Muharram, Jalan Menuju Fajar Asia

oleh :  Bakti Sudjanmowani (Mahasiswa tinggal di Bandung)

 “Dari sebab itoe, soedah tentoelah dalam Islam ada Nationalisme, sebab Tjinta bangsa dan tanah air (wathan) hanjalah sebagian dari pada segalanja itoe –Iman–. Bagi tiap-tiap orang Islam, toea dan moeda, kaja dan melarat, pandai atau bodoh, semoeanja memikoel tanggoeng djawab atas kewadjiban itoe, jaitoe kewadjiban mentjintai tanah airnja.” -S. M. Kartosoewirjo [1]

Kehidupan adalah sebuah proses. Sebuah perjalanan. Awal dan akhir. Kehidupan ini menjadi sebuah sistem yang mengikat diri kita. Manusia adalah bagian dari perjalanan kehidupan itu sendiri. Semua terikat pada aturan. Baik yang kita sadari maupun tidak. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mukminun: 12-14).

Perputaran waktu itu adalah kepastian. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad terus berganti. Hasil akhir itu tidak mengikat. Proses perjalanannyalah yang mengikat. Sebagaimana halnya dengan proses penciptaan manusia, bulan Muharram merupakan bagian dari proses kehidupan. Lalu, seberapa pentingkah Muharram itu?

Hijrah sebagai Proses Transformasi

Mari kita bersama-sama mundur jauh ke belakang, 1433 tahun sebelum saat ini, saat dimana permulaan penanggalan peradaban Islam. Sistem kalender Islam ini ditetapkan pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami sebagai titik tolak (starting point) peradaban manusia modern yang ditandai dengan peristiwa hijrah Rosulullah SAW. bersama para sahabatnya. Hijrah dari negeri Makkah ke negeri Madinah. Hijrah dari cara hidup Makkah ke cara hidup Madinah. Peristiwa hijrah yang terjadi pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yatsrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabi’ulawwal inilah yang menjadi alasan Ali bin Abi Thalib menyarankan ke Khalifah Umar untuk menetapkan awal tahun kalender Islam adalah pada saat momen penting peristiwa hijrah.

Berbicara Islam adalah berbicara peradaban. Dan peradaban adalah perubahan, pergantian, dan peningkatan (penyempurnaan). Berangkat dari sejarah pelaksanaan hijrah Rosul, Shafar artinya perjalanan (merantau). Sedangkan Rabi’ulawwal artinya awal menetap (kembali) dari merantau. Peristiwa hijrah tersebut dapat diartikan sebagai proses perjalanan panjang pencarian dan penetapan peradaban. Kedua belas bulan dalam kalender Islam memiliki arti masing-masing sesuai dengan keadaan/sistem kehidupan yang telah digariskan oleh Allah Swt. yang sifatnya mengikat.

Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan perenungan setelah kita berkurban di bulan Dzulhijjah. Bulan Muharram bagaikan antiklimaks dari proses perjuangan hidup penghambaan manusia kepada Penciptanya yang ditandai dengan berhaji dan berkurban sebagai pelaksanaan rukun Islam yang terakhir di bulan Dzulhijjah. Proses penghambaan tiada henti inilah yang disebut dengan peradaban.

 “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali…” (An Nisaa’: 97).

Hijrah dari Makkah ke Madinah tidak hanya ditandai dengan perpindahan secara fisik dalam arti migrasi dari kota Makkah ke kota Yatsrib saja. Lebih dari itu, hijrah Rosulullah ini merupakan cikal bakal perlawanan yang seimbang antar dua negara yang berdaulat. Proses transformasi dari diri menjadi keluarga, menjadi bangsa, dan menjadi negara yang berdaulat inilah makna yang sebenarnya dari hijrah Rasulullah tersebut. Dari bentuk yang paling sederhana yang ditandai dengan sistem diri menjadi sistem negara yang kompleks.

Cita-cita tertinggi seluruh umat Islam adalah kemerdekaan sejati. Kemerdekaan sejati itu adalah penghambaan totalitas kepada Sang Pencipta dalam seluruh sendi kehidupan dengan cara mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW sebagai teladan. Penghambaan secara totalitas tanpa rasa terancam dan teraniaya ini wajib diupayakan selama hayat masih dikandung badan. Perintah Allah untuk berhijrah ke Yatsrib adalah untuk membuktikan dua kalimat syahadat (tauhid) yang telah diikrarkan secara lisan dan sebagai pembeda antara masyarakat Makkah yang biadab (bodoh, tiran) dengan masyarakat Yatsrib yang beradab (bertauhid, berilmu).

Setelah Rasulullah berhijrah, Yatsrib kemudian berubah nama menjadi Madinah. Madinah artinya kota/ibukota. Terdapat pengertian bahwa madinah itu adalah sebuah tempat dilaksanakannya din (agama, sistem penghambaan) yang bernama Islam dan memiliki pemerintah (struktur kepemimpinan),  memiliki hukum, serta ditaatinya pemimpin dan hukum tersebut oleh seluruh masyarakat yang mendiami tempat itu. Tempat dimana din Islam berlaku penuh dalam seluruh sendi kehidupan akan selalu bernama Madinah menurut pengertian tersebut di atas. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Jika arti dari Madinah sendiri seperti itu, kemudian Allah Swt. telah memerintahkan bahwa rukun hidup adalah Iman-Hijrah-Jihad, maka hanya orang bermental ‘makkah’lah (biadab, bodoh, menganiaya diri sendiri) yang akan menolak cita-cita hijrah menuju Madinah.

Hijrah dalam Konteks Ke-Indonesiaan

Proses transformasi pun terjadi di Indonesia. Indonesia yang dikuasai oleh imperialisme barat akan selalu bercita-cita untuk menentukan nasibnya sendiri (baca: merdeka). Hal ini menandakan bahwa di manapun tempat hidup kita, di sanalah proses hijrah itu berlangsung. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Jika prinsip hijrah itu datangnya dari perintah Allah Swt., maka penggunaan hijrah itu juga harus dalam kerangka penghambaan kepada Allah Swt. saja. Hijrah yang dimaknai kerdil hanya sebatas alih bahasa, maka hasilnya akan kerdil pula. Iman-Hijrah-Jihad yang diperintahkan oleh Allah Swt. adalah visi hidup setiap muslim. Bukan hanya sekedar proses yang bisa dilakukan atau bisa juga tidak. Hanya merupakan pilihan. Bukan seperti itu.

Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, terdapat tiga ideologi besar yang menjadi landasan perjuangan yaitu Islam, Nasionalisme, dan Komunisme. Dalam sejarahnya, masing-masing ideologi tersebut mengambil peranan penting dalam perebutan kekuasaan atas tanah air Indonesia. Masing-masing berhak mengklaim memiliki Indonesia dengan corak ideologinya. Islam sebagai salah satu ideologi yang mewarnai masyarakat Indonesia pun memiliki sejarahnya sendiri.

Umat Islam wajib memahami bahwa Iman-Hijrah-Jihad adalah metode perjuangan dalam meraih kemerdekaan sejati  yang diperintahkan oleh Allah Swt. Tidak ada jihad tanpa hijrah. Tidak ada hijrah tanpa iman. Dan tidak dikatakan beriman seseorang, jika tidak melakukan hijrah dan jihad dalam hidupnya. Pemahaman inilah yang melatarbelakangi bentuk perjuangan umat Islam bangsa Indonesia untuk mengambil langkah tegas dalam meraih kemerdekaan sejati yang dicita-citakannya. Yaitu dengan menerapkan metode perjuangan para nabi dan rosul (baca: hijrah).

Metode hijrah yang dipahami dan dilaksanakan oleh tokoh pergerakan Islam Indonesia dan umat Islam bangsa Indonesia adalah hijrahnya para nabi dan rosul. Sejarah pergerakan dan kemerdekaan Indonesia memulai babak baru sejak 16 Oktober 1905 dengan didirikannya Syarikat Dagang Islam (SDI) oleh KH. Samanhudi di Solo. Seperti proses awal seruan dakwah Rosulullah Muhammad SAW., K.H. Samanhudi pun berlaku sama ketika melihat diskriminasi yang dilakukan oleh para pedagang Cina kepada pedagang pribumi. Pada saat itu pedagang Cina dengan dilindungi oleh penjajah Belanda memonopoli perekonomian Indonesia, dalam hal ini terkhusus perdagangan batik di Solo. Rasa kebangsaan K.H. Samanhudi inilah yang mendorong beliau untuk mendirikan syarikat yang dapat melindungi keberlangsungan ekonomi pribumi seperti apa yang dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad SAW. dalam melihat pemerintahan tiran Abu Jahal. Kata ‘Islam’ di dalam SDI adalah simbol kepribumian karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk Islam.

Sejak saat itu SDI berturut-turut bertransformasi, berhijrah menuju Syarikat Islam (SI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Darul Islam (DI), hingga tercapainya cita-cita zelfbestuur (pemerintahan sendiri) berupa Negara Islam Indonesia (NII). Cita-cita kemerdekaan sejati tersebut telah diungkapkan oleh H.O.S. Tjokoroaminoto pada pidato National Congres Centraal Syarikat Islam (Natico I) di Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika) Bandung tahun 1916. SI adalah satu-satunya organisasi pergerakan yang menggunakan kata nasional pada saat itu. Hal ini terbukti bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia itu hanya diwakili oleh Syarikat Islam jauh sebelum Sumpah Pemuda dilaksanakan. Bahkan setelah kongres pertama Central Syarikat Islam (CSI) di Bandung tersebut, SI kemudian menjadi organisasi  pergerakan terbesar yang anggotanya mencapai 2.500.000 orang  pada tahun 1919 dan tersebar di seluruh Indonesia.

Dalam catatan sejarah, cita-cita seperti ini tidak dimiliki oleh organisasi pergerakan lainnya di tahun itu. Tidak juga oleh Boedi Oetomo. Bahkan, Boedi Oetomo pun tidak bergerak di bidang politik. Atau bahkan anggotanya sedikit, kelas terpelajar dan bangsawan, dan hanya orang Jawa dan Madura saja. “Roepanja sangat boleh djadi B.O., jang hendaknja akan mempertinggikan ,,kultuur” dan ,,kebangsaan” Djawa” [2]. Lahirnya Boedi Oetomo hanya disebabkan oleh penerapan Politik Etis dari penjajah Belanda.  Itu saja. Walhasil, organisasi Boedi Oetomo ini bubar di tengah jalan tanpa pernah mencita-citakan kemerdekaan nasional.

Zelfbestuur sejatinya merupakan pelaksanaan prinsip hijrah dalam Islam. Cita-cita tertinggi setiap muslim adalah memiliki pemerintahan sendiri.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Anfaal: 72).

Hijrah dari keadaan terjajah menuju kemerdekaan nasional kemudian dilanjutkan kepada kemerdekaan sejati telah digambarkan dalam sejarah pergerakan dan kemerdekaan Indonesia dalam pencapaian zelfbestuur ini. Allah Swt. memerintahkan setiap muslim untuk menerapkan Iman-Hijrah-Jihad dalam setiap langkah hidupnya. H.O.S. Tjokroaminoto menggambarkan prinsip tersebut dengan falsafah perjuangan SI, “Semurni-murni tauhid, Setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai strategi.”

SDI adalah penggambaran perlawanan rakyat terhadap keterjajahan. SI-PSII adalah penggambaran upaya meraih kemerdekaan nasional. DI adalah upaya untuk meraih kemerdekaan sejati. Dan Negara Islam Indonesia (NII) adalah zelfbestuur yang diperintahkan oleh Allah Swt. S.M. Kartosoewirjo menuliskannya dalam brosur Sikap Hidjrah PSII pada 10 September 1936 :

“Njatalah soedah, bahwa Pergerakan itoe dengan merangkak2 dan berangsoer-angsoer, dari sedikit ke sedikit dan dari setapak ke setapak mengikoeti perdjalanan Nabi Çlm, jang menerima toentoenan langsoeng dari pada Allah.”

Sejarah menggambarkan bahwa hijrah yang dilakukan oleh umat Islam bangsa Indonesia itu murni mencontoh proses yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam meraih kemerdekaan sejati. SDI itu sama ketika Rasulullah membentuk Darul Arqam. SI-PSII itu ketika Hijrah ke Habasyah yang pertama. DI itu ketika hijrah ke Habasyah yang ke dua. NII itu ketika hijrah ke Madinah. Setelah itu Rasulullah SAW hijrah ke Makkah kembali untuk menyempurnakan semuanya. Ini adalah peristiwa futuh Makkah yaitu dibebaskannya Makkah dari kekuasaan tiran Abu Jahal. Makkah adalah tanah air Rosulullah SAW. Beliau diangkat dan diutus menjadi Rosul di negeri itu. Sudah menjadi kewajiban Rosul untuk kembali dan membebaskan tanah airnya yang belum merdeka sebagai bukti dari cita-cita tertinggi setiap muslim yaitu kemerdekaan sejati.

 “Dan Hidjrah itoe wadjib poela teroes berdjalan, selama di tempat itoe masih meradjalela peratoeran-peratoeran penjembahan berhala, tegasnja peratoeran-peratoeran jang melanggar Agama Allah! Dalam tarich ditoeliskan, bahwa berhentinja Hidjrah itoe pada waktoe Islam telah mendapat kemenangan atas Mekkah, satoe kemenangan jang hanja akan tertjapai dengan Kehendak (Iradat) dan Kekoeasaan (Qudrat) Allah semata-mata !

Sedjak zaman itoe tidak lagi terdjadi poetoes perhoeboengan atau perpisahan antara Mekkah dan Madinah, melainkan kedoea itoe disatoekan, diseboeahkan. Bukan “disatoekan” dalam erti kata, jang kedoea negeri itoe mendjadi satoe negeri ! Djaoeh djaraknja (antaranja), tidak beroebah watas-watas kedoea negeri itoe !

“Satoe”, karena kedoea negeri itoe, sedjak datangnya Falah dan Fatah jang njata itoe, diikat oleh tali-tali (hoekoem-hoekoem) Allah !

“Satoe”, karena negeri itoe mendjadi tempat penjembahan Allah jang teroetama !

“Satoe”, karena kedoea negeri itoe masing-masingnja disoetjikan oleh Allah ! Maka soedah sepatoetnjalah, jang kedoea negeri itoe sedjak moela disoetjikan oleh Allah hingga pada sa’at ini, terkenal namaja sebagai “Haramain”, tegasnja kedoea negeri jang soetji.” [3]

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Semangat Tahun Baru

Tahun demi tahun akan berlalu. Jejak sejarah selalu ada sebagai tolok ukur kehidupan masa depan. Muharram sebagai bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. Bulan yang diharamkan darah tertumpah. Bulan dimana umat muslim “dipaksa” merenung mengevaluasi penghambaannya ke Ilahi Rabbi di tahun sebelumnya. Sebelum ajal menjemput, umat muslim pantang berputus asa. Pantang berkeluh kesah. Pantang mundur ke belakang. Peristiwa tahun sebelumnya adalah bagian dari sejarah perjalanan hidup. Ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, hukum, pertahanan yang berpayung tauhid adalah cita-cita tertinggi yang wajib diraih oleh setiap muslim di Indonesia. Berperan aktif mengupayakan falah (kebahagiaan) dan fatah (kemenangan, pembukaan) adalah keharusan bagi setiap insan yang merdeka, yang menyadari rukun Islam yang pertama[4]. Syahadat merupakan persaksian penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dibuktikan dengan hijrah dan jihad.

 “Adapoen jang kami maksoedkan dengan Revolusi Pribadi itoe ialah peroebahan diri, peroebahan sifat dan thabi’at, peroebahan himmah dan semangat, peroebahan kehendak dan tjita-tjita, tegasnja: perobahan djiwa, peroebahan manoesia dalam erti ma’nawy dan ma’any, dlohir dan bathin.

Soenggoehpoen hal ini (Revolusi Pribadi), jang kemoedian bila soedah merata, akan meroepakan “Revolusi Ra’jat”, djarang sekali diseboet-seboet orang, tapi dalam pandangan dan pendapat kami, tidak koerang pentingnja dibanding dengan Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial. Lebih-lebih lagi, karena Revolusi Ra’jat itoe mengenai dasar-dasar dan sendi-sendinja masjarakat dan chalajak ramai serta toelang-poeng-goeng pemerintahan negeri. Djaoehkan dan enjahkanlan sifat kolonialisme (sisa Belanda-isme) dan sifat fascisme (sisa Djepang-isme), dari diri kita, dari toeboehnja masjarakat dan chalajak ramai! Djadikanlah diri kita masing-masing mendjadi “Djiwa Merdeka” Djiwa, jang patoet mendjadi anggauta masjarakat jang merdeka! Djiwa, jang pantas mendjadi warga daripada sesoeatoe Negara jang Merdeka!

Dalam pandangan Agama Islam, tiadalah moengkin dibentoek djiwa merdeka, melainkan berdasarkan atas sesoetji-soetji Iman kepada Allah dan sebersih-bersih Tauhid, sepandjang adjaran Kitaboellah dan Soennah Rasoeloellah, Moehammad Clm. Oesaha mengoebah diri mendjadi “djiwa merdeka” adalah kewadjiban, jang diletakkan atas poendak tiap-tiap warga Negara, jang sadar dan insaf akan bangsa dan tanah airnja, teroetama atas warga Negara jang menamakan dirinja Moeslim atau Moe’min, jang telah mendapat panggilan soetji dari Agamanja.

Sebab, djika tiap-tiap warga Negara Indonesia telah dapat mengoebah dirinja men-djadi “Djiwa Merdeka”, tegasnja : djika Revolusi Ra’jat telah berlakoe atas dirinja. Insja Allah, tertoetoeplah djalan dan kemoengkinan bagi kaki pendjadjah jang mana poen djoega mengindjak tanah air kita, djangankan mengganggoe Kedaulatan Negara kita.” [5]

Tahun baru Hijriyah adalah momentum dalam usaha dan semangat besar manusia yang ingin mengubah diri dan masyarakatnya yang beku, bodoh, dan biadab menjadi manusia yang maju, sempurna, dan bersemangat. Peringatan tahun baru Hijriyah adalah bukan soal pergantian tahun, tapi pergantian ketaatan, ketundukan, dan penghadapan. Dari yang nonwahyu menjadi wahyu-isme karena manusia adalah hamba. Kehancuran materialisme adalah peristiwa yang pasti terjadi. Sejarah telah membuktikan. Bumi selalu berputar, roda selalu bergulir. Inilah satu nilai yang sangat penting kenapa hijrah dijadikan sebagai titik awal terbitnya fajar baru peradaban umat Islam Indonesia, fajar baru peradaban asia, fajar baru peradaban dunia karena jika kerso maka akan kuoso, dan itu artinya mardhiko.

 “Adapoen tentang “Dar-oel-Islam”, hal ini moethlak tergantoeng kepada koernia Allah semata-mata. Tiada soeatoe mahloek, djoega bangsa manoesia jang mana poen djoega, dapat ikoet tjampoer tangan didalamnja. Hanjalah daripada adjaran Agama Islam jang soetji kita mengetahoei, bahwa tiap-tiap djalan dan oesaha jang menoedjoe ke Dar-oel-Islam, maka djalan dan oesaha itoe djoegalah jang menoedjoe kearah “Dar-oes-Salam”, alam jang dilipioeti oleh ni’mat Allah selama-lamanja. Moedah-moedahan Allah berkenan menjampaikan kita kepada tjita-tjita Islam jang soetji-moerni itoe, ialah: Dar-oel-Islam didoenia dan Dar-oes-Salam diachirat! Amin! Ja rabbal-‘alamin.”[6]

Salam Perubahan!

————————————————-

[1] S.M. Kartosoewirjo, Barisan Moeda, Fadjar Asia, 6 Februari 1929

[2] S.M. Kartosoewirjo, Berekor Pandjang (Pers dan Politik), Fadjar Asia, 2 Juli 1929

[3] Sikap Hidjrah PSII 2, hlm. 13

[4] Sikap Hidjrah PSII 2, hlm. 13

[5] S.M. Kartosoewirjo, Haloean Politik IslamBab IV Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial,  1946

[6] S.M. Kartosoewirjo, Haloean Politik Islam-Bab VII Menoedjoe Ke Arah Dar-Oel-Islam Dan Dar-Oes-Salam,  1946

Daftar bacaan:

2 Komentar

  1. andinoeg berkata:

    hijrah menuju kehidupan yang lebih baik

Tinggalkan Komentar