kepastian dalam pengetahuan

‘Tujuanku adalah untuk mencerap realitas yang terdalam dari hal ihwal; aku ingin menangkap hakikat pengetahuan. Pengetahuan yang pasti adalah yang membuat hal yang diketahui mewedarkan dirinya tanpa membiarkan secercah pun peluang untuk ragu atau kemungkinan apapun untuk salah dan berilusi, dan tak pula hati kita membiarkan kemungkinan semacam itu. …Orang harus dilindungi dari kekeliruan, dan harus begitu terpaut erat dengan kepastian hingga usaha apapun, misalnya, untuk mengubah sebungkah batu menjadi emas atau sebatang tongkat menjadi seekor ular, tak akan membangkitkan ragu atau menimbulkan kemungkinan yang berlawanan….’

– al-Munqidh min al-Dalal, Al-Ghazali –

5 Komentar

  1. budak baonk berkata:

    hmm, sesuatu yg tidak bisa mendadak tapi seperti ulasan al ghazali yg dikaji lagi oleh orang mesir yg cetakan pertamanya 2007, tidak bisa ujug2 dan tanpa persiapan, bukan seperti reformasi yg menumpahkan darah sesama bangsa sendiri dan kekacauan demi kepentingan kelompok atau golongan tapi demi keadilan sosial, semuanya dilakukan dengan perencanaan seperti yg diuraikan di buku tersebut dalam berbagai bidang, pada akhirnya setelah reformasi, bangsa ini bingung untuk menentukan rem, gas, dan setir nya, saling memperebutkannya dan akan selalu begitu, kemunculan shalahudin al ayubi bukan ujug2, melalui kerja kolektif umat dan proses yg terukur dan bukan seperti reformasi, tapi u keadilan dunia untuk ridho akhirat

  2. ndesa by iwan pales berkata:

    kemaren membaca ttg ketahanan pangan cak khudori di koran tempo, hakikatnya ga mungkin ada kelaparan di muka bumi, toh banyak cerita ttg domba dan susu yg dibuang di laut, belum lagi sistem industri sekarang sebenarnya sangat kacau dari segi masalah stok (menyimpan sebanyak2nya, pemakaian formalin dll, seperti memeras alam untuk mengeluarkan lebih banyak dalam waktu yg lebih singkat, buah2an/daging yg ter freeze dalam waktu bulanan) yg didominasi/disetir paradigma dari negeri 4 musim dan akibat dari sistem finansial yg aneh. karena faktor waktu dan hitungan dari pemakaian bbm dan keseluruhan analisa hasilnya hanya ada 2 pilihan karena deadline/momen yg telat yaitu rugi sedikit atau rugi lebih banyak, bisa juga ketahanan dibentuk dari otonomi terkecil dari diri sendiri atau dari organisasi terkecil, yaitu desa. makanya dipikirkan proses, ada kebenaran di hadis nabi, berhenti makan sebelum kenyang, 1/3 air, 1/3 udara, dan sisanya makanan. ngomongin desa, sama yg heran di islam setahuku pajak pangan apakah harus pangan atau menjadi/terkonversi uang?ketika terkonversi uang, ia masuk tingkatan lebih umum dan menjadikan nya memiliki kebebasan lebih u terkonversi menjadi apa saja, juga kelemahan nya dengan menjadi rupiah otomatis ketergantungan nya mengikuti segala atribut2 +- dari mata uang tersebut. artinya dari keseluruhan proses yg ada, kalo bisa dikendalikan dengan cara mengurangi seminimal mungkin u terkonversi ke uang, karena lebih baik tetapkan produk tersebut dalam lingkung otonomnya lebih ke asas manfaatnya drpd melangkah ke arah yg lebih bebas atau terkonversi menjadi uang, dengan asumsi pemenuhan pangan adalah kebutuhan primer. ya dari desa ketahanan pangan akan muncul, di lumbung kita menabung kata bang iwan pales, setahuku juga dahulu ada tradisi jimpitan, kalo di kota pilihannya adalah sayur/bahan pakan lain yg terbuang percuma oleh restoran atau supermarket/pasar?

  3. ndesa by iwan pales berkata:

    jaringan yg mampu mengkonversi kebutuhan dasar manusia ke uang(alat tukar umum) dan mendominasinya, ia yg akan mudah u mempermainkan defenisi EKONOMI

  4. ndesa by iwan pales berkata:

    kayaknya aku harus puasa bicara sebelum yg lain2nya pada bilang BERISIK, wuehehehehe kaburrrrrrrr

  5. ndesa by iwan pales berkata:

    selain itu dengan otonom “bulog” desa, keanekaragaman pangan terjaga, termasuk varietas2 padi lokal, setahuku kalo dalam bentuk gabah variets lokal jadul bisa bertahan tahunan broooooow?

Tinggalkan Komentar