar, selama perhatian masih tetap menyempit terpusat pada masalah kebudayaan dan pendidikan. Dilema organisasi itu mencerminkan kedudukan sulit para pejabat pribumi Jawa itu sendiri: naluri mempertahankan kedudukan mereka sendiri sebagai pejabat pemerintah menjadi perintang bagi para anggota Budi Utomo untuk menempuh haluan yang terlalu maju. Selama organisasi beranggotakan sebagian besar pejabat pemerintah, akan selalu sulit bagi Budi Utomo untuk mengubah haluannya. Masalahnya ditambah pula oleh kenyataan bahwa pimpinan organisasi, Badan Pengurus, agaknya bersikeras membelokkan pikiran para anggota agar tidak sadar terhadap dilema ini. Noto Dirodjo sebagai ketua kedua Budi Utomo tidak berhasil merombak acuan lama organisasi.

Tetapi ia mampu meniupkan nyawa baru ke dalam kegiatannya. Dwidjosewojo menulis: Di bawah pimpinannya Budi Utomo tetap pada arah pembangunan intelektual, tapi dengan daya dan tenaga yang lebih besar. Pada mulanya Budi Utomo tak banyak mendapat dukungan dan perhatian dari kalangan bangsawan Jawa di Surakarta dan Yogyakarta. Tapi Budi Utomo mendapat sam. butan yang cukup luas di kalangan atas masyaraka Jawa. Hasilnya: sebuah organisasi neutraal onderwijs, atau “pendidikan sekuler” berdiri di Surakarta dan Yogyakarta, yang selanjutnya mendirikan juga buah sekolah dalam jangka waktu yang sanga singka – sau di Surakarta dan dua lainnya di Yogyakarta. Sultan menyumbang sekitar f 100.000 dalam bentuk tanah, dan f 45.000 berupa uang tunai.

Kedudukan Noto Dirodjo yang tinggi di daerah vorstenlanden tentu saja memungkinkan baginya untuk melakukan pembaruan terhadap kegiatan Budi Utomo di daerah ini. Lahir 1858, lulus dari sekolah dasar Eropa dan HBS (sekolah menengah Belanda) di Batavia dan Semarang, Noto Dirodjo saat itu salah seorang yang sangat terpelajar dari kalangan keluarga raja-raja. Dukungannya tulus, yang diberikannya kepada Wahidin pada saat-saat pertama mempropagandakan beasiswa, menunjukkan gelora semangatnya dalam menyambut gagasan untuk meningkatkan pendidikan pribumi. Soewardi Suryaningrat malah menyebutnya sebagai berpandangan lebih liberal ketimbang pendahulunya. Kenyataan bahwa ia dipilih sebagai ketua oleh enam puluh dua dari enam puluh enam suara jelas menunjukkan, kepemimpinannya disambut oleh hampir semua anggota Budi Utomo yang hadir. Dalam sejarah ringkas Budi Utomo, yang diterbitkan 6 April 1928, Koesoemo Oetoyo memuji kepemimpinan Noto Dirodjo: “periode kedua Budi Utomo harus dicatat olen kegiatan-kegiatan kebudayaannya, sementara itu perekonomian dan kesenian tradisional juga digalakkan.” Sampai Juli 1914, ketika kesehatan memaksanya mengundurkan diri, Noto Dirodjo mencurahkan kegiatannya pada usaha memperluas kegiatan Budi Utomo.

Prospek kepemimpinan baru tersebut memberikan semangat bagi yang lain-lain untuk memperbarui perhatian mereka terhadap organisasi. Sesudah tahun-tahun keraguan, gagasan untuk mengimbau minat kalangan nonpriayi diperbincangkan secara terbuka. Pada rapat pengurus 25 Agustus 1912 Komisaris R. Sastrowidjono menegaskan: Periode sekarang ini adalah zaman kebangunan. Selama kita menempuh jalan yang benar, kita tak perlu takut atau cemas, dan jika keharusan itu datang, kita akan menerangkan pikiran kita sejelas-jelas dan setuntas-tuntasnya. Karena mayoritas belum bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, sebagai akibat kurangnya pendidikan, maka tugas kaum terpelajar membantu rakyat yang masih dalam kebodohan itu, dan memberikan penerangan bagi mereka. Masih ada satu hal lagi yang menjadi rintangan terhadap kemajuan rakyat Jawa, yaitu sikap umum kaum priayi terhadap rakyat kecil. Kebanyakan kaum priayi tidak mau peduli terhadap rakyat kecil. Dengan kata-kata lain, priayi tidak mau membantu mereka. Jika bukan kita, orang-orang Jawa itu sendiri, siapa yang akan berusaha meningkatkan derajat rakyat kita? Harapan rakyat sederhana saja: priayi hendaknya mempunyai rasa belas kasihan terhadap mereka, yang juga sesama bangsa kita dan juga tentu saja mempunyai hak kemanusiaan.

Ada orang-orang yang berpikir bahwa Budi Utomo bukanlah organisasi rakyat Jawa, melainkan organisasi kaum priayi. Sedikit banyak ini tentu saja benar, karena anggotanya hampir semua kaum priayi. Sedangkan rakyat kecil yang ingin menjadi anggota takut, dan tidak didorong pula agar berani masuk. Untuk melaksanakan tujuan tersebut di atas, kekuatan rakyat banyak harus digalang. Betapapun hebatnya kekuatan mereka, dengan kekuatan satu atau dua orang saja tentulah tidak bisa memenuhi tujuan kita. Satu aspek biasanya diabaikan, tetapi orang merasa bahwa ini bisa merupakan dasar kemajuan yang dilakukan orang Jawa itu.

Aspek ini adalah bahwa kehormatan orang biasanya hanya ditentukan atas dasar pengaruh kepriayian saja. Dengan perkataan lain, saudara-saudara kita yang tidak punya pengaruh demikian, selamnya tidak pernah dipandang sebagaimana mestinya, malah diam-diam dilecehkan seolah-olah mereka itu bukan manusia. Karena itu, mereka lalu menjadi sangat pemalu, tenaga mereka pun menjadi semakin lemah. Walaupun ada di antara mereka yang baik kehidupannya, hal ini tidak mengangkatnya menjadi priayi. Sesungguhnya banyak orang (bukan priayi) yang harus dihormati! Pada kongres kedua 1909, Sastrowidjono, yang menekankan pentingnya kemajuan perekonomian dan timbulnya kelas menengah pribumi, sekali lagi membuktikan dirinya sebagai salah seorang di antara para pemimpin Budi Utomo yang berwawasan jauh. Tetapi terlalu sedikit yang sejalan dengan pendiriannya ini. Karena pada hakikatnya organisasi ini tetap tak berubah pandangannya, maka seruan partisipasi dari kalangan bukan priayi ini pun kecil kemungkinannya diterima. Perubahan suasana terjadi semasa kepemimpinan Noto Dirodjo. Yaitu ketika anggota, barangkali untuk pertama kalinya sejak 1908, menjadi merasa peka terhadap peranan Yogyakarta sebagai lambang persatuan bangsa Jawa.

Bersambung…. kebagian lima (habis)

1 Komentar

  1. Apabila disimak dari bagian satu , dua dan tiga artikel KNBDSDJ ini boleh saya katakan adanya ” kebingungan ” kearah mana perjuangan organisasi sebesar BO. nampak pada tahun2 pertama berdirinya kentara memerlukan semacam ” legitimasi ” daripada pejabat pemerintahan semacam para bupati2 dlsbg.nya. boleh dan bisalah dikatakan adanya kolaburator policy ( kalau saya tidak salah melihatnya ).

    entah itu faktor kesengaja’an , tidak ada kesengaja’an atau memang karena ” alur sejarah ” yang menghendaki demikian . memang pemimpin , pejuang ataupun pemikir ( malah ketiga2nya ) produk nyata daripada BO. tidaklah salah jatuhnya hari ” kebangkitan nasional ” bertepatan dengan berdirinya BO , tetapi kita tidak saja bangkit , pun juga harus mengetahui meneladani dan menindak lanjuti ” para aktor ” didalamnya yang dimotori mahasiswa2 STOVIA yang asal usulnya dari ruangan anatomi ( ilmu urai manusia ) secara konkret dan konsekwen . cuma ( kalau boleh berterus terang ) mampukah ” kita , anda dan saya ” mewujudkanya dalam keseharian ini mengingat perkembangan zaman telah merubah semuanya . jawabannya adalah ” terlalu sulit ” dan mungkin ” tidak bisa dijawab “……………………………

    ( doktertoeloes malang ).

Tinggalkan Komentar