Sejarah akan mencari asalnya …. (2)

“Pemilu kami gelar lima tahun sekali, masyarakat sipil terus berkembang, kebebasan pers masih hidup dan dinamis. Tidak ada prospek kudeta militer,” kata SBY di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Kamis (19/5/2011). “Tidak ada peluang kudeta militer, bahkan 85 persen orang Indonesia yakin bahwa negara mereka berada pada arah yang benar,” ujarnya. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disampaikan saat menyambut delegasi international reporting project dari Amerika Serikat (AS). Rombongan yang terdiri dari editor dari sejumlah media di AS itu sudah berada dua minggu di Indonesia.(detikNews.com).

Presiden mengatakan, institusi negara yang dibangun setelah masa reformasi amat stabil dan kuat, sedangkan demokratisasi juga semakin berkembang. Hal itu, lanjut dia, dapat terlihat dari pemilu yang rutin digelar setiap lima tahun sekali, kebangkitan masyarakat sipil, serta kebebasan pers yang hidup dan dinamis.

Di hadapan para tamunya dari AS yang berkunjung selama sepuluh hari di Indonesia, Presiden Yudhoyono membanggakan demokratisasi yang bertambah kuat serta tidak bisa berbalik mundur lagi. “Keadaan sekarang ini kontras dengan periode 1998 hingga 2001 ketika kami hampir berganti presiden setiap tahun,” ujarnya.

Menurut SBY, Indonesia saat ini terus memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, membangun kembali ekonomi, serta berupaya menegakkan hukum serta memberantas praktik korupsi. Presiden juga menegaskan bahwa Indonesia telah berhasil melalui ujian sejarah setelah melewati krisis multidimensi yang terjadi pada 1997-1998.

“Sejujurnya, saat itu terjadi banyak kekacauan dan gangguan keamanan, tetapi kami tetap selamat dari ujian sejarah itu. Saya yakin selama sepuluh tahun terakhir kami telah mencapai banyak hal, tetap masih banyak yang harus dilakukan pada tahun-tahun mendatang,” tuturnya. (Liputan6.com)

********

Kudeta atau dalam bahasa Prancis coup d’Etat atau disingkat coup yang berarti merobohkan legitimasi atau pukulan terhadap negara yang merupakan sebuah tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal dan sering kali bersifat brutal, inkonstitusional, berupa pengambil alihan kekuasaan atau penggulingan kekuasaan negara dengan menyerang strategis, taktis, politis legitimasi pemerintahan kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan.

Menurut Samuel P. Huntington campur tangan atau intervensi militer di dalam politik disebabkan tidak adanya kemampuan institusi/lembaga politik yang efektif dalam menengahi/menghubungkan, memperbaiki/menyaring, dan melunakkan aksi-aksi kelompok politik (the absence of effective political institutions capable of mediating, refining, and moderating group political actions).

Kapan militer akan melakukan kudeta? Secara umum kekuasaan militer akan melakukan campur tangan atau intervensi kedalam politik (pretorian) dan melakukan kudeta umumnya disebabkan oleh alasan kegagalan pemerintah sipil yang kehilangan legitimasi kekuasaan, dan kegagalan untuk mempertahankan kestabilan umum. Tetapi motif lain yang amat penting adalah adanya kepentingan korporat militer, kondisi politik yang mendukung terjadinya campur tangan militer dalam politik (pretorian), dan kepentingan otonomi militer.

Pernyataan Presiden SBY bahwa “tidak ada prospek kudeta militer” tentu sebuah kesimpulan yang tidak gegabah, hanya saja alasan tidak ada prospek kudeta militer karena (1) Institusi negara yang dibangun setelah masa reformasi amat stabil dan kuat. (2) Indonesia saat ini terus memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, membangun kembali ekonomi, (3) berupaya menegakkan hukum serta memberantas praktik korupsi, serta (4)  Indonesia telah berhasil melalui ujian sejarah setelah melewati krisis multidimensi yang terjadi pada 1997-1998. Semuanya alasan-alasan yang tidak ada hubungannya dengan prospek kudeta apalagi kudeta militer. Betulkah institusi negara sekarang kuat?, demokrasi dan ekonomi tumbuh berkembang? praktek korupsi diberantas abis?.

Alasan-alasan yang logis saya baca dari ulasan pengamat intelijen Andi Wijayanto yang mengatakan ada tiga skenario untuk melengserkan SBY. Pertama, kudeta militer. Namun isu purnawirawan jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan SBY-Boediono sangat kecil kemungkinan terjadi.

“Untuk melakukan kudeta harus dibutuhkan pasukan setingkat batalion yang dipimpin oleh kolonel. Dalam hal ini tidak ada purnawirawan jenderal yang memiliki akses untuk menggerakkan pasukan aktif. Saat ini Indonesia tidak seperti Libya yang terjadi pecah kekuatan di militer antara yang pro dan kontra-Khadafi,” jelasnya kepada okezone. Selain itu, kata Andi, SBY cukup berhasil membangun soliditas di kalangan militer karena selektif dalam melakukan konsolidasi.

Kedua, kudeta politik. Yakni, melalui proses pemakzulan atau impeachment melalui lembaga legislator. cara ini lagi-lagi para purnawirawan jenderal yang kecewa terhadap SBY tidak punya akses ke politik formal.

Ketiga, upaya impeachment sistematis dengan cara menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Hal itu dilakukan dengan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani konflik komunal, teror bom, dan lainnya. (ref)

Reformasi : Perjalanan Kapal Laut Tanpa Peta

Berpikir “kudeta” terhadap SBY adalah berpikir yang tidak perlu karena toh hanya tinggal 3 tahun lagi dia berkuasa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang “sabar menanti” tak perlu berbuat yang menguras banyak energi, hal yang perlu dirisaukan adalah perlukah “orde reformasi” menunggu usia 20 tahunan untuk diganti sebagai mana orde-orde terdahulu. Bila usia orde reformasi sama dengan usia orde baru maka butuh waktu 10 tahun lagi orde ini akan berganti atau kurang dari dua kali periode presiden kedepan yaitu sekitar tahun 2021.

Ketika Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto jatuh pada 1998, harapan rakyat untuk menyongsong Indonesia yang Iebih baik membuncah. Saat itu, rakyat menuntut penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dianggap telah memorak-porandakan kehidupan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia. Tuntutan rakyat tersebut berujung pada demo besar-besaran di seluruh Indonesia sehingga akhirnya Soeharto terpaksa menyerahkan kekuasaannya kepada BJ Habibie, wakilnya.

Sejak itulah, apa yang disebut “Orde Reformasi” berdiri. Namun apa yang terjadi setelah Orde Baru diganti dengan Orde Reformasi? Nyaris tak ada bedanya. Bahkan kondisinya makin kacau. Kecuali dibukanya kran kebebasan pers, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) tetap terjadi, bahkan lebih parah.

Karut-marut yang terjadi di Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru adalah karena rezim penganti Orde Baru yakni yang mengatasnamakan diri Orde Reformasi tidak mempunyai cetak biru blue print\ konsep lanjutan pembangunan bangsa dan negara sebagai pengganti konsepsi yang ditinggalkan Orde Baru. Ibarat kata, perjalanan Reformasi ini seperti perjalanan kapal laut tanpa peta. Jadinya Indonesia terombang-ambing ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas.

Kepincangan perjalanan negara di masa Reformasi bisa terlihat dari banyak aspek, seperti tidak seimbangnya antara kemajuan ekonomi makro dan mikro; juga tidak seimbangnya antara tuntutan rakyat dan ketersediaan barang dan jasa yang dihasilkan negara. Akibat tidak adanya keseimbangan inilah, tumbuh ketidakpercayaan rakyat kepada negara. Sebagai contoh, BPS mengumumkan jumlah rakyat miskin pada 2010 tinggal 31 juta jiwa, berkurang 1,5 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya (2009). Tapi fakta di lapangan, jumlah rakyat miskin makin banyak. Berbagai lembaga survei nonpemerintah menyatakan jumlah rakyat miskin mencapai sekitar 70 juta dan tiap tahun bertambah. Mana yang benar? Semua kejadian ini jelas akibat perjalanan roda pemerintahan yang tanpa peta, tanpa arah, dan tidak konseptual.

Lebih dari separuh jaman reformasi ada dalam kepemimpinan SBY, Namun, SBY gagal mencapai cita-cita reformasi dan hanya mengandalkan politik pencitraan. Maka layaklah kalo ada kesimpulan bahwa kegagalan reformasi karena kegagalan SBY. Sebagai contoh kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda reformasi mengalami penurunan. Survei isu strategis yang dilakukan oleh Institute for Strategic and Public Policy Research (Inspire) menunjukkan bahwa 60 persen responden tidak percaya atas kesungguhan Presiden Yudhoyono dalam memerangi korupsi.

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Nico Harjanto menambahkan kini pemerintah berupaya menutup kelemahan ini melalui pencitraan. Namun, rakyat sudah cukup cerdas untuk melihat aspek di balik pencitraan ini. Alhasil, pencitraan pun menemui kebuntuan. “Politik pencitraan mengalami kegagalan. Namun, bukan karena kegagalan konsultan pencitraan sendiri melainkan karena faktor kepemimpinan yang tak menyediakan penyelesaian,” tandasnya.

Prospek Mengganti Orde ?

Indonesia nyaris menjadi negara gagal. Kepemimpinan nasional begitu lemah dalam mengelola negara. Indonesia mengalami masalah pelik dalam persoalan kemiskinan , ketimpangan sosial, ketimpangan antar daerah dan isu SARA. Dan kesemuanya itu akibat kesalahan manajemen negara. Sosiolog Noam Chomsky, yang dalam buku Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006), mengatakan: sebuah negara bisa dinyatakan gagal bila tidak punya kemampuan atau ogah-ogahan melindungi warganya dari berbagai tindak kekerasan dan ancaman kehancuran. Satu lagi yang penting dari ciri-ciri failed state. Negara tidak bisa menjamin hak-hak rakyatnya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Institusi-institusi demokrasi juga gagal dipertahankan.

Bila sejarah diputar ulang kembali, kita harus sadar bahwa berdirinya rezim Orde Baru (Orba) yang mengganti Orde Lama (Orla) tidak lepas dari peran Amerika Serikat (AS). AS memang sangat berkepentingan terhadap Indonesia.Hal ini terutama kepentingan ekonomi.

Jika menilik sejarah perkembangan Indonesia, jatuhnya rejim Soekarno dan proses lahirnya Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang tengah berlangsung. Soekarno dengan ide nasionalisme ekonominya, dalam kaca mata Barat dianggap berpotensi menjadi ganjalan bagi kepentingan AS dan aliansinya dalam era Perang Dingin tersebut. Karenanya, AS sangat berkepentingan agar Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang lebih bisa mengakomodir kebutuhan mereka. Meskipun dalam buku-buku sejarah Indonesia tidak pernah dijelaskan secara resmi keterlibatan pemerintah AS (maupun Inggris) dalam kejatuhan Soekarno dan naiknya Soeharto, namun cukup banyak riset yang menunjukkan fakta sebaliknya (Johnson, 2000; Pilger, 2003). Naiknya Soeharto jelas membukakan pintu bagi pemilik modal asing untuk mulai mengeksploitasi kekayaan alam dan potensi pasar yang menjanjikan dari bangsa ini. Tanpa membuang waktu terlalu lama, pada tahun 1967, rejim yang baru lahir tersebut mengeluarkan UU No 1 tentang Penanaman Modal Asing. Kelahiran UU inilah yang menjadi salah satu batu pijakan awal bagi proses liberalisasi ekonomi di negeri ini. Dalam konteks ini, film arahan John Pilger, jurnalis asal Australia, “The New Rulers of the World” (2001) cukup gamblang menggambarkan bagaimana sebuah negara—dalam hal ini Indonesia—yang semestinya berdaulat menjadi sekedar arena pembagian rejeki ekonomi bagi para pemilik modal asing.

Suatu saat, Presiden AS John F Kennedy,tiga hari sebelum ditembak mati di Dallas, Texas, 1963, mengatakan bahwa Indonesia berpenduduk 100 juta dengan kekayaan sumber daya alam yang mungkin lebih besar daripada negara Asia lain. Tidak masuk akal bagi AS untuk mengucilkan sekelompok besar orang yang duduk di atas sumber daya alam ini,kecuali memang ada alasan yang sangat kuat. Bradley R Simpson dalam buku ini mengungkap cukup detail upaya-upaya AS mewujudkan kepentingannya di Indonesia dengan aneka perdebatan yang ada di AS terkait kebijakannya terhadap Indonesia, sejak era Presiden Dwight David Eisenhower, Kennedy, hingga Lyndon B Johnson. AS menyebut kepentingannya adalah membangun ekonomi Indonesia.

Dana ratusan juta dolar digelontorkan AS untuk itu.Tidak hanya dana, tapi juga menarik para sarjana Indonesia, terutama di bidang ekonomi untuk belajar dan mendapatkan pelatihan di AS.Beberapa jenderal juga ditarik untuk menimba ilmu dan pelatihan di AS. Namun, sikap pemerintah Indonesia di bawah Soekarno yang cenderung sosialis, condong ke Soviet dan China yang komunis –selain besar dan kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri– menjadi batu sandungan utama bagi AS. Sepulang dari kunjungan ke Beijing dan Moskow pada 1956, misalnya, Presiden Soekarno menyatakan kesiapannya untuk “menerima pencapaian-pencapaian yang menonjol, terutama yang bersifat material,di bawah penguasa komunis”.

Dengan kerangka berpikir yang sama, kejatuhan Soeharto perlu dipahami dalam situasi dunia internasional yang tengah berubah yang telah memasuki era pasca Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin sejak awal tahun 1990-an, disebut-sebut sebagai lambang kemenangan ideologi kapitalis dan semakin terbukanya jalan bagi pencangkokkan agenda-agenda neo-liberal secara global. Dalam kondisi semacam ini, kebijakan liberalisasi yang diambil Soeharto dan termanifestasi dalam wujud state capitalism, tidak lagi dapat ditolerir. State capitalism yang pada awalnya dibiarkan berkembang dan bahkan mendapat dukungan mulai menjadi sorotan. Seperti dikemukakan Hadiz dan Robison (2005) pada masa Perang Dingin, demi kepentingan strategis dan keamanan AS (serta para sekutunya) yang membutuhkan kestabilan politik dan kelanggengan rejim di Indonesia, aliran modal maupun keuangan tetap dialirkan ke Indonesia yang menganut state capitalism dengan karakter predatoriknya. Namun, state capitalism yang kental dengan intervensi negara semacam ini kemudian dianggap tidak lagi sejalan dengan arus finansial dan perdagangan yang makin terintegrasi di tingkat global di era pasca Perang Dingin. Sehingga terlalu gegabah kiranya untuk memahami kejatuhan rejim Orde Baru semata-mata karena keberhasilan gerakan demokratisasi di dalam negeri dan melepaskannya dari konstelasi ekonomi dan politik global. Kejatuhan rejim Orde Baru perlu dimaknai sebagai bentuk kegagalan rejim Orde Baru tidak hanya dalam membendung tuntutan demokratisasi di dalam negeri namun sekaligus juga kegagalannya dalam membentengi diri dari desakan integrasi ekonomi politik di tingkat global.

Kejatuhan Soeharto karenanya perlu dicermati sebagai proses transisi dari state capitalism menuju semakin terintegrasinya Indonesia dalam sistem ekonomi kapitalis yang neo-liberal. Dalam pandangan kaum neo-liberal, krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda Indonesia dan Asia Timur pada umumnya, disebut-sebut sebagai buah dari praktek state capitalism. Para pengusung gagasan neo-liberal ini percaya bahwa krisis berakar dari sejumlah kebijakan pemerintah yang mendistorsi berlakunya mekanisme pasar. Seperti misalnya, kebijakan nilai tukar tetap, monopoli Negara melalui berbagai perusahaan milik Negara, maupun hubungan bisnis-pemerintah dalam kebijakan industri yang melahirkan moral hazard problem (Haggard, 2000). Diagnosis penyebab krisis semacam inilah yang berkembang di kalangan pengambil kebijakan di IMF yang tentu saja berpengaruh pada resep-resep macam apa yang kemudian diterapkan untuk memulihkannya.

Melalui LoI dan Memorandum of Financial and Economic Policies dengan IMF yang harus ditandatangani oleh pemerintah Indoensia menjelang dan sesaat setelah keruntuhan Orde Baru (1997, 1998, 1999, 2000), Indonesia semakin jauh meliberalisasi sektor perdagangan dan finansial. Privatisasi, deregulasi, reformasi sektor perbankan, idependensi Bank Indonesia, merupakan beberapa resep kebijakan ekonomi yang dipersyaratkan oleh IMF. Sementara, gagasan-gagasan akuntabilitas, transparansi, good governance, maupun desentralisasi kebijakan melalui otonomi daerah diinjeksikan sebagai resep reformasi yang harus diterapkan di bidang politik. Kesemuanya dalam pandangan IMF dan Bank Dunia ditujukan untuk mewujudkan pemerintah yang lebih efisien dan menghilangkan rent-seeking yang merupakan penyakit yang tumbuh subur pada masa berkembangannya state capitalism. Namun, jika dibaca lebih kritis, perubahan-perubahan yang diusung sesungguhnya merupakan upaya untuk menciptakan struktur politik yang diperlukan guna melayani kepentingan pasar bebas.

Cerita selanjutnya kemudian sudah bisa ditebak. Pasca kejatuhan Soeharto yang terjadi adalah justru kian mengguritanya gagasan neo-liberal ke dalam desain kebijakan ekonomi dan politik dalam negeri. Proses politik dan perubahan kebijakan yang menyertai beberapa kali pergantian kepemimpinan di era pasca Orde Baru justru memantapkan jalan bagi semakin terjebaknya Indonesia lebih jauh ke dalam system ekonomi global yang kapitalistik. Ini bisa dicermati dari berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas. Beberapa kali kenaikan harga BBM, dibukanya keran impor bagi produk-produk pertanian strategis, dikeluarkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan segelintir contoh kemenangan gagasan neo-liberal dalam kebijakan ekonomi di Indonesia. Dengan kata lain, monopoli ekonomi yang dulunya berada di tangan negara, kini justru jatuh ke tangan segelintir kelompok bisnis yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan liberalisasi ekonomi (Robison, Rodan, dan Hewison; 2002). Sementara itu, alih-alih menuju demokrasi yang terkonsolidasi, reformasi politik yang bergulir justru terjebak dalam money politics dan melicinkan jalan bagi kepentingan korporasi dan oligarkhi bisnis warisan Orde Baru untuk kian memantapkan posisi mereka (Hadiz, 2000).

Dengan pemahaman semacam ini, terlalu muluk kiranya untuk mengharapkan sebuah perubahan yang signifikan sekalipun rejim otoriter Orde Baru telah wafat 13 tahun yang lalu. Karena pada kenyataannya fondasi struktur ekonomi politik di Indonesia pasca Orde Baru tidak mengalami perubahan yang berarti. Keruntuhan Orde Baru tidak dibarengi dengan perombakan struktur ekonomi politik yang dicirikan dengan akumulasi kapital yang terpusat di tangan segelintir kelompok. Lebih jauh, runtuhnya Orde Baru juga tidak disertai dengan perombakan struktur birokrasi yang rente atau kehancuran koalisi yang terbangun antara pemegang kekuasaan dan kelompok bisnis. Namun, berbeda dengan posisi yang diambil oleh Hadiz dan Robison (2004) yang percaya bahwa kemunculan private oligarchic capitalism merupakan gambaran sulitnya penerapan gagasan neo-liberal di Indonesia. Sebaliknya, tulisan ini justru berargumen bahwa kemunculan private oligarchic capitalism merupakan buah dari kegagalan implementasi dari resep-resep neo-liberal dalam mengatasi krisis di Indonesia. Oleh karenanya, kemandekan dan kebuntuan proses reformasi perlu dipahami pula sebagai ketidakmampuan bangsa ini keluar dari jebakan sistem kapitalis global. Sehingga, jika mengharapkan hasil yang lebih optimal dari proses reformasi, perlu ada perubahan yang lebih mendasar—dan tidak sekedar artifisial—yang dapat membongkar struktur ekonomi politik yang kapitalistik di Indonesia. (ref)

Bila kepentingan-kepentingan nasional merupakan motif dan motor bagi perjuangan rakyat Indonesia untuk dapat mewujudkan cita-cita luhurnya, yaitu terbentuknya suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur serta dapat melaksanakan tujuan nasionalnya, yakni terlindungnya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, terdapatnya kesejahteraan rakyat yang maju dan tercapainya kehidupan bangsa yang cerdas. MAKA MENGGANTI ORDE HAL YANG WAJIB DILAKUKAN AGAR TERHINDAR DARI “JEBAKAN BETMEN” !!! 

Mari kita ucapkan selamat tinggal pada Orde Reformasi dan Selamat datang pada ORDE …………….. !!!!

Fajar menyingsing teman
malam gelap yang menakutkan telah lewat

Fajar tersenyum manis
berucap salam penuh kehangatan
“Selamat pagi Indonesia”

Seluruh tubuh terasa segar
udara begitu bersih,
langkah kaki pun terasa ringan
menapaki jalanan lebar
dihiasi bunga-bunga berwarna warni di sisinya
menebarkan semilir wewangian

*wacana dari berbagai sumber



10 Komentar

  1. Usup Supriyadi berkata:

    Sepertinya Bung Beye itu kok ke-pede-an bakal dikudeta ya? Ntar jadi beneran baru tahu deh doi. Ha ha ha…

    Well, seharusnya para penggembor reformasi baca ini. Apalagi bagian yang ganti orde. Kebanyakan diskusi, selalu berkutat pada “bla bla tahun reformasi?” dan semuanya sama, menyatakan gagal pemerintah, hanya mereka masih tenggelam pada sebagain dari nikmat adanya reformasi, yakni “kebebasan” dan “keterbukaan” jadi mungkin rada takut pindah orde… ha ha ha…

  2. sikapsamin berkata:

    Tiba-tiba bumi gonjang-ganjing…langit penuh kilat…

    Muncullah…ORDE TRIWIKRAMA…
    Sebagai…ORDE PAMUNGKAS…

    ————-
    Kopral Cepot : “Siapa yang bersungguh-sungguh,
    akan menemukan yang dicarinya”

  3. Assalaamu’alaikum wr.wb, Kang KC…

    Senang dapat bergabung kembali di blog Kang KC setelah berdekad rasanya tidak menyapa dan membaca tulisan yang penuh sejarah untuk diambil iktibar.

    Benar, jika pimpinan baru tidak mempelajari sejarah silam, lalu mengikuti laluan yang pernah dijelajahi oleh pemimpin terdahulu mungkin sejarah pentadbiran dan pengurusan negara bisa kembali mencari asalnya.

    Pimpinan sekarang harus membuka lembaran baru menginjak segala kepahitan yang dilalui untuk mencari formula yang bisa melonjakkan pembangunan dan kemajuan negara menjadi lebih efektif untuk warganegaranya.

    Sungguh bukan mudah jadi pimpinan negara yang tentunya tidak akan pernah dapat memuaskan semua hati warganya yang berkeinginan itu dan ini dalam mencapai kesejahteraan hidup mereka. Mudahan negara Indonesia mempunyai pimpinan yang mesra rakyat dan mengutamakan kepentingan rakyat secara saksama.

    Salam mesra dari Sarikei, Sarawak.

  4. zainul mustofa berkata:

    saya setuju dengan pendapat anda,dan terimakasih atas do’anya.

  5. sikapsamin berkata:

    Setelah Reformasi…..
    Ternyata…inilah yang terjadi…..

    Banyak antek/kroni kumpeni…..
    Masih bercokol di NKRI…..

    Berbekal ilmu Sangkuni…..
    Nama sendiri diganti-ganti…..

    Perlahan tapi pasti…..
    Merah-Putih-Biru…berkibar disini…..

    Dan…camkan ini…..
    Jangan sekali2 memberanikan diri…..
    Menyebut diri…PRIBUMI

  6. nbasis berkata:

    kalau mata si sejarah itu tertutup atau ditutup, ia tak akan kemana-mana. tak akan ke asalnya kan? ha ha

  7. sbg berkata:

    hebat..hebat kami terinpirasi. balas dong

    ————
    Kopral Cepot : Bales apanya 😉

  8. abcdefghijklmnopqrstuvwxyz berkata:

    skrg, jerman prancis berusaha pertahankan euro, amriki perang demokrat republik. inggris karena non euro, lbh ringan beban secara finansial, berusaha bangkitkan masa lalunya, min. tidak lagi di bawah bayang2 amriki dan ue, intinya mgkn barat sedang berusaha mengurangi defisit finansial dgn mengurangi perlahan2 keterrgantungan akan produk jasanya terutama dgn rrc, ya mungkin mulai dgn sepatu, dan berusaha memindahkannya/menyebarkan pemerataan pemenuhan kebutuhan konsumsinya ke negara2 yg secara tradisional memiliki ikatan erat suply sda atau menyinergikan hubungan ekonomi dgn kedekatan hubungan politik, bukan membesarkan/memelihara anak macan(mungkin??) inggris msh bermodal kuat perseksmakmuran dan bola numero uno dibd bazket, amriki kuatz gara2 tempat ngendon teknologi, pbb, pusat propaganda budaya, jadi coba gambaran ke depan apa posisi indonesia? bener skrg menuju era masyarakat terbuka globalz tuzuannya?? gitchu??? ada lowongan ga???/

  9. abcdefghijklmnopqrstuvwxyz berkata:

    mazz, emang kalo di abjad hijaiyah, penulisan angka dari kiri kalo huruf dari kanan, kenapa begitu?

Tinggalkan Komentar