Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (2)

*Sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”. Lanjutan dari bagian pertama : Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (1)

******

Selama tahun 1905- 1906 jumlah siswa terdaftar di STOVIA sebanyak 177 orang – 48 dalam kelas persiapan tiga tahun, dan 79 dalam kelas kedokteran tujuh tahun. Karena mereka tinggal bersama dalam asrama dan ruang sekolah, hubungan sangat mudah. Soetomo dan Soeradji berkeliling, dari satu kelas ke kelas yang lain, mencari dukungan dari siswa-siswa STOVIA. Lalu segera pula mereka mulai menyebarkan edaran berisi imbauan agar perkumpulan yang serupa didirikan di. Magelang, Semarang, dan Yogyakarta.

Nama Budi Utomo agaknya sudah ditetapkan sejak awal mula. Soetomo mengatakan, Mas Soeradji yang mengusulkan agar perkumpulan kita dinamakan Budi Utomo.” Imam Soepardi, penulis biografi Soetomo, menguraikan hal ini secara panjang lebar. Dikatakannya, ketika Wahidin berpamitan kepada kedua anak muda itu untuk meneruskan perjalanannya ke Banten, Soetomo memuji tekadnya, “Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi.” Soeradji belakangan mengusulkan agar dua patah kata terakhir dalam pendapatnya yang dinyatakan sambil lalu itu dipakai sebagai nama tetap untuk perkumpulan mereka.

Walaupun kisah ini tidak bisa dibuktikan oleh sumber-sumber lain, pemilihan namanya yang spontan tersebut agaknya memang khas untuk kelahiran organisasi itu. Biasanya Budi Utomo diterjemahkan sebagai “usaha bagus” atau “usaha mulia”. Namun, penerjemahan harfiah demikian tidak bisa menangkap nuansa bahasa pribumi. Seorang sarjana berpendapat bahwa perkataan itu agaknya merupakan Kata “budi” agaknya sangat penting bagi orang Jawa.

Pengertian tentang budi erat hubungannya dengan paham mengenai kesejahteraan masyarakat. Perlu diingat bahwa “seorang yang berbudi menjauhi yang bukan-bukan”. Budi memberi cahaya terang ada masyarakat, tetapi tidak mengubahnya. Etos Jawa menganggap sebagai sudah layak, seseorang yang berbudi akan hidup rukun dengan masyarakatnya. Walau kata-kata Wahidin menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap nilai-nilai Jawa tradisional, munculnya kata “budi” di dalam nama organisasi kelihatan secara kebetulan saja.

Sekali peristiwa ketika para siswa STOVIA berbincang-bincang tentang kepemimpinan gerakan, mereka memberikan interpretasi progresif terhadap konsep budi. Karena jiwa kelompok mempunyai sedikit persamaan dengan orang yang “menjauhi yang bukan-bukan dan berusaha tidak ikut terlibat di dalam hal-hal yang akan membikinnya merasa susah.” Sementara itu, batasan-batasan etnis dan geografis dalam kelompok menjadi semakin tegas.

Batasan-batasan ini tidak hanya mencerminkan kurangnya kesadaran akan persatuan nasional pada penduduk Indonesia secara menyeluruh, tetapi juga karena antipati yang berkepanjangan antara golongan penduduk Jawa yang pribumi dan non Jawa. Kebanggaan orang Jawa terhadap keunggulan budaya mereka atas golongan-golongan etnis lainnya di Hindia begitu meluas, sehingga tidak heran apabila siswa-siswa Jawa di STOVIA merasa ragu mengundang siswa-siswa non-Jawa ikut serta dalam gerakan mereka.

Goenawan mengingatkan pada sentimen yang lazim saat itu: “Dengan orang-orang Sumatera, Manado, Ambon, dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan hidup di bawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama … Apakah yang kita tahu tentang orang-orang senegeri kita itu? Seperti kita juga, mereka pun mempunyai sejarah, mempunyai budaya. Tetapi alangkah sedikitnya yang kita ketahui! Betapa berbedanya barangkali mereka itu dari kita. Maka, mungkin juga mereka mempunyai aspirasi yang lain dari aspirasi kita. Tidakkah suku-suku di Nusantara yang Kristen lebih diistimewakan dari kita? Apakah orang Jawa dan orang Manado yang berpendidikan sama diperlakukan dan digaji sama ? Tidakkah penyamaannya dengan bangsa Eropa bagi mereka merupakan peristiwa sehari-hari, dan sebaliknya perkecualian yang langka bagi kita ? Tidak. Janganlah kita mencari kerja sama dengan golongan-golongan penduduk ini, walaupun mereka itu segan memberikan jawaban tidak kepada kita. Dengan demikian, kita membatasi kegiatan kita dari kalangan luar. Karena sudah menjadi konsep budaya. Di dalam konsep budaya inilah kita mencari unsur-unsur yang membentuk suatu rakyat, suatu bangsa“.

Organisasi untuk kaum muda Jawa ini didirikan Soetomo pada Minggu, 20 Mei 1908, pukul 09.00. Tepuk tangan gemuruh menyambut pernyataan kelahirannya. Para hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak saja para siswa sekolah ini, tetapi juga siswa-siswa dari sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, sekolah pamong praja pribumi di Magelang dan Probolinggo, siswa-siswa sekolah menengah petang di Surabaya, dan sekolahsekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo. Seruan kelompok STOVIA dengan cepat tersebar di seluruh. Jawa.

Walau kemudian tanggal 20 Mei in selalu dirayakan oleh bangsa Indonesia sebagai hari kebangkitan nasional, tak banyak informasi yang tersingkap mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi di aula itu. Mungkin sekali sekadar merupakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah-masalah organisasi di masa datang. Bagaimanapun banyak hal penting dan mendasar dalam organisasi timbul pada hari itu. Antara lain, nama Budi Utomo, secara resmi ditetapkan dalam rapat ini.

Dalam mengorganisasikan Budi Utomo, Soetomo mempunyai banyak rekan cakap yang membantunya. Djajadiningrat mengatakan, Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreng, Mohammad Saleh, dan Soelaeman disebut Wahidin sebagai tokoh yang paling banyak jasanya bagi berdirinya Budi Utomo. Walau namanya tidak disebut-sebut, Soeradji, sebagai pembantu utama Soetomo, mencurahkan seluruh kepandaiannya dalam bahasa Jawa kromo menjelaskan tujuan organisasi kepada angkatan tua di Jawa Tengah.

Semua siswa STOVIA mulai menjadi siswa pada 1902 atau 1903. Umur mereka berkisar antara 20 dan 22 tahun, dan berasal dari Jawa Timur atau Jawa Tengah. Tak seorang di antara anggota organisasi pada tahun-tahun permulaan berasal dari Pasundan, Jawa Barat. Dengan pengecualian Soetomo, dan mungkin juga Goenawan, dua tokoh yang menyatakan bahwa mereka “tidak bisa hidup di tengah masyarakat seperti masyarakat kita yang serba santai dan leha-leha,” para anggota sisanya tampaknya sangat tenang dan berkepala dingin.

Suasana umum kalangan siswa STOVIA selama periode permulaan ini hampir tidak bisa dikatakan sebagai sturm und drang terus-menerus. Beda dengan kegiatan Wahidin mula pertama dengan mengimbau kepada para pejabat pribumi senior, para siswa ini mencurahkan usaha mereka merebut hati rekan-rekan mereka di sekolah-sekolah lanjutan lainnya. Dengan cepat organisasi semacam berdiri pada tiga dari delapan sekolah yang hadir pada rapat 20 Mei tersebut. Ketiga sekolah itu: OSVIA di Magelang, sekolah pendidikan guru (normaalschool) di Yogyakarta, dan sekolah menengah petang (hogere – burgerschoo di Surabaya. Sehingga, pada Juli 1908 jumlah anggota Budi Utomo mencapai 650 orang. Karena jumlah murid STOVIA sedikit, jumlah anggota Budi Utomo dari sekolah ini pun merupakan persentase kecil dari semua anggota. Kendati demikian, selama tahun-tahun pertama STOVIA tetap merupakan pusat kegiatan Budi Utomo. Tapi keadaan kemudian makin bertambah sulit, karena siswa-siswa ini harus memadu antara pekerjaan untuk organisasi pelajaran di sekolah. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi, dan masa depan sebagai dokter. Maka, selama tahun-tahun bergolak ini, hanya seorang, yaitu Soelaeman, yang meninggalkan sekolahnya.

Tentang situasi ini Soetomo mencatat dalam memoarnya: Sekali peristiwa saya hampir-hampir dikeluarkan dari sekolah dokter itu, karena kedudukan saya sebagai ketua organisasi. Sementara guru menuduh saya hendak berusaha melawan pemerintah. Menjawab tuduhan itu, atas usul Goenawan, teman-teman kami minta agar mereka juga dikeluarkan jika saya dikeluarkan. Untung, direktur sekolah, Dr. H.F. oll, orang yang berpandangan luas. Dalam rapat guru, direktur melempar pertanyaan kepada rekan-rekannya sebagai berikut, “Tidak adakah di antara Anda yang hadir di sini seradikal seperti Soetomo ketika Anda berumur delapan belas tahun?” Pengaruh pertanyaan ini ternyata menguntungkan saya. Dengan suara bulat teman-teman menyampaikan pendiriannya sebagai berikut: “Soetomo sebagai ketua mempunyai tugas menjelaskan semua gagasan dan cita-cita yang bergelora di dada kami. Jika ia harus dikeluarkan karena itu, maka Tuan juga harus mengeluarkan mereka di antara kami yang mempunyai keyakinan dan cita-cita yang sama. Semata-mata kami belum berkesempatan untuk menyatakan keyakinan dan cita-cita kami itu.” Di sepanjang hidup saya belum pernah kesetiakawanan seperti itu saya rasakan. Sampai Budi Utomo diserahkan kepada orang-orang yang lebih dewasa dan berpengalaman serta berpengatahuan yang diperlukan untuk tugas-tugas organisasi, kami, anak-anak muda, murid-murid sekolah kedokteran dan utusan Budi Utomo, telah menunjukkan persatuan yang pada hakikatnya tetap tak tertandingi bahkan sampai sekarang pun.

Sayang, Soetomo tidak menyebut pasti kapan peristiwa itu terjadi. Tetapi mungkin sekali sebelum Juli 1908, karena tidak disebut-sebut pada pernyataan yang diberikan oleh para siswa mengenai tanggal tersebut. Maka, pastilah bahwa tekanan dari para guru itu yang menjadi salah satu sebab pokok perubahan penting masa mendatang.

Sikap bimbang para siswa ini tercermin pada dua pernyataan yang dikeluarkan atas nama Soewarno selaku sekretaris sementara Budi Utomo, pada pertengahan Juli dan 5 September 1908. Pernyataan pertama dibuka dengan uraian tentang kegagalan “peloporan yang bijaksana” organisasi, yakni Wahidin.

Menurut Soewarno, kegagalan Wahidin disebabkan oleh pengkhususan titik beratnya pada pejabat pemerintah pribumi itu. Priayi kecil selalu menjadi sasaran penindasan atasannya. Akibatnya, keberhasilan gerakan seperti yang ditempuh Wahidin bergantung pada keberhasilan merebut hati kaum priayi atasan.

“Ikatan perbudakan” yang tersimpul di dalam hubungan demikianlah yang merupakan sebab pokok kemandekan masyarakat Jawa pribumi, dan sejalan dengan itu juga kegagalan program Wahidin. Pernyataan tersebut tidak dimaksud untuk merinci tujuan khusus Budi Utomo, tetapi menegaskan perlunya pendidikan dan “dihapuskannya adat hormat yang menyusahkan” itu. Jelas, Soewarno bermaksud memberikan kesan kepada para pembacanya tentang watak progresif organisasinya itu.

Selanjutnya ia menyatakan syarat-syarat mengenai hasrat angkatan muda untuk memegang teguh insiatif gerakan, dengan menyimpulkan: “kita harus bersandar kepada orang-orang yang lebih tua, berkesungguhan hati, yang disegani, pendek kata orang-orang yang lebih berpengalaman sebagai pimpinan kita. Hanya dengan demikianlah kita akan bisa bekerja efektif, dan meyakinkan saudara-saudara setanah air tentang watak dan tekad pikiran orang Jawa.” Dalam pernyataannya yang pertama ini Soewarno mengumumkan, sidang umum pertama Budi Utomo akan diselenggarakan pada bulan Puasa (Oktober) di Yogyakarta.

Pada Sabtu, 8 Agustus 1908, rapat kedua diadakan di STOVIA untuk membahas segala hal-ihwal mengenai kongres mendatang itu. Diputuskan bahwa kongres akan terbuka untuk umum, dan akan mengutus seorang wakil untuk memberitahukan kepada Gubernur Jenderal tentang kongres itu, dan diharapkan akan bisa diperoleh pengakuan terhadap organisasi. Disetujui agar Wahidin Soedirohoesodo diangkat sebagai ketua kongres. Mengenai masalah adat, para siswa memutuskan hanya adat yang dipandang merugikan bagi tercapainya tujuan organisasi harus dihapus. Akhirnya Yogyakarta disahkan sebagai tempat kedudukan kongres. Pemilihan ini bukan karena Yogyakarta merupakan kota kelahiran Wahidin, tetapi lantaran Yogyakarta dipandang sebagai “tempat denyut jantungnya Jawa”.

Selagi rencana kongres terus berjalan, Soewarno mengumumkan pernyataan kedua. Walau hanya berselang satu bulan dari pernyataan terdahulu, pernyataan September ini ternyata lebih luas dari yang pertama. Optimistis bahwa kongres pertama akan menyaksikan Budi Utomo membuat awalannya yang bagus, Soewarno kali ini menulis lebih cenderung selaku juru bicara cabang Weltevreden ketimbang organisasi secara menyeluruh. Ia tidak berbicara tentang penyerahan kepemimpinan pada kaum tua, karena cabang Weltevreden didominasi oleh generasi muda. Soewarno menegaskan agar Budi Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaansche Bond Persatuan Seluruh Jawa.

Namun, tugas pokok Budi Utomo ialah untuk “merintis jalan bagi perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda.” Pada pernyataan itu, Soewarno seolah-olah bergerak di antara tujuan yang lebih dekat, yaitu memberikan perhatian pertama pada unsur pribumi dalam masyarakat kita, dengan harapan kelak melihat organisasi tumbuh menjadi perhimpunan yang lebih universal, sehingga akan menciptakan persaudaraan nasional tanpa pandang suku, kelamin, atau kepercayaan. Pengutamaan dewasa ini ialah pada Jawa dan penduduk pribumi di Jawa, sedangkan kelak ada pada Hindia secara keseluruhan dan semua bangsa di Hindia tanpa pandang perbedaan tradisi. Perlu diingat, Soewarno sekaligus berbicara tentang tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tetapi mungkin juga hal-hal yang terasa bertentangan itu, antara lain karena siswa-siswa STOVIA menerima nasihat baik dari Wahidin maupun Douwes Dekker selama bulan-bulan persiapan kongres itu. Kedua tokoh ini, seperti diketahui, sangat berbeda dalam berangan-angan tentang hari depan sepak terjang Budi Utomo.

Sementara itu, siswa-siswa STOVIA lain sibuk menggalang hubungan pribadi dengan tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan pribumi. Dalam pernyataan pertama, Soewarno memuji usaha para bupati yang te!ah terbuka hatinya di dalam memperbaiki kesejahteraan penduduk pribumi. Secara khusus disebutnya usaha para bupati Jepara, Demak, Temanggung, Karanganyar, dan Kutoarjo. Hubungan semacam itu dilakukan juga terhadap kalangan elite bangsawan lainnya. Dalam pernyataannya yang terdahulu, Soewarno mengemukakan bahwa para siswa sudah memberitahukan kepada “tiga raden ajeng atau putri-putri dari Jepara” tentang didirikannya Budi Utomo.

Sewafat Kartini tahun 1904 para raden ajeng ini tetap melestarikan rencana-rencananya untuk membangun masyarakat Jawa dan kaum wanita Jawa khususnya dan bahkan sudah menyebar surat edaran untuk mencari dukungan guna berdirinya organisasi penduduk pribumi yang bersemboyan “kemajuan bagi Jawa”. Jadi, beberapa tahun sebelum Budi Utomo berdiri, usaha yang sama sudah dilakukan oleh saudara-saudara Kartini tanpa diketahui kalangan priayi.

Tugas menghubungi putri-putri tersebut dibebankan kepada Mohammad Saleh. Walau putri-putri ini tampak bersimpati terhadap gagasan yang dibawanya, mereka cenderung menujukan jawaban mereka kepada kalangan bupati dan bukan pada kalangan para siswa STOVIA semata-mata.

Kesadaran kelas yang sudah mendarah daging di kalangan priayi tinggi itu mempersulit mereka bisa bekerja bersama orang-orang yang berkedudukan lebih rendah. Maka, tindakan pertama yang diambil oleh para putri itu adalah mengedarkan seruan kepada para bupati untuk membentuk organisasi mereka sendiri.

Dari usaha yang ditunaikan siswa-siswa STOVIA dengan menghubungi priayi-priayi tinggi selama bulan-bulan menjelang kongres pertama bisa disimpulkan bahwa pendekatan yang ditempuh oleh para pemuda ini pun pada hakikatnya tidak berbeda dari apa yang ditempuh Wahidin. Perbedaan dalam pendekatan para siswa ini hanya tampak dalam keberhati-hatian mereka menetapkan pilihan, yaitu hanya pada mereka yang dipandang sebagai priayi tinggi yang telah tergugah hatinya. Kompromi tak terelakkan dengan tata sosial yang berlaku seperti ini menimbulkan frustrasi di kalangan sementara siswa, antara lain Goenawan Mangoenkoesoemo, yang menerima pengaruh kuat dari kakaknya, Tjipto.

Walau Goenawan mendapat tugas menghubungi Bupati Karanganyar, Tirtokoesoemo, sepuluh tahun kemudian ia menulis dengan pedas tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada sifat Budi Utomo selama bulan-bulan tersebut: “Kaum tua, ketika itu, sudah matang dalam praktek, dan berpengalaman dalam menempuh licinnya jalan politik, bercampur tangan di dalam organisasi kami. Wahidin barangkali orang pertama di antara mereka itu.”

Walau nada pedasnya itu barangkali aneh, karena “campur tangan” yang dikeluhkannya itu umumnya terjadi atas permintaan para siswa STOVIA itu sendiri, kekecewaannya tersebut semakin bertambah mendalam, seperti tampak jelas pada kongres pertama.

Semakin dekat saat kongres berlangsung, keanggotaan Budi Utomo terus bertambah. Dalam pernyataan Soewarno pada bulan Juli disebutkan, jumlah anggota sebanyak 650 orang, dalam bulan September jumlah itu menjadi 900. Angka tearkhir ini pun tampaknya masih meningkat menjadi 1.200 ketika pernyataan kedua diumumkan. Juga sifat keanggotaan berubah. Angka pertama dalam penyataan menyebutkan 300 orang “pejabat dan orang-orang pribumi” (yakni bukan siswa) dari 900 anggota. Angka berikut adalah 700 dari 1.200.

Dengan demikian, persentase yang bukan siswa bertambah, dari kira-kira sepertiga dari jumlah anggota menjadi kira-kira lebih dari separuh. Dengan demikian, pengaruh para siswa berangsur-angsur melemah.

Kongres pertama Budi Utomo diselenggarakan dari 3 sampai 5 Oktober 1908, di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta. Semangat yang digelorakan untuk kongres ini terlihat jelas dari jumlah peserta kongres – sekitar 300 orang. Para utusan meliputi orang-orang Jawa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, maupun orang-orang Sunda dari Jawa Barat. Mereka yang hadir, antara lain, Sri Pakualam V, Pangeran Ario Noto Dirodjo, bupati Blora, Yogyakarta, Temanggung, dan Magelang. Banyak bupati lain yang menyatakan simpatinya terhadap organisasi, baik dengan mengirim surat maupun mengirim utusan. Termasuk hadir juga lima belas atau dua puluh wanita Jawa serta beberapa orang Eropa.

Karena Budi Utomo merupakan organisasi orang Jawa pribumi pertama, kongres menarik perhatian luar biasa kalangan pers di seluruh Hindia. Di antara laporan-laporan mereka terdapat banyak perbedaan dalam isi perdebatan secara rinci, tetapi jelas bahwa seberkas gagasan telah disampaikan kepada para utusan secara luas. Seperti diduga, Wahidin terpilih sebagai ketua kongres. Tetapi karena kesehatannya sedikit terganggu, pada hari kedua kedudukannya digantikan oleh Pandji Broto Atmodjo. Walau Wahidin telah memberikan dorongan bagi organisasi ini, ia tidak lagi berpengaruh besar terhadap perjuangan Budi Utomo.

Para delegasi tidak menyetujui gagasannya agar kongres hanya membatasi diri pada soal beasiswa. Seandainya organisasi baru ini hanya dimaksudkan untuk menyelenggarakan beasiswa, kongres pasti tidak akan pernah menarik minat 300 orang utusan. Para siswa STOVIA, dan sebagian besar hadirin, tentu saja tidak berkeberatan terhadap pendapat Wahidin yang mementingkan pendidikan Barat itu. Satu-satunya pendapat pesimistis terhadap gagasan meningkatkan rakyat pribumi melalui pendidikan Barat dilontarkan oleh Mangoenoesodo, dokter keraton dari Surakarta. Ia melantunkan keraguannya bahwa rakyat Jawa mempunyai potensi berkembang melalui westernisasi. Dengan mengutip teori Darwin, ia berpendapat bahwa bakat kreatif bangsa Jawa, setelah berabad-abad mengalami kemerdekan, telah menjadi luar biasa kerdil di hadapan bangsa Eropa. Keengganan dan hormatnya terhadap kebudayaan Eropa begitu besarnya, sehingga tampaknya benar-benar harus dipikirkan bahwa rakyat pribumi hampir tak patut menerima pendidikan semacam itu.

Pandangan yang lebih optimistis dikemukakan oleh Raden Ngabei Wediodipoero – yang lebih terkenal dengan nama dr. Radjiman. Ia mengingatkan bahwa pemujaan yang terlalu besar terhadap kebudayaan Barat akan berakibat disintegrasi pada kebudayaan Jawa. Sikap Radjiman sama seperti sikap tradisional para priayi dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing. Tetapi penggunaan kata-katanya yang agak kurang tepat, bahwa “ilmu pengetahuan Barat bukan saja tidak perlu tetapi juga tak masuk akal bagi penduduk pribumi”, sangat menjengkelkan para peserta kongres, karena merasa Radjiman memperolok-olokkan semangat mereka.

Kedudukannya sebagai dokter keraton agaknya menjadi bukti lebih lanjut bagi kongres bahwa Radjiman seorang reaksioner. Lalu mereka melampiaskan kejengkelan melalui pekik-pekik ketidaksetujuan. Para bupati yang hadir, yang semula menyambutnya dengan tepuk tangan dan merasa sangat terbuai oleh pidatonya itu, menjadi sangat terkejut mendengar tanggapan kongres. Belakangan mereka pun menegaskan pada para peserta kongres bahwa mereka juga tidak sependapat dengan pembicara. Di luar kejadian tersebut, sikap kaum muda dan delegasi yang berpandangan lebih liberal pada umumnya tetap terkendali selama persidangan berlangsung. Tentu saja berkat rasa hormat terhadap Wahidin dan tokoh-tokoh lain yang hadir, mereka itu tidak menyerang secara terangterangan terhadap pendapatnya mengenai pembedaan antara priayi dan bukan priayi yang kontroversial itu.

Dari siswa STOVIA hanya Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soetomo yang berbicara. Mereka sama sekali tidak melontarkan serangan terhadap pembicaraan-pembicaraan terdahulu yang mana pun. Goenawan, dengan menunjuk kepada keterbelakangan rakyat jelata, menyatakan kebutuhan untuk adanya sekolah-sekolah desa karena bagi kaum tani masih lebih penting ketimbang masalah beasiswa. Soetomo menegaskan pentingnya pendidikan dasar di dalam setiap program menyeluruh bagi pendidikan di berbagai bidang.

Pertikaian terjadi ketika Tjipto Mangoenkoesoemo, kakak Goenawan, tampil berbicara. Tidak seperti Wahidin dan lain-lain yang menginginkan Budi Utomo menjadi sebuah organisasi pendidikan dan kebudayaan, Tjipto Mangoenkoesoemo berusaha menjadikannya sebagai partai politik. Dua kutub yang masing-masing diwakili oleh pikiran Wahidin dan Tjipto ini kelak akan muncul, tercermin pada suatu bidang kegiatan pokok Budi Utomo.

Wahidin dan Tjipto sekurang-kurangnya mempunyai satu kesamaan: kedua-duanya ingin menggalakkan pendidikan Barat. Tetapi di sini pula kesamaan itu berhenti. Wahidin selalu menekankan pendidikan bagi priayi, sedangkan Tjipto penganjur pendidikan untuk seluruh penduduk Hindia Timur Belanda. Westernisasi dilihatnya sebagai senjata ampuh yang bisa menyelamatkan orang Jawa dari kondisi-kondisi dewasa ini yang mandek. Tjipto yakin untuk mencapai westernisasi ini dengan merongrong hierarki sosial tradisional.

Dampak serangan Tjipto jauh lebih tajam dari isi pidatonya sendiri. Menurut Eyken, ia menyerang “jantung kekuasaan raja, melemparkan tantangannya pada kaum bangsawan”. Pidato Tjipto menggugah kesadaran di kalangan peserta kongres, sehingga timbul dua pendekatan yang masing-masing sangat berbeda terhadap masalah pendidikan Barat. Seorang penulis tanpa nama pada Jong-Indie dengan tepat menamakan dua pendekatan ini “pendidikan dari atas” dan “pendidikan dari bawah”. Pemilihan di antara dua pendapat ini akan membawa pada keputusan, apakah Budi Utomo akan memberikan prioritas kepada priayi atau bukan priayi, yang merupakan mayoritas penduduk pribumi, di dalam melaksanakan program pendidikannya itu.

Walau pendirian Tjipto tidak didukung mayoritas, ia telah menghangatkan sidang, dan bahkan berakibat membagi para pembicara ke dalam dua kubu. Wahidin, Radjiman, dan Dwidjosewojo, yang kelak juga menjadi salah seorang tokoh Budi Utomo ketiga-tiganya mewakili kelompok yang berpendapat bahwa “apabila elite masyarakat Jawa telah berpendidikan, rakyat jelata akan segera mengikutinya.”

Tjipto, Goenawan, dan Soetomo, serta beberapa pembicara lainnya, misalnya Sastrodiprodjo, asisten wedana dari Kedungwringin, Jawa Tengah, memimpin kelompok yang lebih mementingkan kebutuhan akan pendidikan rakyat desa. Banyak di kalangan utusan, termasuk siswa STOVIA, tidak sangat berminat terhadap pendirian pendidikan dari bawah. Tapi mayoritas peserta kongres berasal dari priayi kecil yang tentu saja menginginkan kedudukan lebih tinggi dalam pergaulan masyarakat priayi.

Mengingat situasi sosial saat itu dan gagasan “pendidikan dari-atas” yang diterima meluas, tidak realistis kiranya apabila mengharapkan Budi Utomo dipimpin oleh sikap yang lebih progresif dari sejak awal. Sebaliknya, organisasi ini dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita yang lebih bercorak tradisional. Bahkan diberitakan, siswa STOVIA menuntut melalui kongres agar status sekolah mereka ditingkatkan, dan mereka diperlakukan sesuai dengan hak yang diberikan oleh pendidikan mereka itu.

Maka, tidak mengherankan apabila program Budi Utomo tak berhasil mengutamakan kebutuhan “pendidikan dari bawah”. Usaha Tjipto membentuk Budi Utomo menjadi organisasi politik juga mengalami kegagalan. Hadirin sudah terlampau lelah bersidang, sehingga mereka sangat merasa lega ketika ada seorang anggota muda yang tak dikenal mengusulkan, agar “Budi Utomo akan tampil sebagai sebuah organisasi sosial, tetapi apabila perlu menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya.” Pendapat ini ditafsirkan oleh sebagian besar hadirin bahwa Budi Utomo bukan suatu organisasi politik.

Pada 4 Oktober, hari kedua kongres, sidang memilih badan pengurus organisasi. Badan ini terdiri atas seorang ketua, wakil ketua, sekretaris kesatu dan kedua, bendahara, dan empat orang komisaris. Pemilihan para pengurus ini tidak berjalan mulus, karena kaum muda ingin mendapat kepastian bahwa pendirian mereka akan terwakili sebanyak-banyaknya. Walau demikian, terpilihnya R.A.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar, sebagai ketua, umumnya disambut baik oleh sidang. Tirtokoesoemo adalah salah seorang bupati maju yang pernah disebut-sebut di dalam pernyataan pertama Soewarno, dan mendapat penghormatan dari kalangan luas sebagai pejabat pemerintah yang terkenka. Ia giat di dalam memajukan pendidikan Barat dengan mendirikan sekolah gadis di kabupatennya, dan mengangkat anak-anak perempuannya sebagai guru kepala yang pertama.

Gambaran tentang profesi sembilan anggota pengurus menunjukkan: di samping ketua yang bupati, terdapat dua orang guru, dua dokter, dua jaksa kepala, seorang jaksa, dan seorang bekas pembesar keraton Pakualam. Tujuh dari sembilan anggota berasal da Jawa Tengah. Dua lainnya, satu dari Bandung, dan satu dari Bondowoso. Dari sudut usia, Tjipto, 22 tahun, merupakan yang termuda, Dwidjosewojo 40 tahun, Sasrosoegondo, kira-kira 37 tahun, dan Tirtokoesoemo barangkali tidak kurang dari 47 tahun. Anggota pengurus tertua ialah Wahidin, kira-kira 50 tahun. Jika mengingat masa pensiun pegawai pemerintah di Jawa yang dini, Tjipto satu-satunya pejabat yang belum dalam pertengahan atau akhir tahun-tahun karier kepegawaiannya. Barangkali dengan perkecualian ketua itu saja, yang keberhasilannya dipandang sangat jarang terjadi, kedudukan pejabat-pejabat lain di masa datang ketika masa pensiun tiba, sudah bisa diperkirakan dengan jelas.

Satu hal yang menarik bahwa jabatan-jabatan yang paling berat, yaitu sekretaris dan bendahara, diserahkan kepada guru dan bekas pejabat keraton Pakualam. Semua mereka ini adalah priayi kecil. Merekalah tokoh-tokoh yang, bersama dengan Tirtokoesoemo dan Wahidin, sebagai anggota pengurus paling berpengaruh pada tahun-tahun mendatang, telah memainkan peranan penting dalam menentukan sepak terjang Budi Utomo.

Dengan demikian, kepemimpinan diserahkan dari tangan para siswa, seperti dikatakan Soetomo, “sejak saat itu kepemimpinan Budi Utomo yang mulia dieserahkan kepada anggota-anggota yang lebih dewasa.” Tak banyak bukti menunjukkan bahwa tak seorang pun di antara para anggota pengurus itu cukup mempersiapkan diri untuk mengemban tugas memimpin organisasi yang istimewa ini. Bahkan Dwidjosewojo, pengurus yang paling berpengaruh itu, pun tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Bertutur dalam memoarnya Soetomo mengungkap pertanyaan Dwidjosewojo pada suatu hari: “Hai, Gus, bagaimana caranya memimpin rapat, dan apa tugas sekretaris?” Jika sekretaris pertama saja tak punya gambaran jelas tentang tugas-tugasnya, tidak aneh apabila para anggota lainnya pun tak bisa menangkap corak jabatan-jabatan baru yang dipangkunya itu. Perlu diingat bahwa cara berpikir kaum priayi tradisional lebih menitikberatkan pada “apa yang patut” dan bukan “apa yang harus“.

Karena sebagian besar anggota pengurus adalah pejabat pemerintah pribumi, mereka memandang tugas-tugasnya yang baru tersebut sebagai perluasan belaka dari kedudukannya yang lama. Akibatnya, terlepas dari kesediaan mereka berperan serta di dalam kepengurusan organisasi baru, mereka tetap cederung berpikir dari sudut karier pemerintah, bukannya dari sudut manajemen seperti yang diperlukan oraganisasi baru itu. Tidak adanya visi ini juga menjadi sebab bagi konservatisme mereka di dalam menghadapi tuntutan anggota kongres dari kalangan muda yang lebih progresif.

Bersambung…..ke bagian 3

2 Komentar

  1. kelas persiapan tiga tahun , kelas kedokteran tujuh tahun , untuk menjadi dokter sa’at itu butuh waktu sepuluh tahun. sa’at saya masuk fakultas kedokteran untuk menjadi dokter memerlukan waktu tujuh tahun tiga bulan . termasuk tingkat persiaapan,klinik,kepanitera’an . angka minimal pada kedua era zaman untuk menjadi seorang dokter . pada sa’at ini untuk menjadi seorang dokter hanya butuh waktu lima tahun tujuh bulan .

    pertanya’an yang muncul ” jarang sekali pada sa’at itu para lulusanya dari para dokter itu adalah perempuan ” bagaimana tidak , terlalu lama menuntut ilmunya sedangkan predikat ” perawan tua ” momok para wanita tidak bisa terhindarkan . inilah yang ada dalam benak saya , bukan men – judge tetapi hanya sebuah komentar dan hanya ingin belajar sejarah saja dan ingin benar2 belajar sejarah yang benar …..

    SALAM HYPPOCRATES CERDAS !!

  2. zaman kolonial belanda cuma ada 2 ( dua ) fakultas kedokteran yaitu STOVIA yang

    keberada’anya di jakarta dan yang satu lagi yaitu NIAS yang kita tahu keberada’an

    nya ada di kota surabaya ( prov.jawa – timur ) . keberada’an STOVIA lebih awal da-

    ripada NIAS . era paskah kemerdeka’an ( antara berkisar th 1950 an s/d th 1960 –

    an ) beberapa fakultas kedokteran muncul a.l U.G.M yogyakarta kemudian UNPAD

    bandung dan UNDIP semarang. antara berkisar th 1960 an s/d th 1970 an ada UN-

    HAS makasar UNIBRAW malang dan beberapa fakultas kedokteran swasta a.l UNI –

    SULA semarang dan beberapa fakultas kedokteran swasta yang ada di jakarta.

    termasuk juga UNSOED dan TAWANG ALUN jember yang akhirnya bergabung de

    ngan UNS solo maupun terlikuidasi karena keterbatasan sarana penunjang misal –

    nya rumah – sakit yang tidak memadai. sa’at ini abad ke – 21 hampir disemua tem –

    pat yang ada dipelosok tanah air ini mulai dari sabang sampai merauke memiliki –

    tempat mencetak dokter. kalau dulu di sumatera utara hanya dimiliki USU medan

    kalau dulu disulawesi utara hanya dimiliki SAM RATULANGI manado tetapi seka –

    rang sudah tidak lagi. kalau dulu paskah kemerdeka’an tempat mencetak dokter –

    yang dimiliki perguruan tinggi swasta hanya ada di jakarta , tetapi sekarang ini

    di – daerah2 bermunculan tempat mencetak dokter dari perguruan tinggi swasta.

    tentu ” ada api pasti ada asap ” karena termasuk yang paling diminati dan yang

    paling mahal ( katanya ) . saya cuma berharap ( orang kecil yang punya habitat )

    ” SEMOGA SEMANGAT B.O MASIH MENYALA DI RUANGAN ANATOMI ITU ”

    …………sekali lagi s e m o g a . ( doktertoeloes “swiss van java” ).

Tinggalkan Komentar