Konferensi Ulama di Cipanas Bogor

Dalam menanggapi semakin meluasnya pengaruh S.M. Kartosoewirjo diakui sebagai Imam oleh Kahar Moezakkar dan Teungku Muhammad Daud Beureueh, Kabinet Ali Sastroamidjojo mengadakan upaya menandingi gelar S.M. Kartosoewirjo sebagai Imam umat Islam Indonesia oleh kelompok Darul Islam, dengan mengadakan Konferensi Ulama pada 3 – 6 maret 1954, Selasa Kliwon – Ahad Kliwon, 25 Jumadil Akhir – 1 Rajab 1373, di Cipanas Bogor Jawa Barat.

Konferensi diprakarsai oleh Menteri Agama KH. Masykur, yang dihadiri oleh para ulama yang amat berpengaruh dari hampir seluruh Propinsi kecuali Yogyakarta, diantaranya adalah: KH. Abdurrahman Marasabessy, Kailolo, Maluku, KH. Abdurrahman Ambo Dale, Pare-pare, Sulawesi Selatan, KH. Murtadha, Bali 4. KH. Saleh Waqi, Sumbawa, Nusa Tenggara, KH. Abdullah Sidiq, Kandangan, Kalimantan Selatan,  KH. Abdullah Marisi, Samarinda, Kalimantan Timur, KH. Basyuni Imran, Sambas, Kalimatan Selatan, KH. Daud Rusydi, Palembang, Sumatera Selatan, Syekh Ibrahim Musa, Bukittinggi, Sumatera Barat, Syekh Sulaiman Arrasuli, Bukittinggi, Sumatra Barat,  Syekh H. Maksum, Bukittinggi, Sumatra Barat, KH. Abdul Somad, Jambi, Syekh. KH. Abdul Halim, Tanjungpura, Riau, Syekh Mustofa Husin Purba, Tapanuli, Sumatra Utara,  KH. Thahir Abdullah, Tanjungbalai, Sumatra Utara, Syekh H. Hasan Kruengkale, Aceh, Syekh H. Muhammad Wali, Labuan Haji, Aceh, KH. Tubagus Ahmad Khatib (bekas Residen Banten yang tetap RI dengan membuat uang ORIDAB), KH. Abu Amar, Solo, Jawa Tengah,  KH. Zuber, Salatiga, Jawa Tengah, KH. Mahrus Ali, Kediri, Jawa Timur, KH. Mukhtar Siddiq, Jakarta,  KH. M. Yasin, Jakarta, dan KH.A. Baqir Marzuqi, Jakarta (yang ikut dalam Konferensi Lembang 7-9 Oktober 1958 atas nama KMKB Jakarta).

Latar belakang diadakannya “Konferensi Ulama di Cipanas”  itu berhubung adanya Stntemen PERTI yang mempersoalkan kewenangan Menteri Agama dalam pengangkatan Wali Hakim sebagai yang ditetapkan melalui Konferensi Ulama / DEPAG di Tugu pada bulan Mei 1952. Konferensi Tugu menelorkan Peraturan Menteri Agama No. 4/1952 yang menunjuk Kepala-kepala Kantor Agama Kabupaten diberi kuasa untuk menunjuk para penghulu bawahannya (di Kecamatan) sebagai Wali Hakim.

Menurut Statmen PERTI, Menteri Agama tidak menyinggung kedudukan para Wali Hakim yang berlaku di luar Jawa khususnya di Sumatera Barat. Sebagai diketahui sejak berabad-abad telah berlaku lembaga Wali Hakim yang diangkat oleh permufakatan ninik mamak pemangku adat yang menurut hukum fiqih sebagai ahlul halli wal’aqdi (ahli memecahkan dan menetapkan perkara yang berlaku buat masyarakat Islam) di tanah Minangkabau.

Berhubung dengan hal tersebut di atas, Konferensi Cipanas menyempurnakan perkara-perkara yang pernah diputuskan dalam Konferensi Tugu ialah : Bahwa terhadap qadi-qadi nikah yang d ipilih oleh ahlul halli wal ‘aqdi (seperti halnya yang telah berlaku, di Sumatera Barat) maka Kepala-Kepala Kantor Agama Kabupaten dapat mengesahkan kedudukan para qadi tersebut selaku petugas Nikah Talak Rujuk (NTR) dan sekaligus melakukan tugas Wali Hakim.

Dalam ketentuan Hukum Syara’ Agama Islam ditetapkan, apabila seorang wanita tidak mempunyai wali nasab (ayah kandung, saudara kandung, saudara seayah dan paman dari pihak ayah maka nikahnya dapat dilangsungkan oleh “Wali Hakim”. Dalam arti tidak mempunyai wali termasuk juga apabila wali nasabnya berada di tempat jauh pada jarak yang membolehkan shalat qasar/jamak, atau sedang menjalani hukuman, atau menolak (tidak mau menikahkan) maka nikahnya wanita tersebut dapat dilangsungkan oleh Wali Hakim yang diangkat atau ditunjuk oleh raja atau sultan yang sedang berkuasa atau sedang memerintah (dzu syaukah).

Dalam konteksnya dengan Republik Indonesia yang tidak mempunyai raja atau sultan, tetapi Presiden Republik, maka kedudukan Presiden mempunyai kekuatan hukum seperti sultan dalam Hadits Nabi Besar Muhammad SAW. Meskipun syarat-syarat sultan menurut pengertian Syara’ belum sepenuhnya terpenuhi pada Presiden Republik Indonesia (misalnya belum memperoleh bai’at dari rakyat karena belum dipilih melalui pemilihan umum), tetapi tidak dapat dibantah bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Dzu Syaukah, yang mempunyai kekuasaan. Berhubung dengan itu dan agar memenuhi ketentuan dalam hukum Fiqih, maka Konferensi Cipanas menetapkan Presiden Republik Indonesia selaku Waliyy al Amri (Pemegang Pemerintahan), adl Dlaruri bi Asy Syaukah (dalam keadan daruri, belum dipilih rakyat), Bi asy syaukah (yang memegang kekuasaan). Semula ada dua pendapat mengenai bi asy syaukah dan Dzu syaukah yang menurut pengertian Fiqih digunakan untuk sulthaanun kaafirun, raja yang kafir. Buat yang beragama Islam lazimnya dipergunakan rumusan bi asy syaukah.

Pemberian gelar kepada Presiden Soekarno di atas, sebenarnya berangkat dari tinjauan politik. Tidak heran bila menimbulkan sikap pro dan kontra dari kalangan politisi dan Ulama, pimpinan Masjumi, Persatuan Islam, PSII dan Muhammadiyah.

Secara politik, kebijakan mengimbangi tindakan lawan politik dengan cara yang sama tetapi beda, adalah memang karakter politisi. Kalau S.M. Kartosoewirjo diangkat sebagai Imam Negara Islam Indonesia, bagaimana kedudukan Presiden Soekarno dengan mayoritas rakyatnya adalah umat Islam Indonesia?? Sementara Boeng Karno sebagai Presiden Republik Indonesia yang bukan negara Islam.

Dengan mempertimbangkan kepentingan politik itu, para Ulama secara politik mencarikan sebutan gelar kedudukan yang bersifat sementara. Dengan tujuan mengimbangi Imam Negara Islam Indonesia yang dinilai juga bersifat sementara keberadaanya, untuk Presiden Soekarno dipilihlah bukan gelar Khalifah, bukan Sultan, melainkan Wali Al Amri Dharuri bi Al Syaukah.

Sumber referensi :

  1. Sejarah MUI Jawa Barat
  2. Api Sejarah Jilid 2, AMS, Salamadani Bandung 2010

5 Komentar

  1. 'nBASIS berkata:

    Selain banyak beroleh gelar Dr (HC) antara lain dari Muhammadiyah, mungkin yang paling penting bagi Bung Karno ialah gelar Waliyy al Amri adl Dlaruri bi Asy Syaukah Bi asy syaukah. Hebat dia. Ha ha

  2. Padly berkata:

    Pemberian gelar itu (Wali Al Amri Dharuri bi Al Syaukah) kpd Soekarno atas prakarsa para ulama cipanas apa para ulama di paksa Soekarno Kopral? Sepertinya Aku kurang percaya dgn seorang Soekarno ini. Seperti sewaktu dia membohongi Daud Beureueh.

    1. Aulia berkata:

      menarik nih, buktinya Tgk H Krueng Kalee sering tdk sepaham dgn Soekarno, malah beliau Aceh bisa merdeka pada waktu. Tapi sayang Abu Beureueh harus menunggu janji Soekarno 😦

  3. indra berkata:

    Izin copy ya gan….!!!!

  4. Aulia berkata:

    wah saya menemukan tulisan ini juga, bahwa sebelumnya saya cuma tahu Tgk H Krueng Kalee dan Muda Waly memang hanya mereka berdua yg ikut dalam pertemuan ini dgn cerita yg sungguh panjang dalam forum tersebut 🙂

Tinggalkan Komentar