Mendefinisikan Zaman

Bila langit telah gelap, bintang bertaburan dan sesekali menghilang diterjang awan maka itulah malam.
Bila fajar mulai merona tampak diufuk timur maka pagi kan datang.
Bila panas mentari tepat diubun-ubun para pejalan kaki maka siang mulai menjelang.
Bila hawa siang mulai menghilang, gerah badan inginkan disiram air mandi dan mentari siap-siap keperaduan maka sore tlah menghampiri.
Inilah sebagian definisi hari dalam putaran waktu yang berdentang, definisi yang berulang tapi terkadang situasi berbeda kan terjumpai, definisi yang dinamis tetapi tetap menunjuk pada sang waktu malam, pagi, siang, sore dan kembali malam.
Kadang malam tanpa bintang, kadang pagi hujan rintik selimuti keceriaan, kadang siang matahari enggan bersinar, kadang sore langit tlah gelap dan matapun terasa sembab.
Mendefinisakan hari juga bisa bergantung hati, gundah gelisah malam terasa lama dan memelas datang pagi. Tapi kenikmatan malam yang panjang dua sejoli justru enggan datangkan sang mentari.
LALU BAGAIMANA KITA MENDEFINISIKAN ZAMAN?

Seperti angin yang mengalir tanpa henti diatas bukit, lembah, dan lautan, sejarah terus-menerus bergerak dalam waktu. Kebudayaan-kebudayaan hidup dan mati, pemikiran-pemikiran muncul, kota-kota tumbuh, penduduk bertambah, kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam, perang-perang terjadi, perdagangan meluas, dan seterusnya….

Sejarawan telah mendefinisikan zaman atas peristiwa masa lalu. Sejarawan ingin membuat waktu yang terus-menerus bergerak tanpa henti itu menjadi dapat dipahami (intelligible) dengan membagi-baginya dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat babak, dalam periode-periode. Suatu momentum yang dapat memberikan petunjuk adanya karakteristik dari suatu kurun waktu yang satu berbeda dengan kurun waktu lainnya . Hal itulah yang dinamakan dengan periodisasi sejarah.

Mendefinisikan Realitas

Tidak mudah mendefinisikan zaman ini. Pada satu sisi, banyak orang bicara atau menulis soal “kematian” di mana-mana. Lihat saja judul-judul buku terlaris seperti: the death of economics, school is dead, the death of competition, the end of management, the end of education, the end of nation state, the end of history, dan sebagainya. Pada sisi lain, orang bicara dan menulis tentang segala sesuatu yang “serba baru”, seperti judul buku-buku berikut: the rise of nation state, new economy, digital economy, knowledge economy, attention economy, knowledge management, knowledge society, learning organization, network organization, adaptive organization, crazy organization, relational organization, democratic organization, virtual organization, quantum learning, dan sebagainya. Di sudut yang satu orang berteriak “globalisasi”, sementara pada saat yang bersamaan berkumandang teriakan tandingan “otonomi daerah”. Orang juga bicara soal pentingnya “focus” dan “loyalty”, tetapi yang serba multi juga marak seperti: multi purpose van, multi job, multi income, multi career, multi level marketing, sampai multiculturalism. The age of paradox, terra incognita, post-modernisme?

Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Dan di antara kedua hal itu, pemimpin adalah seorang pelayan (a servant) dan seorang yang berhutang (a debtor).–– Max De Pree

Sungguh tidak mudah mendefinisikan sebuah zaman. Dan pekerjaan yang tidak mudah itu adalah tanggung jawab pertama seorang pemimpin. Ia harus mendefinisikan realitas. Ia harus belajar banyak dari sejarah, tetapi tidak terpasung oleh catatan sejarah. Ia harus mendefinisikan realitas masa kini, memahami makna berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia, namun dengan kemampuan membaca realitas masa depan tanpa terjebak pada “hyper-reality” atau pun “virtual reality” yang tidak sungguh-sungguh “real”. Bukan main sulitnya, tetapi “sulit” tidak berarti impossible.(ref)

Alvinvin Tofller dalam membagi evolusi sejarah peradaban dunia dalam tiga gelombang, yaitu 1) era pertanian, 2) era industri, dan 3) era informasi. Pada era pertanian faktor yang menonjol agar tetap survive adalah muscle (otot) karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Dalam era industri faktor yang menonjol adalah mesin (machine), pekerjaan ‘otot’ mulai digantikan dengan pekerjaan mesin karena terbukti lebih efektif dan efisien. Gelombang ketiga peradaban dunia adalah era informasi, faktor yang menonjol dalam era ini adalah pikiran dan pengetahuan (mind).

Menyebut zaman ini sebagai era informasi atau era pengetahuan pun tidak membuat kita mudah memahami maknanya. Sebab pada satu sisi kita dibanjiri oleh begitu banyak informasi dan pengetahuan yang begitu mudah diakses dari sumber-sumber pertama yang berada di sudut-sudut global village meski secara geografis letaknya dipisahkan oleh samudra luas antar benua. Pengetahuan dunia ada di ujung jari para pengguna internet yang jumlahnya terus berkembang secara eksponensial. Namun, pada sisi lain banjir data, informasi, dan pengetahuan itu justru membuat kita bingung untuk dapat memilih mana yang sebenarnya berguna dan mana yang tidak berguna sama sekali. Kita justru semakin kurang pengetahuan, pada saat pengetahuan itu justru berlebih-lebihan. Begitulah, kalau dulu kita mengejar data, informasi, dan pengetahuan sampai ke Amerika dan Eropa, maka sekarang informasi, data, dan pengetahuan “mengejar” kita sampai ke wilayah-wilayah yang bersifat pribadi di sudut-sudut rumah kita (ingat, e-mail dan SMS dapat menjangkau banyak orang, bahkan ketika mereka sedang berada di WC rumahnya).

Bagaimana Sang Pemimpin Mendefinisikan Realitas?

  • Pertama, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk lebih banyak mendengarkan (listening). Ia harus belajar mendengarkan “suara-suara”. Termasuk dalam “suara-suara” itu adalah “suara” dari yang Gaib (Tuhan), suara hati nuraninya (bila masih fungsional), dan suara konstituen potensialnya (entah itu rakyat, umat, pegawai, atau komunitas lainnya). Dalam proses mendengarkan ini ia mungkin juga perlu banyak membaca, tetapi yang lebih penting mungkin adalah merenung-renungkan, berkontemplasi, menelusuri sanctuary-nya, lalu membedakan antara yang esensial dan yang tidak esensial.
  • Kedua, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin belajar untuk berempati, terutama berempati pada konstituen potensialnya. Ia harus mampu merasakan secara emosional berbagai jeritan hati dan penderitaan, sekaligus berbagai macam harapan dan impian konstituennya. Tidak cukup hanya sekadar “tahu”, harus sampai “rasa”
  • Ketiga, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin selalu mengembangkan kesadaran (awareness) yang lebih besar, terutama mengenai dirinya (self-awareness) itu apa dan siapa. Ia masuk ke dalam kemanusiaannya sendiri, dan dengan cara itu ia makin menegaskan harkat dan martabat dirinya sebagai pertama-tama manusia, sama seperti konstituen yang ingin dilayaninya.
  • Keempat, untuk dapat mendefinisikan realitas pemimpin mengasah mata batinnya (eye of spirit), menerobos kungkungan masa kini menuju masa depan yang lebih manusiawi. Dengan cara ini ia dimungkinkan untuk merumuskan konsep (conceptualization), yang kemudian disusun menjadi “visi”-nya (vision statement).(ref)

Mendefinisikan Zaman Dari Ramalan Zaman

“Zaman edan” itu mungkin istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ronggowarsito, lewat Serat Centhini, menggambarkan sebuah zaman ketika identitas nilai-nilai jungkir balik, zaman kalabendu, yakni zaman saat orang tidak lagi bisa memahami benar dan salah. Semua nilai bercampur aduk dalam labirin yang membuat orang mengalami kebutaan, buta mata hati, pikiran, nurani, dan mata “indrawi”-nya. Suatu zaman ketika masing-masing orang tak lagi merasa bersalah dengan kebohongan, tak peduli terhadap orang lain. Manusia hidup dalam zaman ini dengan keresahan, kegelisahan, dan ketidakpercayaan satu sama lain.

Dalam zaman globalisasi ini, “keedanan” tersebut termanifestasi dalam semakin rakusnya manusia mencari kesenangan dengan menindas orang lain, dalam hubungan-hubungan manusia yang didasari oleh hubungan kapital. Walaupun sekularisasi banyak ditentang dan dinyatakan salah dalam beberapa hal, sekularisasi sungguh menggerogoti dunia keseharian manusia modern. Dunia kehidupan yang didasari hanya oleh kesenangan dan materialisme.

Walaupun Indonesia tak pernah menjadi negara Islam, sekularisasi menjelma dalam tata kehidupan keseharian manusia yang mengaku beragama. Semua manusia modern kini diselimuti oleh mimpi-mimpi tentang kekayaan dan benda-benda. Para ulama juga berlomba menjemput mimpi ini. Menjadi ulama seakan hanya sarana untuk menjadi kaya. Bukankah para koruptor juga hampir semuanya beragama? Seperti inilah wajah agamawan dalam zaman ini. Agama seakan hanya menjadi sebuah sudut yang sepi, tempat manusia bisa mengadu, meminta maaf, dan memohon pertolongan. Selain itu, semua berlari dan berlomba, menjauh dari norma-norma agama.(ref)

Habis Gelap Terbitlah Terang

Zaman di Indonesia dalam ramalan zaman menurut Prabu Joyoboyo membagi zaman menjadi 3 bagian yiatu :

  1. Zaman Permulaan (Kali-swara) berlangsung selama 700 tahun.
  2. Zaman Pertengahan (Kali-yoga) berlangsung selama 700 tahun.
  3. Zaman Akhir (Kali-sangara) berlangsung selama 700 tahun.

Untuk zaman yang ketiga, zaman Akhir (Kali sengara) terbagi dalam 7 zaman yaitu :

  1. Kala-jangga (Jaman Kembang Gadung) antara tahun 1401-1500 M atau 1610 – 1709.
  2. Kala-sakti Kalasekti (Jaman Kuasa) 1501-1600 M atau 1710 – 1809.
  3. Kala-jaya Kalajaya (Jaman Hunggul) 1601-1700 M atau 1810 – 1909.
  4. Kala-bendu (Jaman sengsara lan Angkaramurka) 1701-1800 M atau 1910 – 2009.
  5. Kala-suba (Jaman Kamulyan) 1801-1900 M atau 2010 – 2109.
  6. Kala-sumbaga (Jaman Kasohor) 1901-2000 M atau 2110 – 2109.
  7. Kala-surasa (Jaman Alus) 2001-2100 M atau 2210 – 2109.

Bila diperhatikan pergantian zaman di Indonesia, sepertinya negri ini belum pernah menemui zaman yang menyenangkan. Zaman yang dilalui selalu saja isinya membuat rakyat menderita meskipun tidak semua rakyat Indonesia mengalaminya. Akan tetapi berdasarkan Jongko Joyoboyo sebentar lagi Indonesia akan memasuki zaman Kalasuba atau zaman suka ria. Namun sebelum memasuki zaman tersebut harus meninggalkan dulu zaman Kalabendu.(ref)

“Inilah jalan bagi yang selalu ingat dan waspada! Agar pada zaman tidak menentu bisa selamat dari bahaya atau “jaya-baya”, maka jangan sampai keliru dalam memilih pemimpin. Carilah sosok Pemimpin yang bersenjatakan Trisula Weda pemberian dewa. Bila menyerang tanpa pasukan, kalau menang tidak menghina yang lain. Rakyat bersukaria karena keadilan Tuhan telah tiba. Rajanya menyembah rakyat yang bersenjata Trisula Weda; para pendetapun menghargainya. Itulah asuhannya Sabdopalon – yang selama ini menanggung rasa malu tetapi akhirnya termasyhur- karena segalanya tampak terang benderang. Tidak ada lagi yang mengeluh kekurangan; itulah pertanda bahwa zaman tidak menentu telah usai berganti zaman penuh kemuliaan, sehingga seluruh dunia pun menaruh hormat.” (ref)

Mendifinisikan zaman… sebuah koma bukan titik karena roda zaman kan terus berputar…zaman tidak status qua tapi berubah maka tingkah polah manusia musti pula berubah .. berubah searah roda zaman yang membawa pada kemuliaan dan kejayaan

hari ini zaman masih koma maka siapa yang mampu mendefinisikan zaman itulah yang mendapat kemenangan……..

6 Komentar

  1. alamendah berkata:

    (maaf) izin mengamankan PERTAMA dulu. Boleh kan?!
    aman?

  2. alamendah berkata:

    (maaf) izin mengamankan KEDUA dulu. Boleh kan?!
    roda zaman kan terus berputar

  3. sedjatee berkata:

    Kala-bendu (Jaman sengsara lan Angkaramurka) 1701-1800 M atau 1910 – 2009…. wow… berarti kita sedang berada di zaman kalabendhu ya kang… hehehe… semoga kita terhindar dari fitnah dan angkara murka… salam sukses kopral…

    sedj

  4. dedekusn berkata:

    Sukses kang, Zaman2….
    No komeng 🙂

  5. dedekusn berkata:

    Zaman emang selalu berubah….

Tinggalkan Komentar