Mengganti Generasi

“Jika kamu berpaling, Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak seperti kamu.” (Qs. Muhammad: 38)

Dalam panggung politik amburadul yang dipertontonkan di dua tahun terakhir ini, tak ubahnya panggung kontes orang-orang yang rakus dan haus kekuasaan dengan mengenakan simbol-simbol demokrasi, hak azasi, hukum, moral dan agama. Sebuah opera sabun dengan ongkos amat mahal, yang awalnya lucu, tetapi lama-lama menjadi memalukan dan menjijikkan untuk ditonton.

Dunia politik penuh dengan intrik .. Cubit sana cubit sini itu sudah lumrah ..Rakyat nonton jadi supporter .. Kasih semangat jagoannya .. Walau tau jagoannya ngibul.. Walau tau dapur nggak ngebul .. Dunia politik dunia bintang .. Dunia hura hura para binatang.. Berjoget dengan asik .. Dunia politik punya hukum sendiri .. Colong sana colong sini atau colong colongan.. Seperti orang nyolong mangga.. Kalau nggak nyolong nggak asik … Dunia politik dunia bintang … Dunia pesta pora para binatang” begitulah sebagian lirik lagu Asik Nggak Asik Iwan Fals, menyikapi carut-marut kondisi sosial politik saat ini.

Seperti itukah wajah dunia politik kita? Ya begitulah, setidaknya apa yang diungkapkan penyanyi dengan jutaan massa penggemar lewat lagu Asik Nggak Asik adalah metafora politik sebagai gambaran realitas dunia perpolitikan kita saat ini. Dunia politik dunia bintang – dunia pesta pora binatang, di sini Iwan bukan bermaksud menuding bahwa dunia politik dengan aktor politikus adalah mirip dunia binatang. Menurut Iwan Fals, bahwa gambaran dunia politik tak ubahnya seperti panggung dunia binatang, mirip adu jangkrik, atau seperti orang main catur, semua itu adalah metafora politik.

Berita media massa selama ini penuh dengan kejutan, tetapi bukan kejutan gagasan yang mencerahkan, bukan kejutan pembelajaran yang mencerdaskan tapi hanya tumpukan kejutan kebobrokan manusia-manusia di panggung kekuasaan yang menggunakan hukum rimba demi kemenangan di perjudian politik.

Tak mudah memahami manuver elite dalam perjudian politik kita. Yang dikatakan dan yang dilakukan mudah berubah, bahkan selalu bertentangan. Padahal, betulkah rakyat yang mereka pikirkan? Inilah keraguan kelompok skeptis yang, seperti kaum Laswellian, melihat politik sebagai ”siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.

Kekuasaan adalah serigala pemangsa, itulah kalimat yang diungkapkan oleh sebagian orang yang telah mengalami pergejolakan dinamika perpolitikan. Partai politik sebagai wadah dan ekspressi kedaulatan rakyat telah mengalami pergeseran fungsi utamanya sebagai Lidah Rakyat. Pemahaman akan pendidikan politik hanyalah sebagai formalitas atau simbol belaka, yang terpenting dalam partai politik adalah bagaimana mencapai kekuasaan tanpa memperhitungkan etika dalam pencapaian kekuasaan tersebut. Gejolak keinstanan yang dipraktekkan oleh berbagai partai politik dalam pengkaderan telah menunjukkan bahwa orientasi partai politik hanyalah untuk kekuasaan semata. Keinstanan dalam pengkaderan telah membuktikan dinamika perpolitikan bangsa yang lebih condong ke arah politik praktis yang tentu akan berimplikasi terhadap kepemimpinan bangsa.

Perjudian politik demi 2014 telah menyeret kaum muda yang seyogyanya menjadi harapan pemimpin masa depan tetapi ternyata memberi kekecewaan karena telah terbawa arus keserakahan kekuasaan. Kaum muda yang seharusnya membawa energi baru untuk membangun warna dan dinamika baru, dan bahwa masa depan akan lebih mudah dibangun bersama kalau ada peremajaan kepemimpinan, tapi nyatanya malah turut serta dalam kubangan lumpur perjudian oleh partai politik yang telah menghianati kedaulatan rakyat dalam melaksanakan penyelenggaraan kenegaraan.

Korban perjudian politik adalah rakyat, rakyat yang dari masa ke masa tidak pernah disentuh dengan upaya pencerdasan secara bersungguh-sungguh, tidak cukup memiliki kemampuan kualitatif memilih pemimpin dengan baik. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada bagian awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik.

Politik sejatinya bukan hanya sebatas kalkulasi struktural, tapi bagaimana mendidik manusia untuk lebih bermoral dalam hal berbangsa dan bernegara. Sejarah telah menunjukan bahwa satu keberhasilan generasi bangsa Indonesia di paruh pertama abad 20 adalah keberhasilan dalam pendidikan politik, keberhasilan dalam mencetak kader-kader pemimpin bangsa. Pendidikan politik yang mencerdaskan meski dalam ruang-ruang ideologi politik yang beragam. Keberhasilan itu kini belum ditemukan dalam menghadapi abad 21, harapan adanya pembelajaran politik melalui tontonan pemangku kekuasaan justru berdampak apolitik kaum muda.

Pada masa perjuangan kemerdekaan  dan para the founding fathers (para pendiri bangsa) masih dapat menyaksikan buah yang mereka tanam sebelumnya. Para pemimpin pada masa ini tidak hanya mampu memberi visi, inspirasi, semangat kepada rakyat, tetapi juga teladan dan arah yang nyata untuk mengabdikan dirinya demi kepentingan bangsa. Ucapan para pemimpin meresap ke dalam hati, bahkan masih diingat dan dikutip oleh rakyat di pelosok yang paling jauh sekalipun.

Setelah satu abad … krisis melanda bangsa Indonesia, susah mencari pemimpin yang menjadi guru di “gugu dan ditiru”. Pendidikan politik tak lagi mencerdaskan malah menyesatkan, bangunan ideologis semakin rapuh diterjang tsunami dan gempa pragmatisme. Maka seolah diingatkan kembali akan kata-kata H.O.S Tjokroaminoto : “lantaran diantara bangsa kita banyaklah kaum yang memperhatikan kepentingannya sendiri dengan menindas pada kaum yang bodoh. Maka kesatriaan kaum yang begitu sudah jadi hilang dan kesatriaannya sudah berbalik jadi penjilat pantat”.

Saatnya Mengganti Generasi

Kita bisa belajar, telah terjadi gelombang kemarahan kaum muda secara mencengangkan berhasil mengempas barisan rezim diktator di kawasan negara-negara Arab. Mulai dari tumbangnya rezim Ben Ali di Tunisia, lalu jatuhnya rezim Mubarak di Mesir, dan kini rezim Khadafy di Libya di ambang keruntuhan pula. Kemarahan kaum muda itu kini juga mengancam rezim diktator di Yaman, Aljazair, dan bahkan sistem monarki mutlak di Maroko, Jordania, dan Bahrain. Para pengunjuk rasa di Maroko, Jordania, dan Bahrain menuntut penerapan sistem monarki konstitusional seperti di Inggris, di mana kekuasaan berada di tangan parlemen. Situasi dunia Arab saat ini ibarat wilayah yang sedang dihantam gempa dahsyat. Gempa itu bukan karena amarah alam, tetapi amarah kaum mudanya. Maka, bukan bumi yang retak akibat gempa itu, melainkan sistem politik dan ekonominya yang kini mulai runtuh berjatuhan.

Mereka kaum muda bergerak melawan rezim-rezim diktator itu dengan berbekal suatu keyakinan bahwa perubahan nasib mereka yang sesungguhnya berada di tangan mereka sendiri dan bertolak dari negeri mereka masing-masing, bukan di Eropa atau negara perantauan lainnya.

Mereka mulai berhasil mengobarkan revolusi dengan menumbangkan rezim diktator. Namun, titik lemah mereka adalah menggalang revolusi tanpa pemimpin. Risiko revolusi tanpa pemimpin itu pun mulai disadari, yaitu jatuhnya negara pascarevolusi ke tangan pemimpin yang tidak dikehendaki oleh para pemuda revolusioner itu sehingga impian mereka tidak langsung terwujud.(ref)

Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.

Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.

Dalam sejarah gerakan politik di Indonesia, pemuda selalu menjadi katalisator yang dapat melakukan perubahan dan mengangkat harkat dan martabat sebagai bangsa yang berdaulat dan demokratis. Gerakan politik kaum muda memiliki logikanya tersendiri dalam setiap zamannya, seperti tahun 1908, 1945, 1966, 1978, dan 1998, yang merupakan tonggak-tonggak sejarah perjuangan politik kaum muda di Indonesia. Kepemimpinan kaum muda sudah dimulai sejak zaman revolusi kemerdekaan, dengan pemimpin muda seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir serta masih banyak yang lainnya.

Kaum muda bukan hanya sebagai agent of change dalam setiap momentum perubahan, akan tetapi merupakan kebutuhan kehadiran pemimpinan muda yang memiliki integritas dan kemampuan dalam memimpin. Kaum muda bukan hanya sebagai alat perubahan yang menjadi pelayan bagi tampilnya pemimpin-pemimpin baru yang tidak memahami spirit perubahan itu sendiri. Anak muda bukan hanya sebagai tumbal revolusi tapi wajib tampil sebagai pemimpin revolusi.

Seperti diutarakan oleh seorang ulama kontemporer, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, usia muda adalah masa-masa yang dinamis, penuh kekuatan dan bertahtakan kemauan keras.  Inilah masa di mana semangat seserorang menyala-nyala.  Karakteristik pemuda seperti itu menempatkan pemuda pada kedudukan sebagai kekuatan perubahan, sehingga sangatlah wajar jika setiap momentum perubahan kekuasaan politik tidak dapat dilepaskan dari peran para kaum muda.

Presiden Amerika Serikat ke-18, Hiram Ulysses Simpsom Grant, mengungkapkan:
“Revolusi adalah hak yang otomatis ada dalam setiap manusia dan masyarakat.  Jika rakyat ditindas oleh pemerintahnya, maka merupakan suatu hal yang sangat alamiah jka mereka berusaha membebaskan diri, dengan tidak menggubris, atau jika kuat, dengan menjungkirkan pemerintahan penindas dan menggantinya dengan pemerintahan baru”.

Mari kita renungkan semangat berkorban yang dinyalakan oleh Soekarno lewat pidato pembelaannya Indonesia Menggugat:
“Memang tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu Indonesia, adalah mengharap dari semua putera-putera dan puteri-puterinya pengabdian yang demikian itu, penyerahan jiwa-raga yang tiada batas, pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnyapun kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang ikhlas. Putera-putera dan puteri-puteri Indonesia haruslah merasa sayang, bahwa mereka untuk pengabdian ini, masing-masing hanya bisa menyerahkan satu badan saja, satu roh saja, satu nyawa saja, –dan tidak lebih.”

~ Revolusi adalah mencipta! ~ begitulah kata Tan Malaka. Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru. Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.

Akhir dari sebuah “orde” adalah kegagalan dan menggantinya adalah sebuah kebijaksanaan. Nyatanya orde reformasi telah berakhir dengan lahirnya orde korupsi atau orde kleptokrasi. Orde dengan seribu cara untuk menarik upeti demi energi politik dua rebu empat belas, negeri yang telah menggadaikan hak rakyat dalam berdemokrasi dengan mencoblos hati calon pemimpin yang bermental keji. Orde reformasi sudah lama berakhir dengan menghilangkan harapan rakyat tentang kesejahteraan, keamanan dan rasa kebanggaan berbangsa bernegara, maka adalah hak rakyat untuk menjungkirkan pemerintahan penindas dan menggantinya dengan pemerintahan baru dan saatnya generasi mengganti.

~Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas bentengnya itu. janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.~ {Tan Malaka dalam Aksi Masa}

~ maka revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya, dalam ruang sunyi sang generasi terus mengaji ~

17 Komentar

  1. blabla berkata:

    mantaffffffffff…saatnya mencetak generasi……..

  2. raden ireng berkata:

    bentuk negara kelima,negara khalifatullah

  3. Usup Supriyadi berkata:

    duh, lagi-lagi saya (sebagai pemuda/generasi muda) terasa tercambuk semangatnya. namun benar sekali, “Namun, titik lemah mereka adalah menggalang revolusi tanpa pemimpin”

    sebaiknyalah sang revolusioner adalah dia yang berani merevolusi dan memimpin. sebaiknya kita tidak memperpanjang kata lagi, kang! bagaimana kalau kita adakan pertemuan saja? agar kata lebih terarah pada sepakat untuk “mufakat”? :mrgreen: *saya serius nih*

    —————
    Kopral Cepot : sebaiknya begituh :mrgreen:

  4. pututik berkata:

    semoga generasi yang akan datang lebih siap untuk menggantikan mereka yang sudah tidak amanah dan menjadi generasi pendobrak KKN di negeri ini merubah segala sesuatunya lebih efisien jujur dan adil

    ————-
    Kopral Cepot : Setubuh n salam kenal … hatur tararengkyu 😉

  5. majorprad berkata:

    Kata Tan Malaka, “Bergelap-gelaplah dalam terang, berterang-teranglah dalam gelap.”

    Menuju Revolusi Berkepemimpinan…

    ——————-
    Kopral Cepot : Salam hangat n hatur tararengkyu mas major 😉

  6. Haerul Mane berkata:

    Wahai Pemuda Indonesia Bersatulah!
    mari bangun negeri ini menjadi lebih baik, hancurkan mereka yang lelap dalam kekuasaan yang korup dan menghancurkan …

  7. diko berkata:

    jadi kapan mau dihidupkan nich…>>>???
    bukankah diam idientik dengan kematian.?
    jadi kapan n dimana nich…?

  8. konspirator berkata:

    Saatnya merevolusi praktek kotor, keji, menghalalkan segala cara termasuk membunuh tanpa kemanusiaan yang berdalih menegakan keadilan dan kebenaran. TOLAK fasisme yang kadang berkedok agama. Make a better world for you and for me…

  9. rosendi berkata:

    Inilah Negeri Kita Bung…

    Mau jadi “KESATRIA MUDA” atau jadi “PEMUDA PENJILAT PANTAT !!!”.

  10. Cara Dan Cara berkata:

    Ayooo… Tetap semangat Tuk Mengukir Prestasi.
    “Semoga Sukses Selalu”

  11. Republican Wasp berkata:

    Kesulitan terbesar dalam melakukan revolusi total terhadap suatu rezim adalah seringkali ada pihak-pihak yg berusaha memanfaatkan kekacauan dalam revolusi untuk kepentingannya sendiri. Belum kalau kemudian rezim pasca revolusi yg baru dibentuk tersebut harus memperbaiki aneka kerusakan yg sudah dibuat oleh rezim pendahulunya…

  12. topengireng berkata:

    muantap! setujuh banget!

  13. Rani fitriyani berkata:

    Wah bahaya tuh bagi genersi kaum muda seharus nya membela tetapi dia malah menghancurkannya?

    buat apa ada perjanjian sumpah pemuda kalau sumpah itu masih di langgar?

  14. Nuraeni berkata:

    kenapa generasi kaum anak muda sekarang seperti itu,,,

    harus cepat berubah tuch…
    ganti dengan generasi yang lebih baik.

Tinggalkan Komentar