Kenapa Menggugat Boedi Oetomo ?

Pada tulisan sebelumnya kami telah mengupas tentang Kebangkitan Nasional dalam Kebangkitan Nasional atau Kebangkitan Elit Jawa, berikut kami ulas kembali seputar Boedi Oetomo dan kenapa Boedi Oetomo di gugat.
——————————————————————-
budi_utomo“Boedi Oetomo tetap merupakan organisasi kesukuan (Jawa), sehingga kurang tepat bila kelahirannya dianggap sebagai kebangkitan nasional Indonesia. Sebab kebangkitan nasional Indonesia sudah dimulai dua tahun sebelumnya melalui kelahiran organisasi Sarekat Priyayi dengan tokoh utamanya R.M. Tirtoadisuryo.” (Pramoedya Ananta Toer).

“BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” ( KH. Firdaus AN.)

“Memang Boedi Oetomo belum mempunyai ukuran nasional Indonesia. Akan tetapi bangun dan berdirinya Boedi Oetomo telah memicu perkembangan hebat dalam masyarakat bangsa Indonesia yang mempunyai sifat nasional. Terangsanglah para pemuda daerah untuk membentuk perkumpulannya seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon. Kemudian mereka sadari bahwa akan lebih bermanfaat kalau mereka bersatu menjadi Pemuda Indonesia. Untuk itu mereka dalam Kongres Nasional Pemuda di Solo pada tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan Sumpah Pemuda. Dalam sumpah itu mereka mengakui bahwa bertumpah darah satu, yaitu Tanah Indonesia, berbangsa satu, Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Makin nyata perjuangan bangsa Indonesia untuk memperbaiki nasibnya. Ini semua adalah akibat rangsangan yang bersumber pada berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Oleh sebab itu tepatlah untuk menetapkan tanggal itu sebagai Hari Kebangkitan Nasional”.(sayidiman.suryohadiprojo.com)

____________________________________________________________
Sejarah merupakah sebuah fenomena peradaban manusia yang unik, dengan adanya sejarah kita bisa menguak tabir masa lalu, namun sejarah juga bisa melahirkan kontroversi dan perdebatan panjang.

Pada dasarnya, sejarah merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang benar terjadi, bersifat mutlak. Namun, kemudian ia akan menjadi relatif bila dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang. Singkatnya, kejadian itu sendiri bersifat absolut, tapi setelah ditangkap dan sampai pada manusia kejadian itu kemudian menjadi relatif. Dengan demikian, kebenaran sejarah merupakan kebenaran relatif. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam perdebatan dan kontroversi. Sejarah konvensional yang menjadi pegangan umum harus rela untuk direkonstruksi begitu ditemukan bukti baru. Maka tidak heran hingga detik ini telah muncul banyak versi sejarah. Sejarah bukanlah fenomena yang hanya mengakui hitam-putih, panjang-pendek, banyak warna dan ukuran yang menghiasinya. Namun, selama tidak mengandung bias dan tidak untuk kepentingan kekuasaan, versi-versi sejarah tetap memberikan nilai yang berarti.

Namun pada galibnya, Sejarah dijadikan doktrinasi dalam legitimasi politik pemerintah, yang mengakitbatkan penyelewengan fakta. Sejarah menjadi milik penguasa, dinasti atau orde yang berkuasa.

Apa itu Boedi Oetomo ?
“Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya.

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa “kaum tua”-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Adapun perintis organisasi yang menjadi tempat perkumpulan orang-orang Jawa ini, menurut sejarawan M.C. Ricklefs (1994), adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917). Ia adalah seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan Stovia). Ia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadomilah (Ratna yang berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk pembaca kalangan priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan status mereka. Selain berpendidikan Barat, Wahidin adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat. Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha dan rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda.

Dalam kongres pertama Budi Utomo pada bulan Juli 1908 di Yogyakarta, usulan Cipto Mangunkusumo dan Dr. Rajiman Wedyodinigrat agar Budi Utomo dijadikan partai politik dengan beranggotakan masyarakat banyak yang bukan priyayi, ditolak oleh kongres. Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan “priayi” atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Seperti kita ketahui kemudian, pergerakan Budi Utomo memang sengaja menjauhkan diri – di bawah tekanan penjajah – dari aktifitas politik yang dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan kolonial di Hindia. Meski kemudian pada tahun 1909 anggota Budi Utomo mencapai 10.000 orang, Cipto Mangunkusumo mengundurkan diri, disusul sebagian tokoh Sunda yang tidak puas dan mendirikan Paguyuban Pasundan di tahun 1913. Pertanyaannya kemudian, apakah layak sebuah pergerakan yang notabene hanya kamuflase dari suatu strategi kolonial dijadikan momentum untuk spirit yang bernama “kebangkitan nasional?”

Mula Hari Kebangkitan Nasional
“Ya, hati saya juga melankolik dalam rangka peringatan 100 tahun ini. Sesungguhnya ada yang perlu kita garisbawahi. Kita itu melaksanakan peringatan baru 60 kali”, Kata Sejarawan Rushdy Hussein, lebih lanjut Pak Rushdy menceritakan latar belakang peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati pertama pada 20 Mei 1948.

Jadi pada saat itu ada eksponen para elite Indoneisa awal, adalah Ki Hadjar Dewantoro, pendiri Indische Partij dan satu lagi adalah dokter Radjiman. Keduanya itu menghadapi menteri PDK Mr. Ali Sastroamidjojo, membicarakan keterpurukan republik pada tahun 1948. Dan rupa-rupanya hal itu dibawa kepada Bung Karno dan Perdana Menteri Hatta. Lalu mereka mencari acuan supaya bangsa ini bisa termotivasi, mau menyatukan pikiran. Karena republik pada tahun 1948 di pinggir jurang. Seperti telor di ujung tanduk. Dan memang dalam proses kita akan ditiadakan oleh Belanda yang sudah bekerjasama dengan negara-negara bagian, tentunya ya. Kemudian dicarilah dan disepakati bahwa peristiwa lahirnya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 diangkat sebagai hari kebangunan nasional. Dan proses selanjutnya adalah membentuk panitia, ketuanya adalah Ki Hadjar sendiri dan anggotanya semua partai politik. Dengan harapan partai politik yang lagi bertengkar ini di dalam wadah itu bisa memiliki kesatuan pendapat melawan Belanda.

Misalnya wakil Ki Hadjar adalah Tjoegito, PKI, kemudian dari Masyumi juga, dari PNI, alhasil acara itu diselenggarakan tingkat nasional dan internasional. Di Surakarta itu ada satu monumen, namanya Patung Lilin, Persatuan Partai Politik Indonesia. Kumpulan partai-partai politik. Tugu Lilin itu pada tahun 1933 dilarang oleh Belanda. Nah, tahun 1948 ini menarik, ketika kita dalam situasi yang mencekam, di Solo itu banyak pasukan Hijrah, Siliwangi dan sedikit banyak terjadi konflik juga dengan pasukan yang ada di sana. Itu bisa mengadakan satu pawai bersama. Mengadakan acara-acara pertandingan- pertandingan, ziarah ke makam-makan. Alhasil 20 Mei tahun 1948 itu ada citra barulah, pemikiran-pemikiran baru.

Nah, yang perlu dipertanyakan adalah kenapa Boedi Oetomo. Yang menarik adalah ketika resepsi malam hari, Bung Karno berpidato yang namanya satu machtspolitiek, bagaimana kita menghidupkan semangat politik golongan rakyat untuk melawan Belanda.

Machtspolitiek atau Politik kekuasaan dan tentu bagaimana persatuan. Persatuan kesatuan ini menjadi begitu penting pada saat itu ya. Karena kita tidak memiliki apa-apa kecuali persatuan. Tapi dia menggarisbawahi, andaikata bisa diselenggarakan peringatan kebangkitan nasional ini pada tahun-tahun mendatang, cobalah dievaluasi setiap 10 tahun. Maksudnya tentu, apakah benar mengambil angka 20 Mei itu, artinya lahirnya Boedi Oetomo itu tepat. Itu yang dia mau bicarakan. Dan rupa-rupanya kita lupa, sampai hari ini tetap saja secara tradisional menggunakan istilah itu kan lahirnya Boedi Oetomo. Ini menimbulkan polemik sekarang-sekarang ini. (sejarahkita.blogspot.com)

Kritik Sejarah Atas Berdirinya Boedi Oetomo

Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia tahun 1985, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal. Ini karena adanya disharmoni antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa. Dalam konteks ini, Schrerer mengungkapkan bahwa priyayi-priyayi Jawa, terutama priyayi birokratis menerima pejabat-pejabat kesehatan dengan rasa permusuhan. Achmad Jayadiningrat, regent Serang mengungkapkan, “…dokter-dokter itu diperlakukan seolah-olah mereka adalah mantri irigasi…” Ia juga mengakui betapa buruknya ia memperlakukan seorang dokter yang datang ke rumahnya untuk menolong istrinya yang sedang sakit (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran priyayi nasionalis jawa abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985 hlm 46).

Atas hal itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibanding priyayi birokratis. “…Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri,” demikian Gunawan Mangunkusumo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo (Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Sinar Harapan, 1984 hlm 22). Dalam konteks yang sama, Scherer mengungkapkan bahwa aspirasi utama perjuangan Boedi Oetomo ialah keserasian di kalangan masyarakat Jawa (Scherer, op.cit. hlm 53). Sewaktu Soewarno diangkat menjadi sekretaris Boedi Oetomo cabang Batavia yang mewakili mahasiswa STOVIA, ia mengeluarkan edaran yang menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya Boedi Oetomo. Edaran itu mengemukakan bahwa Boedi Oetomo akan menjadi perintis terciptanya Persatuan Jawa Umum (Algemeene Javaansche Bond).(cidesonline.org)

Selain itu, Firdaus AN memaparkan bahwa dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri” papar KH. Firdaus AN. Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.

Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938). Bukan itu saja, dibelakang kelompok Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr Th Stevens) – sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.

Berbeda dengan Boedi Oetomo yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura, dan hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura, Sarekat Islam lebih menasional. Keanggotaan Sarekat Islam terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh hingga kepelosok-pelosok desa.

Tahun 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Sedang Boedi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.

Adanya faktor Islam inilah yang membuat Sarekat Islam lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat. Salah satu misi pembentukan Sarekat Islam, seperti dirumuskan oleh Tirtoadisuryo ialah:

“Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggap zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karena itu, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3JS, 1982. Hal 116)

Berdasarkan alasan tersebut, tampak adanya sikap kepeloporan perubahan dan perbaikan bagi seluruh warga negara yang lebih merakyat yang didorong atas keyakinan Islam. Cakupan kegiatan Sarekat Islam yang meliputi seluruh rakyat Indonesia juga tampak dalam tujuan organisasi tersebut yang termaktub dalam anggaran dasarnya: “Akan berikhtiar, supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara, dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalain kaum muslimin, dan lagi dengan segala upaya yang halal dan tidak menyalahi wet-wet negeri (Surakarta) dan wet-wet Gourvernement, …berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesarannya negeri”.

Organisasi ini berkembang dengan cepat di daerah-daerah lain di Jawa, bahkan organisasi ini menyebar juga ke luar Jawa, seperti di Sumatera Selatan. Tapi keberadaannya dirasakan kurang nyaman oleh penguasa Keresidenan Surakarta, terutama karena adanya tuduhan, bahwa keberadaan Sarekat Islam menimbulkan konflik dengan pedagang-pedagang Cina. Akhirnya Residen Solo membekukan Sarekat Islam. Kemudian pembekuan tadi dicabut kembali dengan syarat adanya perubahan anggaran dasar, sehingga ia hanya terbatas pada daerah Surakarta saja. Namun demikian, sekalipun bersifat lokal secara administratif, tetapi cabang-cabang SI tetap berkembang dengan anggaran dasar masing-masing.

Jelas tampak adanya perbedaan mendasar antara Boedi Oetomo yang hanya berjuang untuk kelompok kecil priyayi di Jawa dengan Sarekat Islam yang berjuang untuk seluruh rakyat. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan, tampak pula bahwa SI sesungguhnya merupakan pelopor yang sebenarnya dari sebuah kebangkitan yang bersifat nasional. (eramuslim.com/Rizki Ridyasmara)

Sejarah memang adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality). Sebagai realitas tangan kedua, sejarah sangat tergantung siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis.

Dari berbagai sumber.
Sumber buku : Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, Ombak, 2007, hal 21-27

12 Komentar

  1. Mahendra berkata:

    orang yang miskin akan karya…, justru kaya akan sanggahan dan gugatan tehadap karya orang lain…

    ——————————————
    Kopral Cepot : Maka marilah kita berkarya meski karya yang lahir dari orang-orang miskin dan bersiap-siaplah untuk menerima gugatan….. 😀

    1. Ade berkata:

      memangnya karya orang priyayi dan kejawen itu apa?, gak pernah pun kutengok dia memberontak ke belanda. Bodoh.

      1. ariefwm berkata:

        Cuba kau sebutkan nama – nama yang berontak kepada Belanda ditanah Jawa…atau sebutkan para tokoh pergerakan

        1. Asfar ibn daiman berkata:

          pernah dengar nama pangeran diponegoro? juga sultan agung?

  2. chansky berkata:

    boedi oetomo=nasionalis indonesia=freemason=yahudi

  3. Usup Supriyadi berkata:

    barusan dari eramuslim.com

    Setiap 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan ini mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada 20 Mei 1908. Anehnya, kedekatan BO dengan organisasi Freemason tak pernah diungkap sejarah. Ada apa?

    Oleh Artawijaya*

    Het Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908.

    Tahun berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional.

    Gerakan ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti hukum Islam menjadi hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi oleh para sekularis. Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan Freemason yang sangat anti dengan syariat Islam.

    Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan,”perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa “cita-cita Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.”Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.

    Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa sansakerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama” yang berarti tingkat kebajikan utama.

    Jadi, BO bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.

    Boedi Oetomo adalah organisasi yang kental dengan nilai-nilai kebatinan.Para aktivisnya mengaku ingin menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan pendidikan Barat. BO ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur.

    Ki Wiropoestoko, anggota BO Surakarta mengatakan, “Berdirinya Boedi Oetomo semata-mata merupakan hasil elit Jawa yang telah memperoleh pendidikan barat.” Sementara sejarawan Robert van Niels, penulis bukunya Munculnya Elit Modern Indonesia menyebut BO sebagai organisasi yang mengikuti garis-garis barat. Ia juga menyebut BO dan Jong Java sebagai organisasi yang bersifat Theosofis dan agnostik.

    Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesoedo adalah anggota Theosofi,sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.

    Selain Theosofi, para ketua dan aktivis BO juga masuk sebagai anggota Freemason. Anehnya, tentang kedekatan organisasi ini dengan kelompok Theosofi dan Freemason tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.

    Penulis buku Api Sejarah, sejarawan Ahmad Mansur Suryangera menyebut BO sebagai organisasi yang lebih mencerminkan gerakan kejawen yang anti Islam, ketimbang organisasi yang mengusung nasionalisme.

    Sejarawan yang banyak mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sejarah di Indonesia ini juga menyebut BO sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan. Tapi sayang, dalam Api Sejarah Mansur Suryanegara tak mengungkap hubungan antara BO dengan organisasi Freemason di Hindia Belanda. Padahal, dokumen-dokumen sejarah yang mengungkap soal ini begitu banyak.

    Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa.

    Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama ”Budi Utomo” (Lihat, hal.XVIII dan hal.331)

    Raden Adipati Surjo sebagai anggota Freemason, berharap pemimpin muda dari gerakan nasional, seperti Boedi Oetomo dapat dicapai dengan asas-asas Masonik (doktrin-doktrin Freemason, pen). Tak heran, jika Freemason yang mempunyai hubungan erat dan BO, memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerak nasionalisme di negeri ini.

    Mereka menginginkan nasionalisme yang muncul adalah nasionalisme yang berlandaskan humanisme, suatu paham yang menjadi doktrin tertinggi Freemason.Paham humanisme menempatkan manusia sebagai makhluk ”superior” yang berhak dan bebas menentukan kehendak, termasuk membuat aturan hukum sendiri.

    Freemason atau dalam bahasa Belanda disebut Vrijmetselarij, pada masa lalu dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan ”Golongan Kemasonan”. Para Yahudi Belanda yang aktif dalam organisasi ini begitu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin Freemason terhadap elit-elit di Jawa, khususnya kalangan kraton.

    Buku Gedenkboek van de Vrijmetselaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidale (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya) memuat tulisan yang mengajak masyarakat Jawa memahami hakekat organisasi Freemason atau Kemasonan.

    Bahkan, pemimpin tertinggi Freemason di Hindia Belanda pada 1914-1917, Andre de La Porte, membuat sebuah artikel berjudul ”De Javaasche Beweging in het Teeken van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason).

    Kedekatan BO dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal BO didirikan. Kongres pertama BO yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin dilaksanakan di Loge milik Freemason.

    Namun, karena loge tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres BO yang rencananya diadakan di loge tersebut urung dilaksanakan. ”Adapoen roemah jang patut akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (bangunan loge Freemasonry, pen) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.”

    Kedekatan BO dengan organisasi Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya BO, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota BO berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis BO sebagai ”Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).

    Dalam pidato berjudul ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama, tujuan Theosofi, dan hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa.

    Labberton mampu membuat para anggota BO untuk tertarik masuk sebagai anggota organisasi kebatinan Yahudi tersebut. Labberton pada waktu itu adalah anggota Komisi Bacaan Rakyat (Volks Bibliotheek) yang mempengaruhi berdirnya BO. Labberton menyebut berdirinya BO sebagai ”kesadaran moral”.

    Mengapa acara ceramah umum (openbare) tersebut diadakan di loge Freemason? Karena antara Freemason dan Theosofi tak jauh beda. Pada masa lalu, anggota Freemason juga aktif di Theosofi, begitupun sebaliknya. Yang cukup mengejutkan, seolah sudah ada yang merencanakan, lokasi tempat diadakannya ceramah umum Labberton yang dulu bernama Vrijmetselarijweg (Jalan Freemasonry), saat ini berganti nama menjadi Jalan Budi Utomo.

    Selain Labberton, tokoh lain yang dekat dengan Boedi Oetomo adalah Godard Arend Hazeau, Penasihat Urusan Pribumi Pemerintah Hindia Belanda. Hazeau datang ke Indonesia dengan bekerja sebagai guru Willem III Grammar School dan asisten Snouck Hurgronye. Hal yang menjadi perhatian Hazeau adalah pendidikan yang netral atau bahkan bercorak Kristen untuk para murid Islam.

    Selain itu, Hazeau juga banyak memberikan masukan terhadap pemerintah kolonial terkait bagaimana pemerintah bersikap terhadap organisasi pergerakan nasional yang bercorak Islam, seperti Sarekat Islam, dan organisasi Islam lainnya yang dipandang fanatik dan ekstrem. Sikap berbeda ditunjukkan Hazeau terhadap Boedi Oetomo, yang banyak mendapat perhatian lebih, karena kesamaannya dalam memandang pergerakan Islam.

    Bukti lain mengenai kedekatan BO dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota Freemason.

    Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihadrjo, dalam Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”

    Penjelasan serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku ”Budi Utomo Cabang Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loge Mataram dijadikan tempat kongres BO kedua.

    Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan BO dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di sebuah loge milik Theosofi.

    Mereka yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktifis BO dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda.”

    Kedekatan BO dengan Freemason juga bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G van Wering pada 1979. ven Wering menulis tentang elit power atau intelektual dari kalangan priayai Jawa, yang kebanyakan aktifis BO, sekaligus anggota Freemason. Tulisan van Wering ini dikutip dalam buku buku biografi Dr Radjiman Wediodiningrat berjudul ”DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952.”

    Para Ketua BO Adalah Anggota Freemason

    Ketua BO yang sangat kental dengan pemikiran Freemason dan Theosofi adalah Radjiman Wediodiningrat. Radjiman menjadi ketua BO pada periode 1914-1915. Ia masuk menjadi anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan Theosofi.

    Radjiman adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari Freemason Hindia Belanda dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul ”Een Broderketen Volks (Persaudaraan Rakyat)” dalam buku ”Kenang-Kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917”.

    Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemasonry, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.

    Radjiman adalah seorang Mason yang menjadi salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

    Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara. Tokoh-tokoh Islam seperti M Natsir mengajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan tokoh-tokoh nasionalis-sekular mengajukan ideologi Pancasila.

    Para ketua BO lainnya juga adalah anggota Freemasonry, seperti R.A. Tirtokoesoemo, ketua BO pertama (1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar, Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua BO kedua tahun 1911-1914), dan R.M.A Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII (Ketua BO keempat tahun 1915-1916). RM Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry Loge Mataram Yogyakarta.Ketua BO selanjutnya, meski tak menjadi anggota Freemason, tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo (1916), dan R.M.A Woerjaningrat (1916-1921).

    Dalam perjalanan sejarahnya kemudian, BO makin terlihat tidak berpihak kepada umat Islam. Karena itu, masa-masa yang genting dari organisasi ini adalah ketika berhadapan dengan umat Islam yang merasa keberadaan dengan sikap BO yang selalu meminggirkan aspirasi umat Islam.Karena itu, di beberapa daerah yang menjadi basis umat Islam seperti Batavia, Boedi Oetomo sulit untuk mendapatkan pengaruh.

    Upaya untuk mengajak BO agar berpihak pada umat Islam bukan tak pernah dilakukan.Mohammad Tohir, seorang anggota organisasi ini bahkan pernah mengusulkan kepada BO untuk membantu masjid-masjid agar bisa meraih simpati umat Islam. Namun, usulan ini ditolak dan organisasi ini tetap pada pendiriannya yang “netral agama”. Usaha untuk menarik simpati umat Islam ini ditentang oleh Radjiman Wediodiningrat.

    Tokoh BO lainnya, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga begitu sinis dalam memandang Pan-Islamisme. Pada tahun 1928, Tjipto berkirim surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi H.Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktifis Islam yang disebut akan mengusung Pan-Islamisme itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk ke dalam PPKI, Tjipto mengatakan, cita-cita gerakan kebangsaan akan hancur.

    Menggugat Sejarah

    Sejarah memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Jika pada masa lalu, kelompok nasionalis-sekular yang berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung oleh elit-elit kolonial, berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam panggung sejarah di negeri ini, maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah yang penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap dengan tinta emas berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang sarat kepentingan.

    Jika BO didirikan pada 1908, maka jauh sebelum itu, pada 1905 sudah berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. SDI jelas mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing. SDI bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam kedaerahan yang sempit. SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (SI), meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu: Pertama, asas agama Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua, asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.

    Mengenai alasan menjadikan Islam sebagai asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para tokoh Sarekat Islam lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap langkah pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukan sikap kepada Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15)

    SDI yang kemudian menjadi SI lebih jelas mengedepankan kepentingan Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI jelas-jelas menolak segala pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak dilakukan oleh kelompok Boedi Oetomo. Karena itu, menjadikan BO sebagai organisasi yang melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah, bahkan bisa disebut sebagai “de-islamisasi” fakta sejarah.

    Usaha untuk menjadikan sejarah berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh umat Islam. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang, usulan itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.

    Kritik terhadap dijadikannya BO sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam. Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat.Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat.” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).

    Tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengungkap sejarah dengan fakta-fakta yang terang dan apa adanya. Fakta-fakta sejarah ini, mungkin pada masa lalu tertutup selubung kekuasaan yang mempunyai kepentingan untuk memutus mata rantai peran umat Islam dalam pentas nasional di negeri ini.

    Upaya memarginalkan peran umat Islam dalam kiprah pergerakan nasional berujung pada “de-islamisasi fakta sejarah”. Ironisnya, sampai hari ini umat Islam masih memahami sejarah dalam kaca mata buram penguasa!

    *Penulis buku “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” dan “Gerakan Theosofi di Indonesia”, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

    1. indra purnama berkata:

      lalu siapakah pembawa sdi yang sebenarnya dan siapakah penerus dari kh samanhudi

  4. coretansangfajar berkata:

    KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota BO begitu juga dengan SI, dan sejak itu KH.Ahmad Dahlan memberikan ceramah agama kepada anggota BO yang kebanyakan masih Islam abangan. BO juga ikut membantu berdirinya Organisasi Muhammadiyah. Karena pendirian organisasi yang jlimet harus dengan ijin Pemerintah Belanda. Muhammadiyah berhutang budi dengan BO

Tinggalkan Komentar