Reformasi, Kartel dan Penghianatan Terhadap Rakyat

Reformasi Dibajak

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah dibajak oleh kepentingan politik yang didukung modal kuat. Akibatnya, reformasi yang dicita-citakan 12 tahun lalu berbeda dengan kenyataan yang sekarang terjadi.

”Ketika reformasi 12 tahun lalu, saya membayangkan adanya masyarakat mandiri yang dapat hidup damai dengan layak karena dijamin hak-haknya sebagai warga negara,” kata Budiman Sudjatmiko, salah seorang penggiat reformasi, Jumat (21/5) di Jakarta.

Harapan itu muncul karena pada masa Orde Lama telah dilakukan pembangunan karakter bangsa. Sedangkan pada Orde Baru, ada pembangunan ekonomi. ”Pada era reformasi, saatnya masyarakat Indonesia yang telah berkarakter dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata,” kata Budiman yang kini anggota DPR dari PDI-P.

Namun, menurut dia, keuntungan terbesar reformasi hanya dirasakan oleh elite politik yang didukung modal besar. Sedangkan rakyat tetap terpinggirkan. Ini karena mahalnya biaya politik setelah reformasi. Selanjutnya, politik banyak diisi oleh pasar transaksional yang berkonsentrasi pada keuntungan pribadi.

”Yang sekarang dibutuhkan bukan kembali ke masa lalu. Namun, kembali menempatkan rakyat sebagai pusat dari kehidupan berbangsa. Penguatan rakyat harus diprioritaskan,” kata Budiman.

Namun, menurut Budiman, pengalamannya sebagai anggota DPR menunjukkan, tak mudah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Selain karena banyak peraturan yang harus dibicarakan, juga karena anggota Dewan dan pemerintah mungkin memiliki pikiran lain.

Persekongkolan elite : Kartel Politik

Tak mudah memahami manuver elite kita. Yang dikatakan dan yang dilakukan mudah berubah, bahkan selalu bertentangan. Setidaknya paradoks itulah dasar kenapa sebagian publik tak nyaman dengan langkah partai-partai politik yang pernah bernyanyi soal skandal Bank Century, tetapi bungkam setelah sekretariat bersama koalisi terbentuk.

Padahal, betulkah rakyat yang mereka pikirkan? Inilah keraguan kelompok skeptis yang, seperti kaum Laswellian, melihat politik sebagai ”siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.

Dalam kenyataan, kelompok ini sering kali benar. Apalagi, dalam konteks politik belakangan, perubahan haluan sejumlah partai politik terjadi persis setelah Sri Mulyani Indrawati (SMI) meninggalkan kursinya di kabinet. Mungkinkah ada skenario ”mengusir” SMI?

Pertanyaan terakhir ini membawa kita ke dalam diskursus kartel politik. Apa itu? Sulit menemukan definisi seragam soal kartel politik. Saya cendrung memahami kartel politik dalam konteks ini sebagai persekongkolan elite partai dalam satu oligarki semu untuk menetapkan haluan politik tertentu yang sifatnya tertutup untuk umum dan untuk membatasi kompetisi.

Kartel perlu dipahami di dua ranah, yakni ranah partai dan ranah pemerintahan. Pada ranah partai, selalu saja ada segelintir elite yang memegang kekuasaan semimutlak. Mereka bisa disebut pendiri, pimpinan, atau pemodal. Dalam bahasa Robert Michels (1876-1936), mereka disebut oligarki.

Di hampir semua partai kita, ada oligarki itu. Itu sebabnya suksesi di internal partai selalu sulit diprediksi dengan ukuran normal. Pilihan oligarki selalu menjadi arus utama. Kongres Partai Demokrat di Bandung (21-23/5/2010) pun tidak lepas dari konteks ini.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah determinan yang utama. Elite pada posisi macam ini tidak selalu secara langsung mengintervensi proses elektoral, tetapi eksistensi ketokohan dalam patronase politik selalu melahirkan implikasi demikian.

Di ranah pemerintahan, kartel politik umumnya dibaca dari perubahan konstelasi di tingkat elite. Maka, sesuatu yang logis kalau ada yang menduga SMI pergi karena skenario kelompok tertentu di balik layar. Akan tetapi, adakah hubungan dengan jabatan Ketua Harian Sekretaris Bersama Partai Koalisi yang diemban Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, seperti rumor selama ini, kita tak akan pernah menemukan kepastian.

Sudah hakikatnya, kartel politik memang sulit diukur. Itu juga yang membuat ia berbeda secara substansial dengan oligarki dalam pengertian ilmiah. Oligarki terukur dan terprediksi karena aktor-aktornya kelihatan. Namun, kartel sebaliknya, sulit dilacak sebab aktor-aktornya samar; yang jelas hanya dampak dari pergerakan politiknya.

Kartel di tubuh partai cenderung terbaca, tetapi tak terukur. Maka, kartel internal partai sebetulnya semi-oligarki atau bisa dibilang saja patronase politik. Kartel di pemerintahan, apalagi dalam sistem multipartai yang kompleks, amat rumit dilacak. Sama rumitnya dengan dampak dari manuver politik mereka.

Patronase Politik

Salah satu warisan buruk dari rezim Orde Baru dalam bangunan struktur politik kita setelah 12 tahun era reformasi adalah budaya patronase politik yang masih melekat kuat.

Pada masa lalu, Soeharto mengelola birokrasi pemerintahan dan organ politik dan sosial secara sentralistik dengan membangun patron-client menyusur ke bawah untuk mengukuhkan kekuasaan diri dan keluarganya. Ironisnya, pada saat ini kita menyaksikan kecenderungan dari figur-figur elite politik utama yang pada masa lalu memerankan sebagai tokoh reformis sekarang mereplikasi karakter politik Soeharto dengan lebih canggih.

Berkaitan dengan tumbuh dan menyebarnya virus patronase politik dalam arena politik kita sekarang, kita saat ini jadi saksi bagaimana para elite-elite politik menerapkan patronase politik di rumah-rumah partai politik (parpol) mereka. Gejala tersebut terbaca dengan jelas di mata publik, misalnya pada saat Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lalu saat elite utama dalam partai tersebut mengamankan struktur pusat partai demi kepentingan dinasti mereka.

Sekarang, kita akan menyaksikan apakah Kongres Partai Demokrat mendatang juga akan melakukan hal yang serupa bagi stabilitas dan keamanan politik dari dinasti SBY. Apabila jalan ini yang dipilih oleh elite utama dalam partai tersebut, lalu apa akibatnya bagi masa depan performa dan modernisasi parpol ini dan pada ujungnya juga terkait dengan pengaruh politik dari SBY sebagai figur sentral partai tersebut (setidaknya sampai saat ini) dalam real politik mendatang.

Salah satu indikasi dari bergulirnya praktik patronase politik menjelang Kongres Partai Demokrat mendatang terlihat pada tampilnya sang putra presiden tidak saja untuk men-support, tetapi menekankan keidentikan dukungan terhadap salah satu calon dengan loyalitas terhadap SBY. Di tengah kondisi partai yang masih kuat bergantung pada figur SBY, tampilnya putra beliau mendukung salah satu calon merupakan alamat buruk bagi kehendak memodernisasi partai yang tengah bersemi dalam partai tersebut. Sementara di sisi lain, saat ini tengah terbangun energi positif di ruang publik yang tengah menunggu partai yang otonom, solid dengan pelembagaan yang kuat, dan tidak terlalu bergantung pada figur sentral.

Khianati Rakyat

”Upaya menutup kasus Bank Century dengan menghentikan hak menyatakan pendapat merupakan pengkhianatan kedua DPR periode 2009-2014 kepada rakyat,” kata Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Jumat (21/5) di Jakarta.

Pengkhianatan pertama terjadi saat DPR tidak bereaksi atas pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan tidak ada masalah dalam kebijakan pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Padahal, pernyataan itu berbeda dengan kesimpulan DPR pada 3 Maret 2010 bahwa ada dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan dalam kebijakan tersebut.

Yudi Latif dari Reform Institute menambahkan, putusan partai koalisi, khususnya Golkar, menghentikan hak menyatakan pendapat merupakan bentuk permufakatan jahat untuk menistakan lembaga DPR. ”Mereka bekerja untuk kepentingan pribadi,” kata Yudi Latif.

Kesimpulan ini muncul, menurut Yudi, karena Partai Golkar merupakan kelompok yang sejak awal gegap gempita mengusut kasus Bank Century. Namun, setelah Sri Mulyani mundur sebagai Menteri Keuangan, mereka dengan segera seperti berusaha menutup kasus itu. Ini menunjukkan, mereka tidak bekerja untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan pribadi.

Puzzel Artikel Kompas 22 Mei 2010 dari : Reformasi Dibajak Siluman Kartel , Menghadang Patronase Politik, dan Koalisi Khianati Rakyat.

13 Komentar

  1. elsabarto berkata:

    mau dibawa kemana negara kita… * Armada 😀

    1. ralarash berkata:

      emangnya diambil siapa???

  2. wardoyo berkata:

    Kita sebagai pengamat di luar garis seringkali sulit memahami langkah-langkah yang diambil para pemutus kebijakan. Tidak perlu menyesali apa yang terlihat mata, karena seringkali yang terjadi tidak semudah yang dipikirkan.
    Tetapi untuk kasus yang sudah gamblang dibeberkan di media massa, rasanya aneh kalau ditutup begitu saja, seolah tidak ada apa-apa. Apalagi segera setelahnya ditutup berita terorisme, dan barangkali yang akan di blow-up adalah berita duka : wafatnya Gesang dan mantan Ibu Negara H. Ainun Habibie.
    Semua serba kebetulan terjadi berdekatan. Jadi, masa depan negeri ini menjadi tanggung jawab siapa ya??
    Pinjam ungkapannya kang cepot : Biar sejarah yang bicara…

  3. Ruang Hati Blog berkata:

    prihatin dengan akal akalan para politikus yang hanya memperalat rakyat untuk kepentingan kelompok mereka tanpa memiliki itikat baik mengurus negara dengan benar

  4. zulhaq berkata:

    mudah2anlah kongres Demokrat, bisa melakukan hal yang sama. kan lagi heboh heboh tuh

  5. yanrmhd berkata:

    dan ketika amanah itu dipegang ma orang-orang yang
    diadak dapat dipercaya, tunggu saja kehancurannya…

    nyata, reformasi yang miliki niatan baik membangun
    atmosfer negeri ini agar lebih baik malah jadi kendaraan
    buat peroleh kekuasaan.

    kekuasaan didapat, pengkianatan pun dimulai… 😦

  6. sedjatee berkata:

    ada banyak opini serupa tentang konstelasi politik belakangan..
    sepertinya curhat SMI tentang perkawinan pengusaha dan penguasa telah semakin terbukti… semoga bangsa ini tetap selamat dari hasrat-hasrat yang bisa merugikan negeri ini…’salam sukses..

    sedj

  7. majorprad berkata:

    Kartel=Kerak Telur, makanan khas betawi.
    Ada hal menarik dari cara pembuatannya. Salah satunya adalah: “Balik penggorengan kerak telur hingga terjilat api dan permukaan atas harum terbakar. Lakukan cara yang sama untuk bikin kerak telur berikutnya.”

    Jika rakyat tidak cerdas dan terus menerus mau dijadikan komoditas politik oleh negara, maka pasti akan terjilat api. Walaupun harum, tetap saja terbakar seperti kerak telur. 😀

    Salam Revolusi Cerdas!

  8. 'nBASIS berkata:

    Budiman Sudjatmiko. ha ha

  9. ralarash berkata:

    kalau menurut ku sih, yg duduk di DPR tuh hanya berlaga mementingkan rakyat.. tetapi apa yg mereka perlihatkan sebenarnya itu hanyalah kepentingan elite politik.. kita hanya terproovokasi oleh skenario politik belaka..
    MERDEKA AH!!

  10. BaNi MusTajaB berkata:

    ijin menyimak…

  11. Cah Lapindo berkata:

    apakah ini yang dimaksud tikus tikus kantor seperti lagu iwan fals OM..???
    sepertinya untuk artikel yang ini saya harus copy paste duluh dan komentarnya menyusul.. 😀 soalnya full version.

    salam kangen lama ga bertamu kesini

  12. itempoeti berkata:

    tak ada perubahan sejati tanpa REVOLUSI!!!

Tinggalkan Komentar