Relevansi Darul Islam untuk Masa Kini

Oleh : Sidney Jones ; Penasihat Senior International Crisis Group

BANYAK yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk Indonesia sekarang ini-dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan oleh pusat; bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik; bagaimana pentingnya ikatan lintas generasi sehingga masa depan anak-anak anggota kelompok ekstrem harus diperhatikan; dan bagaimana harapan untuk daulah islamiyah tetap hidup.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh menjadi pahlawan untuk daerah mereka masing-masing. Setiap tokoh memimpin suatu pemberontakan melawan Republik atas nama DI, setiap orang membayar mahal atas perannya masing-masing, dan setiap orang menjadi sumber ilham untuk gerakan baru-pengaruh ketiganya masih terasa sampai hari ini:

  • Kartosoewirjo, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949, ditangkap pada 1962 dan kemudian dieksekusi oleh regu tembak; banyak di antara ajudannya yang top diberi amnesti dan dana untuk kembali hidup seperti warga biasa dalam semacam program “deradikalisasi” zaman dulu. Sampai hari ini, dia menjadi inspirasi untuk semua kelompok, baik yang memilih jalan kekerasan maupun tidak, yang ingin mendirikan negara Islam, termasuk Jamaah Islamiyah (JI), Ring Banten, dan banyak kelompok sempalan lain.
  • Kahar Muzakkar tewas tertembak oleh tentara pada 1965; beberapa pengikutnya lari ke Sabah, sebagian lainnya lari ke Maluku. Kekacauan dan pengungsian yang terjadi sebagai dampak pemberontakannya ada bekasnya di Sulawesi sampai sekarang. Warisan yang tidak langsung termasuk jaringan Pesantren Hidayatullah, yang didirikan oleh salah satu pengagum Kahar, dan Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam di Makassar, yang ingin melanjutkan perjuangan dia melalui upaya advokasi.
  • Pemberontakan Daud Beureueh di Aceh berakhir pada 1962. Setelah kesepakatan perdamaian ditandatangani dengan pemerintah pada 1963, Beureueh ditarik kembali sebagai imam gerakan Darul Islam untuk seluruh Indonesia pada 1973. Tapi, empat tahun kemudian, dia ditangkap lagi dan menjadi tahanan rumah sampai wafatnya pada 1987. Gerakan Aceh Merdeka mewarisi nasionalisme Aceh dari DI Aceh, dan banyak pejuang pertama Gerakan Aceh Merdeka adalah anak para pejuang gerakan Daud Beureueh.Setiap versi DI dimulai sebagai balasan terhadap keluhan-keluhan setempat-misalnya kegagalan Jakarta memenuhi janji kepada Aceh tentang status istimewa. Pemunculan mereka menggarisbawahi bahwa salah satu pelajaran kunci untuk Negara Indonesia, yang masih relevan dengan kondisi Papua hari ini, adalah ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap keresahan di daerah yang bisa menjadi motor radikalisasi.

Kartosoewirjo secara khusus mengembangkan semacam ideologi dan justifikasi untuk jihad terhadap negara kafir (awalnya Belanda, kemudian Republik Indonesia), yang banyak aspeknya mirip dengan yang disebut salafi-jihadisme. Sebuah buku yang ditulis Solahudin, wartawan Aliansi Jurnalis Independen, yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, menunjukkan salah satu alasan kenapa ideologi yang dikaitkan dengan Al-Qaidah menemukan tanah yang begitu subur di Indonesia, yakni sudah ada landasan yang ditanam oleh pendiri DI.

Pada akhir 1950-an, tiga pemimpin DI itu sudah saling menghubungi dan bersepakat memperjuangkan suatu federasi Islam, meski konsep tersebut tidak pernah berhasil-antara lain karena tujuan setempat jauh lebih penting untuk rekrutmen dan mobilisasi daripada tujuan bersama. Empat puluh tahun kemudian, dalam konteks politik yang jauh berbeda, mujahidin Indonesia mendapat pelajaran yang mirip: entah betapa kuatnya kemarahan rakyat Indonesia terhadap kebijakan Amerika di Timur Tengah, tetap lebih gampang merekrut orang lewat diskusi soal Ambon dan Poso daripada tentang Palestina dan Irak.

Tidak lama setelah tentara Indonesia mengalahkan pemberontakan DI di Jawa Barat, pada 1965 terjadi peristiwa Gestapu. Prioritas utama dari tentara dan Jenderal Soeharto, yang pada 1966 mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, adalah membasmi Partai Komunis Indonesia. Dengan tujuan ini, prinsip “musuh dari musuh adalah teman” berlaku. Beberapa mantan pemimpin DI, yang melihat komunisme sebagai ancaman terhadap Islam, diangkat sebagai mitra TNI dalam operasi melawan PKI, sampai disebarkan senjata.

Pada 1971, ketika Soeharto sedang merencanakan pemilu pertama Orde Baru, anggota DI dilihat sebagai alat rahasia untuk memenangkan Golkar di Jawa Barat dan daerah lain. Mereka dikasih uang oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menyelenggarakan “reuni” selama tiga hari, yang katanya dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang eks anggota DI.

Dus, dana dan fasilitas pemerintahlah yang memungkinkan gerakan setengah mati ini hidup kembali-yang dengan cepat menggigit tangan yang memberinya makan. Dengan diradikalisasi, baik oleh kebijakan Soeharto yang dilihat anti-Islam, seperti asas tunggal, maupun oleh tulisan cendekiawan militan dari Timur Tengah yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, anggota DI dengan cepat memulai kegiatan klandestin untuk melawan negara.

Sebagai satu-satunya kelompok di Indonesia dengan sejarah berperang untuk negara Islam, makin banyak pemuda dan mahasiswa yang bisa direkrut-apalagi setelah represi Orde Baru meningkat. Di antara mereka ada Abdullah Sungkar, pendiri JI, dan sesama ustad dan temannya, Abu Bakar Ba’asyir. Salah satu pelajaran yang seharusnya diangkat, tapi ternyata tidak, adalah kooptasi atau kerja sama dengan Islam garis keras untuk tujuan politik lain tidak akan berhasil, dan mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Pukulan keras terhadap DI/NII dilaksanakan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada akhir 1970-an dan 1980-an, dengan akibat bahwa hampir semua tokoh penting dalam DI ditangkap. Salah satu aspek dari penangkapan ini menonjol: banyak narapidana dan tahanan politik ini punya anak laki-laki yang 20 tahun kemudian muncul sebagai pemimpin JI dan/atau pelaku terorisme.

Sebut saja empat pemimpin DI yang ditangkap pada waktu itu: Haji Faleh dan Achmad Hussein dari Kudus; Muhammad Zainuri dari Madiun; dan Bukhori dari Magetan. Anak Haji Faleh, Thoriquddin alias Abu Rusdan, menjadi amir sementara JI setelah Abu Bakar Ba’asyir ditangkap. Salah satu putra Achmad Hussein, Taufik Ahmad alias Abu Arina, menjadi tokoh JI Jawa Tengah. Anak Zainuri, Fathurrahman al-Ghozi, tewas tertembak di Mindanao pada 2003; dia terlibat dalam pengeboman di Jakarta dan Manila. Adik Al-Ghozi, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein, ditangkap karena menolong Noor Din M. Top, dan sekarang bebas. Anak Bukhori, Lutfi Haedaroh alias Ubeid, baru ditangkap untuk kedua kalinya karena ikut kamp militer di Aceh. Ubeid dan Umar Burhanuddin bekerja sama dengan Noor Din sebelum pengeboman Kedutaan Australia pada 2004. Putri-putri tahanan DI juga muncul sebagai istri orang JI pada 1990-an.

Kalau Indonesia bisa belajar dari masa lalu, seharusnya program kontra-radikalisasi ditargetkan kepada adik dan anak para tahanan radikal dan kepada sekolah yang mereka ikuti. Kartosoewirjo, lebih dari Daud Beureueh atau Kahar Muzakkar, mengerti bahwa indoktrinasi dan regenerasi harus dilaksanakan bersama. Lembaga Suffah yang dia dirikan di Jawa Barat, yang menggabungkan kajian agama dan politik dengan latihan militer, mungkin merupakan sumber teladan dan inspirasi bagi sekolah JI yang terkenal, seperti Al-Mukmin di Ngruki atau Lukmanul Hakiem di Johor, Malaysia.

Walaupun JI untuk sementara rupanya tidak tertarik melakukan amaliyat (operasi pengeboman dan lain-lain), pesantren-pesantren dalam jaringannya di Jawa, Lampung, Lombok, dan daerah lain adalah kunci kelangsungan hidup, karena di situlah anak-anak pemimpin JI dididik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme seharusnya memprioritaskan program pengawasan secara ketat terhadap sekolah-sekolah ini-sekarang lebih dari 50-dan menarik anak-anak di dalamnya ikut dalam kegiatan di luar, supaya jaringan sosial mereka bisa diperluas.

Sejarah Darul Islam memberikan pelajaran lain yang seharusnya dipetik oleh Indonesia: pada saat para pemimpin gerakan radikal mulai dilihat terlalu pasif oleh pengikutnya, sayap lebih militan sering muncul, dengan semangat perjuangan lebih tinggi. Perpecahan ini tidak selalu menjadi indikasi bahwa organisasi mau mati. Setelah DI dihidupkan kembali pada 1970-an sampai sekarang, perpecahan ideologi serta kebijakan dan pribadi baru sering muncul. Yang paling terkenal adalah perpecahan JI dari DI pada 1992/1993, tapi ada faksi lain yang keluar karena tidak puas dengan keterlambatan DI merespons setelah konflik Ambon meledak pada 1999. Noor Din M. Top melepaskan diri dari JI pada 2003/2004 dengan membawa pengikutnya ke arah lebih militan. Baru-baru ini, aliansi lintas tanzim yang mendirikan kamp latihan di Aceh terdiri atas unsur-unsur sakit hati atau kurang puas dari sekitar sembilan kelompok berbeda-dan semuanya sangat kritis terhadap JI, yang dilihat tidak mau lagi berjihad.

Darul Islam jelas bukan suatu obyek kuno untuk museum. Setelah 50 tahun, ia masih tetap berkembang dan sempalannya masih tetap menjadi inti gerakan Islam radikal di Indonesia-bagaimanapun, ide negara Islam masih tetap bergema untuk generasi baru. Kalau ada yang masih ragu tentang kedigdayaan DI untuk mendorong anak muda berjihad, baca saja tulisan Iqbal alias Arnasan, salah satu pengebom bunuh diri di Bali pada Oktober 2002. Dia menulis kepada keluarga dan teman di Malingping, Banten, bekas basis DI:

“Ingat wahai Mujahidin yang di Malingping. Imam kita S.M. Kartosoewirjo dulu waktu membangun dan menegakkan sekaligus memproklamasikan kemerdekaan NII dengan darah dan nyawa para syuhada bukan dengan berleha-leha, santai-santai saja seperti kita sekarang. Kalau kalian benar-benar ingin membangun kembali kejayaan NII yang hari ini terkubur, siramlah dengan darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah. Padahal kalian mengaku sebagai anak DII/NII.”

13 Komentar

  1. اسوب سوبرييادي berkata:

    eh, salafy dibawa-bawa. 😆
    tumben, Sidney Jones kagak sebut wahhabi. 😆

  2. pertama kali salut buat Sidney Jones yang orang bule (australia) mempelajari dan mengerti betul perkembangan sejarah kita dan kedua kalinya simpati pada a’a kopral angkat topi bisa menarik orang sekelas sidney jones menulis artikelnya diblog ini ” ideologi komunisme telah runtuh dan masa lalu yang hanya tinggal kenangan – ideologi liberalis kapitalisme tidak membawa kesejahtera’an kemakmuran bagi ummat manusia. ” (doktertoeloes malang).

  3. dani berkata:

    Hi Jones, you tau apa tt gerakan Islam??? ungkapkan data dan fakta sebenarnya, jangan ngawur gitu dong….but it’s impossible

  4. Eny berkata:

    Kahar Muzakkar tidak pernah ingin mendirikan negara sendiri, Tentaranya dengan judul Tentara Islam Indonesia hanyalah menunjukkan bahwa beliau anti komunis dan anti feodalisme,,, Kahar Muzakkar tidak pernah menempuh cara- cara radikal, karena yang meneror rakyat adalah intelejen yang menyusup tidak mampu memecah belah sehingga menempuh cara- cara makar untuk memfitnah,,,

  5. Eny berkata:

    Sebenarnya siapa yang radikal? Pejuang Islam rela mengalah dengan dihapusnya Piagam Jakarta, namun Gerakan Papua Merdeka, Maluku, Poso, Timor- Timur, apakah mereka itu ummat Islam…?? Ketika tentara Islam tidak ditemukan di Aceh Besar, seluruh rakyat dijejerkan di tepi pantai lalu diberondong peluru panas, jadi siapa yang radikal…?

  6. Eny berkata:

    Yang berjuang melawan agresi militer belanda dan membasmi PKI adalah tokoh- tokoh Islam. Jika mereka dikhianati hanya karena taktik Sam Ratulangi dari Minahasa, para tokoh Islam masih rela mengalah, namun yang tidak mereka terima adalah masuknya komunis, karena itulah mereka berjuang atas nama Tuhan, tidaklah berarti menghendaki berdirinya negara agama.

  7. Eny berkata:

    Inilah kemunafikan para misionaris. Di satu sisi Amerika mendanai kelompok- kelompok anti pemerintah yang bekerjasama dengan komunis, sebagaimana mereka membantu Permesta di Sulawesi utara dan daerah lainnya, sementara tokoh Islam yang berjuang murni dijelek- jelekkan.

  8. Eny berkata:

    Kahar Muzakkar adalah murid Panglima Soedirman yang pernah dua kali terjun melawan agresi militer belanda di Jogjakarta.

  9. Eny berkata:

    Kahar Muzakkar pernah terjun melawan PKI di Madiun. Kahar Muzakkar pernah kembali ke Makassar namun kembali lagi ke Jawa karena dianggap menghina Kerajaan Tertua di Sulawesi. Beliau kemudian membebaskan banyak pemuda pejuang yang dijebloskan ke dalam penjara, termasuk membebaskan lebih 800 orang pemuda di Nusakambangan.

  10. Eny berkata:

    Kahar Muzakkar pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pernah mengawal pidato Soekarno. Kahar Muzakkar pernah kecewa karena merasa dikhianati dengan dicoretnya Piagam Jakarta, namun hal yang membuatnya memberontak karena Soekarno memasukkan ajaran komunis,,, Jadi sebenarnya siapa yang mengkhianati siapa…??

  11. satu kata ” terapkan piagam jakarta …………s i a p a t a k u t “.

  12. Doel berkata:

    sayang sekali yang di tanyai kok bukan ulama yang pahanm tentang Islam y?
    malahan rentetan orang yang pernah menghancurkan Islam di Negara Indonesia..?

    coba klo kita lihat Qs. 2:120
    “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”

    semoga bermanfaat…

Tinggalkan Komentar