Oleh-oleh dari Aljazair

Prof. G. W. Bousquet tentang “Testamen Prof. Snouck Hurgronje” dalam teori dan praktik.

“Toute l’oeuvre coloniale s’appuie, doit s’appuyer sur ce q’on appelle la politique Indigene, l’art de comnaitre les Indigenes. Semua pekerjaan yang berhubung dengan tanah jajahan harus bersandar kepada yang dinamakan “Inlanderpolitiek”, yakni kecakapan untuk mengenal penduduk Bumiputera” Prof. Y.C. van Eerde: Ethnologie Coloniale p. IX).

Berbetulan dengan perayaan “Panji Islam” ini, mulai pula tersiar dua buah kitab dari seorang ahli, yang pada tahun yang lalu pernah menjadi “tamu” bagi P.L, walaupun dalam tempo yang amat sempit sekali, yakni Prof. G. H. B. Bousquet dari Aljazair.

Maka ada juga pada tempatnya apabila pada nomor-perayaan ini kita “sambut” barang sekedarnya tulisan Guru Besar tersebut; apalagi masalah yang diperbincangkannya itu memang salah satu dari masalah-masalah yang senantiasa menjadi kewajiban kita’memperhatikan dan mengupasnya, yakni soal: “Islam politik” di Indonesia.

Kita mulai dengan sedikit:

Pendahuluan.

Kebenaran perkataan Prof. van Eerde sebagaimana yang tercantum sebagai moto di atas, telah diakui dan dijalankan oleh bangsa-bangsa Barat yang mempunyai koloni, baik bangsa Inggris, Perancis ataupun bangsa Belanda. Senantiasa mereka berusaha untuk mengenal dan menyelidiki bagaimanakah tabiat, sifat, adat-istiadat, pandangan hidup dan agama dari bangsa-bangsa yang mereka jajah.

Yang demikian itu terutama terbitnya dari bermacam-macam pertimbangan yang bersangkutan dengan praktik dalam melakukan ikhtiar penaklukan dan pendamaian (pacificatie) tanah jajahan mereka masing-masing. Dan juga untuk melaksanakan cita-cita tersebut mereka memberi pendidikan kepada bangsa yang dijajah, lantaran didorong oleh niat yang semata-mata bersifat idealistis, lebih luhur dari pada maksud yang semata-mata bersifat materialistis, yang berupa penarikan hasil harta-benda dari tanah jajahan. Dorongan atau motif inilah yang seringkah terdengar orang namakan “mission sacree”, kewajiban suci yang harus mereka pikul terhadap kepada bangsa yang masih “bodoh”, atau kurang kecerdasannya dari pada mereka sendiri.

Lebih-lebih pada zaman yang akhir-akhir ini, dimasa orang seringkali memperbincangkan masalah-masalah: pengembalian jajahan kerajaan Jerman, pembagian jajahan yang ada sekarang ini antara kerajaan-kerajaan yang perlu kepada tanah jajahan untuk lapangan hidup (Lebensraum), — acap kali pula kita mendengar orang mengemukakan “motif pendidikan” ini sebagai satu alasan yang terutama, bagi menetapkan haknya satu bangsa untuk memegang terus akan jajahan yang sudah ada dalam tangan mereka. Belum berapa lama ini Prof. Mr. Dr. H. Westra dari Universitet Utrecht telah memperbincangkan masalah ini di ibukota Jerman sendiri dengan panjang lebar. Dia berkata antara lain: “Masalah tanah jajahan telah menjadi masalah dunia. Untuk membenarkan atau tidaknya kebijaksanaan salah satu bangsa dalam penjajahannya, bergantung kepada caranya dia mendidik anak jajahan yang ia perintah”.[1]

Selanjutnya Profesor tersebut menerangkan bahwa menurut pendapatnya, dalam hal ini Belanda telah mencapai hasil yang memuaskan dan telah membuktikan kepada dunia, kecakapannya mendidik anak jajahan: dan lantaran itu, — kata Guru Besar tersebut —bangsa Belanda mempunyai hak supaya tanah jajahan mereka yang sekarang itu, dijamin tetap sebagai kepunyaannya, dan tidak boleh dijadikan acara dalam pembicaraan lagi, bilamana ada permusyawaratan berhubung dengan pembagian-pembagian tanah jajahan atau yang serupa itu. Demikianlah ujarnya Guru Besar tersebut.

Manakah dari kedua macam motif ini (materialistis atau idealistis) yang lebih kuat dan lebih umum dipakai oleh bangsa-bangsa yang mempunyai tanah jajahan tidak hendak kita dalami di sini. Akan tetapi ini sudah nyata, ialah, bahwa untuk mencapai maksud yang maapun juga, “Inlander-politiek” itu tetap satu masalah yang penng dalam satu tanah jajahan.

Dan untuk menentukan, bagaimanakah melakukan “Inlanderolitiek”, bagaimana caranya mengenal dan memimpin anak jajahan itu sebaik-baiknya, — menurut pandangan yang memerintah —, berkehendak kepada penyelidikan yang teliti dan berdasar kepada ilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Tidak heran, apabila bangsa-bangsa yang mempunyai tanah jajahan, mempunyai beberapa ahli yang khusus untuk memberi nasihat yang sebaik-baiknya bagi pemerintah di tanah jajahannya. Dan Pemerintah Belanda yang mempunyai tanah jajahan yang amat besar ini telah beruntung mempunyai penasihat-penasihat yang berdasar kepada pemeriksaan yang seksama dari satu orang ahli-besar yang ternama: Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje.

Profesor inilah yang telah memberikan dasar penentukan sikap Pemeintah Belanda terhadap rakyatnya yang 85% ber-Agama Islam itu. Setelah beberapa lama menyelidiki keadaan di Turki, dan setelah beberapa tahun pula tinggal di Mekah dengan nama ‘Abdul Ghafar, tinggal pula di Indonesia ini bertahun-tahun sebagai Penasihat Pemeintah, dapatlah Prof. Snouck tersebut memberi tuntunan politik menghadapi orang Islam di Indonesia ini atas 3 dasar yang penting, yang tahan uji, yaitu:

(a) terhadap urusan ‘ubudiyah, Pemerintah harus memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya dan yang sejujur-jujurnya.

(b) terhadap kepada urusan muamalah ia harus menghormati; akan adanya instelling-instellin yang sudah ada, sambil memberi kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur ke arah kita (Pemerintah Belanda), malah yang demikian itu harus diajak dan digemarkan;

(c) terhadap kepada urusan yang berhubung dengan politik, harus Pemerintah menolak dan memberantas cita-cita dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan-Islamisme, yang wujudnya hendak membukakan pintu bagi kekuatan-kekuatan asing untuk mempengaruhi perhubungan Pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur”. [2]

Kritik Prof. Bousquet

Syahdan, terhadap caranya Pemerintah Belanda yang sekarang ini menjalankan “Islam politiek” inilah, Prof. G. H. Bousquet, Guru Besar dalam Ilmu Hukum Islam di Aljazair itu, telah mengemukakan kritik-kritiknya, yang sekarang ramai diperbincangkan dalam kalangan politisi dan orang-orang yang ahli tentang kebijaksanaan permerintahan jajahan (Koloniaal Tiydschrift: Maart dan Mei; P. Y. Gerke; Nederlandsche Koloniale Politiek van de 20 ste eeuw”, A.I.D. dan lain-lain).

Prof. G. H. Bousquet tersebut datang melawat ke Indonesia ini dan tinggal di sini 6 bulan lamanya. Sekembalinya di Aljazair diterbitkannya dua buah buku yang kita sebutkan diatas tadi, yaitu buku: Introduction a l’Etude de l’Islam Indonesien” dan “La Politique Musulmane et Coloniale des Pays Bas”.

Bukan maksud kita disini akan memperbincangkan isi kitab tersebut dengan agak luas, tetapi cukup kita ambil dua-tiga keberatan Guru Besar tersebut yang besar-benar saja:

(1) Terhadap kepada pergerakan yang bersifat keagamaan semata-mata, Pemerintah, — katanya —, bersikap tidak mau tahu dan meremehkan saja. Terhadap aliran yang bersifat sosial dan etis, Pemerintah hanya sekedar menunjukkan sukanya saja, pada hal, —katanya —, harus didorong dan digemarkan.

(2) Adapun terhadap “aliran kaum muda” dalam lapangan politik, Prof. Bousquet melukiskan dengan satu perkataan: “ajaib” (incomprehensible). Yakni Prof. Bousquet tidak mengerti kenapakah Pemerintah Belanda terlampau memperlihatkan mukamanisnya terhadap kepada aliran ini. Kenapakah Pemerintah Belanda amat membukakan pintu bagi pengaruh-pengaruh yang datang dari negeri “Arab yang modern.” Tidakkah dikuatiri bahaya Pan-Islamisme yang diperingatkan oleh Snouck Hurgronje?

Kenapakah Pemerintah amat menghampiri perkumpulan Islam dan seolah-olah dengan itu merasa akan lebih mudah melawan pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan? “Perbandingkanlah sikap Pemerintah terhadap kepada “Muhammadiyah” dan “Taman Siswa” niscaya akan terlihatlah, — kata Prof. Bousquet —, garisan-garisan besar dari politik Pemerintah Belanda yang “pro-lslam” dan “anti-nasional”!

(3) Terhadap masalah Pan-Islamisme dan pengaruh-pengaruh “modernisme” dari luar itu, —menurut pendapatnya —, Pemerintah mengambil sikap yang sia-sia.

Walhasil, Prof. Bousquet tidak setuju dengan sikap Pemerintah Belanda terhadap orang Islam, sikap yang dipandangnya “terlalu lembek dan mengambil muka”.

I

Sekarang marilah kita perhatikan, bagaimana kalau masalah politik Pemerintah Hindia Belanda menghadapi kaum Muslimin ini, dilihat dari sudut mata kita.

Masalah ini tidak akan dapat diperbincangkan lebih dalam sebelum kita mengetahui apakah yang jadi buah pertimbangan dari Prof. Snouck tatkala membentangkan garis-garis yang harus dipakai oleh Pemerintah Belanda di Indonesia ini dalam menghadapi kaum Muslimin. Kalau diselidiki, pertimbangan-pertimbangan Prof Snouck dalam tulisan-tulisannya yang bertebaran, atau dalam tulisan-tulisannya yang bersifat standaardwerk, nyata kepada kita yang Snouck mengetahui betul, bahwa:

(1) Orang Islam baru besar bahayanya bagi pemerintah jajahan, bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan mereka beragama terganggu. Makin dilarang mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ‘ubudiyah, semakin “fanatik” mereka mengerjakannya.

Bertambah berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan perkumpulan-perkumpulan tarikat yang mengajarkan “perang sabil”, hal mana mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri.

Dari sini Prof. Snouck sampai kepada natijah: “Biarkan kaum Muslimin beribadah dengan seluas-luasnya! Biarkan mereka bersembahyang, jangan dicampuri mereka dalam urusan berjum’at dan berpuasa; jangan disempitkan mereka naik haji dan lain-lain, sehingga merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa merdeka itu, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa bahwa mereka diperintahi oleh bangsa yang beragama lain!”

Berhubung dengan ini Prof. Snouck seringkah membawakan satu semboyan yang katanya umum dibenarkan dalam dunia Islam (hal mana kita tak berani jamin!), ialah: “Een staat kan duurzaam ziyn in ongeloof maar niet in ongerechtigheid. Satu kerajaan mungkin tetap berdiri dalam kekufuran akan tetapi tidak mungkin dalam kezaliman.”

(2) Ruh ke-Islaman itu mungkin bangkit juga, bilamana mereka mendapat gangguan dalam urusan mu’amalah, seperti urusan perkawinan warisan dan yang berhubung dengan itu. Lantaran itu: “Hormati” instelling-instelling mereka dibawah penilikan kepala-kepala mereka (regen-regen dan raja-raja).

Dengan begini mereka akan merasa diperintah oleh wet-wet mereka sendiri, dan tidak timbul lagi cita-cita kenegeraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau sudah ditetapkan, sekurang-kurangnyadianjurkan dengan cara setengah resmi, kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian dan warisan mereka itu, sehingga tidak masuk pengaruh “modern” yang menimbulkan semangatmereka.

Dan kalau disamping itu anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang menjauhkan mereka dari Agamanya, sehingga mereka “terlepas dari genggaman Islam” (geemancipeerd van het Islam-stelsel), besarlah harapan yang mereka akan menyatukan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah satu “assosiasi”, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang memerintah dan yang diperintah.

Bilamana assosiasi ini sudah tercapai, menurut keyakinan Snouck, tak adalah lagi yang akan menyusahkan Pemerintah.

“La solution de la question islamique depend de l’adhesion des indigenes a notre civilisation”, katanya, yakni: “Manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat antara penduduk Bumiputera dengan kecerdasan kita (kecerdasan Belanda), tak adalah lagi yang akan disusahkan berhubung dengan kaum Muslimin ini”.

(3) Apabila urusan dalam sudah diatur seperti itu, tinggal lagi yang harus dijaga, ialah supaya jangan ada perhubungan dengan Muslimin di Luar Negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu nasihat Prof. Snouck: “Jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!”

Sekianlah ringkasnya aliran fikiran Prof. Snouck dalam adpisnya: pada Pemerintah Belanda, dalam menghadapi kaum Muslimin Indonesia ini. Sekarang bagaimanakah dalam praktiknya?

Mentaliteit —Ketenteraman Umum

Adapun sikap Pemerintah berhubung dengan kekuatiran kalau-kalau orang Islam itu lantaran disinggung kemerdekaannya beribadat, akan mendirikan organisasi-organisasi rahasia, menurut hemat kita tidak usah menguatirkan Prof. Bousguet. Zaman aksi “tarikat” sudah lampau, sekarang orang Islam sudah bisa protes-memprotes dalam surat kabar, sudah pandai bermosi ini bermosi itu. Dalam semua hal mereka “mengadu” kepada Pemerintah dengan pers, dengan rapat-rapat, dengan jalan Dewan Rakyat, malah bila ada satu anjing masuk mesjid, mereka menulis artikel berkolom-kolom dalam surat kabar, diriakan puluhan rapat, kirim surat kepada Wiwoho, masukkan recs kepada tuan Adpisur! Jangankan akan berbuat apa-apa, memukul anjing yang masuk mesjid itu saja mereka tidak berani, lantaran “menjaga… keteraman umum!”

Dari orang yang begitu “mentaliteitnya”, aksi bagaimanakah lagi yang harus dikuatiri.

Benar, sebagaimana yang dikatakan t. P. Y. Gerke, Oud-Algeleen Secretaris: “Perkumpulan orang Islam seperti Muhammadiyah umpamanya, melakukan semua usahanya dengan terbuka, ibarato rang bertukang di pinggir jalan. Pekerjaan yang macam itu banyak orang yang menontonnya, akan tetapi lalu lintas dijalan itu tetap teratur” (“Ned. Kol. Politiek in de 20ste Eeuw”, A.I.D., D Juli 1939).

Pro-Islam dan Anti-Nasional

Prof. Bousquet menyuruh memperbandingkan sikap Pemerintah terhadap kepada “Taman Siswa” dan”Muhammadiyah”, sebagai bukti bahwa Pemerintah Belanda, —’ katanya —, pro-Islam dan ani-Nasional. Disini Prof. tersebut terang salah wesel.

Pemerintah memberi subsidi kepada Muhammadiyah. Betul!Akan tetapi bagaimanakah kalau tidak diberi, sedangkan zending dan missi mendapat bantuan yang berlipat ganda dari itu? Padahal Pemerintah menurut dasar pemerintahannya harus sama-sama adil terhadap segala macam agama!

Dan waktu Kepala Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara pergi audensi, untuk melepaskan guru-guru Taman Siswa dari “loonbelasting”, Pemerintahpun tidak enggan memberi kelonggaran; hal itu kalau diselidiki benar, sebenarnya satu hal yang “ajaib”, sebab sekolah-sekolah partikelir Islam, yang bertebaran itupun, seperti Taman Siswa juga dalam urusan keuangannya. Kenapakah guru-guru sekolah partikelir Islam terus membayar “loonbelasting” sedang Taman Siswa tidak!

Maksud kita mengemukakan hal ini tidak apa-apa, melainkan menunjukkan bahwa terhadap Taman Siswa sebagai aliran Kebangsaan pun Pemerintah tidak enggan memberi bantuan jika perlu. Pernah guru-guru Taman Siswa mendapat “onderwijsverbod”. Benar! Tetapi, berapa banyak dari muballighin Muhammadiyah yang sudah ditangkap dan sudah dihukum, berapa banyaknya sekolah Muhammadiyah yang sudah ditutup oleh Pemerintah, ataupun dengan perantaraan adat dari salah satu negeri yang beradat?

Pernahkah Pemerintah menolak permintaan Parindra atau Pasundan umpamanya, untuk diberi subsidi lantaran kebangsaannya?

Burgemeester yang pertama sekali, yang telah diangkat oleh Pemerintah adalah orang Parindra! Di waktu almarhum Cokroaminoto meninggal, kita tidak dengar bahwa ada wakil dari Pemerintah yang turut melawat. Akan tetapi cukup pembesar-pembesar Pemerintah yang menunjukka perhatiannya, diwaktu dr. Sutomo meninggal. Mosi Majelis Islam A’la, satu badan pergabungan dari perkumpulan-perkumpulan Islam yang besar, yakni mulanya yang berhubung dengan hinaan-hinaan atas Agama Islam, sampai sekarang belum ada bekas-bekas perhatian Pemerintah atasnya, sesudah lebih dari setahun. Hal ini tentu tidak dapat dijadikan penguatkan dalil Prof. Bousquet itu, entahlah, kalau untuk yang sebaliknya.

Sekarang, kalau andai kata ada orang yang menarik kesimpulan, bahwa Pemerintah “pro-nasional” dan “anti Islam” bagaimana pulakah akan jawabnya?

Walhasil, kalau Prof. Bousquet hanya mengambil keadaan yang lahir itu pembukfiikan kebenaran dalilnya, kitapun cukup pula melihat barang-barang yang lahir yang mungkin dipergunakan pembuktikan yang sebaliknya dari dalil Prof. tersebut. Adapun yang batin dibalik yang lahir, itu bukan pada tempatnya kita memperdalamnya disini.

Associatie Politiek Tidak Berhasil

Sesalan yang tak putus-putusnya yang diucapkan oleh Prof. Bousguet: terhadap kebijaksanaan Pemerintah disini, ialah bahwa Pemerinih Belanda tidak memperhatikan nasihat Prof. Snouck tentang menanam perasaan assosiasi, sebagai satu bagian dari “Islam Politiek”-nya yang tak boleh diceraikan dari bagian-bagiannya yang lain. Rupanya dijajahan Perancis amat diperhatikan benar masalah ssosiasi ini. Diwaktu kita berjumpa dengan Prof. Bousquet diraktu ia ada dinegeri kita ini, Garu Besar tersebut merasa heran, kenapakah uang sekolah Pemerintah disini terlampau tinggi, seingga amat sedikit anak-anak Bumiputera yang dapat masuk sekolah, kabarnya di tanah Aljazair di sana, semua sekolah rendah memberi pelajaran dengan gratis, malah sekarang sistem gratis itu dijalanan juga untuk sekolah-sekolah-menengah. Dengan jalan ini Pemerintah Perancis mengharapkan dapat mencapai “cultuur-associatie” sebagaimana yang diidamkan oleh Prof. Snouck itu.

Hanya dengan jalan “cultuur-associatie” inilah, menurut rencana Snouck, Pemerintah Belanda dapat melepaskan anak-anak Muslimin dari ikatan Agama mereka. Dan memang sudah cukup pula terbukti, bahwa anak-anak kita yang telah menerima didikan Barat menurut plan Snouck itu, hampir 90%, kalau tidak akan 100%, sudah terbongkar “kesaktian” perasaan Agama dari dada mereka. Malah sudah pandai mencaci-caci Agamapun sudah ada juga! Akan itapi, kelihatannya baru sehingga itu, perjalanan ke arah assosiasi itu sudah putus di tengah. Setelah terlepas dari “question islamique”, sekarang telah masuk kepada masalah “question nationale”, masalah kebangsaan, sebelumnya tercapai “cultuur-associatie”. Ini tak usah disesalkan kepada anak jajahan sendiri. Malah lari pihak Pemerintah sendiri tidak pula kurang kekuatan yang menahan-nahan tercapainya cita-cita tersebut. Di waktu membicarakan masalah associatie gedachte ini dan penolakan petisi-Sutarjo, pernah ita katakan, bahwa penolakan petisi tersebut tidak kurang penting artinya buat kesedaran politik rakyat Indonesia dari pada isi petisi itu sendiri.

Seorang “Islam-koloniaal-politicus” seperti Prof. Bousquet, kita kira akan mengempaskan tangan bilamana ia mendengar akan penolakan petisi-Sutarjo dengan cara mentah-mentahan itu. Tapi, apa mau dikata!

Sebab yang kedua yang menahan tercapainya “cultuur-associaie” itu, ialah: selain dari pada sebagian kecil anak Indonesia ang telah mendapat didikan Barat itu, masih ada lagi sebagian besar yang mendapat didikan dari bangsa sendiri, baik dengan dasar Agama, maupun dengan dasar kebangsaan. Apalagi yang telah mendapat didikan Agama, dan dibesarkan atas ideologi Islam, yang kesimpulannya termaktub dalam kalimah ringkas: “Al-Islamu ya’lu, wa la yu’la ‘alaihi’“, Islam itu diatas, tak patut ada yang mengatasinya.

Mereka yang berideologi Islam ini amat sukar dimasuki oleh cita-cita assosiasi dengan arti yang dimaksud oleh Prof. Snouck itu. Mengertilah kita sekarang, apa sebab Prof. Bousquet amat terperanjat melihat, bagaimana sedikitnya kesempatan diberikan Pemerintah untuk memasuki sekolah Pemerintah itu di negeri kita ini. Tetapi, apa mau dibilang!

II

Pan-Islamisme

Sebenarnya berkenaan dengan masalah Pan-Islamisme ini penjagaan Pemerintah Belanda sudah sampai cukup. Sebab, memang “bahaya” ini sebenarnya di zaman sekarang tidak berarti “bahaya” lagi. Cita-cita Khilafat boleh dikatakan tidak ada lagi dalam sanubari kaum Muslimin sekarang. Satu Muktamar Muslimin paling akhir yang bersifat internasional dan yang sedikit mencemaskan orang, ialah yang diadakan kira-kira 13 tahun yang lalu, (1926) di Mekah, di kerajaan Ibnu Sa’ud. Akan tetapi kenyataan, bahwa sedikitpun tidak ada cita-cita waktu itu, baik pada Ibnu Sa’ud ataupun pada wakil-wakil Umat yang menghadiri Muktamar tersebut, hendak mengadakan satu Khilafah dengan Ibnu Sa’ud menjadi Khalifahnya.

Selain dari pada itu lagi Muktamar di Palestina yang betul ada menambah rasa persatuan kaum Muslimin, tetapi tidak mempunyai arti politik yang mungkin mengguncangkan hati Negara-negara yang mempunyai jajahan. Pembukaan satu Mesjid di Tokio memang telah pula menarik beberapa wakil kaum Muslimin dari segenap pojok dunia, tetapi, toch Ruh Pan-Islamisme…, masih jauh sekali!

Belum lama ini dipropagandakan dengan sekuat-kuatnya, bahwa Raja Farouk akan diangkat jadi Khalifah. Tapi manakah suara kaum Musilimin diluar Tanah Mesir yang menunjukkan berkobarnya Pan-Islamisme itu?

Muslimin Palestina tetap ribut menghadapi Yahudi-nya. Orang Islam di Indonesia bisa juga mengumpulkan sedikit uang pembeli obat dan membantu Palestina dengan doa qunut yang sudah di “keur” oleh Inlandsche Zaken dan sedang repot pula dengan undang-undang kawin bercatat dan artikel 177 I.S. Muslimin di Albania dihancurkan kerajaannya oleh Italia, tapi tetap tak seorangpun diantara pemimpin Islam yang berziarah kesana. Muslimin India sedang menyelesaikan urusannya dengan kaum Hindu. Dalam pada semua urusan repot begitu, konon kabarnya King Farouk berpangkat Khalifah, Amirul Mu’minin!

Prof. Bousquet masih saja menyesali Pemerintah Belanda, lantaran menurut pandangannya Pemerintah disini membiarkan saja masuknya semangat modernisme ke dalam dunia Muslimin Indonesia,semangat yang ia namakan “pengaruh Arabia-modern”. Yang dimaksudnya tentu semangat kebangunan Islam sebagaimana yang mulai kelihatan sekarang ini.

Sesalan ini menurut hemat kita tidak pada tempatnya. Bagaimanakah Pemerintah boleh dinamakan lalai dalam urusan ini, kalau diperhatikan, bagaimana lengkap dan rapinya penjagaan sebagaimana yang ada sekarang ini.

Untuk sekolah-sekolah partikelir-Islam sudah ada ordonansi sekolah liar. Untuk pesantren dan kiai-kiai sudah ada “regenteninstructie” dan guru-ordonansi. Untuk muballigh-muballigh yang dirasa perlu diawasi sudah ada passenstelsel, artikel 153 bis dan ter dan artikel yang lain-lain lagi. Polisi sekarang sudah berhak masuk rapat-rapat yang tertutup. Untuk pers sudah ada persbreidel tersedia. Penjagaan jangan masuk angin modern dari Mesir dengan perantaraan surat-surat atau surat-surat kabar sudah ada sensor yang streng. (Perhatikan peranyaan tuan Soangkupon berhubung dengan surat-surat dari Perpindom). Kalau undang-undang negeri belum cukup lagi, sudah tersedia “exorbitante rechten” pada Pemerintah Tinggi. Kalau ini belum juga cukup, ada pula disana-sini hukum adat yang bisa dipergunakan penambah-nambah, yang pada hakikatnya lebih tajam lagi makannya dari “exorbitante rechten” itu sendiri. Bagaimanakah akan dinamakan Pemerintah “teriaki” dalam urusan ini!

Sampai-sampai pada tuan P. Y. Gerke sendiri timbul pertanyaan yang dihadapkannya kepada Prof. Bousquet, dari manakah lagi mungkin datangnya “bahaya yang gaib” itu. Katanya, — setelah menerangkan bahwa Pemerintah tetap awas dan paraat terhadap soal ini:

“De omvang van een plaatseliyke explosie zalr mocht ziy ontstaan dus geen verrassing geven; de hoofden ziyn geteld. Waar schuilt dan het mysterieuze toekomstige gevaar, — Ditakdirkan terjadi peletupan disalah satu tempat, sudah tentu hal itu bukan satu barang yang datang mendadak bagi Pemerintah. Berapa banyak kepalanya, sudah dihitung (oleh Pemerintah). Dari manakah kiranya mungkin datang bahaya yang gaib itu lagi.”

III

Adapun yang sampai sekarang belum terganggu, hanyalah urusan ibadat. Akan tetapi bukankah testamen Prof. Snouck yang juga dibenarkan oleh Prof. Bousquet, berkata: “Dalam urusan ibadah hendaklah diberi kesempatan yang seluas-luasnya!” Lagi pula urusan ibadat ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang Islam, memang satu urusan yang rumit (tere kwestie).

Bagaimanakah ‘kan tidak! Orang Islam mungkin dilarang berapat. Akan tetapi bagaimana akan melarangnya bersalat Jum’at, tetap sekali seminggu, pada hal salat Jum’at ini sebenarnya sifatnya tak berapa berbeda dengan satu rapat atau kursus sekali tujuh hari?

Orang Islam bisa dilarang membaca buku-buku yang berbau politik. Akan tetapi bagaimana melarang mereka membaca Kitab Suci mereka Al-Quran; walaupun cukup diketahui bahwa Quran itu bukan mengurus tayammum dan istija’ saja, akan tetapi lengkap dengan tntunan ruhani dan anjuran-anjuran yang berhubungan dengan keduniaan!

Orang Islam bisa, -kalau suka- dilarang menuntut ilmu ke Mesir, India, Jepang atau Philipina, supaya jangan kemasukan angin modernisme. Akan tetapi bagaimana caranya akan melarang naik haji; walaupun telah diketahui bahwa seseorang yang mengerjakan haji ini, tak dapat tidak akan mendapat kesempatan untuk bertukar paham dan perasaan dengan bermacam bangsa yang berjumpa, baik ditanah “Arabia modern” itu sendiri, ataupun dalam perjalanan pulang pergi!

Kita akui, bahwa banyak pula antara jamaah haji kita itu yang pukang ibarat “kucing dibawa ke Mekah”, sekembalinya hanya pandai mengeong juga, akan tetapi dari puluhan ribu yang pulang pergi tiap tahun ke Mekah itu, paling sedikit seribu, dua-ribu orang ada juga yang terbuka matanya, yang mempunyai persediaan cukup untuk menerima bermacam aliran baru.

Dalam hal ini, maka bagaimana akan menutupnya pengaruh “Arabia Modern” itu, supaya tertutup mati? Memang Agama Islam itu ada mengandung beberapa peraturan-peraturan ubudiyah dan muamalah, yang pada hakikatnya, yang satu tak dapat diceraikan dari yang lain.

Tiap-tiap suruhan Islam yang bersangkut dengan ibadat bersangkutpaut serta berjalin-berkelindan pula dengan urusan keduniaannya. Ini bedanya Islam dari lain-lain agama!

Tidak akan ber-lebih-lebih-an apabila kita berkata, bahwa disinilah terletaknya salah satu mu’jizat Islam. Hal ini cukup diakui oleh orientalisten Barat yang menyelidiki masalah politik-politik Islam dalam tanah jajahan umumnya.

Prof. H. A. R. Gibb, setelah ia mengakui bahwa Agama Islam semakin banyak dimasuki oleh bermacam-macam ajaran diluar Islam dan cita-cita persatuannya bertambah lemah apabila sudah bertebaran diatas dunia ini, lantas berkata lagi, bahwa adalah satu faktor yang utama dalam Islam yang bisa menangkis segala bahaya itu kembali, yakni:

“Ada satu faktor (dalam Islam) penangkis bahaya ini, yakni perhubungan yang senantiasa berlaku antara bermacam-macam daerah dalam dunia Islam, terutama antara negeri yang dipinggir dengan negeri? yang ditengah, di Asia Barat dan Mesir. Satu alat yang paling kuat untuk menanam perhubungan ini ialah naik hadii, yakni suruhan wajib atas tiap-tiap orang Muslim yang sanggup, paling sedikit sekali seumur hidupnya. Dan seterusnya kita akan dapat saksikan, bahwa kewajiban naik haji ini tetap akan mengandung kesaktiannya yang lama itu, sebagai suatu alat penghiduvkan semangat keaaamaan dan peneguhkan persatuan kaum Muslimin umumnya…”[3]

IV

Pelajaran apakah, yang dapat kita ambil dari semua ini? Ialah, bahwa di zaman kaum Muslimin di dalam kelemahan dan kekalahan, terutama dalam hal seperti sekarang ini, dimana kaum Muslimin tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi, tetaplah Agama Islam itu menyimpan dan memelihara untuk pengikutnya “satu benteng yang penghabisan, yakni benteng ibadat!”

Meninggalkan benteng-ibadat ini, berarti bagi kaum Muslimin memutuskan hubungan dengan Ilahi, sumber dari segenap kekuatan, jasmani dan ruhani, serta memutuskan pertalian dengan merekayang se-Agama dan secita-cita. Memalingkan muka dari peribadahandan menganggap ibadat itu sebagai “urusan person” atau urusan tetek-bengek, berarti melepaskan benteng Islam yang paling penghabisan.

Di waktu itu akan terbukalah pintu untuk melapetaka bagi yang meninggalkan itu, yang akan menyerbu dari segenap pihak. “Malapetaka dan kehinaanlah yang akan menimpa mereka, dimana saja mereka berada, kecuali apabila mereka mempunyai perhubungan dengan Allah” dan pertalian sesama manusia” (QS Ali Imran: 112).

Penutup

Apakah dengan ini berarti bahwa politik-Islam dari satu pemerintah- jajahan sudah boleh dinamakan “gagal” lantaran tak bisa menyetop semangat modernisme itu dengan semati-matinya? Jawab:”Tidak” dan „Ya”.

“Tidak”, apabila memang yang menjadi niat dari pemerintah jajahan itu, satu motif yang bersifat ideeel, yakni lantaran hendak menjalankan “mission sacree”, kewajiban-suci, hendak mendidik anak-jajahan kepada tingkat kecerdasan yang tinggi; kalau sebenarnya soal berhak atau tidaknya memegang tanah-jajahan itu hendak disandarkan kepada “pendidikan yang diberikan kepada anak-jajahan itu”.[4]

Dan jawabnya, “Ya”, kalau yang jadi motif itu semata-mata hendak mengeruk kehasilan harta-benda serta hendak mengekalkan keadaan perhubungan antara yang menjajah dan yang didiajah itu terus-menerus, lantaran menyangka bahwa hal itu dapat dikekalkan dengan kekuatan tangan manusia.

“Maar wie is het, die nog aan dit sprookye gelooft?”, — “Siapakah yang masih percaya kepada teori (dongengan) yang semacam ini?” —, bertanya Dr. G. Y. Nieuwenhuis.

Dan Quran dengan tegas telah memberi ketetapan dan keputusan dalam hal ini: “Dan zaman (Kejayaan) itu Kami per gilirkan diantara manusia…!” (QS Al-’Imran: 140).

Prof. Bousquet sendiri rupanya tidak pula memberikan satu resep yang positif terhadap urusan ini. Ia hanya berkata, bahwa ia tidak setuju dengan sikap Pemerintah Belanda yang berlaku itu. “Cobalah kita lihat dua~puluh-lima tahun lagi!”, — kata Bousquet —“Siapakah yang benar, Pemerintah Belanda kah atau saya?” Dijawab oleh Gerke: “Dus, tot 1964!”, — “Tunggu, sampai tahun 1964!”

“Kita menunggu sampai tahun 1964 (seribu sembilan-ratus enam puluh empat)”…! [5]

Perjalanan Bousquet menurut keterangannya banyak mengandung pelajaran bagi dirinya sendiri. Antara lain ia berkata: “Orang Inggris dan Perancis selama merasa dirinya rendah dan kecil, bila melihat kecakapan orang Belanda mengurus jajahannya (le genie colonisateur des Hollandais). “Sayapun”, — katanya seterusnya —, mempunyai perasaan demikian juga ketika mulaimasuk ke Hindia Belanda. Akan tetapi tatkala saya meninggalkannya, perasaan kecil itu sudah lenyap sama-sekali!”, — “Y’etais moi-meme en proie a une “complexe” en arrivant aux Lndes Neerlandaises. Ye ne l’ai plus du tout en les quittant.”

Kita hanya dapat berkata: “Boleh jadi!… Selain dari itu. Wallahu a’lam!”

Dari Panji Islam, Juli 1939.

*Ref : Hasanalbanna.com

————————

[1] Het koloniale vraagstuk is een wereldvraagstuk geworden, waar de rechtvaardiging van het koloniaal beleid dient gevonden te worden in de wiyze, waarop de inheemsche bevolking wordt opgevoed” (A.I.D. 23 Mei 1939).

[2] (a) De Ware en beproefde Islam-politiek der Nederlandsche Regeering is daarom: op zuiver godsdiensfig gebied eerliyke en onvoorwaardeliyke handhaving der vriyheid van godsdienst; (b) op maatschappeliyk gebied: eerbiediging van bestaande volksinstellingen, met open houding van de wegen; die tot een gewenschte evolutie in de denting naar ons toe kunnen leiden, met aanmoediging zelfs van het inslaan dier wegen; (c) op staatkundig gebied: besliste afwiyzing van alle pan-islamietische eischen ofpretenties die ten doel hebben aan eene vreemde, macht invloed toe te kennen op de verhouding der Nederlandsche Regeering tot Hare Oostersche onderdanen (Het Mohammedanisme, 1911, Verspr. Geschr., p. 219).

[3] This was the constant intercourse which was kept between the various regions of the Moslem world and more especially between the outlying countries and the central lands of Western Asia and Egypt. The most powerful agency which promoted this intercourse was the Hay, or Pilgrimage to Mecca, which is incumbent on every able-bodied Moslem, who is possessed of the requ:site means, at least once in his l’fe-time; and we shall see that as a means for reviving religious zeal and strengthening the convkfion of Moslem unic, the institution of the Pilgrimage still retains its ancient virtue” (“Whither Islam”, p. 19).

[4] Masalah tanah jajahan telah menjadi masalah-dunia. Untuk mengukur benar atau tidaknya kebijaksanaan satu bangsa dalam penjajahannya adalah bergantung kepada caranya ia mendidik anak-jajahan yang ia perintah” — „Het koloniale vraagstukis een wereldvraagstuk geworden, waar de rechtvaardiging van het koloniaal beleid dient gevonden te worden in de wiyze, waarop de inheemsche bevolking wordt opgevoegd” (A.I.D. 23 Mei 1939). Pidato Prof. Westra di Berlin, awal Mei 1939.

[5] Kita tidak diberi kesempatan oleh Allah melihat, siapakah yang benar diantara Rousifin-i dan Gerke, lantaran hanya 3 tahun sesudah mereka bertukar pendapat itu, Indonesia lepas dari Nederland. (Penghimpun).

Tinggalkan Komentar