Ideologi Negara Versus Ideologi Rakyat

Sejatinya tidak ada dikotomi antara ideologi negara dengan ideologi rakyat , karena negara adalah rakyat dan rakyat adalah negara. Ideologi adalah “Cita-cita Moral Bangsa” yang mengkonstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi moral bagi bangsa tersebut untuk tercapainya cita-cita yang diinginkan bersama.

Dalam pidato presiden SBY pada PADA ACARA MEMPERINGATI PIDATO BUNG KARNO 1 JUNI 1945 GEDUNG MPR/DPR/DPD RI, JAKARTA, Beliau menegaskan bahwa “Dan tidak sepatutnya kita memperdebatkan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara ini penting. Karena MPR RI pada tahun 1998 melalui Ketetapan MPR No.18 MPR 1998, maka Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara. Saya kira mari kita patrikan dan kita hentikan debat tentang Pancasila sebagai Dasar Negara karena itu kontra produktif dan juga ahistoris”. Sebuah pernyataan yang mempertegas bahwa Pancasila sebagai ideologi negara adalah final alias harga mati. Eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara sejatinya sudah final. Perdebatan-perdebatan yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan Piagam Jakarta, sudah ditutup saat amandemen UUD 1945 tahun 2002.

Finalisasi ideologi Pancasila bukanlah hal yang baru. Pada 1980-an, ideologi yang majemuk (Islam, Nasionalis, Sosialis)  ditunggalkan oleh Soeharto. Partai-partai politik yang direintegrasi ke dalam tiga wadah  (PPP, PDI dan Golkar) hanya boleh berideologi tunggal, yakni Pancasila. Begitu juga dengan organisasi masyarakat (ormas) semua wajib mengakui azas tunggal Pancasila. Pemerintahan Orde baru secara otoriter memaksakan ketunggalan antara ideologi negara dengan ideologi rakyatnya.

Agaknya penunggalan Pancasila sebagai dasar negara di era orde baru memiliki pengalaman “traumatic” bagi bangsa Indonesia. Pak Harto menghela bangsa Indonesia keluar dari kepengapan sistem “orde lama” menuju sistem “orde baru” yang menjanjikan perbaikan.

Seperti teori bandul jam, Pak Harto mengembalikan penyimpangan orde lama dengan jargon kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Penyimpangan orde lama di koreksi, partai politik disederhanakan, pembangunan ekonomi di kedepankan, semuanya dengan jargon kembali kepada Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Akan tetapi karena kuatnya sosok Suharto, Panca Sila juga berada dalam genggaman kekuasaan Suharto.

Tidak ada dialog yang berarti, yang ada adalah sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden. Panca Sila di satu sisi dijadikan peneguh kekuasaan, di sisi lain dijadikan senjata pemukul kepada lawan politik. Panca Sila disakralkan, penafsirannya dibuat sendiri oleh Pak Harto menjadi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila), ditatarkan kepada seluruh aparat dengan sangat sistemik, dijadikan kurikulum di sekolah dengan nama PMP (pendidikanMoral Panca Sila). Saking kuatnya bandul semangat kembali kepada Panca Sila hingga “ndladrah” ke mana-mana, sehingga ada istilah perburuhan Panca Sila, demokrasi Panca Sila, sepakbola Panca Sila, arbitrase Panca Sila dsb, pokoknya semuanya serba Panca Sila..

Dengan Panca Sila seperti itu Pak Harto bisa mengendalikan aparat negara hingga ke desa-desa, merekayasa demokrasi sedemikian rupa hingga negeri ini seperti sangat stabil dan seperti mau tinggal landas. Pak Harto adalah satu-satunya “mata-hari” di negeri ini. Setelah 32 tahun berkuasa, ketika secara alamiah matahari itu redup maka gelaplah republik ini, redup pula wibawa Panca Sila dan UUD 45, dan perilaku masyarakat selama era reformasi persis seperti perilaku orang banyak dalam kegelapan. Anarki berlangsung dari jalanan hingga Senayan. (sumber)

Pasca reformasi 1998, kemajemukan ideologi mendapatkan kembali ranahnya sebagai identitas partai, baik yang lama maupun yang baru didirikan. Tiap aliran, secara internal, melahirkan varian-varian ideologinya. Namun, apa hendak dikata bila hal itu tidak berkelanjutan menjadi wacana sebagaimana pada era 1950-an. Peluang kemajemukan ideologi diekspresikan dalam bentuk pseudo-ideologi; ‘ideologi bayangan atau tak jelas’.

Krisis identitas dan tak memiliki ideologi. Itu gambaran umum partai-partai politik di Indonesia dewasa ini. Krisis identitas dan tak adanya ideologi ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk gontok-gontokan dan bagi-bagi kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana membenahi persoalan-persoalan bangsa.

Seruan presiden SBY untuk menjadikan “Pancasila sebagai living ideology, sebagai working ideology, yang antisipatif, yang adaptif, dan yang responsif. Pancasila tentu tidak patut kita perlakukan sebagai dogma yang kaku, apalagi kita keramatkan, karena justru menghalang-halangi Pancasila untuk merespon berbagai tantangan jaman, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat dunia“. Pernyataan terakhir pak SBY ini belum memberikan kejelasan atas finalisasi Pancasila sebagai dasar negara.

Terdapat pemahaman yang berbeda-beda atas tafsir otentik Pancasila. Selain pemahaman Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila 22 Juni 1945, dan Pancasila 18 Agustus 1945, bahkan ada juga yang menganggap bahwa Pancasila itu hanyalah deretan kata-kata dalam sila-sila Pancasila yang makna dan penafsirannya bebas diterjemahkan menurut selera masing-masing.

Apakah betul negara a.k.a pemerintahan sekarang telah dengan betul dan benar “mentafsirkan” Pancasila pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara ?? Fakta telah menyuguhkan bahwa keadaan bangsa Indonesia dalam titik  “collapsed state” yang ditandai antara lain: kegagalan negara menyediakan public goods terutama di luar Jawa. Banyak sekolah seperti kandang sapi, tidak ada jalan raya—kalau ada berlubang-lubang, rumah sakit jauh dari masyarakat miskin pedesaan, air bersih sulit dipenuhi, minyak tanah susah dicari, dan sebagainya. Collapsed state juga ditandai dengan gagalnya negara menegakkan supremasi hukum. Mafia hukum justru merajalela sehingga hukum hanya berlaku bagi koruptor pinggiran, bukan pada koruptor kelas kakap. Semua itu memperlihatkan sikap bangsa yang tidak menghayati nilai-nilai Pancasila. Sikap ini juga tampak pada instrumen regulasi dan kebijakan politik yang bisa memicu disintegrasi bangsa. (sumber)

Dari Ideologi ke Idea (Gagasan)

Ideologi adalah sekumpulan ide yang merefleksikan kebutuhan sosial dan aspirasi seseorang, kelompok, golongan, maupun kebudayaan. Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan, konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan.

Mencuplik Quote “Orang muda menjadi menarik itu ketika membawa ide baru, gagasan baru, inspirasi baru dan membawa perubahan yang sifatnya positif” , yang disampaikan Bung Anies Baswedan dalam “Sang Pendobrak” pantasnya memberikan sebuah keberanian bagi kaum muda untuk mengali ide-ide baru, gagasan-gagasan baru dan ispirasi-inspirasi baru. Idea-idea yang lahir dari berpikir outside the box.

Finalisasi Ideologi oleh generasi tua yang menuduh ahistoris, jangan sampai memenjarakan kaum muda untuk menatap masa depannya bagi kejayaan bangsa dengan gagasan-gagasan baru yang segar dan cerdas. Bila Soekarno muda mampu melahirkan gagasan pancasila di eranya, maka karno-karno muda hari ini tidak boleh dipasung untuk menemukan “pancasila-pancasila baru” karena abad 21 adalah abad kami bukan abad mereka. MAKA BIARKANLAH ANAK NEGERI MEMILIH IDEA NYA SENDIRI karena sekarang ini abad milik kami.

Semangat always dan salam revolusi cerdas 😉

16 Komentar

  1. Usup Supriyadi berkata:

    MAKA BIARKANLAH ANAK NEGERI MEMILIH IDEA NYA SENDIRI karena sekarang ini abad milik kami.

    😉

    horay ngeberanyai…. themenya sarua euy… 😆

  2. Allien99 berkata:

    keren uy, tampilannya ganti uy. pokoknya mah mari kiya bahas ulang ideologi bangsa ini karena yang dulu udah usang dan karatan.. 🙂

  3. majorprad berkata:

    Tampilannya bagus kang… lebih jernih membacanya. Sejernih revolusi cerdas serba sejarah.

  4. PakOsu berkata:

    Salam kenal kang. Salam

  5. Ruang Hati Blog berkata:

    sangar nih themes nya cool naget . i like it

    jadi ingat belajar ketatanegaraan dulu 😀

  6. Tary Sonora berkata:

    wahhh serasa belajar PPKN waktu SMA pak postingannya mantep.

  7. Padly berkata:

    Pancasila adalah ideologi yang dipaksakan oleh para pemimpin negeri ini. Mereka selalu saja mengembor2kan PANCASILA, padahal mereka (orang2 yang menamakan dirinya Pemimpin) sendiri mengingkarinya. contoh paling kentara “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA” Sementara penggusuran terus terjadi. Terus “PERSATUAN INDONESIA, coba kita lihat… Etnis Tionghoa lebih senang menyekolahkan anaknya disekolah golongan mereka sendiri, Sebagian Etnis Arab juga begitu. Sementara anak2 pribumi kebanyakan sekolah di sekolah yang mungkin tidak layak disebut sekolahan. Where’s the union?

  8. intan berkata:

    ini abad saya juga..
    saya ingin ketenangan

  9. Delia berkata:

    Jadi ingat pelajaran PPKN..
    ideologi tidak bisa dipaksakan..
    dan benar kopral… ini saatnya kita untuk memilih 🙂

  10. sedjatee berkata:

    semoga tak ada pemaksaan lagi
    bahwa semuanya harus bernama pancasila
    cukuplah pemaksaan itu nmenjadi masa lalu
    pancasila boleh eksis, tapi bukan segalanya
    salam sukses.

    sedj

  11. wardoyo berkata:

    Tidak banyak generasi sekarang yang tekun dan handal untuk melahirkan ideologi baru. Cara termudah adalah mengambil ideologi yang sudah ada dan mengisinya dengan nilai-nilai yang baru.
    Salam generasi baru.

  12. egp berkata:

    mantap kang kopral…

    leres pisan
    ayeuna teh taun urang……
    taun munculnya new-better-visioned “soekarno”

    ide soekarno bisa usang tidak kekal sepanjang jaman…
    ide-ide yang Menciptakan soekarno-lah yang kekal abadi sepanjang jaman

    nuhun ah mencerahkan pisan…….!!!!!
    permios ah bade lumpat deui… 😀

  13. nbasis berkata:

    pokok persoalan bangsa (dinamis) yang menjadi tugas ideologi ini di antaranya tentulah persepsi kebangsaan di antara warganya. identitas nasional ini tentu jangan yang sudah ditinggalkan di belakang, tentu hrs progresif. lalu, sistem sumber dan pola distribusinya. soal legitimasi kepemimpinan dan metode rekrutmennya juga termasuk, ya nggak boleh asal-asalan tanpa kejurdilan dan tanpa martabat. apa lagi? tambahin aja, yang penting ideologi tak boleh cuma sebagai alat pukul saat dialog antar warga meruncing ke pencarian sahih kemaslahatan.

  14. era bung karno menghasilkan pemilu yang merupakan paling jujur,adil transparan, langsung, umum, bebas, rahasia dan paling terbaik dibandingkan pemilu sesudahnya (katanya) padahal kondisi perpolitikan bisa berubah setiap saat ditambah rakyat masih miskin (perut lapar) yaitu pemilu 1955. era hm soeharto menunjukan keseriusanya dalam membenahi bangsa ini politik stabil rakyat merasakan kesejahteraanya (kelihatan dari permukaanya saja , bukan substansielnya). era gus dur mencoba menawarkan (banyak ditentang ) untuk menghidupkan kembali partai komunis indonesia bisa jadi dasar pemikiran human right beliau dari gus dur sebagai sosok pluralis yang semua mengakuinya. ada titik tangkap (istilah pengobatan) dari masing-masing penguasa untuk menuliskan jiwa sejarah atau roh sejarahnya. ideologi adalah jiwa adalah roh yang menggerakkan (seandainya badan) pergerakan. sebenarnya ideologi ialah sesuatu yang hidup dan bergerak dan bukan yang dogmatis. dari enam puluh enam tahun usia kemerdekaan ini menilik titik tangkap dari masing-masing penguasa dengan eranya mengejawantahkan persoalan kompleksitas negeri ini. menyitir ungkapan anwar ibrahim ” seandainya menjadi pemimpin negeri ini (indonesia) tidak mampu oleh karena wilayahnya yang sangat luas “. kalau direnungkan dengan hati – pikiran – jiwa yang bersih (kadang) ada benarnya. akan ada suatu sa’at nanti pemimpin yahg bisa menginterpretasikan idelogi negara ataupun idelogi rakyat , bisa kedua-duanya ya ideologi negara ya ideologi rakyat itu. jangan mau dikatakan pengikut golongan reaksioner, karena yang kita inginkan adalah menjadi pemimpin. DAN SA’AT INI MEMANG SEDANG DICARI – MEMBUTUHKAN SEORANG PEMIMPIN !!!! ( madura : jag ngok-ngokan tretan dhibiq doktertoeloes malang).

  15. SUCI WULANDARI berkata:

    Wanita bijak seperti angsa diatas air Anggun namun tetap bekerja Tetap tegar meski terluka

Tinggalkan Komentar