Filsafat Sejarah Menurut Murtadha Muthahhari (bagian -2)

Gerak Sejarah

Jiwa dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. Menurut Muthahhari, pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke arah heterogenitas.

Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat diterangkan sebagai berikut.

  1. Pandangan sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat. Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
  2. Gerak sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.
  3. Pengaruh alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
  4. Kekuatan penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka jalan bagi Cauvinisme.
  5. Teori evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
  6. Teori historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.

Dari berbagai pendapat tentang gerak sejarah, Muthahhari memandang bahwa gerak sejarah dari arti active cause, yakni pemahaman tentang determinisme sejarah dan arti ideal cause, yakni pandangan tentang masa depan manusia. Bagi Muthahhari, determinisme sejarah dipahami dari dua makna yang saling terkait. Makna ini diambil dari ayat al-Qur’an surat [35]: 43 “ Maka engkau sekali- kali tidak akan mendapatkan pergantian di dalam sunnatullah ”, dan di dalam al-Qur’an surat [13]: 11 “ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri ”. Ayat pertama determinisme sejarah dipahami sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat kedua determinisme sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia berhubungan dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”. Selagi semuanya belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.

Sementara itu, tentang pandangan masa depan manusia ada yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan sosialis. Bagi Islam, masa depan manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama, Islam tidak menganggap masa lalu dengan pesimis secara total. Kedua, Islam tidaklah demikian sinis terhadap watak manusia. Dengan kata lain, Islam memandang masa depan manusia dengan sikap optimisme

Pandangan masa depan ini sangat terkait dengan pemahaman hukum-hukum sejarah. Hukum- hukum sejarah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Kitab Allah dalam kedudukannya sebagai petunjuk suci yang akan mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada terangnya kebenaran.

Apabila pandangan tentang masa depan manusia dan hukum-hukum sejarah yang mengitari proses dinamika sejarah ini diambil makna esensialnya, maka akan terlihat secara jelas sifat-sifat dari gerak sejarah itu sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan yang tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah) manusia. Meskipun demikian, kita tidak mampu menentukan bentuk fisik masa depan sejarah manusia.

Penggerak Sejarah

Di dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi (objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi (subjektif) yang ada pada mereka sendiri ” menggambarkan bahwa manusia memainkan peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut juga tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan yang ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.

Konsepsi Islam dan al-Qur’an meyakini bahwa dua proses perubahan ini harus berjalan beriringan. Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pikirannya harus seiring dengan pembangunan fisik dan sosial budayanya. Jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan fisik, maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang kropos.

Penjelasan Muthahhari tentang peran manusia dalam menggerakkan sejarah tidak hanya bersifat umum, tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci terutama tentang kecenderungan yang dimiliki manusia. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum Marxis yang mengatakan bahwa kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu jalan, yakni ekonomi  Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia pada hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20), sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).

Meskipun manusia memiliki seluruh kecenderungan ke arah nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi suatu percikan suci yang secara esensial menentang kejahatan, pertumpahan darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan, degradasi, dan penghinaan serta penekanan dan kezaliman. Manusia memiliki kecenderungan kepada kesempurnaan.

Ada kecenderungan lain pada diri manusia selain dari kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu kecenderungan untuk tetap hidup, menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada makanan dan kelezatan, kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan keindahan, serta kecenderungan pada ilmu pengetahuan.

Kecenderungan yang beragam tersebut, menurut Muthahhari, semuanya dapat dijadikan sebagai motor penggerak. Alasannya, dalam realitas kehidupan manusia, segala macam bentuk pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian bersumber dari satu kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak hanya satu motor penggerak. Jika memang benar dalam masyarakat hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat. Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan karena berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain.

Penjelasan Muthahhari tentang manusia sebagai penggerak sejarah tidak hanya dilihat dari setting individual yang terpisah, melainkan juga dari sisi masyarakat. Muthahhari membedakan secara jelas tindakan individu dengan tindakan kolektif. Tindakan individu mengandung dua dimensi (sebab aktif dan sebab material), sedangkan tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab aktif, material, dan sebab akhir).

Penutup

Muthahhari dalam kajian sejarahnya lebih memfokuskan pada kajian yang bersifat filosofis. Kajian ini dimaksudkan untuk menampilkan filsafat sejarah perspektif al-Qur’an. Selain itu, kajiannya dimaksudkan untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada, khususnya Marxisme. Untuk membedakan filsafat sejarahnya dengan filsafat-filsafat sejarah yang ada, Muthahhari mengawali pembahasannya tentang sifat sejarah yang bukan hanya bersifat bendawi, melainkan bersifat non-bendawi dan suprabendawi. Sifat inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan filsafat sejarah berikutnya, khususnya tentang tujuan sejarah, gerak sejarah, dan penggerak sejarah.

Daftar Pustaka

  • Algar, Hamid. 1985. The Roots of the Islamic Revolution. London: The Open Press.
  • Bagir, Haidar. 1988. Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Bandung: Yayasan Muthahhari.
  • Hugiono dan Poerwantara. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Rineka Cipta.
  • Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
  • Muthahhari, Murthada. 1984. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
  • _______, 1991. Menguak Masa Depan Manusia Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah.
  • _______, 1991. Kritik Islam terhadap Paham Materialisme. Jakarta: Risalah Masa.
  • _______. 1991. Falsafah Kenabian. Jakarta: Pustaka Hidayah.
  • ______. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Jakarta: Pustaka Hidayah.
  • Qutb, Muhammad. 1992. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
  • Siddiqi, Mazheruddin. 1986. Konsep Qur’an tentang Sejarah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
  • Suryanegara, Ahmad Mansur. 1995.  Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan.
  • Al-Sarqawi, Effat. 1981. Filsafat Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Shadr,
  • Muhammad Baqir. 1992. Tafsir Modern. Jakarta: Risalah Masa.
  • ____. 1993. Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an Sebuah Analisis. Jakarta: Pustaka Hidayah.

1 Komentar

Tinggalkan Komentar