Lasjkar Rakjat

Pada revolusi fisik, laskar bermakna satuan bersenjata di laur tentara reguler, yang secara umum berafiliasi pada kepentingan politik tertentu. Bibit dari pada laskar rakyat di Indonesia dianggap bermula dari sikap gerakan-gerakan politik tertentu terhadap kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Contohnya PNI Baru yang dibetuk akhir tahun 1931 pimpinan Hatta-Sjahrir dan Gerindo (Gerakan Indonesia Raya), yang didirikan 24 Mei 1937, yang mengambil sikap anti fasis dan anti kolonialisme.

Paska kemerdekaan 17 Agustus 1945, anggota gerakan-gerakan bawah tanah itu dan pemuda-pemuda Indonesia lainnya mengalami euforia politik setelah hidup di bawah bayang-bayang penjajahan dan merasa terpanggil untuk menyelamatkan revolusi serta membela republik dengan membentuk beberapa gerakan yang sesuai dengan afiliasi politiknya.

Pada awal revolusi, Pemerintah Indonesia tidak membentuk tentara resmi. Elemen pembentukan BKR, TKR, TRI hingga TNI dibangun dengan tiga unsur utama yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda yakni mantan anggota KNIL, mantan anggota PETA, dan laskar rakyat.

Pada September 1945, para pemimpin RI meresmikan pembentukan Lasjkar Rakjat Alasannya, perjuangan nasional lewat diplomasi tidak akan berhasil tanpa perjuangan rakyat di desa dan kota. LR diharapkan akan bisa menyatukan semua organisasi para militer dan mendukung Tentara Keamanan Rakyat. Pada akhir November 1945, para pemimpin pusat di Jakarta menyatakan bahwa pembentukan organisasi itu resmi disahkan.

Sembilan organisasi bekerja sama erat dalam kegiatan militer: (1) Angkatan Pemoeda Indonesia (2) Angkatan Pemoeda Indonesia Ambon (3) PKI (4) Gaboengan Gerakan Pegawai Angkatan Moeda (5) Partai Rakjat Djelata (6) Pelopor (7) Ikatan Peladjar Indonesia (8) TKR (9) KRIS. Sekalipun persenjataannya kurang mobilisasi massa yang sampai di kampung-kampung telah membuat LR suatu kekuatan yang hebat.

Pada mulanya, LR dibentuk untuk menyatukan berbagai kesatuan perjuangan, tapi setelah beberapa bulan jelas terlihat keengganan untuk itu. Lebih lagi, cabang-cabang LR mempunyai susunan organisasi yang berbeda hingga menyulitkan penyeragaman dan koordinasi. Guna memperkuat organisasi, suatu kongres nasional diselenggarakan pada akhir Februari 1946. Dalam kongres itu dinyatakan bahwa LR adalah federasi dari berbagai kesatuan perjuangan dan merupakan bagian khusus dari Persatuan Perdjuangan, yang menjadi payung dari semua badan perjuangan.

Hisbullah dibentuk atas anjuran Masjoemi pada 21 Juli 1945. Selain untuk dipertahanan Pulau Jawa, organisasi ini juga ditujukan untuk membela dan menyebarkan Islam. Pedoman llmu yang ditentukan oleh Masjoemi, sedang pimpinannya dipegang oleh ulama dan kiai. Sebagian besar anggotanya berasal dari pesantren dan madrasah. Dalam kongres Masjoemi. pada 7 dan 8 November 1945, diputuskan untuk membentuk suatu badan perjuangan lain, Sabilillah. Pimpinannya terdiri dari K.H Masjkoer, Wondoamiseno, H. Hasjim dan Soelio Adikoesoemo. Pria di bawah usia 35 tahun menjadi anggota Hisbullah, sedang yang berumur di atasnya masuk Sabilillah. Organisasi untuk pemuda adalah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).

Dalam 3 bulan pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan, BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) menjulang tinggi dan menyebar luas ke seluruh Jawa. Pusatnya di Surabaya sedang kegiatannya terutama bertumpu pada pemimpinnya, Bung Tomo — 24 tahun – yang sangat populer berkat pidato-pidato radionya yang bersemangat dan membakar. Bung Tomo dan pengikutnya bangga dengan julukan mereka “kaum ekstremis”. Ideologi mereka yang ekstrim-revolusioner diterima oleh masyarakat luas termasuk pengikut Masjoemi. Pada kenyataannya, berkat agitasi massanya yang terus menerus, BPRI berhasil memainkan peranan sebagai pemersatu. Perkembangannya yang cepat menimbulkan juga kekacauan organisasi seiring dengan kecondongan anarki mereka. Beberapa cabang di Jawa Barat pernah dituduh menjadi tempat penampungan perampok dan penjahat.

Radikal Revolusioner Barisan Banteng Republik Indonesia, juga disingkat Barisan Banteng, semula dibentuk atas anjuran penguasa Jepang. Pada Desember 1942, Soekarni diminta oleh Shimizu dari Sendenbu (Biro Propaganda) untuk membentuk suatu organisasi yang tujuannya membangkitkan semangat rakyat dan melakukan latihan militer. Organisasi ini, Barisan Pelopor, berkembang menjadi barisan penggempur yang memperoleh latihan militer yang intensif. Segera setelah Proklamasi, Barisan Pelopor bersama Seinandan dan Kebodan dimobilisasikan untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta melakukan tugas kepolisian Pada Desember 1945 namanya diubah menjadi Barisan Banteng RI. Pimpinannya ditunjuk Presiden Soekarno, antara lain Soepeno, Singgih. Moeffreni Moe’min, Asmara Hadi, Sajoeti Melik dan Moewardi sebagai komandannya.

Kelompok sosialis tidak membentuk badan perjuangan. Yang dimiliki adalah suatu organisasi pemuda, Pemoeda Sosialis Indonesia atau Pesindo yang kemudian berkembang menjadi badan perjuangan. Organisasi ini dibentuk dalam kongres Nasional Pemuda pada 10 dan 11 November 1945 di Yogyakarta. Revolusi Dalam Revolusi Sejak akhir 1946 Pesindo berpaling ke kiri dan bergabung pada Sayap Kiri, yang terdiri dari PKI, PBI (Partai Buruh) dan Lasjkar Rakjat yang dibentuk pada 11 Desember 1945 oleh Cordian, seorang anggota Barisan Banteng dan sekaligus juga anggota PKI.

Sekitar akhir masa pendudukan Jepang, kelompok Manado di bawah pimpinan Maramis membentuk suatu organisasi pemuda bernama Angkatan Moeda Soelawesi yang kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor. AMS memainkan peranan penting dalam kesatuan tempur ini karena ketrampilan militer sebagian anggotanya. Setelah Proklamasi, AMS dilebur dalam BKR, karenanya kemudian dibentuk suatu organisasi baru: KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi). Patut dicatat, KRIS bekerjasama erat dengan badan-badan pro-Republik lain seperti Pemoeda Indonesia Maloekoe, Ikatan Perdjoeangan Kalimantan dan Gerakan Rakjat Indonesia Soenda Ketjil.

Di samping Pesindo sebagai anggota Dewan Pimpinan Perserikatan Pemoeda RI, ada 131 badan perjuangan dan parpol kiri yang hadir dalam konperensi di Solo pada 15-16 Januari 1946. Program yang minimum yang diusulkan Tan Malaka diterima bulat. Begitu juga usulnya untuk mengubah nama Front Persatuan menjadi Front Rakyat. Program itu antara lain meliputi (1) kemerdekaan 100% (2) pembentukan pemerintahan rakyat (3) pembentukan tentara rakyat, (4) nasionalisasi modal Belanda. Program itu merupakan tantangan pada pemerintah, malah pelaksanaannya akan berarti “revolusi dalam revolusi”. Ini merupakan konfrontasi langsung antara Tan Malaka dan Soekarno. Tatkala dihadapkan pada pilihan antara keduanya, sebagian besar peserta dipimpin oleh Bung Tomo dari BPRI dan Ibnu lama dari Pesindo memihak Soekarno-Hatta. Ini mengakibatkan pecahnya Front Persatuan.

Dari BKR ke TKR

Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai bagian daripada Badan Pertolongan Korban Perang. BKR bukan badan militer dan semata-mata semacam Hansip Wanra saja saat itu. Pada tanggal 5 Oktober 1945, B.K.R ini dengan maklumat Pemerintah no.6, telah ditransformasikan menjadi T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Isi maklumat : untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat. Pada tanggal 6 Oktober 1945 keluar maklumat tambahan yaitu, sebagai menteri keamanan rakyat diangkat Soeprijadi. Ternyata Soeprijadi sang tokoh pimpinan pemberontakan PETA Blitar ini, tidak pernah muncul. Namun Pemerintah tetap mempertahankan namanya sampai nanti Soedirman diangkat sebagai Panglima T.K.R.

Perihal TKR ini dibicarakan untuk pertama kali oleh kabinet R.I pertama (Kabinet Presidentiel dipimpin Presiden Soekarno) pada tanggal 15 Oktober 1945 bertempat dirumah Soekarno jalan Pegangsaan Timur no.56 Jakarta. Semua menteri hadir kecuali Soekarno. Para mantan tentara KNIL (tentara Hindia Belanda) yang hadir adalah Oerip Soemohardjo, Soedibjo, Samidjo dan Didi Kartasasmita. Mantan PETA yang hadir adalah Dr Soetjipto dan Kafrawi. Saat itu berhasil ditetapkan bahwa Oerip Soemohardjo, mantan mayor KNIL yang sudah pensiun, sebagai Kepala Markas Besar Oemoem dan juga sebagai formatir organisasi. Markas besar T.K.R (MBT) segera dibentuk dengan kota Yogya sebagai pusatnya. Untuk pengembangan di Sumatera, pada tanggal 5 November 1945 Dr AK Gani diangkat sebagai organisator dan koordinator T.K.R diseluruh Sumatrera.

Tanggal 20 Oktober 1945, Kementerian Keamanan Rakyat mengumumkan secara resmi pengangkatan Soeprijadi selaku Panglima dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf. Nama lain yang disebut-sebut adalah Moehamad Soeljoadikoesoemo sebagai menteri keamanan ad interim. Tapi karena penolakan dari berbagai pihak dia tidak pernah memangku jabatan tersebut. Menteri Keamanan Rakyat baru diisi oleh Amir Sjariifudin dalam Kabinet Sjahrir pertama (kabinat RI ke II) pada Bulan Oktober 1945.

Pada tanggal 27 Oktober 1945 Pemerintah mengeluarkan maklumat tentang T.K.R. yaitu sebagai bagian dari maklumat pemerintah tentang pemberian perintah dan petunjuk kepada penduduk. Dikatakan : Pemerintah R.I lagi berusaha menyusun secepat-cepatnya TENTARA KEAMANAN RAKYAT untuk menanggung kemanan Dalam Negeri….. Kemudian agar para pemuda yang berminat berpartisipasi pada lembaga militer ini.

Pada tanggal 2 Nopember 1945, pemerintah nasional kota Jakarta misalnya, memang menyerukan agar para bekas PETA, HEIHO, militer Hindia Belanda, Pelopor, Hisbullah, dan para pemuda lainnya yang berumur 18 tahun keatas supaya mendaftarkan namanya bagi tentara keamanan rakyat. Pendaftaran dilakukan dibalai agung kota (kira-kira sekarang kator DKI Jaya), Gambir Selatan no.9. mulai tanggal 3 November 1945 jam 8 pagi sampai jam 2 siang.

Konferensi TKR

Intinya, untuk mengisi kekosongan pos panglima tertinggi TKR (karena Supriyadi yang tak kunjung muncul), Markas Besar Tertinggi TKR yang diorganisir Kepala Staf Letjen Urip Sumohardjo mengundang para pimpinan TKR se-Jawa dan Sumatera. Mereka yang mendapat fax kawat undangan adalah para komandan resimen dan Divisi. Saat itu di Jawa ada 10 Divisi dan Sumatera ada 6 Divisi. Sementara resimen jumlahnya puluhan.

(Yang masih menjadi tanda tanya, ketika itu pada struktur di atas Divisi ada institusi yang diberi nama Komandemen. Jika Divisi dikepalai kolonel, maka Komandemen dikepalai seorang jenderal mayor. Jawa Barat misalnya, 3 divisi yang ada di situ dibawah Komandemen I yang dipimpin Didi Kartasasmita. Namun, dalam literatur manapun hak suara seorang kepala komandemen pada Konperensi TKR 1945 tak disebutkan sama sekali. Dan kemudian makin janggal, karena di antara nama-nama yang muncul sebagai kandidat panglima TKR nanti, tak satupun dari kepala komandemen.)

Pada hari H, 12 November bermunculan-lah para komandan TKR disertai pengawalnya di Jogja. Tak komplet memang. Sebagian komandan dari Jawa Timur tidak datang, karena masih sibuk menghadapi Inggris dalam peristiwa 10 November di Surabaya. Sedangkan dari 6 divisi di Sumatera, ternyata diwakili oleh satu perwira yakni Kolonel Moh Noeh. Walaupun demikian konperensi tetap dibuka pada pukul 10.00 WIB.

Urip Sumohardjo menjadi pimpinan rapat di sesi pertama. Saat memasuki agenda pemilihan panglima TKR, rapat menjadi ricuh karena masing-masing komandan tak siap membawa usulan siapa yang akan dijadikan panglima besar TKR. Dalam situasi ini, Sudirman yang saat itu komandan Divisi V melakukan interupsi. Ia mengusulkan agar rapat di-skors sementara yang lalu disetujui perwira. (Keberanian Sudirman mengusulkan skors, bisa jadi poin tersendiri bagi kemenangannya dalam bursa calon panglima TKR, mengingat terbatasnya waktu yang dimiliki para komandan untuk men-scan calon pilihannya.)

Rapat sesi kedua dipimpin oleh Letkol Holland Iskandar. Kali ini jalannya rapat lebih lancar. Di papan tulis, beberapa nama terpampang masuk bursa calon panglima TKR. Persisnya ada 8 nama; (1) M Nazir – KNIL laut? (2) Sri Sultan HB IX – KNIL KMA Breda (3) Wijoyo Suryokusumo – ? (4) GPH Purwonegoro – ? (5) Urip Sumohardjo – KNIL Meester Cornelis (6) Sudirman – PETA (7) Suryadi Suryadarma – KNIL KMA Breda (8) M Pardi – KNIL Laut?.

Setelah disaring lewat beberapa tahapan, mengkerucutlah pada 2 nama yakni Sudirman dan Urip. Setelah di-voting diperoleh hasil 22 suara mendukung Sudirman, sedangkan Urip didukung oleh 21 suara. Satu suara tambahan lagi diperoleh Sudirman dari wakil Sumatera, Kolonel Moeh Noeh yang mengaku mengantungi mandat 6 kepala divisi se-Sumatera. Jadilah Sudirman sebagai pemenang. Rapat juga memutuskan Urip tetap sebagai kepala staf dan yang tak diduga – karena bukan kewenangan tentara -, juga menunjuk Sri Sultan HB IX sebagai menteri pertahanan.

Terpilihnya Sudirman memang mengejutkan. Namun dalam buku tersebut, Sardiman juga menulis Sudirman bukanlah sosok coming from behind. Bakat kepemimpinannya sudah dikenal luas di kalangan perwira PETA, rekan satu korpsnya dulu. Dia lah perwira PETA yang mampu menjinakkan pemberontakan PETA Gumilir agar tak bernasib sama seperti pemberontakan PETA Blitar – yang berakhir dipenggalnya 6 perwira PETA. Sudirman pula yang memimpin para perwira PETA kharismatis yang tengah diisolasi Jepang di Bogor melarikan diri dari kamp, pada saat terjadinya proklamasi 1945.

Dan yang juga tak boleh diabaikan, kenyataan bahwa para komandan TKR pada saat berlangsungnya konperensi hampir semuanya alumnus PETA. Ambilah sampel komposisi panglima16 divisi, hanya 2 yang berasal dari KNIL, yakni Divisi III Kolonel AH Nasution dan Divisi IV Kolonel Jatikusumo. Itupun Jatikusumo tak sepenuhnya beraoroma KNIL, karena ia pun sempat menjalani pendidikan PETA di Bogor. Para komandan dari PETA ini sebagian besar jelas ragu untuk memilih Urip mengingat ia sekian lama mengabdi untuk Belanda. Bagi mereka, lebih aman memilih Sudirman yang sesama PETA.

Sungguh pun demikian bukan berarti segalanya berjalan mulus. Pemerintah pusat rupanya ragu dengan pilihan para tentara. Baik Soekarno maupun PM Sjahrir tak yakin, Sudirman yang baru 2 tahun menjadi tentara bisa memanggul tugas berat memimpin TKR. Karenanya, dibutuhkan waktu lebih dari 1 bulan untuk melantik Sudirman. Itupun sebelum pelantikan, Soekarno konon meminta bicara 4 mata dengan Urip Sumohardjo mengenai kapabilitas Sudirman. Baru setelah Urip – yang mungkin sudah mengatasi kekecewaannya tak jadi panglima – menggaransi, Soekarno akhirnya mau melantik Sudirman pada 18 Desember 1945.

Meskipun Kepala Staf dan MBT sudah ada tapi Panglima T.K.R baru saja terpilih pada tgl 12 November 1945 dalam konperensi tentara di Yogya. Kolonel Soedirman mantan Daidancho PETA dan komandan batalyon Banyumas terpilih secara aklamasi dalam konperensi T.K.R di Yogyakarta itu. Tapi dirinya baru pada tanggal 18 Desember 1945 atau dalam masa pemerintahan kabinet Sjahrir I, resmi ditetapkan sebagai Panglima Besar. Penundaan pelantikan ini menurut Anderson menandakan adanya persaingan dan pertentangan antara pemerintah dan komando tertinggi militer.

Dari TKR menjadi TRI

Soedirman sendiri setelah konperensi TKR di Yogya sempat kembali dahulu kepada induk pasukannya di Kroya dan memimpin pertempuran di Ambarawa. Bintangnya memuncak naik ketika sebagai Panglima Perang berhasil dengan gemilang mengusir tentara Sekutu dari Ambarawa pada tanggal 15 Desember 1946. Organisasi T.K.R awal sangat besar. Organisasi ini menganut konsep struksur organisasi KNIL yaitu berbentuk Komandemen, Divisi, dan Resimen. Komandemen yang telah dibentuk saat itu adalah Komandemen Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komandemen membawahi sejumlah Divisi. Misalnya Jawa Barat yang dipimpin oleh jenderal mayor Didi Kartasasmita dan bermarkas di Purwakarta, memiliki tiga Divisi. Dibawah Divisi terdapat sejumlah resimen dan selanjutnya. Baik Komandemen maupun Divisi pada dasarnya sudah menganut konsep teritorial. Selama Pemerintahan Sjahrir, tentara berhasil mengkonsolidasikan diri dengan baik dan menuju kesempurnaan organisasi. Pada tanggal 7 Januari 1946 dikeluarkan maklumat no.2 tentang perubahan nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan rakyat (juga disingkat T.K.R). Kementerian keamanan diganti namanya menjadi kementerian pertahanan. Tanggal 25 Januari 1946 T.K.R dirubah lagi menjadi T.R.I (Tentara Republik Indonesia).

Sementara itu TKR diganti menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Perpecahan di berbagai badan perjuangan di pusat kemudian menyebar ke daerah dan cabang. Persaingan keras muncul antara BPRI dan Pesindo di suatu pihak, dengan Barisan Banteng dan Lasjkar Rakjat di pihak lain. Peristiwa Cirebon merupakan puncak permusuhan. Antara 8-10 Februari 1946, Mohamad Jusuf menyelenggarakan kongres Front Persatuan di Cirebon tanpa mengundang badan-badan perjuangan dan pemuda yang mendukung pemerintah Soekarno-Hatta. Sekitar 200 anggota pasukan Lasjkar Merah hadir. Tatkala Mohamad Jusuf memerintahkan agar bendera nasional diturunkan, TRI bertindak dan pertempuran terjadi. Baru pada 14 Februari, dengan datangnya bala bantuan, TRI berhasil merebut kembali Cirebon. Pertikaian antara kelompok Tan Malaka dan kelompok PKI belum berakhir. Yang satu tergabung dalam Gerakan Rakjat Revolusi sedang yang lain dalam Front Demokrasi Rakjat. Dalam Peristiwa Madiun FDR berusaha merebut kekuasaan dengan senjata.

Bentrokan akibat pertikaian antara kekuatan pemerintah terutama TRI dengan organisasi-organisasi kiri antara lain Lasjkar Rakjat terjadi di banyak tempat. Di timur Jakarta, pengikut-pengikut Tan Malaka menyusupi banyak badan perjuangan, khususnya Lasjkar Rakjat Djakarta Raja. Salah satu tokoh organisasi ini adalah Soetan Akbar yang pernah beberapa kali ditahan oleh TRI. Memimpin Lasjkar Rakjat, ia menyerang TRI pada Maret 1947 tatkala ia menentang perundingan Indonesia-Belanda. Setelah kalah, ia bergabung dengan TNI namun secara diam-diam membentuk pasukan Bamboe Roentjing di Jawa Barat. Dia juga terlibat dalam perdagangan senjata yang menguntungkan.

Referensi

  1. Laskar-laskar rakyat, Arsip Majalah Tempo 11 Oktober 1980
  2. http://anusapati.blogdetik.com/2008/08/04/konperensi-tkr-1945/
  3. http://sejarahkita.blogspot.com/2008/06/dari-tkr-sampai-tri.html
  4. http://cenya95.wordpress.com/2009/07/07/laskar-rakyat-dalam-sejarah-perang-nasional/
  5. http://catatankecil-indonesia.blogspot.com/2009/07/laskar-laskar-rakyat-tahun-1945.html
  6. Gambar : http://sigitsusinggih.net/wp-content/uploads/2008/03/laskar-rakyat.jpg

15 Komentar

  1. soetan Akbar selanjutnya gimana Gan ?

  2. Aulia berkata:

    membaca blog ini benar2 terbawa pada masa lalu… 🙂

  3. langit berkata:

    bang sekali kali kasih footnote juga dong. kern da produktif sekali anda ini

  4. sedjatee berkata:

    saya selalu bangga dengan masalalu tentara kita
    dengan senjata seadanya rakyat kita berperang tangguh
    bukti cinta tanah air yang tak terbantahkan
    semoga generasi sekarang menginspirasi kisah hebat itu
    mencintai tanah air dengan cara yang nyata

    sedj

  5. dedekusn berkata:

    No komen kang….., hebring pokonamah…

    Salam Bamboe Roentjing 🙂

  6. free music berkata:

    i preference it Lasjkar Rakjat « Biar sejarah yang bicara ……. now im your rss reader

  7. majorprad berkata:

    …Inilah Indonesia yang sebenarnya… Sejarah adalah Cinta Tanah Air…

  8. cah magelang berkata:

    Kekuatan TKR pada Oktober 1945 di jawa terdiri 10 divisi. Dari 10 divisi tersebut hanya 3 divisi yang memiliki persenjataan paling baik. Divisi V-Banyumas Kedu (kolonel soedirman), Divisi VI-Surabaya (kolonel jonosewojo) dan Divisi IX-Yogyakarta (kolonel Soedarsono). Sebagian senjata dari 3 divisi tsb dibagikan ke divisi-divisi lain. Pelucutan senjata jepang di divisi VI dan divisi IX harus dilakukan dengan pertempuran, sedang di divisi V relatif berjalan damai. Panglima tentara Jepang Jawa Tengah mayor jendral junji nakamura yang saat itu ada di Magelang bersikap kooperatif menyerahkan senjata ke pihak Indonesia. Tindakan tersebut dikecam sekutu, dan major jendral Nakamura dikenai hukuman penjara karena tidak mempertahankan status quo. Sebenarnya di divisi lain juga ada upaya pelucutan senjata jepang tetapi kurang berhasil. Sebagai komandan divisi pemasok senjata, tentu menjadi nilai plus Soedirman di divisi-divisi lain. Itu juga yang memudahkan Soedirman mengkonsolidasi kekuatan TKR dari 4 divisi (IV,V,IX dan X) dalam pertempuran Ambarawa. Prestasi yang tidak dapat dilakukan oleh perwira lain. Dalam pemihan panglima TKR, Sudirman bisa mengalahkan perwira eks PETA lain seperti kolonel Djatikusumo, kolonel Soetarto dan kolonel Soedarsono, apalagi perwira eks KNIL yang bergabung ke TKR secara perorangan tanpa pasukan dan kurang mengakar di bawah serta terkonsentrasi di divisi III.

  9. cah magelang berkata:

    Kenapa Suprijadi ditunjuk sebagai panglima TKR padahal semua orang tahu Suprijadi hanya seorang shodanco dan kemungkinan sudah dibunuh Jepang.. Hal tsb sebenarnya disengaja karena Soekarno-Hatta berada dalam dilema, di satu sisi menghadapi tuntutan pembentukan tentara untuk menghadapi Sekutu+NICA tetapi disisi lain menghadapi kenyataan bahwa di ibukota Jakarta, semua gedung dan fasilitas masih dalam kontrol tentara Jepang. Pemerintahan RI dijalankan dari rumah ke rumah.. Pembentukan tentara dikhawatirkan akan memancing konflik terbuka dengan Jepang. Tuntutan keras pembentukan tentara pun direspon lamban dengan pembentukan BKR kemudian TKR meski tanpa ada panglima riil sampai akhirnya TKR memilih panglimanya sendiri tgl. 08/11/45. Pemilihan Suprijadi (tokoh yg entah berantah) diharapkan dapat mengulur waktu sambil mencermati situasi. Tentara tidak sabar dan memilh Soedirman sebagai pangilima. Waktu itu pemerintah tidak berani mencantumkan Republik Indonesia di belakang kata Tentara, karena pemerintah kita belum diakui oleh pihak sekutu dan dunia internasional. Beruntung pecah konflik sekutu vs Indonesia di Surabaya dan Magelang-Ambarawa, yang memaksa sekutu mau berunding dengan pemimpin Indonesia. Sebuah pengakuan defakto terhadap RI. Berangsur-angsur, Soedirman dilantik menjadi panglima akhir 1945 kemudian nama TKR diubah menjadi TRI awal 1946.

  10. gploes berkata:

    mau nanya nih siapa 4 organisasi pemuda stelah indonesia merdeka

  11. The $ema$a berkata:

    nice blog

  12. retno berkata:

    20 Oktober 1945 Moehamad Soeljoadikoesoemo sebagai menteri keamanan ad interim wafat beberapa minggu setelah pengangkatannya, di Sarangan Magetan dalam sebuah musibah, bukan karena penolakan dari berbagai pihak.

  13. Ping-balik: Zaman Re-Ra

Tinggalkan Komentar