Sejarah Militer Mencari Laba

Keterlibatan militer Indonesia di dunia bisnis punya sejarah panjang. Dari yang legal hingga ilegal pun dilakoni. Kini, pemerintah ingin mengambil alih, bersediakah mereka?

Berbagai penelitian tentang bisnis TNI yang muncul setelah bergulirnya Reformasi 1998 menyebutkan, keterlibatan militer Indonesia dalam bisnis dimulai sejak awal kemerdekaan. Saat itu, salah satu alasan utamanya adalah untuk mendapatkan dana tambahan bagi militer.

“Keterlibatan TNI dalam bisnis sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka,” ungkap Ketua Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI (Timnas PAB TNI) Erry Riyana Hardjapamekas. Sejak 1945-1949, aktivitas bisnis militer dilakukan dalam konteks perjuangan meraih kemerdekaan.

Sebagai tentara reguler dan militan- cikal bakal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)–, mencari uang bagi mereka ditujukan untuk mendanai operasi militer (Jalewasri Pramodhawardani dan Lex Rieffel, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, 2007).

Di era kemerdekaan itu, setiap unit perlawanan Indonesia harus menemukan sumber pendapatan sendiri untuk membiayai operasi militer melawan Belanda. Penyelundupan karet dan kopra serta penjualan opium menjadi pundi-pundi uang yang paling menguntungkan.

Bisnis ilegal yang dilakukan militer ini juga dilakukan hampir seluruh gerakan revolusioner di dunia. Masuknya militer ke dalam dunia bisnis setelah Indonesia merdeka merupakan manifestasi ide “jalan tengah” yang dilontarkan Jenderal AH Nasution pada 1958.

Keterlibatan militer direalisasi ketika perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi pada tahun yang sama. Pola ini diikuti dengan penempatan pejabat-pejabat militer di posisi strategis dalam perusahaan tersebut.

Hatta, di bawah Undang-Undang (UU) Darurat Perang dan, tentara tidak hanya berhasil meningkatkan perannya di bidang politik, tetapi juga ekonomi. Peran militer di dunia niaga terus berkembang sejak era Presiden Soekarno, Soeharto hingga saat ini. Bahkan jauh sebelum 1958, TNI yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) sudah menunjukkan berbagai aktivitas bisnisnya.

Sejak konsolidasi organisasi angkatan bersenjata menjelang 1950,BKR diharuskan mencari dukungan logistik sendiri dan terlepas dari markas besar. Dari sini bisa dilihat, sejak saat itu militer Indonesia sudah akrab dengan bisnis. Pasalnya mereka harus mampu membiayai berbagai operasi serta penataan organisasinya secara mandiri.

Tidak hanya bisnis legal, yang ilegal pun dijadikan andalan untuk dana guna mempertahankan kemerdekaan yang masih seumur jagung. Dari berbagai manuskrip sejarah terlihat BKR pernah melakukan penyelundupan senjata, narkotika, bisnis minyak hingga perampokan untuk membiayai perjuangannya.

Dalam buku Bila ABRI Berbisnis (1998) karya Indria Samego disebutkan, bisnis di lingkungan militer memang awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan operasional yang tidak terdukung secara layak oleh pemerintah.

Namun dalam perkembangannya, keterlibatan militer dalam bisnis semakin berkembang. Pada masa Orde Baru, hubungan ABRI dan bisnis terimplementasi secara lebih luas karena tak satu pun sektor produksi dan usaha nasional penting yang tidak tersentuh jaringan bisnis ABRI, baik secara individual maupun institusional.

Lewat jargon dwifungsi ABRI, para tentara melirik lahan-lahan basah guna mencengkeram ekonomi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada masa Orde Baru, tentara aktif maupun pensiunan tersebar menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan swasta hingga BUMN.

Sebut saja PT Berdikari, Badan Urusan Logistik hingga Pertamina yang dimanfaatkan sebagai lumbung duit pendanaan tentara. Di era Orde Baru itu pula muncul berbagai yayasan maupun koperasi yang dikelola secara langsung maupun tidak langsung oleh tentara.

Bahkan hampir tiap kesatuan yang ada dipastikan memiliki induk koperasi yang menguasai berbagai lahan bisnis. Sebut saja Koperasi Baret Merah (Kobame) milik Kopassus, Induk Koperasi Angkatan Darat, dan Induk Koperasi Angkatan Laut. Namun, seiring berembusnya angin perubahan (Reformasi 1998), bisnis-bisnis milik tentara semakin berkurang.

Kejayaan TNI dalam dunia bisnis pun mulai surut. Bahkan di awal Orde Reformasi, IMF bersama bank dunia pernah mencoba meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (Mei 2000) untuk melakukan audit keuangan yayasan-yayasan di bawah Departemen Pertahanan/TNI.

Hal itu untuk melihat bagaimana kinerja pengelolaan keuangan di tubuh TNI serta melihat ada atau tidaknya kejanggalan- kejanggalan dalam bisnis militer. Praktis, pascareformasi digulirkan, ruang gerak TNI di dunia bisnis semakin terbatas.

Bahkan sejak dikeluarkannya UU No 34 Tahun 2004, TNI dipaksa harus menyerahkan lahan bisnisnya kepada pemerintah. Untuk melaksanakan tugas ini, berbagai langkah sudah ditempuh pemerintah. Termasuk salah satunya adalah membentuk timnas pada April 2008.

Adapun tugas lembaga ini adalah melakukan pendataan bisnis TNI di seluruh Indonesia hingga memberikan rekomendasi pelaksanaan pengambilalihan bisnis tersebut. Yang menjadi persoalan saat ini, seberapa konsern pemerintah mengeluarkan kompensasi pengalihan bisnis militer lewat peningkatan anggaran pertahanan.

Tahun 2000, pemerintah hanya memberikan Rp10,5 triliun untuk belanja pertahanan. Pada 2004, alokasi anggaran pertahanan meningkat menjadi Rp21 triliun. Pada 2005, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengajukan anggaran sebesar Rp45 triliun.

Namun, pemerintah hanya merealisasikan Rp23 triliun. Pada 2006, Departemen Pertahanan (Dephan) mengajukan anggaran Rp56 triliun, pemerintah merealisasikan Rp28 triliun. Untuk 2009, Dephan mengajukan permintan anggaran pertahanan sebesar Rp141 triliun.

Terlebih, saat ini TNI dituntut profesionalismenya dengan hanya melakukan tugas pokoknya. Sebaliknya, sudah semestinya pula negara berlaku profesional menerapkan besaran anggaran pertahanan negara yang hingga kini masih di titik nadir.

sumber: news.okezone.com

1 Komentar

  1. AHMAD SUYUTI berkata:

    Tak peduli seburuk apapun masa lalumu cintai dirimu. Hari ini kamu bisa memulai yg baru. Beri yg terbaik tuk masa depanmu.

Tinggalkan Komentar