Kisah Negara (Politik) Tanpa Ideologi

Yang bisa didapatkan dari perkembangan politik di Indonesia, salah satunya, adalah tentang keberadaan ideologi yang mengalami degradasi dari kemajemukan menjadi tiada. Pada periode 1950-an, ideologi merupakan identitas bagi kelompok-kelompok politikus. Soekarno pun menobatkan dirinya sebagai penghulu kemajemukan ideologi dengan slogan nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Inilah era keanekaan ideologi, yang diidealkan oleh antropolog Clifford Geertz dalam tiga aliran utama.

Pada masa awal demokrasi di Indonesia, ideologi politik mudah dilihat pada sosok parpol dan politisi. Parpol yang nasionalis, Islamis (Masyumi atau NU), atau komunis dapat dibedakan dengan jelas baik ditinjau dari pemikiran politiknya, norma yang melingkupinya, bahasa dan simbol yang digunakan, maupun kecenderungan elite yang memerintah. Parpol adalah tempat pengaderan terbaik dan ajang indoktrinasi ideologi partai bagi para politisi, kader, dan simpatisan parpol.

Kader partai apakah seorang legislator atau simpatisan biasa mencerminkan ideologi partai baik dalam tindakan maupun pikiran. Sistem multipartai saat itu tidak menghalangi kader partai untuk memahami, mendalami, dan membedakan ideologi antara satu parpol dan parpol lainnya. Bahkan, pada masa Orde Baru, ideologi politik parpol dan politisi masih dapat ditebak. Masing-masing parpol dan kadernya menunjukkan kecenderungan pemikiran dan tindakan sesuai dengan ideologi partai (Golkar dengan kekaryaannya, PPP dengan Islamnya dan PDI dengan nasionalis-Soekarnoisnya).

Pada 1980-an, ideologi yang majemuk itu ditunggalkan oleh Soeharto. Partai-partai politik yang direintegrasi ke dalam tiga wadah hanya boleh berideologi tunggal, yakni Pancasila. Inilah era ketunggalan ideologi yang semakin menegaskan keberadaan tiga tipe aliran politik di Indonesia. Para birokrat menjadi kaum priayi baru. Mereka yang berpolitik dengan sarung menjadi kaum santri. Para nasionalis menjadi kaum abangan.

Pasca reformasi 1998, kemajemukan ideologi mendapatkan kembali ranahnya sebagai identitas partai, baik yang lama maupun yang baru didirikan. Tiap aliran, secara internal, melahirkan varian-varian ideologinya. Namun, apa hendak dikata bila hal itu tidak berkelanjutan menjadi wacana sebagaimana pada era 1950-an. Peluang kemajemukan ideologi diekspresikan dalam bentuk pseudo-ideologi.

Krisis identitas dan tak memiliki ideologi. Itu gambaran umum partai-partai politik di Indonesia dewasa ini. Krisis identitas dan tak adanya ideologi ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk gontok-gontokan dan bagi-bagi kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana membenahi persoalan-persoalan bangsa.

Fenomena loncat parpol yang dilakukan para elite dalam perpolitikan kita hampir-hampir telah membuat kita bosan untuk menyimaknya terus-menerus. Seorang politisi, hanya karena tak mendapat jabatan tertentu, bisa mutung lalu pindah partai atau memilih membuat partai politik baru. Pecahnya sejumlah partai, termasuk Partai Kebangkitan Bangsa, adalah akibat dari longgarnya ikatan politik tersebut. Tentu saja, ada banyak politisi yang memberi alasan-alasan gagah atas kepindahan dia dari satu partai ke yang lain, atau atas keputusan mereka mendirikan partai baru. Tapi semua itu sungguh-sungguh hanya kamuflase. Seandainya ada yang mengatakan pecahnya partai politik di Indonesia hari ini adalah karena “alasan ideologis”, hampir semua dari kita akan tersenyum sinis dan membuang muka, sambil ramai-ramai berteriak, “Bohong!”.

Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di Indonesia tidak memiliki ideologi. Kalaupun ada, yang disebut ideologi itu tak lebih hanya aksesori, tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan dalam perjuangan politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi itu hanya simbolis.

Dengan situasi politik tanpa ideologi di kalangan elite, wajar seandainya jika kita bertemu orang-orang awam yang sikap politiknya juga oportunistik dan pragmatis. Kelonggaran afiliasi politik adalah ciri utama sikap politik yang oportunis sekaligus pragmatis. Sikap politik tidak dibentuk oleh kesamaan ideologi atau cara pandang tentang garis besar kebijakan yang harus dilaksanakan, akan tetapi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang barangkali akan sangat cepat usai.

Kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu lalu adalah misal yang membuktikan pada kita bahwa ideologi adalah sesuatu yang tak pernah benar-benar menjadi penting. Sebagaimana dikemukakan sejumlah pakar politik, kemenangan Partai Demokrat tentu saja berakar pada ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat hanya mengambil keuntungan dari status SBY sebagai pendiri partai tersebut dan sebagai presiden.

Partai itu tak pernah benar-benar punya ide besar yang dijual-sesuatu yang juga terjadi pada partai-partai lainnya. Menjual tokoh, tampaknya, tetap menjadi strategi yang diimani banyak partai politik. Ada yang menyebut bahwa gejala semacam ini menunjukkan masyarakat makin cerdas. Tapi bagi saya, hal itu justru menunjukkan kita tak pernah benar-benar berpolitik secara dewasa. Bagaimanapun, tokoh adalah sesuatu yang selalu rawan sebagai sandaran dalam ihwal politik. Sebuah lembaga dengan ideologi yang baik akan menjadi sandaran yang jauh lebih kokoh. Lembaga memungkinkan adanya regenerasi tokoh, sedangkan tokoh tak selalu bisa diharapkan bersikap bajik dan bijak.

Tapi, mau bagaimana lagi, sejarah panjang depolitisasi yang dilakukan Orde Baru-yang dalam banyak hal juga berarti deideologisasi-telah membuat politik kita hampir-hampir steril dari ideologi. Bahkan PKS yang sebenarnya punya ideologi yang jelas dan tegas pun akhirnya tak pernah benar-benar berani menjual dan mengampanyekan ideologinya. Partai itu justru lebih banyak menjual citra positif dan kinerja para kadernya-sesuatu yang sebenarnya hanya merupakan turunan saja dari ideologi mereka.

Tokoh PKS yang juga Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menyatakan, sesuai UU, semua parpol memperoleh perlakuan sama. Tak ada pembedaan berdasarkan ideologi partai, baik untuk parpol Islam maupun nasionalis. ”Sekarang bukan waktunya lagi mempertentangkan partai berdasarkan asas Pancasila atau Islam,” katanya.

Mau bagaimana lagi, kita bukan hidup di tahun 1955 di mana masyarakat masih sangat ideologis. Pada kala itu, mereka yang ikut kampanye tak pernah dibayar. Justru sebaliknya: rakyat yang datang ke kampanye akan mengisi kotak sumbangan sukarela yang ada di lokasi kampanye. Masa-masa itu tentu sudah lewat. Kini, realitanya, Pemilu kita apakah pemilu legislatif ataupun Pilpres adalah Pemilu tanpa ideologi.

Fakta atas pragmatisme politik di tanah air yang terjadi saat pemilu 2009 dan menjelang Pilpres 2009, sungguh menjadi realitas yang sangat menyedihkan. Ketika parpol hanya mampu dan semarak dalam menampilkan bendera tanpa tindakan politik nyata, kiranya rakyatlah yang mesti mendorong parpol agar kembali pada akar politik substansif. Keberadaan rakyatlah yang mestinya meminta beberapa hal, guna mengingatkan parpol bahwa membangun eksistensi politik bukan melalui bendera.

Pertama, meneguhkan kembali ideologi politik partai. Dalam dunia politik, nilai ideologi dalam politik menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan substansial. Harus disadari bersama, bahwa nilai ideologi politik sesungguhnya memberikan gambaran bagi seorang politisi terhadap sebuah konstruksi, format, serta tata kenegaraan yang kelak akan diperjuangkannya. Ideologi harus menjadi dasar formal atas pendirian organisasi kepada setiap diri kader partai, supaya punya pandangan terhadap dunia politik secara matang dan komprehensif.

Ketika seorang politisi tidak memiliki sebuah ideologi politik, maka politik hanya diwarnai dengan transaksi yang sangat jauh dari wacana intelektual. Jika realitas politik “dagang sapi” terus berlanjut, maka medan politik hanya menjadi ajang transaksi kepentingan bagi para politisi tanpa idelogi guna meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Artinya, keberadaan ideologi sebuah parpol sesungguhnya merupakan prasyarat utama dan mendasar dalam rangka membingkai sebuah kekuasaan.

Politik tanpa ideologi hanya memberikan ruang gagap bagi kader parpol, tatkala sudah dapat memegang kekuasaan. Oleh sebab itu, sewajarnya bila parpol perlu menanamkan ideologi politik kepada para kadernya, bukan hanya sebatas pada pemasangan bendera. Harapannya, para kader berideologi akan melahirkan sosok yang punya cita-cita politik untuk dijadikan bekal dan arah kebijakan politik sewaktu pegang kekuasaan.

Kedua, membangun eksistensi partai politik melalui kerja-kerja politik. Setelah ideologi partai tertanam dalam kader politik, maka selanjutnya melakukan kerja-kerja politik. Dalam hal ini, para kader politik harus mulai mengimplementasikan ideologi ke dalam praktik berpolitik melalui tahapan pembuatan kebijakan serta melakukan banyak program yang nyata untuk rakyat. Sehingga ada program nyata politik dan bukan hanya sebatas seremonial pengibaran bendera politik yang setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya.

Ketiga, merealisasikan cita-cita partai politik. Jika mau jujur, cita-cita politik dari partai politik adalah membangun sebuah struktur negara untuk menggerakkan dan menciptakan kebaikan bersama ( common goods ). Dalam hal ini, tatkala kader berpolitik dengan cita-cita, berarti menjadikan kekuasaan tidak lebih sebagai alat semata. Sebab, makna tertinggi dari perwujudan atas cita-cita politik yang justru menjadi tujuan dari aktivitas politik. Bila para politisi memiliki cita-cita politik, maka kelak negara akan punya kerangka dasar dan arah gerak jelas yang mampu menciptakan sebuah perbaikan bersama.

Ideologi, bagi elit gerakan (politik), merupakan sebuah amunisi yang mujarab untuk melakukan gerakan. Dengan ideologi, anggota atau simpatisan dapat digerakkan ke manapun sang pemimpin kehendaki. Dengan ideologi juga, anggota atau simpatisan, yang berada pada level bawah, menerimanya dengan sukarela terhadap penundukan tersebut.

Referensi :

  • Teater Tanpa Ideologi , Otto Syamsuddin Ishak, http://www.reformasihukum.org
  • Caleg Tanpa Ideologi Politik , Abu Rokhmad, indonesiamemilih.kompas.com
  • Pemilu Tanpa Ideologi, Haris Firdaus, Politikana.com
  • Nalar Post-Ideologis, Firdaus Putra Aditama, mengintip-dunia.blogspot.com
  • Eksistensi politik (tidak) melalui bendera, Bramastia, wawasandigital.com
  • Krisis identitas dan ideologi yang hilang, csis.or.id
  • Bacaan Lain :

  • Apa Itu Ideologi (Bahasan Teoritis)
  • 11 Komentar

    1. majorprad berkata:

      Kang Cepot, mau minta izin memuat tulisan ini di kampus 🙂
      Bolehkah?

      trim’s

      —–
      Kopral Cepot : Mangga Silaken… sekalian promosikan serbasejarah.wordpress.com atawa serbasejarah.tk … 😀

    2. pebbie berkata:

      bagi masyarakat, yang telah dikecewakan selama puluhan tahun.. sekedar ideologi yang bagus tidak akan menyembuhkan luka.

      common goods itu utopis! abstrak. tuas permainan politisi despot.

      hari gini ngomongin ideologi.. rakyat aja udah lebih cerdas daripada para politisi.. bahkan abang becak di pasar pun tahu, bahwa mesin kemanusiaannya (kreasi, karya, karsa) akan bekerja jika tiga kondisi terpenuhi : kenyang, kuat, kaya

      ideologi seperti budaya seperti pohon.. hidup, tumbuh dan terus berkembang. bukan plastik yang dicetak dan tidak pernah berubah.

    3. buJaNG berkata:

      HIhihi… Saat ini sepertinya sudah tidak lagi dipikirkan ideologi apa yang dipakai. Yang penting apakah suatu partai yang akan diikuti tersebut mampu mendongkrak atau membawanya ke jenjang, level atau tingkat tertinggi sesuai keinginannya. Kalaupun nanti jika ternyata tidak mampu maka dengan mudah dia akan mencari tempat berpijak baru untuk memulai karir politiknya di partai baru tersebut. Jika semua ternyata tidak mampu, jalan satu2nya yang ditempuh oleh elite politik tersebut adalah amembuat/mendirikan partai baru. Intinya semua adalah harus sesuai keinginannya.TITIK

    4. mamas86 berkata:

      Seperti itulah elite politik sekarang ini. Jika di partai ini ternyata tidak menguntungkan bagi dirinya maka dia akan dengan mudah berpindah partai lain atau bahkan jika punya modal maka dia akan membuat partai sendiri. Bahkan barangkali jika punya cukup daerah kekuasaan barangkali dia juga akan mendirikan negara sendiri.

      LINK blognya sudah saya pasang di widget my friends. Terima kasih sudah menjadikan saya sebagai Sahabat Berbagi

    5. kangBoed berkata:

      hehehe.. klimaaaaaaaaaaaaaax.. kang cepot sayang.. sekarang khan politiknya.. politik isi perut sama politik kantong bolong.. hehehe.. sorry OOT :mrgreen:
      Salam Sayang
      Salam Kangen

      ————–
      Kopral Cepot : “politik kantong bolong” apa’an tuch ? OON nich :mrgreen:

    6. Hariez berkata:

      setiap kali bangsa ini mengadakan hajatan 5 tahunan selalu berakhir dengan pro & kontra…
      semoga kali ini dapat menghasilkan sebuah pemerintahan seperti poin-poin yang kang cepot uraikan di atas…

    7. nirwan berkata:

      konon, indonesia berideologi Pancasila. kl pake perspektif Soekarno, ideologi pancasila kayak santan, bisa diperas-peras… jadi kecil, terus menciut-ciut dan mengerut …

      Harusnya penataran P4 diberlakukan lagi aja, supaya rakyat indonesia ini melek pancasila. lha nyatanya, justru siswa-siswa yang ditatar di penataran P4 pada era 80-an itu yg kemudian jadi mahasiswa di 1998, dan meruntuhkan Soeharto. 😀

    8. KangBoed berkata:

      hehehe… kantongnya pada bolong.. gak pernah penuh penuh.. padahal dah diisi segala macaaaaaaam.. :mrgreen:
      Salam Sayang
      Salam Kangen
      Salam Rindu.. kahatur bapak kopral.. 😆

      ————————-
      Kopral Cepot : Jadi ingat “dongeng sakadang kancil sareng sakadang monyet” Kisah Monyet mengambil pisang … trus dimasukan ke kantong … eh kantongnya bolong … dibawah pohon pisang sang kancil memungut pisang …. dst 😆 Salam Rindu oge KangBoed

    9. itempoeti berkata:

      Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan majelis sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, tidak pernah sekalipun mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi.

      Soekarno selalu menggaris bawahi bahwa Pancasila adalah philosophy grondslag atau weltanschaung dari bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila adalah sumber utama pegangan nilai-nilai dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah payung dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

      Adapun Nasakom yang digagas oleh Soekarno justru dimungkinkan ketika ketiga mainstream ideologi tersebut diletakkan dibawah payung Pancasila.

      Adalah Soeharto yang justru memoderasi bahkan mengkerdilkan posisi Pancasila dengan menempatkan Pancasila tidak lagi sebagai payung tetapi malah sejajar dengan Nasakom ataupun ideologi lainnya.

      Manuver Soeharto ini sebenarnya ditujukan untuk membuat Pancasila menjadi alat untuk mengendalikan kekuasaannya. Siapa yang tidak menerima Pancasila sebagai ideologi adalah lawan politiknya.

      Dalam konteks untuk mengembalikan pada track yang benar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila harus dikembalikan pada posisi awal yang semestinya sebagai philosophy gronslag dan weltanscaung dari bangsa Indonesia.

      Tanpa itu…, jangan pernah berharap bangsa ini bisa berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.

      Merdeka!!!

      —-
      Kopral Cepot : waktu komen yang tepat tgl 1 Juni 2009 (64 tahun lahir Pancasila)

    10. ROY SINAGA berkata:

      Terkadang rasa kecewa yang mendalam disebabkan oleh harapan diri yang terlalu tinggi terhadap sesuatu

    Tinggalkan Komentar