Mengerti Konstitusi

Ini bukan cerita dari fakta yang diungkapkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Pramono Anung, tentang para artis yang duduk di gedung DPR RI yang dipandang tidak pernah menyuarakan suara konstituennya. Kalaupun mereka  bersuara seringkali topik pembicaraannya di luar kepentingan rakyat, misalnya membicarakan harga tas, sepatu dll. Bukan pula drama koalisi dan oposisi yang mirip dengan sinetron “putri yang ditukar”, atau tentang perdebatan “revolusi” Bung Andi Malarangeng Vs Bung Nurdin Halid yang sama-sama berlindung dibalik “statuta FIFA”. Ini tentang problem besar para pengelola negara yang “kurang mengerti” arti konstitusi.

Berita terakhir tentang gonjang-ganjing politik tanah air adalah bergabungnya  puluhan tokoh nasional dalam Dewan Penyelamat Negara. Akan ada apa ???

Antaranews.com melansir berita bahwa Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla bertemu dengan puluhan tokoh nasional yang tergabung dalam Dewan Penyelamat Negara untuk membicarakan berbagai persolan bangsa dan kemungkinan solusinya. Pertemuan yang diawali dengan makan siang bersama di sebuah rumah makan di Jakarta, Rabu diakhirnya dengan dialog. Beberapa tokoh yang hadir diantaranya, Effendi Choirie, Lily Wahid, Laode Ida, Bambang Soesatyo, Adhie Massardi, Fuad Bawasier, Marwan Batubara, Permadi, Yasril Ananta Baharudin dan sebagainya.

Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelamatkan bangsa namun harus tetap berdasarkan konstitusi UUD 1945. “Kita sebagai warga negara punya kewajiban dan hak untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Tapi menyelamatkan negara, bukan berarti kita ‘jor-joran’. Tentu kita menyelamatkan negara harus mengedepankan konstitusi,” kata tokoh yang akrab disapa JK itu saat bertemu tokoh-tokoh Dewan Penyelamat Negara di Jakarta, Rabu.

Lagi dan lagi tentang “konstitusi”, sebagai orang awam tentunya kepingin tahu dan mengerti apa itu konstitusi, maka cari sana dan sini akhirnya bertemulah dengan beberapa tulisan tentang “konstitusi”. Moga tulisan ini ada manfaatnya terutama bagi yang awam dan mau belajar mengerti tentang konstitusi.

*********

Konstitusi yang berasal dari kata constituer (Perancis) yang artinya membentuk, dilihat dari perspektif hukum tata negara artinya adalah membentuk organ-organ negara. Di samping istilah konstitusi kita mengenal pula istilah Undang-Undang Dasar (UUD) yang merupakan terjemahan dari “grondwet” (Belanda). Dalam bahasa Latin kata “konstitusi” merupakan gabungan dari dua kata yaitu “cume” dan “statuere”.Cume adalah sebuah kata depan (preposisi) yang berarti “bersama dengan”, sedangkan Statuere berasal dari kata Sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti “berdiri”. Dengan demikian kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Kata constitution sebagai bentuk tunggal berarti “menetapkan sesuatu bersama-sama”, sedangkan bentuk jamaknya yaitu constitusiones berarti “segala sesuatu yang telah ditetapkan”.

Konstitusi (undang-undang dasar) adalah hukum dasar bagaimana suatu negara dijalankan atau bisa juga disebut sebagai acuan sistem ketatanegaran suatu negara secara mendasar diatur. Menyangkut hak dan tanggung jawab yang mendasar bagi penyelenggara negara dan warganegara dalam negara tersebut.

Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.

Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Kekuasaan itu menggoda. Ada kecenderungan umum dalam sejarah politik, sebuah rezim akan terus berupaya dengan berbagai cara — baik sah maupun tidak sah — untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam rangka itulah, maka penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur oleh norma-norma hukum, yang akan membentuk sistem bernegara itu. Sistem itu harus memberi jaminan agar semua pihak yang terlibat di dalam negara, baik lembaga-lembaga negara, maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, dapat melakukan kontrol atas jalannya sistem penyelenggaraan negara itu. Kontrol yang kuat, dan memberikan keseimbangan itu, kita harapkan akan memberi jaminan bahwa sistem akan berjalan sebagaimana kita inginkan.

Konstitusi itulah yang memberikan kerangka bernegara yang dianggap ideal bagi sebuah bangsa. Konstitusi itu meletakkan dasar-dasar sistem bernegara dan sekaligus mengatur mekanisme penyelenggaraannya. Tentu saja, konstitusi tidak mungkin akan mengatur segala-galanya. Rincian dari dasar-dasar itu dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah seperti undang-undang atau konvensi ketatenegaraan yang tumbuh, diterima dan dipelahara dalam praktek penyelenggaraan negara. Konstitusi sebuah negara pada hakikatnya memuat gagasan-gagasan pokok bernegara bagi sebuah bangsa, yang di dalamnya dirumuskan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negaranya.

Sehari setelah kita menyatakan kemerdekaan, kita telah mengesahkan sebuah konstitusi, yang kemudian kita namakan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Filosofi bernegaranya telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu. Pemikiran filosofis itu kemudian dituangkanke dalam pasal-pasal konstitusi yang merumuskan sistem bernegara dan mekanisme penyelenggaraannya. Namun seperti telah kita maklumi, konstitusi itu hanya bersifat sementara, yang dimaksudkan hanya berlaku untuk setahun saja, sampai dirumuskannya konstitusi yang bersifat permanen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum. Namun, karena pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan, konstitusi itu berlaku dengan berbagai konvensinya, dan kemudian diganti dengan konstitusi yang lain, sampai dinyatakan berlaku kembali melalui dekrit Presiden pada tahun 1959.

Ketika Pemerintah – dalam hal ini Perdana Menteri Djuanda Kartawinata — mengusulkan kepada Konstituante agar kembali ke UUD 1945, telah timbul suara-suara yang mengkhawatirkan konstitusi itu akan menciptakan kediktatoran di negeri ini, karena kekuasaan Presiden yang begitu besar. Buya Hamka misalnya mengatakan di Konstituante bahwa kembali ke UUD 1945 itu bukanlah “shirat al-mustaqim” atau “jalan yang lurus” seperti dikatakan para pendukungnya, melainkan “shirat al-jahim”, yakni “jalan menuju ke neraka” karena akan membuka peluang kepada Presiden untuk menjadi diktator terselubung. Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali, keadaan berkembang ke arah seperti dibayangkan oleh Buya Hamka itu. Walaupun UUD 1945 menyebutkan kedaulatan rakyat, namun tak sepatah katapun UUD 1945 itu menyebutkan adanya pemilihan umum. Professor Muhammad Yamin mengatakan bahwa pemilihan umum itu hanya alat saja untuk menegakkan demokrasi. Karena itu pemilihan umum bisa diselenggarakan bisa tidak, asal yang penting demokrasi bisa berjalan. Namun bagaimana demokrasi bisa berjalan, kalau seluruh anggota badan-badan perwakilan ditunjuk saja oleh Presiden?

Setelah Pemerintahan Presiden Soekarno digantikan oleh Pejabat dan kemudian Presiden Soeharto, rezim baru ini bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan Gedung DPRkonsekuen”. Orde Baru yang diciptakannya bertekad untuk melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun seperti saya katakan di awal tulisan ini, rezim baru yang penuh idealisme lama kelamaan cenderung akan mengulangi prilaku rezim lama yang digantikannya. Tentu banyak perubahan yang terjadi selama Orde Baru terutama pada pembangunan sosial dan ekonomi, namun satu hal nampak berkesinambungan, yakni kecenderungan rezim untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, dengan menggunakan pola-pola yang hampir sama. Media massa diberangus, tokoh-tokoh oposisi ditangkapi tanpa proses hukum dan partai politik yang berseberangan dipaksa membubarkan diri, dilakukan baik oleh Orde Lama maupun Orde Baru.

Pancasila dan UUD 1945 yang ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya ialah Pancasila dan UUD 1945 yang ditafsirkan menurut pandangan rezim yang memerintah. Di masa Orde Lama, tafsiran itu disosialisasikan melalui “indoktrinasi” dan masuk kurikulum pendidikan. Di zaman Orde Baru, sejak tahun 1978, tafsiran itu disosialisasikan melalui penataran-penataran dan masuk pula ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Baik indoktrinasi maupun penataran hakikatnya tetap sama: Rezim yang memerintah ingin agar rakyat memahami hakikat bernegara, sistem dan mekanismenya seperti yang mereka anut. Mereka yang menolak tafsiran itu bisa dianggap sebagai musuh bangsa dan negara. Di sini kembali lagi nampak adanya kesinambungan di tengah perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedua rezim sama-sama memanfaatkan kelemahan-kelemahan UUD 1945 yang sejak awal dimaksudkan hanya sebagai konstitusi sementara itu. Kelemahan itu sengaja disembunyikan, namun ditutupi dengan berbagai cara, mulai dari konsep pseudo-akademis sampai ke hal-hal yang berbau mistik. Presiden Soekarno menyebut Pancasila dan UUD 1945 “Azimat Revolusi”. Presiden Soeharto menyebut Pancasila itu “sakti”. UUD 1945 adalah warisan luhur bangsa yang “dikeramatkan”.

(Tulisan dari berbagai sumber)

*********

Mau dibawa kemana bangsa ini sekarang ?

copas update status sang abang dari medan : ” Ketika Amerika Serikat mempertontonkan perilaku demokratis mereka dengan menggempur Libya, mengapa Anda masih memperjuangkan demokrasi?”

Pertanyaan yang sulit dan lagi-lagi masalah konstitusi … das Sein .. das Sollen

15 Komentar

  1. Goda-Gado berkata:

    mantep kang…
    ijin kopi ucapan dan kalimat Buya Hamka rahimahullah. 😀

    UUD 1945 itu bukanlah “shirat al-mustaqim” atau “jalan yang lurus” seperti dikatakan para pendukungnya, melainkan “shirat al-jahim”, yakni “jalan menuju ke neraka”

  2. serba sulit dan serba “buah simalakama” kalo menurut saya…
    bahkan islam sebagai sirathal mustaqim bisa berubah menjadi dasar perlakuan genosida bagi penguasa terhadap lawan-lawan politiknya…

    buah simalakama konstitusi….

  3. java berkata:

    blog ini cukup ramai sekali , penataanya juga cukup bagus ditambah dengan artikel yang bagus pula , sungguh sangat sempurna !!!
    Salam Kenal !!!
    Jangan lupa berkunjung ke blog saya
    Terima kasih

  4. BaNi MusTajaB berkata:

    Mau dibawa kemana bangsa ini sekarang ?…
    Sejujurnya saya tidak tau Pak Kopral…..

    —————
    Kopral Cepot : Sejujurnya juga sy tidak tau 😀

    1. Goda-Gado berkata:

      apalagi sy. yg mbawa saja siapa sy jg g tahu
      😀

  5. nbasis berkata:

    jika sdh begitu terasa beda makna konstitusi itu untuk org-org yang dibedakan olh bukan saja nasib, tetapi juga kepentingan dan kemampuan dalam penyerobotan-penyerobotan segala hal yang diklaim penting, maka tak begitu ampuhlah nasehat JK ini lagi.

    konstitusi itu akan sama dengan dedaun gugur jika sudah tak dihargai serius dan tulus.

    ——————
    Kopral Cepot : Tdk menghargai konstitusi = tdk menghargai negara, jika konstitusi sama dengan daun berguguran maka negara adalah batang pohon layu kering dan mati …….. Tak banyak yang serius di negara ini kecuali sedikit diantaranya nBasis … Hatur tararengkyu pak 🙂

  6. nirwan berkata:

    Lukman: “Kau bikin pangkatku kopral jenderal, mana ada pulak kopral jendral!”
    Nagabonar: “Yang penting kan, jam yang kau pakai itu, punya jenderal”

    😀

  7. atmokanjeng berkata:

    ijin kopi dulu gan …

  8. Jalmi Laip berkata:

    Menarik sekali Kang. Apalagi ditutup dengan pertanyaan : Mau dibawa kemana bangsa ini sekarang ?

    Sebuah pertanyaan yang mungkin penguasa tertinggi negeri ini pun kesulitan untuk menjawabnya.

    Hatur nuhun pisan.

  9. Padly berkata:

    Haha… Aku bikin semacam polling, milih Pancasila atau syariat. Monggo dipilih Kop, jangan lupa argumennya 😀

  10. majorprad berkata:

    Ada Gula Ada Semut…

    Seperti pepatah di atas: Bangsa Indonesia selalu ikut-ikutan dalam membaca persoalan (baca: latah). Atau seperti sepakbola antar-kampung, kemana bola bergulir, ke sanalah semua pemain itu berlari. Semua harus jadi penyerang.

    Mari budayakan ‘membaca’. Atau mari belajar membaca terlebih dulu supaya pintar.

    Kata Om John F. Kennedy, “The goal of education is the advancement of knowledge and the dissemination of truth.”
    Kira-kira artinya begini: Tujuan terakhir dari pendidikan itu adalah kemajuan pengetahuan (pemahaman) dan penyebaran kebenaran.

    Dan Om John pun ditembak mati… 🙂

  11. sikapsamin berkata:

    Fakta yang aneh di Negeri tercinta ini adalah : Banyak sekali yang ‘Mengerti Konstitusi’ bahkan menyandang gelar Ahli/Pakar, tapi…PULUHAN JUTA KONSTITUEN… Hidup dalam kebodohan/kemiskinan/pengangguran/gepeng…
    Jangan2 “SALAH MEMBACA”…tapi siapa yg salah..?!

    ——————-
    Kopral Cepot : Mungkin “konstitusi” bukan untuk KONSTITUEN agar pintar/kaya/bekerja/dermawan … krn yg pintar/kaya/bekerja/dermawan cukup yang “mengerti konstitusi” 😉

  12. F Rozi berkata:

    pada akhirnya kenyataan dan harapan tidak berjalan seiring…..
    pancasila dan UUD 45 yang seharusnya di jalan kan secara murni dan konsekuen malah pada kenyataan nya
    di jabar kan sendiri oleh orang yang merasa memerintah dan paling mempunyai kehendak…..
    padahal pancasila dan UUD45 di setujui secra seksama…..
    itu klu membicarakan orde lama dan orde baru

  13. Ade fakrur berkata:

    Kelemahan itu sengaja disembunyikan, namun ditutupi dengan berbagai cara, mulai dari konsep pseudo-akademis sampai ke hal-hal yang berbau mistik.
    kalimat yang mencerminkan indonesia banget…..

  14. ada sesuatu yang menggelitik didalam diri saya ini yang nota bene bukan orang yang tahu benar tentang bertata – negara maupun sebutan lain misalnya saja berbangsa . apa itu ? sebetulnya kita semua ini bernegara satu , sebetulnya kita ini berkiblat kesatu dasar yaitu ” pancasila ” . sebetulnya kita2 semua ini mempunyai pandangan kehidupan yang juga satu way of life nya yaitu ” uud 1945 ” .

    pemudanya juga tidak kalah dengan satunya ” sumpah pemuda ” . apalagi dengan pengelola’an kekaya’an negara hanya untuk satu kepentingan ” rakyat ” . dan banyak2 yang lainya ( yang tidak bisa disebutkan ) dalam kata satu yang mengandung arti yang dalam yaitu ” persama’an ” . termasuk kata satu itulah ” konstituante ” yang menjadi topik artikelnya a’a kopral . tetapi kenapa kata satu bisa berbias menjadi dua bahkan bisa menjadi banyak . banyak kejadian yang bersifat kekerasan , ada kenyata’an yang diskenario untuk mempertahankan maupun melanggengkan kekuasa’an sehingga kembali kejadian kekerasan itu mesti terjadi . contoh2 yang lain akan kita temui di media baik cetak – elektronik bias dari konstituante yang satu ini.

    benarlah serba satunya termasuk berkonstituante itu berbias menjadi dua bahkan menjadi banyak terus kapan pengetrapan konstituantenya ??

Tinggalkan Komentar