Tradisi Pernah Didefinisikan “Biadab”

Oleh : Rizaldi Siagian dimuat di Harian Kompas Minggu 13 Desember 2009

Setelah William Thomas memperkenalkan istilah ”folk-lore” yang dimaknai sebagai pengakuan adanya sistem budaya dan pengetahuan masyarakat tradisional, 1846, Eropa Barat mulai bergerak melakukan studi tentang potensi seni yang dikategorikan ”tradisional” itu. Di Inggris, 1878, didirikan ”Folk-lore society” yang bekerja menerbitkan folklor lokal maupun yang berasal dari luar kebudayaan mereka. Negeri-negeri pemakai bahasa Jerman pun giat melakukan studi akademis: mengumpulkan, merekam, menulis dan mengklasifikasikan cerita- cerita rakyat, pakaian-pakaian tradisional yang khas, musik, tari, seni visual (gambar/lukis), serta aneka kerajinan masyarakat tradisional di pedesaan yang mereka sebut ”tak berpendidikan” dan ”tak tersentuh kehidupan modern”: sebutan yang terbias oleh definisi tradisi pada masa itu.

Memang, seabad sebelumnya, ”tradisi” pernah didefinisikan ”biadab” (uncivili-zed), ”pra-modern”, dan ”lisan”. Pandangan ini diterbitkan dalam ensiklopedia berbahasa Jerman dengan editor Johann Heinrich Zedler, 1745, dan dalam kamus yang ditulis oleh Brothers Grimm pada pertengahan abad ke-19. Tradisi kemudian menjadi kontra modernitas yang menyebut dirinya ”ex-negativo”: ”tidak tradisional, berpendidikan, tidak biadab” (Domman, 2008:4-5). Cara pandang ”mem-biadab-kan” pelaku tradisi inilah yang dipakai kolonialisme untuk merendahkan kebudayaan tradisional di wilayah jajahan mereka. Anehnya, negara-negara baru yang secara fisik merdeka setelah Perang Dunia II justru mengadopsi mentalitas kolonialisme ini. Hal ini terutama tecermin dalam kebijakan-kebijakan pemerintah di negara-negara baru dan menjadi warisan sejarah abad ke-20 itu.

Pergeseran

Yang menarik, dalam sejarah gerakan sosial nasionalisme di seluruh dunia, tradisi justru berperan penting. Sejarawan Eric Hobsbawm menyebutnya ”invention of tradition” untuk mendeskripsikan proses nation-building abad ke-19 itu (Hobbawm, 2000). Referensi pada folklor tradisional yang sebelumnya disebut ”biadab” itu menjadi penting untuk membangun identitas negara-bangsa (nation-state) yang baru itu. Pakaian-pakaian yang unik dan khas, seni visual, musik, arsitektur, yang berakar dari tradisi menjadi simbol dan legitimasi persatuan sekaligus menjadi ”nation-branding” negara- negara baru itu.

Proses semacam itu juga tecermin di Indonesia. Dukungan masyarakat adat yang tercatat dalam dokumen Sumpah Pemuda; Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Kaum Betawi, adalah fakta sejarah dalam proses nation-building negeri ini. Keberagaman budaya dari berbagai etnis dan bangsa pendatang yang bersatu itu dikukuhkan sebagai simbol kebangsaan Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Inilah sejatinya identitas Indonesia, pluralisme. Identitas yang seharusnya menjadi ”nation-branding” negeri ini. Tetapi, apakah kebinekaan budaya yang bermuatan konsep, nilai-nilai tradisi ini diminati, menjadi inspirasi, dan dimanfaatkan sebagai sumber keunggulan kreativitas untuk pencitraan negeri ini? Pertanyaan ini tentu terkait dengan strategi kebudayaan yang diterapkan di Indonesia: apakah kebijakan-kebijakan yang ada memberi ruang-ruang kebebasan untuk itu?

Simplifikasi

Ahli sejarah Robert Conquest, seperti dikutip antropolog Michael F Brown, menyindir:zaman ini penuh dengan sampah dari puing-puing kegagalan utopia yang menyebabkan banyaknya penderitaan.” Alternatif kebijakan negara-negara baru umumnya didasari apa yang disebutnya ”realisme imajinatif”, yaitu kesediaan untuk menerima bulat-bulat kebijakan rancu atas nama keseimbangan antara ”individual dan komunitas”, antara ”kepentingan dan kesempatan”, dan antara ”pengetahuan dan angan-angan” (Brown, 2003-8). Kritikus sastra Lionel Trilling berpendapat adanya tendensi progresivitas kebijakan sosial yang disimplifikasikan dan dibirokratisasikan. Kebijakan ini terpicu oleh keinginan untuk mengentaskan totalitas permasalahan yang sangat kompleks itu. Padahal, menurut Trilling, ”kesadaran terhadap kompleksitas dan kesulitan” adalah sangat penting. Kompleksitas justru memberi peluang untuk menyalurkan komitmen masyarakat sipil terhadap kompleksitas permasalahan yang ada dan, dalam sistem demokrasi, digerakkan melalui distribusi kekuasaan dan dinamika keberagaman internal.

Kebijakan yang tidak memihak kepada kompleksitas kultural yang memberi energi kreatif dalam dunia seni justru akan menghilangkan kemungkinan- kemungkinan yang bisa sangat bermanfaat bagi masa depan kebudayaan bersangkutan, atau bahkan lebih radikal: membunuhnya. Salah satu produk kebijakan yang disederhanakan atau dibirokratisasikan dalam kreativitas seni adalah dekontekstualisasi kegiatan seni dari akar kultural yang membuatnya ada. Contoh dalam seni pertunjukan adalah penyelenggaraan festival kesenian dalam bentuk lomba yang dilakukan secara nasional dan diikuti seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan ini adalah manifestasi keinginan untuk mewujudkan angan-angan akan adanya entitas ”kebudayaan Indonesia” yang tak nyata dan di luar eksistensi dasar dari kebinekaan kultural itu.

Perbedaan konsep dan nilai- nilai estetika dari kebudayaan- kebudayaan yang berbeda, oleh sifat-sifat alaminya, tidak mungkin diperlombakan melalui pendekatan penilaian yang seragam, apalagi untuk tujuan hierarkis dengan cara menetapkan siapa yang lebih bagus dari lainnya. Pendekatan ini, selain menimbulkan sakit hati dan kepongahan karena ekspresi kebudayaan yang demikian dianggungkan pemangkunya dikalahkan atau dimenangkan, juga mengakibatkan tercerabutnya konteks konseptual yang melatari proses kreatif baik dalam ranah gagasan maupun dalam implementasi kontekstual, yaitu kehadiran seni dalam kegiatan-kegiatan sosiokultural. Padahal, setiap kegiatan seni yang terdapat di tengah- tengah masyarakat adat/tradisional, misalnya, akan selalu berhubungan dengan berbagai alasan kontekstual yang justru menjadi elemen paling penting bagi ketahanan hidup tradisi itu. Ketika elemen-elemen tersebut didekontekstualisasikan, atau dihilangkan konteks kegiatannya, maka kegiatan itu tidak lagi bermakna, dan kehilangan kekuatannya.

Kasus kebijakan lain yang juga mengundang kritik adalah penghilangan nama pemilik kebudayaan bersangkutan. Atribusi dan hak-hak moral terhadap karya kolektif yang seharusnya melekat pada suatu kebudayaan digantikan dengan nama provinsi. Tradisi Batak Toba, misalnya, diganti dengan ”budaya Sumatera Utara”, tradisi orang Dayak Iban ditukar dengan ”budaya Kalimantan Barat”, dan seterusnya. Dalam buku-buku pendidikan dasar, pemuatan gambar-gambar arsitektur rumah adat, pakaian adat, tenun, dan aksesori adat sering kali tidak menyebutkan identitas masyarakat adat yang menjadi sumbernya, kecuali nama provinsi. Pendekatan penyederhanaan dan homogenisasi sosiokultural di tengah-tengah fakta kebinekaan yang sangat kompleks ini berdampak kepada hilangnya karya-karya dan pengetahuan tradisional, dan bahkan para pemangku kebudayaan-kebudayaan yang nyata-nyata masih eksis pun secara administratif ”terhilangkan”, atau mungkin juga ”dihilangkan”.

Kontribusi

Adalah kenyataan sejarah bahwa tradisi memberi kontribusi yang besar terhadap nasionalisme dan kemerdekaan di berbagai negara-bangsa di dunia. Tetapi, kemerdekaan secara fisik, dokolonialisasi fisik, tidak disertai dengan kemerdekaan mental. Sebaliknya, mewarisi mentalitas kolonialisme yang terbukti lebih membawa kemudaratan daripada kemanfaatan. Dalam konteks pluralisme kebudayaan Indonesia, warisan kebijakan abad ke-20 seperti contoh di atas seharusnya dihentikan karena selain sangat merugikan, juga tidak relevan dengan tuntutan zaman.

Adalah kenyataan bahwa paradigma dalam melihat kebudayaan, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan teknologi sekarang ini telah mengalami perubahan radikal, terutama dengan munculnya fenomena ekonomi yang digerakkan oleh sumber daya kreatif lintas sektoral dan multidisiplin, yang merajut kreativitas kultural, kreativitas keilmuan, kreativitas ekonomi melalui teknologi yang memberi ruang sangat lebar (UNCTAD, 2008). Oleh sebab itu, jangan heran kalau di abad ke-21 ini semua bangsa membutuhkan sumber-sumber inspirasi yang mampu memperkaya imajinasi dan kreativitas untuk bisa melahirkan karya- karya yang unik untuk ditawarkan dan sharing pada dunia. Indonesia memiliki jawaban untuk itu: kebinekaan kultural dan nilai-nilai lokal yang selama ini tersuruk di balik kebijakan yang tak memberinya ruang. Oleh sebab itu, citra bangsa yang didasari oleh kebinekaan budaya itu menjadi mustahil ketika potensi dan kekuatan nilai-nilai tradisi tidak lagi menjadi energi yang menghidupkannya. Apakah ”Kebudayaan Indonesia” pernah ada tanpa keberagaman tradisi Masyarakat Adat Nusantara?

SELAMAT HARI NUSWANTARA KE-X

(13 Desember 2009)


28 Komentar

  1. alamendah berkata:

    (maaf) izin mengamankan PERTAMA dulu. Boleh kan?!
    Berkunjung di minggu pagi
    sambil ucapkan selamat pagi

    1. pernikahan adat berkata:

      Seperti anda, Saya sangat tertarik dengan adat istiadat kita, oleh karena itu saya membahas tentang budaya pernikahan adat yang ada di Indonesia, mohon masukan dan dukungannya ya makasih 🙂

  2. حَنِيفًا berkata:

    @Kang
    Sayangnya kita masih membuat fuhkul rata antara budaya dan agama. 😦

    1. kopral cepot berkata:

      @Kang Haniifa
      masalahnya masih binun mana yg duluan .. telor atawa ayam 😉

      1. حَنِيفًا berkata:

        Wah… pasti telor dunk, sebab ditulisnya telor lebih dahulu.
        Kalau ditanya mana lebih dulul… ayam atawa telur, jawab ajah ayam 😀

      2. itukan tergantung nyebutnya kang

        he….he…. canda

  3. sikapsamin berkata:

    Luar biasa, pemaparan pencerah kesadaran akan perlunya menemukan kembali TITAH, FITRAH, ataupun JATI-DIRI SEJATI.

    Bhinneka Tunggal Ika adalah Rangkaian Keping2 Mosaik atau Untaian Manik2 berbagai Tradisi yang Membentuk Zamrud Khatulistiwa… NUSWANTARA.
    Itulah bentang rentang cabang, dahan dan ranting sebuah POHON PURBA KEHIDUPAN.
    Yang ditiap rerimbunan-daun diujung kumpulan ranting2..adalah komunitas tradisi, komunitas kultur, Komunitas-Budaya.

    Secara pribadi saya ingin nama Indonesia ini dikembalikan menjadi NUSWANTARA…

    Terima kasih komandan atas tulisannya ini
    Maju terus menggali JATI-DIRI SEJATI

    Bhinneka Tunggal-Sikep
    Bakuh-Kukuh-Utuh…NKRI
    Samin adalah Sikap

    Salam…JAS MERAH/JAKET MERAH
    Biar Sejarah Yang Bicara

  4. itempoeti berkata:

    Relevan dan kontekstual dengan semangat peringatan Hari Nusantara.
    Selamat Hari Nusantara!!!
    Merdeka!!!

  5. tukangpoto berkata:

    Sayangnya bangsa kita lebih silau sama yang datangnya dari luar kang, padahal dulukan kita ini negara yang adiluhung. Makasih kang sudah mengingatkan kembali tentang akar rumput kita.

    ———————-
    Kopral Cepot : Hatur tararengkyu juga dah menyempatkan kemari 😉

  6. mas tyas berkata:

    wilujeng,
    kulo nuwun mas kopral, sepakat sekali, saya memahami bahwa budaya adalah fitrah kehidupan manusia, saya merindukan Indonesia kembali sebagai Nuswantara yang gemah ripah loh jinawi.. salam bhinneka tunggal ika!

  7. حَنِيفًا berkata:

    @Kang
    Nuswantara atau Nusantara ?!
    (katanyah seeh.. Nusa Antara = pulau-pulau)

    1. kopral cepot berkata:

      Nusantara atawa Nuswantara yang dalam pewayanngan juga disebut sebagai dwipantara merupakan kepulauan seberang India. Sedangkan pada zaman Majapahit penyebutan nusantara ditujukan untuk Pulau-pulau yang terletak di seberang pulau Jawa. Penyebutan ini sebenarnya mempunyai muatan politis yang dirancang oleh Gadjahmada yaitu politik penyatuan Nusantara di bawah pimpinan Panji-panji Majapahit. Gadjahmada bisa dikatakan sebagai orang yang meletakkan dasar-dasar penyatuan Nusantara yang tidak hanya berdaulat di darat saja melainkan di laut juga.

      Berbeda dengan arti Nusantara versi gadjahmada, M Yamin mengartikan Nusantara adalah nusa berarti pulau, antara berarti terletak diantara sesuatu,atawa suatu wilayah yang disatukan oleh laut.

      1. حَنِيفًا berkata:

        😀 mantab’s surantab
        Hatur tengkiu @Kang, sayah jadi tahu sekarang berkat serba sejarah.
        (kapan atuh bukunya meluncur… 😦 )

        1. dedekusn berkata:

          Asli kang, nembe terang….
          Hebatlah….

  8. Ruang Hati berkata:

    Blog Walking malam hari di penghujung pekan, mengais ngais ilmu dari para sahabat, mencari sesuap pengetahuan dan segenggam persaudaraan salam ketulusan dari ruang hati ku

    tradisi seringkali mempertahankan tirani

    —————————-
    Kopral Cepot : “tradisi seringkali mempertahankan tirani” … memang sering orang bilang “.. sudah tradisi ..” untuk itu kita perlu mendefinisikan zaman, krn roda zaman terus berputar. Hatur tararengkyu tuk berbagi sepenuh hati 😉

  9. sedjatee berkata:

    dalam sejarah memang ada suatu tradisi yang hari ini akan dianggap “biadab” namun di zaman itu mungkin hanya hal biasa saja… entahlah… salam hormat buat kopral…

    sedj

  10. حَنِيفًا berkata:

    @Kang nitip ini yah, da bageur :mrgreen:
    ______________________________

    @All khususon Nashrani

    Selamat mudik Brothers and Sisters

    Posted by حَنِيفًا on December 14, 2009
    May Allah bless you & fill your life with peace

    Dear Brothers and Sisters,

    Selamat mudik dan hati-hati di jalan, sebagai teman perjalanan ada baiknya sambil mendengarkan lagu : Driving Home For Christmas by Chris Rea.

    Salam hangat selalu, @Haniifa.

  11. abifasya berkata:

    Susah tidur kang euy, jadi kunjungan malam neh. mau nulis gak konsen…kukurusukan we ah.
    Kumaha damang /
    Tos lami yeuh can ngontrol rumah baruna si akang.

    —————
    Kopral Cepot : heu heu heu … sarua atuh 😆

  12. kawanlama95 berkata:

    tradisi kita semankin banyak pergeseran sehinga nilai-nilai kebudayaan pada masa lalu tak mampu bersaing dengan kamajuan zaman
    padahal tradisi lama membuat nusantara ini semakin maju. dan apakah ini masih penting untuk di kembalikan. tradisi masa lalu kita adalah sebagian adalah penghianat bangsa(oknum) dan ternyata tradisi itu diadopsi zaman kini yaitu. peyelewengan aparatur.

    ———
    Kopral Cepot : Muhun gan … satubuh 😉

  13. kaskuser berkata:

    Hi salam kenal, just blogwalking doang. main dong ke blog saya

    http://blog.unsri.ac.id/kaskuserr/nais-inpo-gan/mrlist/1234/

    http://blog.unsri.ac.id/kaskuserr/news/mrlist/1233/

    dijamin KETAGIHAN …!!!! ^_^

    salam

  14. mungkin karena tradisi awal seperti pada jaman jahiliyah yang sempat diceritakan dalam sejarah bahwa mengubur bayi hidup-hidup
    mungkin faktor itu yang dikatakan biadab kali ya

    tapi memang benar tradisi yang menjadikan kebudayaan dan kesemuanya berkembang dengan pesat sampai yang dirasakan sekarang ini

    artikel bagus dan mantab kang cepot

    1. sekedar ikut meramaikan komen disini aja kang cepot

      tapi benar-benar mencerahkan tulisannya

  15. tomy berkata:

    Industri Kreatif yang digali dari tradisi bisa menjadi kekuatan bangsa ini di masa depan
    Meniru Jepang dengan tradisi heroic & mentalitas yang kuat ala Samurai & Ninja di film kartun Naruto

    1. kopral cepot berkata:

      Setubuuuh mas 😉
      Modernisasi tradisi atau entah apa namanya itu semua butuh dipandu dengan spirit ideologis sehingga tdk “Cul dogdog tinggal igel

      Matur nuhun tararengkyu

        1. حَنِيفًا berkata:

          Kunjungan sore hari… 😉

  16. WILDAN berkata:

    Sejarah yang cukup bermanfaat. .

Tinggalkan Komentar