Benarkah Reformasi TNI Berhasil?

Atas dasar apa reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dinyatakan berhasil secara nyata? Layakkah TNI dan rakyat selamanya dinyatakan dan diposisikan dalam kemanunggalan? Akankah pembinaan teritorial dilanjutkan? Kiranya tiga pertanyaan tersebut layak dilontarkan untuk menanggapi sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam buka puasa bersama dan silaturahim di Markas Brigade Infanteri Lintas Udara 17 Kujang I/Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat, Jakarta, Selasa, 16 September 2008.

Di acara itu Presiden Yudhoyono mengatakan hasil reformasi TNI telah nyata terlihat, dan kemanunggalan prajurit dan rakyat serta pembinaan teritorial valid dan seharusnya dipelihara (Kompas, 17 September 2008). Untuk mengukur validitas perkataan SBY tentang keberhasilan reformasi TNI, kita perlu menilik ulang agenda reformasi TNI. Saat reformasi digaungkan pada 1998, rakyat menghendaki TNI dijauhkan dari bisnis dan politik praktis, menjadi lebih profesional, dan bertanggung jawab atas pelbagai kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya.

Pada prakteknya, TNI (ABRI) memang telah dikeluarkan dari parlemen dengan penghapusan Fraksi ABRI. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa sekarang kekuatan militer kembali mencengkeram politik nasional. Meski tidak secara institusional, mantan-mantan tentara mulai mengharu-biru politik Indonesia. Caranya dengan menyebar dan menelusup ke partai-partai politik lama atau membentuk partai politik baru sambil memperlihatkan ke masyarakat bahwa sipil kurang profesional dalam memimpin negara dengan bukti banyaknya kasus korupsi yang melibatkan orang-orang sipil.

Kesempatan TNI berselingkuh dengan dunia bisnis memang sudah mulai ditiadakan. Caranya dengan pembentukan Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. Tapi tak bisa dibantah bahwa upaya penghentian bisnis TNI terlalu lambat, sehingga potensi penggelapan aset yang seharusnya diambil alih sangatlah besar. Lagi pula pemerintah baru berupaya mengambil alih yayasan-yayasan milik TNI. Sedangkan bisnis ilegal TNI masih belum diperhatikan sama sekali.

Dilihat dari sisi profesionalisme, TNI sudah dimaklumi belum mampu menjalankan tugasnya secara maksimal dalam mempertahankan negara, tanah air, dan bangsa dari ancaman luar. TNI masih cenderung difokuskan untuk menghadapi ancaman dalam negeri. Sehingga bisa dibilang bahwa TNI tak lebih dari katak dalam tempurung.

Sejurus dengan itu, TNI sering terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Ironisnya, hingga saat ini belum ada satu pun kasus yang benar-benar terselesaikan secara memuaskan, baik itu kasus Aceh, Timor Timur, Talang Sari, maupun Tanjung Priok. Sebaliknya, impunitas justru yang ditampakkan.

Dilihat dari kenyataan belum sinkronnya agenda reformasi dengan kenyataan yang terjadi, reformasi TNI belum saatnya dinyatakan berhasil. Frase “kemanunggalan prajurit dan rakyat” juga perlu ditunda pembenarannya.

Kemanunggalan

Selama ini para pejabat tinggi TNI sering mengatakan bahwa TNI lahir dari rakyat. Karena itu, keduanya dinyatakan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling membutuhkan. Memang benar bahwa TNI muncul dari rakyat. Tapi tidaklah benar bila dikatakan bahwa keduanya senasib-sepenanggungan dalam satu kesatuan. Buktinya bisa dilihat pada cara TNI dalam merespons gejolak, dinamika, dan tuntutan yang datang dari rakyat.

Sejarah telah membuktikan bahwa TNI telah membantai rakyat Indonesia yang dicap sebagai anggota PKI, rakyat Aceh yang dianggap sebagai anggota GAM, rakyat Papua yang dituduh sebagai anggota OPM, rakyat Maluku yang diidentifikasi sebagai anggota RMS, dan rakyat Indonesia yang menjadi korban beragam tragedi, seperti tragedi Tanjung Priok, tragedi Timor Loro Sae, tragedi Kedung Ombo, tragedi Talang Sari, tragedi Nipah, tragedi 27 Juli 1996, tragedi Semanggi, dan tragedi Alas Tlogo.

Kekerasan yang dipilih TNI dalam menindak gejolak, dinamika, dan tuntutan rakyat tersebut menandakan adanya garis demarkasi yang tegas antara TNI dan rakyat. Kalaupun TNI dikatakan lahir dari rakyat, maka “TNI telah menjadi anak yang durhaka terhadap orang tuanya” (Pontoh, 2000: 45).

Pembinaan teritorial

TNI, yang notabene lahir dari rakyat namun tidak serta-merta membela rakyat, berusaha mendekati bahkan menguasai rakyat. Untuk itu, TNI menancapkan kukunya dari tingkat nasional hingga tingkat pedesaan. Dia ciptakan Komando Teritorial (Koter) berikut Pembinaan Teritorial, Kegiatan Teritorial, dan Operasi Teritorial, mulai dari markas besar sampai Babinsa untuk melanggengkan kedekatan, kekuasaan, dan kontrolnya atas rakyat.

Dilihat dari sisi pertahanan dan keamanan, reason d’etre Koter berikut pembinaan, kegiatan, dan operasinya kuranglah tepat. Bagaimana tidak? Koter dibentuk atas dasar inspirasi perang tradisional berbentuk gerilya. Seiring dengan transformasi perang menjadi asimetris dan tanpa batas, dan sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara maritim, sistem perang gerilya yang dimanifestasikan dalam bentuk Koter menjadi tidak relevan.

Lebih daripada itu, logika yang mendasari pembentukan Koter adalah antisipasi terhadap kemunculan ancaman dari dalam. Akibatnya, sebagaimana disebut di atas, TNI menjadi katak dalam tempurung yang hanya berani menghadapi rakyat sendiri, tapi tidak sanggup mengatasi musuh dari luar. Dengan keberadaan Koter yang kontraproduktif tersebut, pembiayaan negara pun mubazir. Atas dasar itu semua, seyogianya Koter ditiadakan, bukan malah dipelihara.

Penutup

Jika mencermati kenyataan-kenyataan di atas, niscaya Presiden Yudhoyono tidak akan mengatakan reformasi TNI telah berhasil, prajurit dan rakyat itu manunggal, dan pembinaan teritorial harus dipelihara. Namun, karena pemilu sudah di ambang pintu, kenyataan sering kali dikesampingkan, sementara segala upaya yang bisa mendatangkan dukungan besar akan dilakukan. Kalau pernyataan SBY tersebut ditujukan untuk menarik simpati tentara dalam pemilu mendatang, SBY harus ingat bahwa tujuan itu mudah dibaca oleh rakyat. Dan rakyat tidaklah mudah dibodohi. *

Zainul Ma’arif, Magister filsafat Universitas Indonesia, analis Institute for Defense, Security, and Peace Studie, Sumber Koran Tempo

7 Komentar

  1. Abdul Cholik berkata:

    1.Yang bergabung dengan parpol bukan anggota TNI tetapi purnawirawan.Mereka mempunyai hak sebagai warga negara biasa untuk ikut berpolitik dan itu sah-sah saja.Sayapun boleh donk ikut berpolitik kemana saja saya suka karena saya sudah pensiun.
    2.Dibeberapa pilkada calon dari purnawirawan juga ada yang kalah, ini membuktikan bahwa pensiunan juga legowo kalau kalah.Bahkan orang sipil yang kalah dalam pilkada malah ngamuk bersama pendukungnya.
    3.Reformasi berhasil secara bertahap karena kultur yang dibangun oleh orde lama cukup lama juga.
    4.TNI tidak seperti katak dalam tempurung, siapa yang bilang TNI takut perang dengan negara lain ?
    5.Koter bukan mengantisipasi ancaman dari dalam saja donk,siapa yang bilang.Koter antara lain bertugas menyiapkan ruang,alat dan kondisi juang bagi pertahanan negara.Untuk masalah ini sampeyan sebaiknya mempelajari lebih mendalam tentang Koter agar penulisan anda benar-benar bukan berdasarkan pengamatan kulit-kulitnya saja atau katanya-katanya.
    6.Kasus2 pelanggaran Ham kan sudah disidangkan, bahwa keputusan pengadilan itu dianggap tidak memuaskan itu adalah “hak hakim” yang memutuskan perkaranya.
    7.Apa yang anda sebut sebagai ” bisnis ilegal TNI ?”, silahkan dijelaskan.
    8. Terima kasih.

  2. coky berkata:

    Untuk Abdul kholik, ya ga gitu-gitu amat, cuma emang musti mawas diri pak. soalnya kan pak D alias pak Dirman alias Abdullah Lelana putra (sandi intelijen) ketika bergerilya, pernah mengatakan bahwa “politik tentara adalah politik negara” dan itu dicanangkan ketika pembentukan TENTARA NASIONAL INDONESIA, tidak seperti sejarah TNI yg sekarang dikembangkan. karena dari beberapa senior yg mengalami lahirnya TNI musti tau cerita ini.
    Beranjak dari pernyataan pak D tsb, mau tidak mau Tentara itu pasti berpolitik, cuma orang banyak tidak faham mengapa harus demikian, ya dalam sejarah memang yang mengangkat senjata melawan musuh adalah mereka yg berjiwa perang, pemberani dan ksatria. Sehingga dulu sipil militer adalah sama-sama duduk dan pembagian tugas untuk eksisnya republik ini.
    Hanya memang mungkin negeri ini manusianya lagi sakit, sebab banyak manusia indonesia yang sama sekali tidak mau menghargai apa yg sudah diperjuangkan para ksatsria dulu, tidak dapat dipungkiri bahwa yg melawan londo, jepang dll semuanya adalah ksatria angkat senjata, klewang, bedil,tombak ato bambu rungcing sekalipun yg akhirnya sekarang jadi TNI. itulah sekelumit masa lalu yg mungkin bagi orang cuma sekedar masa lalu.
    Kembali itu TNI adalah “wadah” bisa minus bisa juga plus tergantung mau diarahkan kemana, hanya pertanyaanya siapa yg mendrive arah itulah yg terjadi sekarang ini, jadi percuma ada reformasi atau apapun namanya, yang jelas dan pasti siapa yg bisa menggunakan wadah inilah yg sekarang atau dekade terakhir ini.
    Sehingga TNI sekarang menjadi gamang, bagaimana tidak sekarang sebagai contoh anggota TNI tidak memilih, alhasil nasibnya diserahkan pada orang lain. ini sesuatu yg sangat riskan terjadi bagi warga negara.
    Sehingga sinyalemen kopral cepot ga pas karena TNI itu sekarang sebagai “objek”, kalo dipertanyakan reformasi berhasil atau tidak ukuranya tentu bukan pernyataan ataupun sebaris kalimat, tetapi ukuran keberhasilan TNI adalah kondisi Republik itu sendiri, bagaimana kondisinya sekarang ?. Seperti juga dulu dicanangkan oleh para ksatria kita pak D.
    Banyak sekali parameter negara ini bolong, dari merauke sampai ke sabang kita berkutat persoalan dalam negeri, politik, kekuasaan, duit alias korupsi, miskin, dll banyak sekali. Sehingga kita saling cakar sendiri seperti dituduhkan oleh kopral cepot TNI adalah sang pembantai (HAM, bisnis, kekuasa an– semuanya negatif).
    Tapi adalah tidak adil dengan tidak memberikan ruang untuk tentara berkembang positif mempertahan negara, tidak diberikan kesempatan untuk arah yg positif, tetapi selalu didrive oleh pihak sipil kearah yang di inginkan . Oleh karena itu lebih baik kita berfikir positif saja tidak menjadikan sesuatu itu “objek” termasuk TNI, maka jadikanlah dia sebagai Subjek sehingga menjadi dewasa dan matang. Sehingga apapun bahasanya kita tidak ada yg lebih dari yang lain, yang ada kita sama-sama bangun tegak berdiri menatap kedepan.

  3. Abdul Cholik berkata:

    Jelas,politik tentara adalah politik negara,bukan politiknya partai politik.

  4. ucok berkata:

    sebaiknya penulis lebih dalam lagi belajar sejarahnya, khususnya sejarah militer (TNI) biar anda lebih arif dalam melihat suatu permasalahan. Dari awal berdirinya TNI sudah banyak golongan politik (parpol) pada saat itu yg menarik narik TNI untuk ikut kelompok mereka, untunglah ada pak Dirman cs yg mencoba bertahan agar tetap netral/berdiri ditempatnya. Akibat konflik politik yg merambah pula ke dalam militer, maka banyak jatuh korban, ditandai dengan banyaknya pemberontakan dalam negeri yg sangat menguras energi bangsda ini. Kalau sudah begitu maka yg paling repot dan harus menanggung resiko memadamkan kobaran api akibat konflik politik tersebut adalah TNI (tentara). Belajar dari pengalaman tersebut salahkan TNI apabila berupaya agar bangsa ini tidak terjerumus kembali kepada kubangan lumpur masa lalu? Kalau memang ada yg salah dgn cara yg diambil TNI mari sama2 kita rubah, cari yg terbaik untuk bangsa ini sesuai dgn perkembangan jaman, jangan lantas mengkambinghitamkan TNI. Lebih baik berbuat dan salah dari pada tidak sama sekali, seperti yg dikatakan pak Yani. Kalau memang cinta dan sayang kepada negeri ini/ NKRI mari kita berbuat sesuatu untuk negeri ini dan j a n g a n mengambil sesuatu milik bangsa ini secara tidak sah

  5. reskrim berkata:

    Semua hanya bisa ngomong, coba ngerasakan derita prajurit saya yakin kamu-kamu pasti nggak ngomong sembarang.

  6. RISDA NAINGGOLAN berkata:

    Struggle that you do today is the single way to build a better future

Tinggalkan Komentar