Antara Rani Penggemar “James Bond” Dan “James Bond” Dibalik Kasus Antasari

Pengantar

Ada apa dengan intelijen kita? Demikian pertanyaan yang mencuat di benak publik akhir-akhir ini. Dari lakon sang “ratu suap” yang mengguncang Kejaksaan Agung hingga serial kasus terbunuhnya Munir yang telah sampai kepada episode pemeriksaan mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) dan yang “hot” sekarang adalah Kasus “Antasari-Nasrudin-Rani”. Semua itu merupakan fragmen “gonjang-ganjing” kegiatan atau aksi intelijen yang sangat penting dan menarik untuk disimak.

Dunia intelijen bagi masyarakat awam selama ini adalah dunia yang serba gelap. Dunia yang penuh dengan kerahasiaan, bahaya, petualangan, dan teknologi terbaru, seperti yang sering terlihat dalam film-film produksi Hollywood, misalnya Ian Fleming’s James Bond 007 atau Mission: Impossible.

Para pelaku dunia intelijen yang lebih dikenal masyarakat umum dengan sebutan intel atau agen rahasia, dipandang sebagai orang-orang yang tahu segalanya yang tidak mungkin diketahui orang banyak dan bisa mengerjakan segalanya yang tidak bisa dikerjakan orang biasa.

Namun, benarkah dunia intelijen segelap itu? Benarkah hanya orang-orang “terpilih” dan harus direkrut oleh badan intelijen suatu negara yang boleh dan bisa memahami intelijen?

Menurut Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Republik Indonesia Letjen (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, jawabannya adalah: tidak.

    “Intelijen adalah pengetahuan empiris yang telah dipraktikkan oleh berbagai bangsa di dunia ini sejak ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Intelijen memiliki sebuah rumusan universal yang sama, dan itu berarti intelijen adalah sebuah ilmu atau sains,” kata Hendropriyono.
    Ilmu intelijen adalah ilmu yang universal dan bisa dipelajari setiap orang, tetapi seni dalam bermain intelijen adalah suatu hal spesifik yang dimiliki masing-masing pihak dan merupakan trik-trik yang tidak perlu diketahui semua orang. “Dengan adanya sains dan art dari intelijen inilah kita akan menemukan rumusan solusi lengkap dari dampak globalisasi, seperti teror internasional, kejahatan lintas negara, money laundering, dan lain sebagainya,” ungkap mantan Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan (Sesdalopbang) itu.

Beberapa kasus spionase
Di Indonesia, ulah spionase ini juga terjadi, tepatnya kasus yang sensasional sepuluh tahun yang lalu, tahun 1999 adalah beredarnya kaset penyadapan pembicaraan telepon antara “Presiden Habibie dan Jaksa Agung AM Ghalib” dikupas oleh Majalah Panjimas edisi 24 Pebruari 1999. Kasus tersebut bikin heboh se –Indonesia. Kenapa jadi heboh ? Sebab hasil sadapan tersebut beredar dalam bentuk kaset rekaman yang berisi rahasia dua orang petinggi Negara.

Dan yang tak kalah hangat adalah kasus tudingan Amien Rais bahwa ada salah satu pasangan capres-cawapres pemilu 2004 menerima dana asing (AS) dan dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) , sebagaimana dilansir Koran Mesir al-Wafad yang terbit (21/5/07) berapa tahun yang lalu. Keberanian Amien Rais membeberkan dugaan suntikan dana Amerika ketika pemilu 2004 yang lalu tersebut bukan tanpa alasan, apalagi resiko berhadapan dengan penguasa sekarang yang masih dari TNI.

Kaitan antara presiden (Pemerintah), Intelijen dan sebuah keputusan sangatlah erat. Di sebuah negara yang memiliki badan intelijen negara, maka keputusan yang akan diambil oleh pimpinan nasional sebaiknya dilakukan selain atas dasar pertimbangan pembantu presiden, juga pertimbangan khusus oleh badan intelijen. Badan intelijen bertugas melakukan kegiatan pengumpulan bahan keterangan dari sembilan komponen intelijen strategis yang kemudian diolah, dianalisa, dikonfirmasikan sehingga menjadi sebuah bahan matang yang bernama “intelijen”, disajikan kepada “user” atau pimpinan nasional. Bahan itulah diantaranya yang dipakai presiden dalam mengambil keputusan. Sebuah kesalahan informasi intelijen yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan ditingkat nasional ataupun internasional jelas akan membawa sebuah dampak negatif yang luas dan dapat menimbulkan kerugian baik moril, materiil maupun korban jiwa.

Hidden power : “Antara KPK Dan Kopkamtib”

“Hidden power” adalah sebuah kekuatan tersembunyi disebuah negara, bisa disebut sebagai kelompok kepentingan. Meskipun tidak berisi para “key formal individual”, pengaruhnya dapat melampaui jauh batas dari sebuah negara. Kekuatan tersembunyi ini bisa hanya terdiri dari unsur didalam negeri, bisa juga terdiri dari gabungan dalam dan luar negeri. Naik dan turunnya harga minyak dunia, krisis ekonomi dunia tahun 1997, runtuhnya kerajaan bisnis konglomerasi di AS, ambruknya menara kembar WTC, tewas tertembaknya Presiden JF Keneddy adalah sebagian dari contoh ulah hidden power. Pertanyaannya bagaimanakah hidden power di Indonesia?.

Pada era pemerintahan orde baru, apa yang paling ditakuti? Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Pada era pemerintahan sekarang apa yang paling ditakuti? KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kopkamtib yang dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965 berdasarkan Supersemar dan diperkuat TAP MPR No.73/1973,diberi tugas mengoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan dalam memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban nasional. Kopkamtib demikian superior, wide body organization, siapa saja akan miris bila harus berhadapan dengan Kopkamtib. Yang coba-coba mengganggu jalannya pembangunan nasional yang berdasarkan demokrasi Pancasila dan UUD 1945 akan berurusan dengannya.

Situasi dan kondisi pada saat itu memang menghendaki dan membutuhkan dilakukannya pressure dan ketegasan bertindak. Istilah popularnya agar tercapai kondisi yang aman dan terkendali. Sulit terbantahkan, karena itu adalah kebijaksanaan pemerintah yang harus bertanggung jawab kepada rakyat, bangsa, negara dan Tuhan. Beban inflasi yang sangat tinggi, utang luar negeri yang terus membengkak, situasi keamanan dan ketertiban yang parah, rusaknya perekonomian, kehidupan rakyat yang sangat sulit, membuat langkah pemerintah orde baru dianggap sah-sah saja.

Setelah Antasari terpilih sebagai ketua KPK pada tahun 2007, terlihat KPK menjadi lembaga yang sangat ditakuti oleh semua personil Lembaga Negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Banyak pejabat ataupun anggota legislatif akan gemetar apabila mendapat panggilan ke kantor KPK di kawasan Kuningan. “Power” KPK demikian besarnya, bahkan mirip Kopkamtib pada masa Orde Baru. Tidak ada yang tidak bisa diusut kalau seseorang atau sebuah instansi tersangkut masalah korupsi, baik itu jaksa, hakim, anggota DPR, pejabat pemerintah, pengusaha, begitu terindikasi korupsi maka kantornya bisa diperiksa, orangnya langsung ditangkap. “Gebrakan” Antasari tersebut diantaranya yang memberikan sumbangan terbesar hingga terbentuknya opini “bersih dan jujur” kepada pemerintahan SBY.

Pemerintahan Presiden SBY sejak awal memfokuskan pemberantasan korupsi dalam program kerjanya. Korupsi adalah salah satu ancaman utama terhadap kelangsungan hidup bangsa ini, sudah menjadi bahaya laten. Bukan budaya lagi tetapi sudah menjadi komoditas. Bila dianalogikan penyakit kanker, tingkat keparahan korupsi di Indonesia sudah masuk stadium empat. Pasien hanya punya dua pilihan “die tomorrow or die after tomorrow”. Para ahli berpendapat bahaya laten yang harus diberantas adalah kebiasaan berperilaku koruptif.

Medan tempur KPK sangat berat. Sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit (Hasan Hambali, 1985). Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Peranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan. Interaksi sumber dan peranti menimbulkan empat klasifikasi.

  1. Manipulasi dan suap, interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan dan hegemoni elit.
  2. Mafia dan faksionalisme, golongan elit menyalahgunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi.
  3. Kolusi dan nepotisme, elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi untuk keuntungan diri, keluarga dan kroninya.
  4. Korupsi terorganisir dan sistem, korupsi yang terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan.

Langkah KPK menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka merupakan langkah awal dalam menghadapi perlawanan dari dua lawan beratnya. Kelompok berwawasan politik, dapat melakukan tekanan politis terhadap KPK dan pemerintah, baik melalui jalur formal maupun informal.

Tekanan politis akan dapat menimbulkan ketegangan berskala nasional karena yang akan disentuh KPK adalah intinya yang terdiri dari beragam warna. Inti tersebut selama ini belum tersentuh oleh KPK periode awal. Kekuatan hegemoni elit memiliki kekuatan finansial dan jaringan sangat kuat. Berat menghadapi kekuatan ini. Banyak yang tidak berdaya menghadapinya, termasuk mereka yang menduduki jabatan tinggi sekalipun. Sebagai contoh, beberapa kasus besar kategori korupsi yang melibatkan uang trilyunan sulit disentuh oleh para penegak anti korupsi. KPK harus berhitung, seperti kita menghitung musuh dalam berperang, yaitu kekuatan, kemampuan dan kerawanan lawan. Harus diwaspadai KPK juga dihitung oleh lawan-lawannya.

Banyak pihak yang kemudian menduga dan berspekulasi kemungkinan adanya “setting” yang menjerumuskan Antasari sebagai pejabat yang tugasnya membersihkan negara dari para koruptor dinegara ini. Apakah Antasari telah menjadi target untuk disingkirkan? Apakah KPK sebagai lembaga penting dengan nilai “kejujuran dan kebersihan” akan dilumpuhkan?. Sebagai pejabat yang sangat berpengalaman, terdidik, faham dengan dunia hitam dan abu-abu, Antasari nampaknya sulit untuk dimasukkan ke “killing ground”. Ataukah ada kepentingan lain dibalik kasus ini?. Yang pasti dan jelas, Antasari mempunyai banyak musuh, yaitu para koruptor yang sudah dijebloskan dalam penjara, termasuk keluarga dan temannya. Belum lagi mereka yang kini masih dalam taraf pengusutan. Barisan sakit hati yang mengincarnya jelas panjang. Kini, dalam kenyataannya Antasari tergelincir, sudah dinon aktifkan sementara sebagai Ketua KPK, dicekal dan sudah dijadikan tersangka oleh Polisi.

Film James Bond Tanpa Cewek Bond? Tak Mungkin!
Akan terasa hambar bila sebuah film James Bond tanpa “cewek-cewek Bond.” Ibarat makanan tanpa garam. Bersama senjata-senjata canggih dan mobil-mobil keren, cewek-cewek Bond seolah bahan dasar yang mesti ada dalam setiap film James Bond. Karakter James Bond yang seorang playboy kelas berat selalu dikelilingi wanita-wanita cantik di setiap aksinya.

Siapa yang tak suka film James Bond? Rani Juliani sangat suka film James Bond. Selain bernama tak lazim, cewek-cewek Bond umumnya bertubuh molek. Ini rasanya jadi jualan utama film-film Bond. Hal ini juga diakui seorang cewek Bond.

Film James Bond terbaru adalah “Quantum of Solace” aksinya dalam film ini adalah terbongkarnya bahwa di dalam tubuh organisasi MI6 terdapat pengkhianat. James Bond kemudian mengetahui bahwa ternyata Greene bekerjasama dengan Jendral Medrano (Joaquin Cosio) untuk mengendalikan sumber energi dunia demi kepentingan pribadi mereka. Nah sembari menemukan sang pengkhianat, maka James Bond harus beraksi lebih cepat dari CIA dan MI6 untuk menghentikan teroris berbahaya tersebut.

Siapa “James Bond” kasus Antasari-Nasrudin-Rani ?

Koordinator pengacara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Antasari Azhar, Juniver Girsang mengatakan ada skenario besar di balik pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasarudin Zulkarnain. “Ini ada skenario besar dibalik kasus pembunuhan dan ada pihak lain yang ingin mengarahkan agar Antasari jadi tersangka,” kata Jurniver di Tangerang, Banten, Sabtu (2/5).

Pengamat intelijen, Dr AC Manulang, menilai, kasus yang menyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar bukan hanya skandal cinta segitiga, melainkan sudah lama direncanakan pihak tertentu untuk merusak citra KPK.

Tujuan yang lebih besar dari skenario itu adalah menggoyang kredibilitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkomitmen mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

”Kasus yang menimpa Antasari tipis kemungkinannya karena cinta segitiga. Antasari sudah masuk perangkap karena sudah lama direncanakan pihak tertentu untuk merusak citra KPK yang dipimpinnya,” kata Manullang ketika dihubungi Warta Kota di Jakarta, Minggu (3/5) petang.

Pihak kepolisian membantah di balik kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Antasari Azhar adalah operasi intelijen.

Demikian hal itu ditegaskan Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol M Iriawan. “Mana ada operasi intelijen, ini perorangan,” tandasnya di Polda Metro Jaya, Rabu (6/5/2009).

M Irawan menjelaskan, dalam kasus tersebut polisi menemukan nama yakni Jeri yang sudah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Keterlibatannya dalam kasus ini adalah untuk mencari Edo dan selanjutnya dikenalkan kepada Kombes Pol Wiliardi Wizar. “Jeri merupakan kawan dekat dari Wiliardi,” imbuhnya. Menurut dia, Jeri mempertemukan Edo dengan Wiliardi tidak mendapat upah atau bayaran, mungkin karena setia kawan saja.

Lalu dimanakah James Bond Indonesia ?
Siapapun, bahkan jika patut dapat diduga ada oknum POLRI berpangkat KOMISARIS JENDERAL yang dimungkinkan menjadi MAKELAR PEMBUNUHAN ini. Mau sehebat apapun direkayasa agar pihak lain dalam internal POLRI yang terkena dampaknya, POLDA METRO JAYA jangan pernah ragu untuk menangkap yang pangkatnya sudah “diatas”. (redaksi katakami)

Hanya sebuah wacana yang diambil dari berbagai sumber……

Wacana lainnya :

    Antasasi-Nasrudin-Rani : Studi Kasus “Perselingkuhan” Penguasa-Pengusaha-Perempuan serta Legenda Matahari
    Antasari-Antikorupsi-Antisirri : Menulis Sejarah Korupsi Bumi Pertiwi “Bareng Rani Juliani”

14 Komentar

  1. racheedus berkata:

    Kalau saya melihat, sang boss media itu juga merupakan pintu masuk intilijen untuk menjebak Antasari. Wallahu a’lam.

  2. mamas86 berkata:

    Wah… pokoknya saya nggak mau ikut-ikutan dalam maslah ini…… :mrgreen:

  3. Asmar Abdullah berkata:

    Sangat disayangkan memang seorang Antasari Azhar terlibat dalam kasus ini. Kita jadi bertanya: apa benar Antasari sampai melakukan perbuatan super ceroboh yang bisa mengakhiri karirnya yang sedang menanjak itu? Bisa jadi memang Antasari terjebak dalam skenario yang dimainkan oleh musuh-musuhnya…. Namun yang jelas, Nasrudin telah terbunuh dan Antasari gagal melindungi informan yang seharusnya ia lindungi itu…. Entahlah….:)

  4. buJaNG berkata:

    Nggak ikut ikutan pokoknya…

  5. umi berkata:

    Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen memang motifnya ga jelas tapi terlalu gampang terungkap termasuk ditemukan alat bukti yang cuma ditanam didepan rumah, ceroboh banget
    lebih rapi pembunuhan munir yang motifnya lebih ga jelas lagi….
    umi

  6. AA si Pemburu Koruptor, Tidaklah mempunyai Aqidah dan Ahlak yang benar..

    Berkunjung kesini..

  7. itempoeti berkata:

    Kasus Antasari adalah buah dari operasi intelijen. targetnya adalah character assasination
    terhadap Antasari sebagai key person KPK, juga image ruining terhadap KPK secara kelembagaan.

    Antasari adalah sasaran antara. Sasaran sesungguhnya adalah SBY. Targetnya adalah pelemahan kekuatan SBY dari sisi pencitraan.

    Jika Antasari adalah sasaran akhir maka cara bertindak (CB) yang dipilih adalah eliminasi bukan karakter asasinasi. Contoh dari eliminasi yang telah berhasil dilakukan adalah terhadap Sri Sultan HB IX, Baharudin Lopa, dan Arie Kumaat.

    Intelijen telah melakukan spot analysis terhadap Antasari. Dan salah satu titik lemah yang dimiliki Antasari adalah soal perempuan. Rani cuma umpan, dan Antasari terpancing untuk memakan umpan.

    Nasruddin adalah titik terlemah dari rantai persoalan RNI sehingga layak untuk jadi pion yang harus dikorbankan. Kematian Nasruddin menyelamatkan RNI dari kasus yang sekarang sedang diusut oleh KPK. Semua kesalahan yang dilakukan RNI diarahkan untuk menjadi kesalahan Nasruddin seorang dan ikut dikubur bersama Nasruddin.

    Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui…
    Sekali pukul, dua-tiga nyamuk mati…

  8. Abi berkata:

    Hukum selalu berpijak pada “asas praduga tak bersalah” tetapi penyelesain kasus dengan mengikuti perkembangan hukum terkesan lambat n polisi sebagai aparat penegak hukum berpijak pada TKP “Tempat Kejadian Perkara” dari beberapa alasan ini maka masyarakat sulit untuk memahami motif yang sebenarnya… wacana seperti ini mudah2an memberikan pencerdasan pada masyarakat

  9. cece berkata:

    YAng mau didengar sekarang adalah kesaksian Rani Juliani sendiri
    ???????

  10. cahPamulang berkata:

    Rhaninya mana?
    Apa masih sekolah ngomong agar canggih bicara didepan publik?
    :((

  11. mas Faham berkata:

    ya kita tunggu aja ending sandiwara politik ini semoga kita semakin cerdas dengan hal – hal semacam ini

  12. embun berkata:

    saya setuju sekali. antasari azhar adalah korban operasi intelijen

  13. booman berkata:

    yoi…

  14. AR berkata:

    satu kata “operasi intelijen”

Tinggalkan Komentar