Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (3)

*Sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”. Lanjutan dari bagian kedua : Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (2)

*******

Budi Utomo dalam Persaingan dan Imbauan

DALAM suratnya tanggal 30 Desember 1909 Penasihat Urusan Dalam Negeri Hazeu mengajukan pertanyaan Mengapa beberapa orang bupati yang maju dan disegani tidak terpilih sebagai anggota pengurus (Budi Utomo)? Jelas, di kepalanya tercatat beberapa nama bupati yang pernah dihubungi siswa-siswa STOVIA menjelang kongres pertama berlangsung.

Tetapi dalam menganalisa tanggapan bupati terhadap organisasi baru ini, perlu diingat adanya perbedaan tanggapan yang mencolok di kalangan priayi luhur dan priayi cilik terhadap politik etis Belanda, dan terhadap setiap perkembangan apa pun di bidang pendidikan. Priayi luhur yang bernafsu kemuliaan itu jarang berpikir dari sudut golongan priayi secara keselurtlhan, apalagi dari sudut bangsa Jawa. Mereka berasyik-masyuk dengan kalangan mereka sendiri.

Budi Utomo mereka pandang sebagai organisasi para priayi cilik khusus, maka tak terpikir pada mereka untuk ikut dalam kegiatan organisasi itu. Maka, berpalinglah mereka itu kepada gagasan untuk mendirikan organisasi sendiri. Ini tak usah ditafsirkan sebagai sikap bermusuhan terhadap Budi Utomo, tapi sekadar mencerminkan kewajaran watak dari suatu elite yang berkesadaran kelas.

Pada 22 Oktober 1908, beberapa minggu sesudah kongres pertama Budi Utomo, bupati Temanggung dan bupati Jepara mengusulkan pembentukan “organisasi bupati se-Jawa dan Madura.” Walau surat edaran yang dikeluarkan atas nama Tjokro Adi Koesoemo dan Koesoemo Oetoyo, diduga gagasan semula berasal dari tokoh ketiga, yaitu Bupati Tuban Koesoemodigdo.

Surat edaran itu mengajukan butir-butir masalah berikut:

  • Rapat perlu diadakan untuk membahas masalah kepentingan Jawa dan Madura, dan kepentingan penduduk pribumi serta para pembesar
  • Usul-usul yang dihasilkan rapat ini hendaknya diajukan kepada pemerintah Hindia Belanda, dengan tujuan demi kemajuan Jawa dan Madura.
  • Penerbitan karya-karya yang baik, demi kepentingan bangsa Jawa, termasuk Sunda dan Madura.
  • Menerbitkan laporan setiap rapat untuk disebarkan di kalangan pejabat pribumi di Jawa dan Madura, dan jika mungkin terjemahan ke bahasa Belanda untuk kemudahan para pejabat pemerintahan di Hindia dan di Negeri Belanda.

Program di atas sangat mirip dengan program Budi Utomo. Bahkan lingkup daerahnya pun Jawa dan Madura. Maka, tidak aneh apabila ketiga bupati yang merumuskannya termasuk di antara mereka yang oleh Soewarno disebut sebagai bupati “maju”.

Di antara yang tiga itu, khususnya Koesoemo Oetoyo, terkenal di kalangan bupati sebagai salah seorang pembicara berbahasa Belanda paling cakap, dan juga sebagai editor Pewarta Prijaji dari 1900 sampai 1903. la segera ditunjuk sebagai salah seorang dari dua komisaris Budi Utomo, yang dipilih untuk menggantikan Tjipto dan Soerjodipoetro pada bulan Oktober 1909.

Semangat para bupati untuk membangun masyarakat Jawa ini tidak bisa dicegah. Berdirinya Budi Utomo agaknya telah menjadi mendorong bagi berdirirya organisasi mereka sendiri. Hal ini dibenarkan Hazeu dalam surat rahasianya kepada direktur pengadilan: “Gerakan Budi Utomo dalam paruh kedua tahun 1908 merupakan penyebab langsung bagi timbulnya prakarsa dari dua orang bupati muda dalam berusaha mewujudkan gagasan itu.”

Program itu sendiri tidak tegas-tegas menyatakan sebagai organisasinya para bupati. Perumusannya ialah “penduduk pribumi dan para pembesar”, namun tekanan lebih diletakkan pada kata “para pembesar”, sebagaimana ditegaskan dalam surat edaran lain yang mengingatkan bahwa anggota tetap terbuka bagi para bupati di Jawa dan Madura. Yang bukan bupati bisa menjadi anggota istimewa, tetapi iuran bulanannya ditetapkan sangat tinggi, sehingga menimbulkan keengganan orang untuk ikut.

Organisasi ini berlaku sebagai vakvereeniging, persatuan profesi, kalangan bupati. Kebanggaan bupati sebagai elemen sosial pada jajaran paling tinggi dalam hirarki tradisional terungkap dalam surat edaran itu. Di satu pihak mereka memperingatkan bahwa “pembicaraan mengenai soal-soal politik dan agama harus benar-benar dihindari”, pada edaran lain tersirat keinsyafan para bupati akan harga diri mereka.

Bunyi edaran itu: Kami rasa pemerintah tak akan berbuat apa pun kecuali senang apabila pegawainya yang paling penting di kalangan penduduk pribumi mempersatukan diri, agar tahu keinginan dan kebutuhan mereka. Kami malahan berayun-ayun dalam harapan, seandainya organisasi berhasil memenuhi tujuannya, pemerintah akan minta pendapat organisasi tentang banyak hal mengenai penduduk pribumi.

Selagi Budi Utomo masih mencoba-coba berusaha mewakili aspirasi priayi cilik, para bupati kelihatan penuh kepercayaan bahwa priayi luhur akan tetap mewakili penduduk pribumi. Tak bisa tidak, agaknya kedua organisasi ini memandang satu sama lain sebagai saingan.

Para pemimpin Budi Utomo menjadi kesal oleh tantangan yang mencolok terhadap imbauan mereka untuk mencari dukungan itu. Hazeu mengatakan, “Ini menunjukkan bahwa Budi Utomo masih belum berhasil menyerap seluruh elemen yang berpikiran maju di Jawa.” Kejengkelan lebih besar, karena pimpinan Budi Utomo memandang kepercayaan diri yang berlebihan di kalangan bupati, yaitu anggapan bahwa merekalah pemimpin sejati bangsa Jawa.

Surat Hazeu 7 Februari 1910 melukiskan kemarahan di kalangan anggota Budi Utomo: Dalam surat edaran yang dikirim oleh dua pejabat pribumi kepada rekan-rekan mereka itu, mereka menerangkan dengan panjang lebar tujuan pembentukan (persatuan bupati). Surat edaran ini diperbincangkan oleh pers pribumi, juga oleh kalangan muda dan para anggota yang sangat maju dalam organisasi Budi Utomo dengan nada tidak ramah, bahkan hampir bermusuhan. Mereka – beberapa dokter Jawa, guru pribumi, dan siswa-siswa dari kelas terakhir STOVIA – khawatir organisasi pejabat tertinggi pribumi yang bergaji besar ini hendak melawan Budi Utomo yang lebih demokratis.

Kedua organisasi itu bersaing mengaku sebagai organisasi yang benar-benar mewakili bangsa Jawa. Sementara itu, lapisan masyarakat Jawa yang lain juga memandang Budi Utomo dengan rasa enggan. Penduduk Surakarta, misalnya, “agaknya ingin bersikap dengan sedikit mengambil jarak terhadap Budi Utomo.” Perasaan ini tercermin dalam wawancara seorang koresponden Nieuwe Rotter damsche Courant pada 20 November 1908 dengan kalangan pejabat kepatihan, Sri Mangkunegara VI, dan Susuhunan Sri Pakubuwana X.

Diberitakan, Patih menyatakan, walau ia belum menjadi anggota Budi Utomo, toh prinsip-prinsipnya ia dukung penuh. Malah, andai kata organisasi ini tak berhasil memenuhi prinsip-prinsipnya yang luhur itu, katanya, ia berpendapat tidak akan timbul bencana. Ditambahkannya, merupakan langkah sangat bagus bagi rakyat kecil belajar baca tulis, sehingga, “selama orang tetap berjalan di jalan yang lurus, pastilah cita-cita (yang diinginkan) akan datang juga.” Sri Mangkunegara VI lebih diplomatis, “Jika pemerintah memberikan pengakuannya terhadap organisasi ini, ia pun akan memberikan dukungannya langsung ataupun tak langsung.

Kelompok ketiga adalah kalangan keraton Susuhunan Pakubuwana X, yang tampak bersimpati terhadap sepak terjang organisasi, tetapi mereka tidak menunjukkan pendirian apa pun yang tegas. Pejabat-pejabat ini bersikap menunggu, apa langkah Budi Utomo yang hendak ditempuhnya dalam menghadapi masalah adat. Jika ternyata sikap mereka “terlalu demokratis”, kata para pejabat keraton tersebut, mereka akan menyingkir jauh dari organiasi itu. Wawancara selanjutnya mengemukakan pandangan dua “tokoh Jawa berpikiran maju” yang tak disebutkan namanya.

Salah seorang konon khawatir, jika Budi Utomo kelak menjadi organisasi besar dan kuat, seorang pemimpin ambisius akan tampil dan berusaha menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya demi kepentingan diri pribadi. Tokoh kedua melontarkan kecemasannya, jika kelak rencana pengajaran di desa telah berjalan, kaum terpelajar baru anak-anak para petani itu akan mulai memandang rendah terhadap pekerjaan di sawah. Akibatnya, pemerintah akan berhadapan dengan banjir magang, atau para juru tulis tak bergaji. Ia memperingatkan, perkembangan ini pada akhirnya akan mengakibatkan lahirnya “proletariat intelektuil“.

Karena itu, sikap berbagai kalangan priayi Surakarta dapat dilukiskan sebagai paling banter menyokong tidak menentang pun tidak. Merupakan tantangan bagi Pengurus Budi Utomo untuk membawa organisasi menjadi lebih menarik bagi priayi kalangan atas. Dipilihnya dua orang bupati menggantikan dua komisaris yang mengundurkan diri adalah langkah yang diambil dalam rangka itu.

Sementara itu, pimpinan Budi Utomo harus mempertimbangkan pula dampak setiap langkahnya terhadap anggota-anggota yang berumur muda dan lebih maju, agar tidak menimbulkan kemarahan mereka. Dilema yang dihadapi tercetus dalam sebuah pernyataan yang disusun Pengurus tentang persoalan memohon peran serta bupati. Pendapat Pengurus tentang masalah ini: Jika banyak orang mengatakan bahwa banyak bupati di Jawa dan Madura tidak setuju bahwa organisasi kita itu benar, maka organisasi kita ini pasti tidak akan bisa berkembang.

Kaum priayi dan penduduk Jawa lainnya yang ada di bawah perintah bupati, mengetahui kita tidak berani melakukan apa pun yang akan mengganggu ketenteraman pikiran mereka, lantas kita sebagian besar takut terhadap kekuasaan mereka. Jika Budi Utomo mencari pengayoman pada bupati, pastilah mereka itu akan mendengarkan gagasan-gagasan kita dan mau memahami tujuan-tujuan kita. Sekali hal ini terselesaikan, mereka pun tidak akan lagi menentang program-program kita. Jika ada kekhawatiran bahwa di masa depan organisasi kita akan berubah haluan, perasaan demikian sama sekali keliru.

Haluan Budi Utomo telah dengan tegas digariskan ketika merumuskan rancangan anggaran dasar organisasi, yang telah disusun dan diperbaiki oleh Badan Pengurus bersama pengurus-pengurus cabang. Semua pendapat, baik dariyang muda maupun tua, akan dibahas dan dipertimbangkan. Setiap pandangan yang tidak bermanfaat akan ditolak, tanpa pandang umur atau kedudukan orang yang mengemukakan pandangan itu. Karena itu, Badan Pengurus menegaskan, Budi Utomo mencari pengayoman bupati. Ini berarti bahwa sebagian besar keanggotaan Badan Pengurus akan diduduki oleh bupati, dan kapan saja suatu pendapat akan diambil, Pengurus juga akan mencari nasihat dan dukungan dari para bupati yang tidak duduk di kursi Badan Pengurus. Walaupun pernyataan ini tanpa tanggal, dari isinya jelas disusun sebelum terselesaikannya naskah akhir anggaran dasar pada Juli 1909.

Usaha khusus mencari dukungan bupati dengan mengutamakan solidaritas yang dikatakan ada di antara bupati dan priayi mengenai Badan Pengurus ini mengalami kegagalan. Pada November 1909, 29 orang bupati meminta pengesahan pemerintah untuk perhimpunan mereka sendiri, walaupun kegiatannya yang sebenarnya barulah dimulai tahun 1911 . Usaha mengerahkan dukungan bupati itu sedikit meredakan semangat anggota Budi Utomo yang prosresif. Perselisihan di dalam tubuh organisasi menjadi semakin tajam, sebagaimana diungkapkan Soewardi Soeryaningrat: “Sebenarnya, pada waktu Budi Utomo didirikan sebagai suatu organisasi nasional yang luas, di dalamnya sudah terdapat dua kelompok: “golongan moderat” dan “golongan radikal”. Yang belakangan itu kemudian pecah menjadi dua – satu kelompok akhirnya bergabung dengan gerakan Sarekat Islam, dan kelompok lainnya bergabung dengan Indische Partij“.

Walaupun dua kelompok tersebut jelas ada, sebagian besar anggota tidak bisa tegas-tegas dimasukkan dalam golongan ini atau itu. Pikiran sebagian besar anggota berada di antara kedua ujung pendirian, dan sangat mudah terguncang oleh pengaruh tekanan, baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Demikian juga politik Budi Utomo terus-menerus bergerak di antara kedua kutub itu. Dalam hal keputusan-keputusan terpenting, pilihan harus diambil di antara dua atau lebih alternatif yang diberikan berbagai kelompok.

Salah satu di antara masalah genting yang dihadapi organisasi selama riwayatnya ialah masalah hubungannya dengan agama. Masalah ini, dalam hubungannya dengan agama Islam, timbul pertama kali ketika Mohammad Tahir, pada kongres kedua, memberikan pandangannya tentang situasi di cabang Weltevreden dan Batavia. Ia berpendapat, kegiatan masa datang Budi Utomo hendaknya lebih banyak didasarkan pada kegiatan di cabang-cabang. Kemudian dibandingkannya antara kegiatan Budi Utomo di cabang-cabang Batavia dan di Jawa Tengah serta Jawa Timur – di Batavia penduduk pribuminya memeluk Islam dengan taat, dan tidak tertarik sama sekali kepada Budi Utomo.

Sebaliknya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, organisasi mencapai sukses lebih besar di tengah-tengah penduduk yang relatif tidak beragama. Begitu salehnya penduduk Batavia, jumlah orang yang ke masjid di sana empat atau lima kali lebih besar dari di daerah-daerah kerajaan, walau masjid-masjid di Jawa Barat jauh kurang indah. Ia menyarankan, agar Budi Utomo bisa merebut hati penduduk Batavia, hendaknya masjid-masjid di sana dapat diberi bantuan keuangan. Hadirin, mengakui kemungkinan pendekatan Mohamad Tahir, akan menyambut hangat pendapatnya. Seorang Cina, Lie Boen Hok, memuji saran tersebut dan menanyakan apakah Badan Pengurus sudah siap dengan petisi kepada pemerintah tentang masalah ini. Ketua, Tirtokoesoemo, memberikan jawaban tak tegas. Ia mengatakan, Pengurus akan melakukannya jika sidang tak keberatan.

Pidato Tahir berisi dua soal penting. Pertama, arti penting Islam yang meluas di luar Weltevreden dan Batavia sampai ke seluruh Jawa. Andai kata Budi Utomo diterima kalangan muslim yang saleh itu, pertumbuhan organisasi di seluruh Jawa akan sangat dipermudah. Kedua, terkandung dalam penyebutan Tahir mengenai masjid dan uang masjid, terlibat pembagian-pembagian sosial yang ruwet di dalam organissi keagamaan. Sisi formal agama Islam terdiri atas para pejabat masjid dari tingkatan atas, yang disebut penghulu, dan para hakim agama resmi. Dua golongan ini termasuk dalam golongan priayi. Tetapi guru-guru agama yang tak resmi, yang disebut kiai dan ulama, termasuk dalam tradisi santri.

Pengaruh guru-guru terhadap muslim yang saleh ini berasal dari sekolah yang dikenal dengan nama pesantren, yang hidup sangat bebas dari kekuasaan duniawi. Manakala kalangan priayi dari pejabat masjid dan pengadilan agama menjadi sasaran wajar bagi pendekatan Budi Utomo, guru-guru masih tetap di luar jangkauan organisasi sama sekali. Dalam berlomba-lomba mencari dukungan kaum abangan, atau mayoritas pedesaan, seperti ditegaskan Harry Benda, penghulu selalu kalah dengan kiai dan ulama. Perihal ini menjadi sangat kentara kemudian, ketika guru agama menjadi salah satu sumber dukungan utama bagi Sarekat Islam. Perbedaan dukungan yang diperoleh dari massa antara Sarekat Islam dan Budi Utomo pada pokoknya bisa dikembalikan kepada masalah perbedaan pendekatan mereka terhadap Islam.

Baris Pertama: R.M.A. Woerjaningrat, Pangeran Hadiwijojo, R. Sastro Widjono (Ketua), Dr Radjiman Wediodipoero, Z.H. Pangeran Adipati Ario Praboe Prangwedono (kehormatan), S. Koperberg (Sekretaris).
Baris Kedua: Dr. Satiman Wirjosandjojo, Z. Stokvis, D. van Hinloopen Labberton, Dr Tjipto Mangunkusumo, J. Rottier, A. Mühlenfeld, R.M.S Soeriokoesoemo
Foto dibuat tahun 1918

Kelompok beragama kedua yang berpengaruh terhadap Budi Utomo adalah Himpunan Teosofi. Melalui tokoh wakil sekretarisnya di Hindia, yaitu seorang Belanda bernama D. Van Hinloopen Labberton, orang mendapat julukan kiai santri oleh orang-orang Jawa. Ia dikenal luas di Hindia, dan sebagai guru bahasa Jawa pada Gymnasium Belanda Willem III, ia sudah menjalin hubungan dengan siswa-siswa STOVIA, bahkan sejak sebelum berdirinya Budi Utomo.

Soetomo melukiskannya, “Kiai ini menjadi pusat, sumber, bagi kita, karena pergaulannya yang akrab dengan banyak tokoh penting dari kalangan mana saja. Kita dengan mudah bisa mendapatkan informasi tentang sejumlah masalah yang menjadi bahan pembicaraan dan pembahasan dalam kelompok kita itu.”

Labberton, tokoh pembaru etis yang bersemangat ini, menaruh minat cukup besar terhadap Budi Utomo. Agaknya, melalui perantara anggota-anggota Budi Utomo yang tertarik pada teosofi, Badan Pengurus setuju menyelenggarakan ceramah atas nama Himpunan Teosofi Hindia Belanda.

Tiga ratus hadirin mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Labberton pada 16 Januari 1909 petang berbicara panjang-lebar tentang masalah agama. Separuh pertama ceramahnya menguraikan tujuan himpunannya dan bagaimana hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa. Mengemukakan gagasan tentang kebangkitan nasional, ia membagi bangsa di dunia menjadi dua golongan: bangsa-bangsa besar yang sadar akan tugas yang harus ditunaikan di dunia, dan bangsa-bangsa kecil yang tidak sadar. Sebagai contoh dikemukakannya peristiwa, ketika Belanda mendapatkan kemerdekaannya dari Spanyol. Pada peristiwa ini sajalah ia melihat sebagai sumber kebangkitan Belanda, tampil pada kedudukan sebagai bangsa besar. Bagian kedua ceramahnya mengenai Budi Utomo, yang diartikannya sebagai “kesadaran moral”.

Sebagai seorang teosof, ia mengutamakan kebutuhan akan keselarasan antara moral nasional dan pembangunan peradaban materiil, suatu pendirian yang sangat mirip dengan pidato Dr. Radjiman pada kongres pertama Budi Utomo. Ia tidak berbicara tentang aspek-aspek mistik dalam teosofi, seperti masalah reinkarnasi atau okultisme, walaupun paham-paham ini sangat dikenal di kalangan alam pikiran priayi.

Masalah paling penting dalam ceramahnya dikemukakan dengan kurang langsung. Pertama, seluruh ceramahnya disampaikan dalam bahasa Melayu, yang kelak akan dikenal sebagai bahasa Indonesia. Sebagai guru bahasa Jawa tentu saja ia sangat mahir baik berbahasa Jawa maupun Melayu, tetapi ini tidak mengurangi maknanya yang penting. Penggunaan bahasa Melayu oleh Lebberton menimbulkan perbedaan tajam terhadap penggunaan bahasa Belanda terus-menerus oleh pimpinan Budi Utomo, seperti Soetomo dan Goenawan Mengoenkoesoemo, yang dengan latar belakang pendidikan mereka menjadi mahir dalam suatu bahasa asing, namun menjadi tak pandai dalam bahasa ibu mereka sendiri.

Masalah kesamaan bahasa selalu merupakan masalah penting bagi Budi Utomo. Kemudian dalam bahasa Belanda masih merupakan kepandaian yang langka, dan itu pun hampir tak sesuai dengan rapat-rapat organisasi “Jawa” yang pertama ini. Pada pihak lain, bahasa Jawa bukan alat yang tepat, karena tingkatan-tingkatannya yang ruwet dan orang Sunda serta Madura tidak bisa berbahasa Jawa. Karena itu, bahasa Melayu, lingua franca bagi perairan Melayu dan Indonesia, dipilih sebagai bahasa bersama dalam rapat-rapat Budi Utomo. Mungkin juga karena kaum terpelajar Jawa merasakan bahwa penggunaan bahasa Melayu bisa merupakan sarana untuk mematahkan kebekuan tradisi. Pada kongres pertama sudah disepakati rencana anggaran dasar diuraikan di dalam “bahasa Melayu rendah, agar setiap orang bisa mengerti”.

Pada kongres kedua, Ketua, irtokoesoemo, mengusulkan pemakaian bahasa Melayu, sehingga “semua orang di Jawa bisa mengerti”. Sementara itu, anggota yang hadir pada kongres kedua itu, khususnya Kartaatmadja, malahan menuntut agar seluruh pembicaran dalam kongres dilakukan dalam bahasa Melayu. Penggunaan bahasa Melayu juga dianjurkan sebagai sarana tulisan – Verslag Boedi Oetorno yang terbit pada akhir 1909 seluruhnya tertulis dalam bahasa Melayu, walaupun di sana-sini kata-kata Belanda muncul tanpa terjemahan Melayu. Dengan demikian prinsip bahasa Melayu sebagai bahasa bersama sudah diletakkan sejak tahun-tahun pertama, kendatipun beberapa tokoh tertentu tetap berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda atau Jawa.

Penggunaan bahasa Melayu oleh Labberton menunjukkan, seperti dikatakan seorang penulis dalam Indische Gids, “untuk menyadarkan penduduk pribumi dan membuka pikiran lebih lebar, orang memerlukan pengetahuan dasar tentang bahasa Belanda, yang bagi mereka sangat sukar.” Dalam masalah pendidikan bahasa, Budi Utomo tetap sangat berorientasi kebarat-baratan.

Masalah penting kedua dalam ceramahnya ialah penekannya pada masalah swawinaya (selfdiscipline) demi kepentingan bangsa. Ia mendorong agar penduduk pribumi meninggalkan tujuh kejahatan, yang semuanya berawal dengan aksara ma: main (bermain kartu berjudi), madon (bermain perempuan melacur), minum (minum minuman keras bermabuk-mabuk), madat (candu), maling (mencuri), mada (menyumpahi), dan mangani (rakus). Slogan-slogan yang berpurwakanti ini melengkapi cita-cita Budi Utomo yang abstrak itu dengan sasaran-sasaran praktis dan bisa dikerjakan. Juga slogan-slogan tersebut memukau daya angan-angan orang Jawa melalui permainannya yang lembut terhadap bahasa pribumi.

Bersambung…. kebagian empat