Perang Kebudayaan

Pertanyaan yang menggelitik di sodorkan oleh Kang Usup “Apakah Korea Bagi Indonesia : Sebuah Ancaman ❓ ” secara spontan saya memberikan komentar diantaranya : …. Apa yang dilakukan korea juga negara2 lainnya adalah bentuk “Serangan Budaya” dengan senjata fashion, film, fun, dll yang berujung pada “imperialisme kebudayaan” jd secara tak sadar kita telah masuk pada episode perang dunia ke-tiga yaitu perang budaya..  komentar yang membuat saya mengingat-ngingat kembali pemahaman tentang perang kebudayaan.  Sedikit waktu mencari di rak buku, akhirnya ketemu dengan buku tulisan Imam Ali Khamenei yang berjudul “Perang Kebudayaan” yang diterbitkan oleh Cahaya tahun terbit 2005.

Dalam bab pertama tentang “perang kebudayaan” disitu tertulis bahwa  : Makna dan maksud “perang kebudayaan” adalah saat suatu kekuatan politik atau ekonomi melakukan penyerangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan umat lain. Serangan tersebut bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan  umat dimaksud di bawah  kendalinya. Dalam konteks perang ini, dengan cara paksa, memberlakukan keyakinan dan kebudayaan baru sebagai ganti kebudayaan dan keyakinan lama umat itu.

Perang semacam ini bercorak budaya, karena berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian.

Perang kebudayaan menghendaki generasi baru melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai cara. Pertama, menggoyangkan keyakinan mereka terhadap agamanya. Kedua, memutuskan hubungan mereka dari keyakinan mereka terhadap prinsip-prinsip revolusi. Ketiga, menjauhkan mereka dari pemikiran  efektif yang mampu menghasilkan kekuatan besar yang berwibawa supaya menggiring mereka  untuk merasakan keadaan yang diliputi ketakutan dan ancaman.

Dalam perang kebudayaan, para musuh  berusaha memaksakan unsur budayanya kepada negeri yang diserangnya. Mereka menanamkan keinginan dan kepentingannya jauh di lubuk jiwa bangsa yang dijadikan targetnya. Tentunya sudah diketahui pasti ada kepentingan dan keinginan musuh tersebut.

Perang kebudayaan dilakukan berdasarkan  dua pilar yang patut kita perhatikan dengan seksama. Pertama, menggantikan budaya setempat (lokal)  dengan budaya asing.  Kedua, melakukan serangan budaya terhadap nilai-nilai yang menyangga negara  dan bangsanya dengan berbagai cara dan sarana. Di antaranya, mengimpor film-film dan drama picisan  berseri produksi asing serta penyebaran buku-buku dan majalah yang ditulis berdasarkan arahan pihak asing.

Tentang “Benturan Kebudayaan” mungkin  pernah mendengar atau membaca buku karya seorang Antropolog berjudul The Clash of Civilization. Buku ini dikarang oleh seorang Antropolog bernama Samuel P Huntington. Inti dari buku ini adalah bahwa suatu ketika akan datang masa dimana kebudayaan-kebudayaan yang satu akan saling bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Persaingan ini akan menyebabkan benturan-benturan kebudayaan. Akibat dari benturan ini adalah munculnya satu kebudayaan pemenang, yang artinya kebudayaan-kebudayaan lain yang mengalami kekalahan akan tersingkir bahkan terhapus dari muka bumi. Dengan kata lain perang kebudayaan melahirkan sang pemenang yang akan menjajah bangsa lain dengan budayanya.

Teori Benturan Peradaban yang dipaparkan oleh Samuel Huntington, menunjukkan bahwa para ahli teori Barat, dalam rangka menyukseskan dan memaksakan pandangan-pandangan mereka, mencanangkan perang antara peradaban dan kebudayaan Barat melawan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Berbagai media massa Barat pun melancarkan propaganda luas terus menerus, menyerang nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan nasionalisme, seperti perlawanan menentang penjajahan, perjuangan menegakkan keadilan, perdamaian dan sebagainya. Serangan propaganda ini dilakukan dengan metode-metode yang sangat halus, sehingga tidak terasa oleh masyarakat pada umumnya. Media-media ini, dalam berbagai film, berita dan laporan, secara tidak langsung, menyerang dan melecehkan kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa lain. Pelecehan terhadap kesucian-kesucian agama dan kehormatan nasional, termasuk diantara metode lain yang digunakan oleh media-media Barat, dengan tujuan merendahkan kesucian-kesucian tersebut dalam pandangan masyarakat umum.

Mas Itempoeti pernah memberikan ulasan menarik tentang “imperialisme budaya” melalui proses rekayasa sosial yang melibatkan dua lembaga sosial-budaya yaitu pendidikan dan media massa. Menurut beliau 😉 lembaga pendidikan dan media massa adalah dua alat yang sangat potensial untuk bisa mencetak manusia-manusia baru Indonesia yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan standar spesifikasi yang mereka tentukan.

Dari dua lembaga sosial-budaya tersebut lahirlah anak-anak bangsa yang tak lagi mengenal nilai-nilai budaya bangsanya. Maka tak heran jika saat ini bangsa yang pernah mengalami kejayaan dan kegemilangan di masa lalu telah mengalami keterpurukan yang luar biasa di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suka atau tidak, bangsa ini adalah bangsa yang telah kehilangan jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang begitu bangga menjadi subordinasi dari imperialisme budaya bangsa lain. (lihat)

Senjata budaya yang lain adalah teknologi, dengan mengangkat isu korelasi budaya dan tehnologi. Isu yang menciptakan opini bahwa setiap tehnologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja teknologi itu masuk ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka itu, kita dipaksa memilih dua pilihan; menerima teknologi dengan segenap budaya yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak teknologi berikut budayanya. Karena teknologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak mau budaya pun harus datang dari sana pula.

Kenyataannya, isu ini telah menunjukkan kegagalannya di Jepang. Mengapa? Karena di Jepang kendati secara terbuka menerima masuknya budaya Barat, namun mereka tetap menjaga dan mempertahankan adat istiadat, nilai-nilai ketimuran, serta budaya bangsanya. Dengan begitu, masyarakat Jepang mampu mencapai kemajuan yang luar biasa pesatnya, bahkan mampu melampaui pencapaian masyarakat Barat itu sendiri.

Menghadapi Perang Kebudayaan

Perang butuh kepercayaan dan keyakinan terlebih perang budaya yang bersifat non-fisik yang berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian. Kita harus benar-benar mempercayai dan meyakini bahwasanya sekarang kita menjadi target serangan bertubi-tubi perang kebudayaan dari berbagai arah baik barat maupun timur. Serangan budaya ini bersifat menyeluruh, terorganisir dan terencana.

Perang kebudayaan lebih menyerupai bom kimia yang meledak di kegelapan malam yang tak seorangpun merasakannya. Namun, setelah ledakan itu terjadi beberapa saat, niscaya kita menyaksikan banyak orang yang wajah dan tangannya terluka parah. Perang kebudayaan berlangsung dalam bentuk seperti itu (ledakan bom kimia); secara tiba-tiba kita akan melihat akibat dan dampaknya secara jelas di sekolah-sekolah, jalan-jalan, organisasi, dan diberbagai pejuru tempat lainnya.

Hal-hal yang wajib diperhatikan masyarakat dan tak boleh dibiarkan seperti ini adalah, pertama, berjaga-jaga menghadapi serangan budaya. Kedua, menjaga iman. Ketiga, tidak melupakan musuh dan tidak mengabaikan terhadap permusuhannya.

*Rujukan Buku : Perang Kebudayaan, Imam Ali Khamenei, Penerbit Cahaya, 2005

* Sumber gambar : http://www.awansmart.co.cc

 

64 Komentar

  1. intan berkata:

    *geleng kepala

    1. Usup Supriyadi berkata:

      kenape, tan? hihihiih

  2. Assalamualaikum,
    Lama saya tidak komen di blog anda. Suatu yang sangat menakutkan apa yang dinamakan dengan “BUDAYA”. Budaya adalah sesuatu yang tak terlihat tetapi sangat penting didalam kehidupan kita. Sayang kang Kopral sampai saat ini tidak ada alat ukur di dunia pendidikan yang dapat memetakan sejauh mana budaya kita bergeser. sudah 50% kah, 75% kah atau mungkin 99%?

    1. kopral cepot berkata:

      Wa’alaikum salam …
      Jadi teriangat diskusi “sejarah dan kebudayaan” setahun yang lalu di wall grup sukasejarah, saya tuliskan kembali disini : “kebudayaan sebagai sebuah maha karya peradaban dalam rentang sejarah sebuah bangsa kadang hanya diakui bahwa itu “milik kita” bahkan meradang kalau ada pihak yang lain mengaku miliknya. Kebudayaan bukan sebidang tanah atau sebuah rumah yang memiliki akte atau sertifikat sebagai “milik kita” maka amanlah dia, tetapi sebagaimana sejarah yang memiliki sifat kontinuitas/keberlanjutan maka kebudayaan yang mengiringi sejarah sepatutnya mengalami keberlanjutan pula. Kebudayaan bukan proses yang statis dan produk final tetapi selalu mengalami perkembangan. Maka dari itu proses keberlanjutan sejarah tidak hanya sekedar “ngamumule”/melestarikan tetapi juga melanjutkan, sehingga setiap generasi yang mewarisi kebudayaan sejatinya jangan hanya punya ego “ini milik kita” tetapi kembangkanlah kebudayaan itu kearah peradaban tingkat tinggi.”

      1. حَنِيفًا berkata:

        ngamumule artinya si bule ngamuk berat !!! 😀

        1. kopral cepot berkata:

          Aya-aya wae … untung lain munding bule 😆

        2. Usup Supriyadi berkata:

          tong bawa bawa mundil ah, eneng aja. hihihi

  3. anak nakal berkata:

    wuakakakak, dulu waktu masih ‘precil’ pulang pergi sekolah dgn jarak total krg lebih 5-7km adalah sangat biasa, dengan semangat berkobar setiap langkah kaki memiliki tujuan karena jarak begitu terukur walau tujuan tak terjangkau oleh sekilas pandang, saat ini pun u mengulang lagi pun masih sanggup cuma terkadang tujuan begitu remang bagi bangsa ini, masih adakah ‘jejak kaki’ yg tertinggal bagi generasi penerus?

    1. حَنِيفًا berkata:

      Tangtuu… ada jejak, kalau sampean sudah di “sunat” 😀 😆

  4. anak nakal berkata:

    banyak di negeri ini yg sering kehilangan momentum yg menguras semangat di setiap langkah yg menjejak sang waktu, bahkan tujuan menjadi serasa begitu jauh kabur setiap didekati, momentum2 yg sering dirampok bahkan oleh kawanmu atau saudara sebangsamu sendiri, misal harian kompas tgl 23 oktober 2010 hal. 5 kolom 4, apa yg menghambat penurunan dana?bunga riba? saya pernah mengalami didemo hampir 100 org (kalo ancaman sering kali semacam separatis, biasa pemecatan2) yg keringatnya telah kering karena sistem bagaimana caranya kaya tanpa modal dalam sistem riba?orang yg bertanggung jawab sangat pintar jilat sana sini justru kabur tak berani nongol harusnya berani menyampaikan info keterlambatan justru kelihatan setelah aku yg harus nongol turun tangan ngademin. terlalu banyak sistem yg aneh. pernah juga ketika diberi amanah u antarkan’sesuatu’ ke orang2, hampir 85% pengantar membuangnya ke kali malang, aku 3 besar (berangkat setelah subuh pulang sampai rumah setelah isya’)dan bukan yg no 1 tapi walaupun aku bukan yg no 1, semua yg ditugaskan ke aku kusampaikan ke pemiliknya dan si nomor 1 dipecat karena ketahuan tdk amanah, tahu alasan dari 85% org2 tsb? janji yg tak dipenuhi, kesepakatan yg tak dipenuhi, disunat hingga dinamakan bertahan ‘kerja bakti’ u hidup uang transport yg tak diberikan full dan tunjangan biaya telp balik yg tak diberikan dll, tahukah kau darimana kemalasan? dari momentum2 yg ‘dirampok’? dari manakah kerajinanmu atau kekayaanmu dalam sistem riba? saya sanggup mengikuti jejak langkah panglima soedirman ribuan kilometer walaupun aku adalah masbukin, tapi jika penunjuk arah selalu dirusak bgm membaginya dengan generasi penerus? sampai kapan dana ditunggu hingga menjadi ”kemarahan’ individu dalam institusi thd rakyat atau institusi yg lebih besar bernama negara??? surplus dalam penyerapan anggaran yg rendah???subsidi dikurangi???eropa defisit??? film, novel, ataupun sinetron atau nama2 lainnya baik2 yg sampai segitu ekstrem seperti hostel atau futuristik seperti i robot, atau yg lampau dari jepang 7 samurai atau tora2 dari sudut pandang lain bisa menjadi hiburan bagi seseorang, tapi bagi ‘orang lain’ yg mampu menahannya dalam ‘ruangannya’ ia bisa menjadi salah satu cara membuat profil atau karakter atau hakekat tujuan/angan2 dari negara produsen tsb atau penggambaran dari perkembangan produsen tsb, tak ‘mengenal’ maka tak ‘sayang’ bukan???hehehe bgm ya responnya perang kurs?? jangan kau banggakan “kerajinan dan kekayaanmu” di hadapanku jika riba adalah jalanmu!!!

    1. حَنِيفًا berkata:

      riiieurrrrrrrrr………. ahhh teu ngarti saiyah … hehehe…

    2. sikapsamin berkata:

      Hehehe…RIBA?!? Budaya darimana ya?

      Kalau belum baca & berminat, coba klik yg ini (mudah2an nggak masuk spam) :
      http://id.wikipedia.org/wiki/Riba

      Salam…JASMERAH kpd semuanya

  5. omagus berkata:

    Sepertinya perang pemikiran dan penjajahan budaya ini hampira tidak ada perlawanan kang.
    Bener bener menyedihkan memang.
    sunggh sangat tersa pergeseran budaya nusabttara ini.

  6. Assalaamu’alaikum Kang KC

    maaf, baru sempat hadir kemari kerana sibuk yang menyita waktu.. hehehe.. alasan lagi ya Kang. inilah namanya helah bela diri. 😀

    Saya tertarik dengan Perang Budaya yang dibahaskan oleh Kang KC di atas.
    ternyata perang budaya lebih dahsyat lagi dampaknya dari perang senjata. Kalau perang senjata ia hanya membunuh jasadi seseorang tanpa meninggalkan bekas dan hilang terus. Tetapi perang budaya bisa menghancurkan ummat keseluruhannya jika keyakinan kurang mantap dan iman tidak utuh.

    Semoga kita bisa mencari jalan untuk memantapkan peribadi dan sahsiah ummah agar terus berada pada jalan yang benar dan tidak tersasar dari keyakinan yang dipegang walau dia hidup dlam dunia apapun. seperti ikan yang tidak masih walau hidup dalam lautan air masin. Ia tetap pada dirinya yang sebenar tanpa apa-apa perubahan.

    Salam mesra dari saya di Sarikei, Sarawak. 😀

  7. edda berkata:

    Yup btul2,, *manggut2*
    Lam knal yaa

  8. Roy Rey berkata:

    Hihihihihi…
    “ANGKAT KEYBOARD”…. “KITA BERPERANG” (maen “point blank”)

    1. Usup Supriyadi berkata:

      jiah…. udah makan dulu sana,,,,, terus bobo ya,,,,,

  9. rosendi berkata:

    Hal-hal yang wajib diperhatikan masyarakat dan tak boleh dibiarkan seperti ini adalah :
    1. Berjaga-jaga menghadapi serangan budaya.
    2. Menjaga iman.
    3. Tidak melupakan musuh dan tidak mengabaikan terhadap permusuhannya.

    😉 Hatur thank you, mohon bimbingannya…

  10. wardoyo berkata:

    Belajar dari sejarah… benturan budaya akan menyebabkan sang pemenang menguasai yang kalah… hmmm mantafff!!!

  11. itempoeti berkata:

    menghadapi imperialisme budaya, ada dua hal mendasar yang harus dijaga dan dipelihara :
    1. Mitos –> believe system –> Tauhid.
    2. Etos –> value system –> sistem sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya.

    Untuk Indonesia (baca Nusantara) :
    Mithos + Etos = Pancasila = Gotong Royong.

    Itu kata kuncinya!

  12. Web Hidup Mulia berkata:

    Benar, adalah fakta serangan budaya barat (kapitalisme, liberalisme, sekularisme beserta derivatnya) terhadap budaya Islam. Benteng terakhir ada pada keluarga Islam.
    Baca tulisan saya juga ya internet sehat bikin hebat,merupakan anomali step by step, menimbulkan ketakjuban masyarakat dunia, menggoncangkan, dan proses inovasi nyaris sempurna. Terima kasih dan salam kenal.

    1. William Gregory berkata:

      Bahkan Islam pun ternyata sudah menyerang Anda, karena sebelum Islam masuk Nusantara sudah punya ajarannya sendiri yaitu ajaran yang berasal dari nenek moyang Anda yang dihancurkan oleh para ulama Islam

      1. ikan hias berkata:

        islam tidak pernah meyerang kita, akan tetapi islam memberikan yang terbaik buat kita dan menyelamatkan umat-umatnya.

  13. nbasis berkata:

    Teringat Maryam Jameelah yang teguh dan cerdas amat

  14. bagindoarrahman berkata:

    tentunya budaya dan sejarah lebih banyak yang tak dijelaskan dalam wacana teeksbok sekolah dan kuliah..

  15. Nuraeni berkata:

    kenapa
    soal budaya saja mesti perang sich….???

  16. ikan hias berkata:

    harapan saya bangsa kita tetap mempertahankan kebudayaanny jangan sampai kebudayaan kita diakui oleh negara lain.

  17. DevonWhitehouse berkata:

    Wonderful web site. Plenty of useful info here. I am sending it to several pals ans also sharing in delicious. And naturally, thanks on your sweat!|

Tinggalkan Komentar