Negara Islam Tidak Haram

Oleh : Nirwansyah Putra Panjaitan (Dosen Filsafat Komunikasi FISIP UMSU)

Justru adalah hal aneh kalau dikatakan Islam sampai mengatur soal hal-hal paling pribadi seperti tata cara mandi wajib maupun istinja’,  namun alpa terhadap hal-hal besar seperti kekuasaan dan negara.

* * *

Baru kemarin, Ketua Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya, Mustafa Abdul Jalil, dalam pidato pertamanya sejak pindah ke Tripoli dari daerah kekuasaan NTC di Benghazi, menyatakan Libya baru akan berbasis hukum Islam. Terlepas dari peran North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang begitu kentara dalam melengserkan Moammar Khaddafi, Islam yang dipilih sebagai asas negara Libya baru itu seakan menahbiskan peran agama dalam abad millenium ini.

Abad ini sering disebut sebagai suatu masa di mana peran agama akan berada di persimpangan jalan; tersingkir atau malah menguat. Sejarah sudah mewartakan kalau agama punya peran yang luar biasa dalam suatu rentang perjalanan umat manusia di dunia. Bahkan, sejarah dunia sering digambarkan sebagai pertarungan antara agama –di mana nabi mengambil perannya–  dan kekuasaan tirani. Ibrahim dengan Namrudz, Musa dengan Fir’aun, hingga Isa dan Muhammad dengan tirani kekuasaan lokal.

Bukan tak ada pula peran nabi yang digambarkan sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi. Sulaiman, literatur Eropa menyebutnya dengan Solomon, adalah seorang yang berfungsi ganda, sebagai utusan Tuhan juga sebagai raja. Duduknya dua peran dalam satu orang itu, mesti dipahami sebagai salah satu argumen bahwa dalam sejarah agama dunia, terutama Islam, perbincangan mengenai Negara Agama bahkan sudah sampai pada tahap institusional bukan sekedar wacana yang tak ada ujungnya. Juga tak bisa diluputkan adalah, naiknya Sulaiman ke puncak kekuasaan itu telah dimulai dari pertarungan antara ayahnya, Daud, dengan tirani waktu itu. Hal ini memang berlainan dengan masa Ibrahim dan Musa, di mana berakhirnya konflik antara nabi dengan kekuasaan tidak diakhiri dengan naiknya Ibrahim dan Musa ke pucuk kekuasaan.

Secara tekstual, Alquran memang tidak menawarkan suatu bentuk negara konkrit dari konsep Negara Islam dan juga tidak melarang hal tersebut. Namun, Muhammad sebagai khatam al-anbiya menawarkan opsi lain. Posisi Muhammad sebagai pemimpin umat waktu itu tidak bisa dengan serta-merta ditepiskan begitu saja oleh mereka-mereka yang berusaha keras untuk menyelidiki hubungan Islam dan negara. Muhammad bukanlah seorang pemimpin komunitas semata melainkan masyarakat yang heterogen. Bila diukur dengan ilmu politik masa kini, maka setidaknya unsur adanya rakyat, wilayah, pemerintahan (hukum) dan pengakuan dari negara asing, sudah terpenuhi dengan lengkap. Kalaupun pasca Muhammad wafat ada semacam perubahan-perubahan dalam menentukan kepemimpinan –khalifah dalam teks Sunni dan Imamah dalam teks Shiah- maka hal itu tak lebih dinamika politik tata negara semata.

Dalam tolok ukur modern, maka naiknya Muhammad ke puncak kekuasaan Arabia juga dimulai dengan perebutan kekuasaan dan bukannya diberi atau hibah. Eksistensinya kemudian diakui oleh Romawi dan Persia, dua negara adikuasa waktu itu. Pun, kekuasaan yang dipegangnya bukanlah semata sebagai wali negara dalam bidang agama, melainkan juga politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan seterusnya. Hukum Islam yang diterapkan Muhammad waktu itu, juga mengatur hubungan antara kaum Yahudi, Nasrani, dan kelompok agama lain yang tidak hanya ada di Madinah dan Mekkah, namun juga di wilayah lainnya. Hal ini sebenarnya sudah menjadi bukti shahih yang dapat disodorkan pada kaum sekuler yang menyatakan bahwa antara Islam dan negara harus dipisahkan. Persoalan teks Alquran tak menyebut dengan eksplisit soal bentuk dan sistem negara, juga bisa ditampik dengan kaidah sistem hukum Islam yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan Muhammad merupakan hukum tertinggi yang berdampingan dengan Alquran. Yang dilakukan Muhammad adalah tafsir mutlak dari perintah Allah dan Alquran.

Dengan demikian, adalah hal aneh bila hipotesis sekuleristik diterapkan ketika melihat peran Muhammad ketika itu. Karena bila itu diajukan maka pertanyaan susulan yang harus dijawab adalah “bila Muhammad hanya menjadi pemimpin agama, siapakah pemimpin politik negara waktu itu?”

Praktek diplomatik dan ekspansi politik kepada wilayah negara lain yang dilakukan Muhammad, juga menjadi petunjuk kalau Muhammad tidak sekedar menginginkan Islam sebagai aturan etik moral semata bagi manusia.

Hanya saja, secara jeli kita harus membedakan tipe ekspansi Muhammad ini dengan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa di kemudian hari (seperti Inggris, Perancis, Portugis, Jerman dan seterusnya) dengan adagium gold, gospel and glory­-nya. Bedanya, Muhammad sama sekali tidak diceritakan sedang mengincar sumber-sumber daya ekonomi. Bahkan sebaliknya, ekspansi kekuasaan Muhammad ditegakkan justru dalam kerangka pembebasan wilayah-wilayah jajahan Romawi dan Persia. Diterimanya Islam lebih dikarenakan karena Muhammad tidaklah sedang memerangi warga setempat, melainkan tirani adikuasa yang sedang berkuasa di tempat itu.

Argumen ini menjadi dasar substantif, bahwa Islam bukanlah agama utopis, bukanlah sebuah agama yang hanya diperuntukkan untuk mengatur soal-soal seperti perkawinan, tata cara wudhu sampai istinja’ (bersuci) semata. Justru adalah hal aneh kalau dikatakan Islam sampai mengatur soal hal-hal paling pribadi seperti tata cara mandi wajib maupun istinja’,  namun alpa terhadap hal-hal besar seperti kekuasaan dan negara.

Konteks Kenegaraan

Sering sekali ketika berusaha menyelidiki Alquran dalam konteks kenegaraan, berakhir pada konklusi bahwa Alquran merupakan sumber etik moral politik Islam dari kekuasaan namun tidak mengatur secara eksplisit mengenai kekuasaan itu sendiri. Dalam bukunya Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (1995), M. Amien Rais menyatakan, “Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci  tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan.… Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman.”

Bukan berarti Amien lantas setuju dengan sekulerisme. Amien melanjutkan, tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok agama Islam. Bagi Amien, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamen ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba-material.

Adanya term khalifah dan imamah secara eksplisit dalam Alquran, juga menandakan konsep Negara Islam justru bukan menjadi hal terlarang alias haram sama sekali. Hal ini pula yang sering diabaikan oleh mereka yang tidak setuju dengan konsep negara Islam. Adapun argumentasi sejarah mengenai seringnya Islam dijadikan sebagai pembenar bagi ulah elit politik Islam yang mungkar, justru bukan menjadikan sebab awalnya (negara Islam itu sendiri) menjadi tiada. Karena kalau itu diberlakukan, itu seperti kita juga ingin memusnahkan pisau dapur karena telah digunakan untuk membunuh. Monarki di Arab Saudi, Kuwait dan negara-negara lain di Timur Tengah memang belum bisa dijadikan sandaran bahwa itulah konsep negara Islam seperti yang diinginkan Muhammad.

Adalah hal wajar dan sudah seharusnya bila Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sama sekali tidak memberikan tempat bagi berdirinya Negara Islam di Indonesia. Hukum positif mesti ditaati dan umat Islam harus menghargai pendirian itu. Namun, menghapus pemikiran itu dari benak orang-orang Islam di Indonesia justru adalah hal aneh dan tak pada tempatnya. Toh, dia bukanlah hal haram. (*)

*Referensi : copas  dari blog bang Iwan Panjaitan a.k.a Tukang Ngarang .. “Monumantra !!!”

19 Komentar

  1. majorprad berkata:

    “The inhabitants of the inhospitable deserts of Arabia, the other great
    nation of shepherds, have never been united but once, under Mahomet and his immediate successors.”
    Adam Smith yang merupakan tokoh ekonomi kapitalis jelas mengakui dalam bukunya The Wealth of Nations (buku kelima bab satu), bahwa masyarakat maju dan modern adalah bangsa Arab dan Tartar. Bangsa Arab yang dimaksud oleh Adam Smith itu adalah yang dipimpin oleh Muhammad dan para Khalifahnya. Adam Smith membuat buku itu hanya untuk membuat teori dari apa yang dilakukan oleh bangsa Arab saat itu.

    Adam Smith kemudian melanjutkan tulisannya bahwa, “Their union, which was more the effect of religious enthusiasm than of conquest, was signalized in the same manner.”
    Apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad Saw. ketika mengelola masyarakatnya adalah dengan aturan (keinginan dan semangat besar) agama, yaitu Islam.

    Jika Adam Smith saja mengakui bentuk nation (bangsa, negara) yang maju dan modern itu adalah Negara Islam, lalu mengapa para pengagum Adam Smith itu berbeda padangan?

    Inilah perbedaan antara kaum Realis (Rasulullah Muhammad Saw, Adam Smith) dan kaum Utopis. Salam Revolusi Cerdas!

  2. Faiz Ezra berkata:

    Adanya term khalifah dan imamah secara eksplisit dalam Alquran, juga menandakan konsep Negara Islam justru bukan menjadi hal terlarang alias haram sama sekali….setuju dengan pernyataan ini

  3. Judhianto berkata:

    Penting atau tidak pentingnya mendirikan negara Islam harus dikaji berdasarkan fakta-fakta yang ada serta contoh dari Nabi.
    Untuk melihat sejarah tentang negara Islam di dunia ini, silakan mampir di tulisan berikut:
    Khilafah, Negara Islam Dalam Sejarah

    ————————-
    Kopral Cepot : Hatur tararengkyu … bergerak ke tekape 😉

    1. Samaranji berkata:

      @ om Judhianto
      Yang ksatria dikit om, deskripsi blog anda tertulis “iman yang kuat berani menghadapi pertanyaan”
      >>> anda sendiri ga berani aprove semua koment dengan senjata moderasi. hhh…!!!

      1. Judhianto berkata:

        @Samaranji: silakan berkomentar di situs saya.
        Mengenai moderasi, saya rasa itu wajar. Saya ingin menjaga kualitas diskusi yang ada, maklum banyak yang spam, memaki tanpa dasar dan sebagainya. Tidak semua orang mampu dan berani berdiskusi dengan kepala tetap dingin.
        Anda lihat sendiri banyak diskusi panjang-lebar di situs saya antara saya dengan rekan-rekan yang tidak sependapat. Saya senang jika anda ikut meramaikannya.

        @Kopar Cepot: mohon maaf, jika ini mengganggu….

        —————–
        Kopral Cepot : Ngak apa-apa 😉 … maaf sy ngak komen di sana.

  4. Republican Wasp berkata:

    Saya penasaran seberapa jauhkan mereka berani menerapkan hukum Islam untuk Libya yg baru ini. Masalahnya negara2 barat pastinya khawatir kalau Libya tumbuh menjadi kekuatan ideologi Islam yg baru selain Iran, maka kepentingan mereka untuk memanipulasi Timteng sesuai keinginan mereka bakal terkendala. Apalagi Libya itu letaknya berdekatan dengan Eropa & tanahnya juga kaya minyak sehingga mereka punya modal kuat untuk berdikari & bahkan mengontrol perkembangan politik regional Afrika Utara…

    Saya curiga kalau di masa depan, Libya akan coba diadu domba dengan negara2 Arab lainnya untuk membuat mereka menjadi bergantung pada negara2 barat sekaligus menjadi pion mereka di Timteng. Kurang lebih seperti relasi antara Arab Saudi dengan Iran saat ini. Tapi semoga saja itu tidak sampai terjadi…

  5. nbasis berkata:

    oh, berharap ada hadiah nobel untuk pemikir yang nanti mempersembahkan konsep negara Islam

    ————
    Kopral Cepot : Mesti buat hadiah sendiri kayaknya 😉

  6. nirwan berkata:

    Pernyataan 1:
    “Negara yang sudah mengakomodir nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak melarang dan membebaskan umat Islam dalam menjalankan syariatnya dan malah mengembangkan keislaman, maka dia dapat disebut negara Islam.”

    Pertanyaan 1:
    “Bila Israel dan Vatikan melakukan itu semua, apakah Israel dapat disebut negara Islam?”

    1. biorhytmic berkata:

      Keliatannya pernyataannya yang harus dipertanyakan terlebih dahulu…piiis ah…

  7. pinjal berkata:

    mantab mas broo.. Artikelnya .. Mampir balik hehee

  8. doktertoeloes malang : sebelum tampil terakhir kalinya dipentas perpolitikan nasional sebagai presiden h.m.soeharto terlebih dahulu mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh agama islam. antara lain gusdur (alm),cak nun,noerkholis madjid (alm),kh alie yahfi dll. (konon atas permintaan tokoh-tokoh yang bersangkutan kemudian gayung bersambut ).dalam keterterakhiranya ini h.m soeharto mempertanyakan isi dari piagam jakarta ,perlu diketahui kandungan piagam jakarta sila pertamanya berbunyi : ketuhanan menjalankan syarekat islam bagi pemeluk – pemeluknya . ingat kata-kata ini tidak dilontarkan oleh tukang becak atau sopir mikrolet yang pembicaraanya hanya tentang perutnya yang lapar.inilah ucapan seorang presiden aktif (waktu itu ) yang bisa berubah sewaktu-waktu kala h.m.soeharto masih didengar dan diikuti baik oleh pengikut-pengikutnya atau oleh instansi resmi karena masih menjabat sebagai presiden dan mandataris mpr.seandainya suasana politik (politik identik dengan warna abu-abu , politik identik dengan cuaca yang setiap saat dalam hitungan detik bisa berubah-ubah dan profesor botak yang mana bisa memegang ucapan politikus semacam h.m soeharto ) sangat mendukung tidak mungkin tidak piagam jakarta (ketuhanan menjalankan syarekat islam bagi pemeluk-pemeluknya ) bisa jadi menjadi solusi alternatif.dan ingat salah seorang deklaratornya piagam jakarta adalah bung karno , Nah !!! memang sby boleh berkata bilang seperti itu ( maaf tidak usah ditulis)atau amien rais : ……. negara islam tidak tahan zaman.ingatan kita tentu tidak membantahnya seandainya saya katakan al-qur an itu multi tafsir. bukan berarti sama dengan ilmu eksakta satu ditambah satu sama dengan dua tapi jauh diatasnya kedudukan dan maqomnya. dan kita semua tahu era sebelum runtuhnya negara-negara komunis, umat komunis mayoritas dan terbesar di dunia. tetapi sekarang kedudukan para pengikut dan pemeluk islamlah yang terbesar didunia ini.coba mau apa lagi ibaratnya api dalam sekam atau bom waktu yang setiap saat bisa meledak.hak dari setiap orang untuk berkumpul dan berserikat (uud45) dan hak dari setiap insan manusia untuk mengutarakan pendapatnya. MAAF AA KOPRAL INI HANYA SEKEDAR KOMENTAR SELF CORRECTION dan cuma wacana saja , hanya wacana , seratus prosen negara islam tidak haram !! ( orang madura : norok buntheq bai sengkok. )

  9. Didon berkata:

    Kadang merasa tabu membicarakan hal ini, padahal kita sama-sama tahu Agama Islam sangat relevan dipakai sebagai hukum negara, ironisnya terkadang orang Islam sendiri yang fobia akan hal ini

  10. as berkata:

    ini baru bagus

  11. Mohdar Yanlua berkata:

    Mengahapus ide negara Islam di Indonesia, jika nilai-nilai keislaman itu terakomodasi dalam kebijakan negara. Nabi Muhammad saw mendirikan negara Madinah tidak dimai neagara Islam, tetapi norma-norma hukum dalam Alqur’an dan perkataan, perbuatan dan sikap diamnya dijadikan sebagai kebijakan negara. Jadi kurang bijak juga kalau ada pemikiran menolak Islam sebagai dasar negara.

    1. Gilig Guru berkata:

      Betul sekali. Pancasila sendiri dikatakan sebagai ideologi terbuka yang menggali nilai-nilai budayanya dari masyarakat Indonesia. Lah, sekarang keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara justru muncul dari masyarakat Indonesia sendiri yang mayoritas Muslim. Jadi ide NEGARA ISLAM itu sangat wajar dan sesuai dengan konsep ideologi terbuka.

      Kalau Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, maka tidak ada lagi masalah. Malah seharusnya negara khilafah itu lah bentuk ideal sebagai representasi pancasila.

  12. PIAGAM JAKARTA …………..SIAPA TAKUT !!!
    PIAGAM JAKARTA ……….. SIAPA TAKUT !!!
    PIAGAM JAKARTA ………SIAPA TAKUT !!!

    (MANTAN WARTAWAN KAMPUS :doktertoeloes malamg).

  13. rahmad berkata:

    wah bagus ni artikel x…aku copas..yah gan sekalian 😀

Tinggalkan Komentar