Cerita Kaca Buram Istana

Siapa yang tak kenal dengan Eep Saefulloh Fatah terlebih saat masa-masa transisi menuju era reformasi 98. Tulisan-tulisannya memberikan nalar eksplosif yang luar biasa menghentak kesadaran bagi yang membacanya. Analisanya tajam, bernas dan mudah dimengerti. Kini Kang Eep menjalani aktivitas terbarunya  jasa konsultan di bidang pemasaran politik yang ia rintis memang banyak di negeri ini, berbendera PolMark Indonesia. Lama tak pernah membaca tulisan-tulisan Eep Saefulloh Fatah yang sebagian beliau simpan di blognya tempo doeloe dan di blogspot, kini dengan mengejutkan beliau menulis sebuah cerita menarik tentang sby yang merupakan cerita berseri dengan judul : Cerita Kaca  Buram Istana. Tulisan ini saya temukan disini yang baru sampai dua bagian yang menarik untuk kita baca.  Dua bagian Cerita Kaca Buram Istana ini saya repost disini dengan menggabungkannya dalam satu posting… selamat membaca.

******

Cerita berseri ini adalah pertanggungjawaban saya atas pujian dan kritik-kritik saya terhadap SBY selama ini, sekaligus untuk melengkapi Cerita Kaca Buram Istana.

Semester ke-2 1994. Saya lupa bulannya. Staf di Jurusan Politik UI memberi tahu “ Ada telpon dari Kolonel Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)” . Saya tidak tahu siapa SBY. Ia sendiri tidak meninggalkan identitas apapun, kecuali pangkatnya. Saya sempat berfikir: ‘Ada urusan apa tentara mencari saya? ‘

Kami akhirnya bicara via telpon. Tahulah saya: Kolonel SBY adalah Assisten Operasi Kasdam Jaya, lulusan Akabri 1973. Mengajak bertemu. Ternyata SBY baru baca buku (pertama) saya, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, dan mengajak mendiskusikan bab-bab tentang politik tentara. Pertemuan pertama saya dengan SBY terjadi pad a satu malam di akhir tahun 1994, di rumah dinasnya di Cibubur. Saya datang dijemput supir SBY bernama Bambang .

SBY bersama empat orang perwira menengah AD seangkatan (73), termasuk Kolonel (waktu itu) Syamsul Maarif (yg kocak). Mereka juga ikut berdiskusi. Selain diskusi buku saya, kami juga diskusi soal The Future of Capitalism (judul sampul Newsweek waktu itu, dan judul buku Lester Thurow). Pertemuan ini meninggalkan 3 kesan: (1) fisik – dibanding 4 teman seangkatannya, SBY paling menonjol: tinggi, (masih) ramping, gesture terjaga. (2) Kemampuan komunikasi , SBY terlihat santun, cenderung kendalikan diskusi, tutur katanya terjaga dengan nada yang cenderung datar. Tuturnya baik. (3) Saya yang tidak pernah punya interaksi dengan tentara lumayan terkejut mendapati SBY punya minat diskusi tinggi soal ‘topik-topik yang tidak biasa buat tentara’ .

Terus terang saya terkesan, tapi sambil pasang kuda-kuda karena sudah baca bagian akhir buku Morris Janowitz, The Professional Soldier (1962). Janowitz menulis tentang Military Intelectual (perwira tentara di masa depan yang melengkapi diri dengan kecakapan intelktual, semata untuk pencanggihan diri. Pertemuan pertama itu diakhiri dengan ajakan SBY untuk segera bertemu lagi, melanjutkan diskusi tentang banyak soal yang menarik. Saya menyetujuinya.

Pertemuan ke-2 terjadi tak lama kemudian , beberapa ajakan makan siang di suatu weekend di rumah dinasnya. Bu Ani menata meja dan makanan serta melayani dengan ramah. Di pertemuan ke-2 ini pula saya berkenalan untuk pertama kali dengan Agus Harimurti dan Edi Baskoro (Ibas) yg tentu saja masih ‘kecil’. Saya diajak SBY masuk ke perpustakaan pribadinya, di sebelah kanan ruang makan. Ada sekitar 1500-an judul buku di ruang sempit agak memanjang itu.

Koleksi buku SBY lumayan beragam. Yang terekam dalam ingatan saya: kemiliteran, politik, sejarah, agama, sosiologi, ekonomi dan bisnis, serta filsafat. Kesan saya dari dua pertemuan itu, yaitu, SBY memang membaca buku, bukan sekedar mengoleksinya. Minat bacanya berspektrum luas. Ia juga senang mendiskusikan yang sudah dibacanya.

Di atas meja kerja SBY terbuka-telungkup (mungkin sedang dibaca) buku Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme (terj. Postmodernism, Reason and Religion) . Dalam pertemuan ke-2 ini saya juga seperti mendapat durian runtuh. SBY memperlihatkan tulisan tangannya di bagian dalam cover ( belakang diary Kodam Jaya)nya.

Seingat saya, judulnya: Catatan untuk Kepemimpinan Nasional Saat Ini. Terdiri dari 5 catatan yang ditulis dengan bahasa terjaga. Di perjalanan pulang, saya segera catat kelima butir itu mumpung masih segar dalam ingatan. Mencatat seperti ini jadi kebiasaan saya sejak lama, hingga sekarang. Tapi, saya tak punya waktu untuk bongkar-bongkar timbunan catatan-catatan itu sekarang. Kurang lebih, kelima hal tersebut adalah:

  1. Berhasil memimpin dalam rentang waktu panjang tanpa mengagendakan regenerasi secara layak.
  2. Berhasil menjadi pemimpin yang kuat namun kurang senang mendengar kritik.
  3. Tegas mengendalikan pemerintahan namun cenderung membiarkan pelanggaran dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
  4. Berhasil membangun dengan tumpuan stabilitas politik tapi kurang memberi ruang bagi dinamika politik.
  5. Sangat kuat berhadapan dengan oposisi tapi sangat lemah menghadapi keluarganya.

Dalam pertemuan pertama saya dibuat terkesan oleh minat kuat SBY terhadap diskusi. Yang mengesankan dari pertemuan kedua adalah keluasan spektrum bacaannya dan kelima catatan itu! Catatan SBY ini mengejutkan. Karena tak punya pergaulan dengan tentara, saya tak pernah bayangkan ada perwira AD mengkritik Presiden . Jangan lupa! Itu 1994, ketika kekuasaan Soeharto sedang ‘lucu-lucunya’-nya dan tak ada seorangpun pengamat secara meyakinkan meramalkan kejatuhannya.

******

Selepas dua pertemuan dengan SBY, kami dengan cepat menjadi teman diskusi, baik via telpon maupun lewat pertemuan, dan juga forum-forum khusus. . Diskusi via telpon amat terbatas karena saya belum memiliki HP kala itu. Kami diskusi via telpon rumah saja. Atau pernah juga SBY telpon untuk ajak ketemu.

Selama SBY jadi Asops Kasdam Jaya, seingat saya, ada sebuah forum diskusi yang ia buat di Kodam: Ia jadi moderator, Pangdam Jaya Mayjen Wiranto juga hadir. Seingat saya, diskusi itu bertema ‘Kodam Jaya di Tengah Dinamika Sosial. Eko dan Politik’. Pembicara: Salim Said, Juwono Sudarsono, Taufik Bahaudin dan saya sendiri. Saya menggunakan forum itu untuk sampaikan beberapa hal:

(1) dinamika baru politik Indonesia (yang menggeliat dalam bentuk grafik naik unjuk rasa) tidak bisa diabaikan. (2) Pemerintah Orba dan tentara harus berubah menyesuaikan diri dengan dinamika yang tak terelakkan itu. Jika tidak, bisa memfasilitasi ledakan politik.(3) Dwifungsi ABRI harus ditinjau ulang. Yang dibutuhkan masyarakat Indonesia (1995) adalah ABRI yang profesional dan mengawal dinamika politik masyarakat.

Banyak yang tidak sepakat dengan saya. Saya dinilai terlalu dramatis. Sebagian menghubungkan dengan umur saya yang masih terlalu muda (28 th) sehingga terlalu bersemangat.Tapi setelah forum selesai SBY menyatakan persetujuannya untuk 2 poin pertama dan mengaku ingin mengkaji poin ke-3. SBY membuka pintu bagi diskusi lebih lanjut. Saya tidak tahu bagaimana pendapat Wiranto sebab ia sangat ‘dingin’ dengan ekspresi amat datar dalam forum itu. Sementara perwira lain umumnya masih konservatif.

Ada cerita menarik tentang diskusi itu. Para pembicara diberi cendra mata dalam kotak beberapa jam tangan warna emas dengan nama Wiranto dan 2 bintang. Saya hanya simpan jam itu. Tapi suatu hari saya pakai saat mengajar (sebagai asisten Prof Masswadi Rauf) di UI dalam mata kuliah Konsensus dan Konflik Politik. Jam yang terlihat mentereng itu ternyata mati pas saya menyelesaikan kuliah tentang Teori Konflik Karl Marx itu. Dan tak pernah hidup lagi! Ke beberapa teman kolega di UI saya becanda: Hebat betul Marx! Bukan cuma mempesona anak-anak muda, tapi juga menaklukkan Jenderal bintang 2!

Ada sekali lagi diskusi di Kodam yang dibuat SBY. Seingat saya, Salim Said dan saya yang bicara. SBY moderator. Yang menarik dari diskusi ini adalah ruangannya. SBY bercerita bahwa ruangan itu diproyeksikan akan dibangun jadi ruang diskusi Kodam yang representatif dengan segenap kelengkapan standard.

Pada tahun 1996, ketika SBY sudah Brigjen dan jadi Kasdam (setelah bertugas di Yogya), ruangan itu diselesaikan. Saya pernah hadir jadi pembicara di sana sekali. Diskusi dimoderatori SBY, dipimpin Pangdam Mayjen Sutiyoso yang lagi flu berat dan menghabiskan tissue amat banyak untuk buang ingus dengan suara2 keras. Hadir juga: Mayjen Arifin Tarigan, Dansesko AD. Diskusi diadakan sebagai road show Sesko AD bertema ‘Reaktualisasi Dwifungsi ABRI’.

Seingat saya, yang jadi pembicara: Rahman Zainuddin, Mahrus Irsyam, Fachry Aly dan saya sendiri. Untuk pertama kali saya bertemu Brigjen Agus Wirahadikusuma di sini SBY. Saya sangat terkesan oleh Agus Wira. Ia bicara amat keras: Percuma saja ngomong apapun kalo kita tidak pecahkan sumber masalahnya, yaitu kepemimpinan. Selama tak ada perubahan kepemimpinan nasional, kita hanya jalan di tmpat. Tidak ke mana2. Begitulah pendapat Agus Wira.

Sejak itu, saya bergaul rapat dengan Agus Wira. Ada banyak hal yang layak diceritakan tentang almarhum. Mungkin perlu diceritakan dalam serial tersendiri saja.

Sekarang kita kembali ke pokok cerita: Ruangan diskusi itu. SBY berhasil membangun ruangan diskusi yang layak, ada big screen, projector tergantung di langit2, dan di belakang ada ruang-ruang tersekat dengan meja kerja, tempat tidur dan kamar mandi. Katanya, untuk undangan disksusi yang menginap! Terus terang, saya sangsi: apakah ada org yang nyaman menginap di sana? Di markas Kodam?! Saya juga tidak tahu apakah ruang-ruang akhirnya terpakai atau tidak.

Dalam tiap forum diskusi itu, SBY tunjukkan penguasaan masalah yang baik dengan bacaan yang layak. Sejak itu saya juga tahu ia senang menggunakan istilah asing. Forum-forum semacam yang saya ceritakan juga memberi saya kesempatan bicara terbuka tentang perlunya demokratisasi, pergantian pemimpin dan penanggalan Dwi Fungsi ABRI.Namun ironisnya, di kampus beredar rumor bahwa saya sudah jadi orang dekat para perwira tentara dan berkhianat pada perjuangan kampus. Saya tak terlalu mempedulikan itu dan terus menjaga hubungan sebagai kawan diskusi SBY dan kemudian alm. Agus Wira dan Agus Wijoyo. 3 jenderal yang amat terbuka. Tapi tak urung, kadang-kadang saya terganggu dan marah karena rumors itu. Suatu ketika saya sampe merasa perlu curhat pada Pak Arbi Sanit di rumahnya di Ciputat. Yang jelas, saya benar-benar membatasi diri untuk sekedar jadi kawan diskusi, dan tidak terlibat terlampau jauh. Karena itu, pada akhir 1995, Prabowo pernah meminta saya jadi staf khususnya melalui Alm. Nitra Arsyad. Tanpa pikir panjang, saya menolak tawaran itu. Dengan Prabowo saya pun tak pernah berkawan.

Perkawanan diskusi saya dengan SBY di 1994 berlangsung sebentar karena SBY menjadi Danrem di Yogya. Saya mendengar, di Yogya SBY berkawan dengan kalangan kampus Alm. Affan Gaffar, alm. Riswandha Imawan, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed (para akademisi senior UGM) dll adalah kawan-kawan diskusi

Sebelum struktur cerita jadi berantakan, ada baiknya saya gambarkan bahwa masa SBY sebagai kawan diskusi yang saya maksud di sini adalah antara tahun 1994 sampai 1997. Dalam masa ini SBY menjalani 4 jenis jabatan: Asops Kasdam Jaya dan Danrem Yogya (kolonel), Kasdam Jaya (Brigjen) dan Pangdam Sriwijaya (Mayjen). Usia saya dalam rentang waktu itu 27-30 tahun. Soal usia ini penting saya sebut karena berkait dengan apa yang akan saya sebut nanti di belakang.

Selama SBY Danrem dan Pangdam, kami tidak pernah bertemu muka hanya sempat diskusi singkat via telpon beberapa kali. Diskusi lebih intens ketika SBY bertugas di Jakarta. Tapi, hubungan kami tak selalu intens. Kadang-kadang cukup lama kami tak bertmu dan berdksusi. Periode absen-diskusi ini misalnya terjadi di seputar 27/7/2006. Setting di seputar diskusi kami adalah ’senjakalaning Orba’. Dinamika politik masyarakat pasang naik, oposisi politik mulai mengeristal, legitimasi Orba dan Soeharto makin tegas dipertanyakan, unjuk rasa dan rusuh makin mengejala,dan banyak ‘azimat’ Orba makin ditentang.

SBY seperti butuh sparing partner untuk memahami dan bersikap atas perkembangan itu. Dan entah mengapa ia memilih saya sebagai kawan diskusi. Terkadang kami ‘bermewah-mewah’: mendiskusikan 1 buku yang baru terbit. Pernah juga diskusi semacam ini terjadi ketika tanpa sengaja kami bersua di toko buku. Kami tak selalu sepaham. Yang saya amat hargai, kala itu SBY terbuka menerima pandangan-pandangan saya yang tak disetujuinya. Karena itu disksusi jadi menyenangkan

Saya sendiri merasa beruntung punya kemitraan diskusi ini karena jadi tertantang untuk memikirkan hal besar yang jadi bahan-bahan pertanyaan SBY . Usia saya kala itu belum genap, Sedang gandrung berpikir (out of d box), tak sabar dengan Orba yang lelet berubah, dan percaya demokrasi adalah keharusan.

Ada sebuah kejadian menarik. Suatu hari, saya lupa persisnya kapan, tapi ketika SBY Kasdam/Brigjen. Kami janjian untuk diskusi di satu tempat. Tiba-tiba SBY dipanggil Panglima ABRI sehingga ia membatalkan pertemuan itu secara mendadak dengan berkali-kali minta maaf. Tentu saja saya maklum sepenuhnya.

Hampir pukul sembilan malam tiba-tiba pintu rumah saya diketuk dan kebetulan saya yang membuka. SBY berdiri di depan pintu masih berpakaian lengkap. Saya silakan masuk. Ternyata SBY datang khusus untuk minta maaf karena membatalkan pertemuan mendadak tadi sore dan mengajak mendiskusikan sebentar sebuah permasalahan di rumah saya. Ditemani Kalam (usia 25 tahun), kami diskusi soal KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) yang belum lama dideklarasikan Mas Gunawan Mohamad dkk.

Saya tegaskan sikap saya: Komite semacam itu saat itu adalah kemestian sejarah. Percuma saja menolaknya sebab Indonesia ‘mengundang’nya, saya mendkungnya. Saya ingat, SBY bertanya: Bagamana meminimalkan ekses adanya lembaga semacam itu terhadap peningkatan instabilitas sebelum, selama dan sesudah Pemilu? Jawaban saya: Instabilitas di seputar Pemilu adalah pohon yang sudah tumbuh yang akarnya jelas, yaitu kekeliruan2 pemilu2 Orba, bkn KIPP. Yang menarik dari peristiwa diskusi malam hari di rumah ini adalah kerendahan hati SBY datang untuk minta maaf karena merasa bersalah membatalkan pertemuan.

Jujur saja, saya sangat mengapresiasi sikap seperti itu. Apalagi SBY saat itu adalah the rising star. Saya? Anak muda yang sedang belajar bersikap. Ada yang menduga, hubungan saya dengan SBY terplihara saat itu karena motif ekonomi: sy mendpatkan untung finansial. Mereka salah besar. Uang tidak terlibat di sini justru karena tak ada ikatan finansial ini, saya jadi nyaman. SBY tahu prinsip saya: Jika mau kasih uang, undang saya bicara dan honori secara profesional kalo memberi uang di luar kerangka hubungan profesional sebagai undangan dan pembicara diskusi/seminar, pasti saya tolak — sekalipun saya tak punya uang saat itu.

Baiklah, lebih baik sekarang saya beri beberapa catatan akhir untuk episode ini.

  1. Sejak kolonel SBY sudah memikirkan soal-soal besar kenegaraan.
  2. Sejak kolonel SBY (menurut dugaan saya yang bisa keliru) sudah menyimpan niat untuk memimpin Indonesia karena merasa dirinya tahu caranya dan mampu
  3. SBY sejak awal optimalkan modal intelektual yang ia punya untuk belajar bagamana pemimpin berjaya dan jatuh. Ia respek pada Soeharto tapi kurang senang.
  4. Via diskusi-diskusi dengannya, saya tahu SBY sangat pandai ‘mengemas’ dirinya untuk membangun Citra baik. He is a master of impression management!
  5. SBY senang bangun relasi intelektual dan memanfaatkannya secara optimal untuk meneguhkan sikap-sikapnya, tapi dengan kalangan yang sebetulnya lumayan terbatas.
  6. Sebagai pribadi SBY menyenangkan, tapi jangan berharap ia mengungkapkan secara terbuka dan telanjang sikap-sikapnya. Sangat hampir selalu diplomatis.
  7. Via diskusi-diskusi itu saya tahu SBY adalah penghindar konflik, gandrung pada harmoni, dan karenanya cenderung menghindari resiko. Cendrung safety player.
  8. SBY punya catatan negatif terhadap sejumlah orang tapi sangat pandai sembunyikan itu dan tak mudah terpancing untuk bicara personal tentang siapapun.
  9. SBY punya kemampuan komunikasi di atas rata-rata tapi bukan tipe pembicara publik yang pandai menggugah dan kobarkan semangat. Cenderung datar.
  10. SBY selalu berusaha keras berpikir tertib. Konsekuensinya, lumyan sulit diajak berpikir out of the box, apalagi dengan melawan kelaziman secara radika.
  11. Diskusi dengan SBY bisa amat akademik. Kadang-kadang saya merasa seperti berbicara dengan seorang profesor, bukan dengan seorang Jenderal. Ada cerita menarik tentang ini.

Ini jauh setelah periode yang sedang kita bahas. Saya diwawancarai Prof  Don Emmerson (2003) yang sedang menulis buku tentang ‘Identitas Indonesia’. Prof Emmerson baru mewawancari Wiranto dan SBY sebelum saya. Saya tanya kesan-kesannya tentang kedua Jenderal itu. Wiranto, katanya, berpikir sebagai tentara.

Tapi SBY, lanjutnya, lebih mirip profesor daripada seorang jenderal. Ia selalu berusaha bicara dengan basis-baris teori dan bahan perbandingan. Kadang jadi melelahkan. Saya sendiri beruntung sempat menjalani era bersparing partner dengan SBY. Karena: Pertama saya terpicu memikirkan soal-soal besar negara-bangsa dengan beragam aspeknya. Kedua, Saya terbantu mengenal sisi-dalam para perwira tentara untuk lebih tahu dinamika dalam tubuh tentara – persis seperti yang disarankan Peter Britton. Peter Britton menulis tentang tentara Indoesia dengan membandingkan tipe ‘jagoan’ vs ‘ksatria’ para perwira tentara. Tentara dikenalinya dari sisi-dalam. Ketiga, Saya jadi berkenalan dengan species khusus perwira tentara di ujung Orba terutama lewat SBY, alm. Agus Wira dan Agus Wijoyo. Ketiganya mewakili ‘kehendak perubahan di dalam’. Ketiganya punya karakter berbeda dengan Agus Wira sebagai yang paling straight to the point, blak-blakan, tajam. Keempat Dalam periode ini, saya juga mendapat kesempatan mengajar di Sesko AD. Ini pengalaman berharga sekaligus kesempatan memprovokasi para perwira untuk berubah. Saya juga tertantang:’Anak usia 20-an tahun’ mesti mengendalikan kelas yang diisi para perwira yang usianya jauh di atas saya. Ternyata mudah saja . Kelima, Pertemanan dengan SBY dalam era ini membuat saya punya akses ke tokoh-tokoh kunci tentara ketika krisis eknomi mulai hentak Indonesia dan Reformasi dimulai

Ketika ayah saya wafat tahun 2001, pada tahlilan 40 hari SBY dan Bu Ani hadir. SBY kasih sambutan dan bilang: Menjelang dan salam Reformasi saya banyak belajar dari Eep saepullah Fattah. Jujur saya akui: Saya pun banyak belajar dari SBY. Bukankah salah satu inti hidup adalah kesediaan saling belajar dari dan dengan siapapun?

Satu pelajaran penting saya catat: Saya beruntung terbiasa bergaul dengan bacaan dan terbiasa menulis untuk publik sejak 1992. Ini membuat saya selalu siap berdiskusi. Pelajaran lain: Jika disampaikan dengan santun dan beradab, sekeras apapun kritik kita sampaikan, orang atau lembaga apapun akan cenderung menerimanya. Pelajaran lain: Jangan pernah menjebak diri dalam hubungan pragmatis karena uang atau kepentingan sebab itu justru akan pendek hubungan itu dan melecehkan diri sendiri.

Akhirnya, menjadi kawan diskusi SBY adalah bagian penting dalam penggalan hidup saya. Ini juga mengantar saya pada era Reformasi yang hiruk-pikuk dan penuh tantangan.

Untuk bagian dua ini saya cukupkan di sini dulu. Saya akan segera lanjutkan dengan episode berikutnya tentang SBY di Era Reformasi – era yang penting dan genting.

*******

sepertinya tulisan Eep S Fatah ini akan bersambung … yuk kita intip lanjutannya 😉

42 Komentar

  1. anak nakal berkata:

    waduh memang enak di blog kopral cepot, di ‘isengin’ masih sabar, nyaman, tapi ada juga blog yg kayak perang di irak aja, persis golongan2nya ada sunni, syiah, yahudi, kristen, atheis dll cuma untung negaranya ga dibawa kesini, ‘brutal’ banget(definisiku yaa), untung aja ada ciptaan2 Allah SWT selain manusia, jadi bagiku ada ‘cara lain’ u memahami jejak Rasulullah

    1. حَنِيفًا berkata:

      Di go blog sayah ada jejak Rasulullah…. 😀 😆

      Islamnya Nusantara sejaman dengan Rasulullah

  2. isi web id berkata:

    sampai pedas mata bacanya hehe

  3. Muhammad Syam Farhan berkata:

    Mencermati 5 catatan Kolonel SBY (kalau memang benar begitu), beliau telah jadi “presiden” atau merintis jalan tsb (tahun 1994an). Pertanyaannya barangkali: (1) Apa yang terjadi dalam tubuh ABRI ketika itu. Dan (2) Kolonel mana dan siapa yang telah mempersiapkan diri untuk tahun 2014 mendatang. ( lihat, poin no. 1 dari 5 catatan)

    Kopral Cepot tentu sependapat “Hanya kolonel yang memiliki pasukan”
    salam…

    ——————
    Kopral Cepot : Saya lagi menelusuri kembali “Jejak Soeharto” …. 1994 – 1998 adalah babak yang patut ditelusuri dan diingat kembali jejaknyah termasuk kondisi ABRI saat itu.. Prabowo yg di gadang2 sebagai “putra mahkota” merapat “Faksi ABRI Hijau” yang katanya bersebrangan dengan kubunya “Wiranto” .. SBY ada di jalur yang katanya juga “ABRI Reformis” … banyak jejak yang mesti diingat kembali. Lalu untuk 2014 siapa? … sayang saya hanya seoarang “Kopral” 😉

    1. Muhammad Syam Farhan berkata:

      “Faksi ABRI Hijau” apa iya ??? yang pasti seragam mereka hijau semua. Jadinya “Hijauis” dech… hehehe

      lagi mencari “muslimis” eui…

Tinggalkan Komentar