Refleksi Pembelajaran Sejarah; sebuah catatan anak jaman

Menelusuri sejarah Islam di Indonesia khususnya dan sejarah keindonesiaan lainnya baik dalam skala nasional maupun lokal, bagai mengurai benang kusut yang tercampuri debu dan potongan-potongan benang menyesatkan. Para peneliti apalagi sebagai “penikmat sejarah” musti dituntut kemampuan memilah mana yang fakta sejarah dan mana yang opini sejarah. Belum lagi banyaknya mitos yang tampaknya sengaja ditaburkan untuk mengaburkan sejarah yang sesungguhnya. Jelimet memang tetapi itulah “kompleksitas sejarah” yang baur antara fakta, mitos dan opini.

Umat Islam sangatlah wajar “mencurigai” opini-opini sejarah yang berasal dari para penulis sejarah non muslim, karena memang kebanyakan mereka beranjak dari persepsi mereka yang keliru tentang Islam. Apalagi bila opini tersebut berasal dari orang-orang yang sengaja disusupkan penjajah atau penguasa untuk memberikan rekomendasi yang dapat menghancurkan Islam dari dalam. Sebagai contoh, keharusan berhati-hati ketika mengambil pendapat Snouck Hugronje yang disusupkan penjajah Belanda untuk mempelajari cara yang paling tepat menghentikan perjuangan dan perlawanan umat Islam.

Mitos juga banyak dikembangkan untuk memalingkan umat Islam dari perjuangan Islam yang sesungguhnya. Mitos-mitos yang menyelimuti Wali Songo banyak ditanamkan melalui kisah-kisah di kalangan masyarakat Jawa. Sisi bahwa Wali Songo yang sesungguhnya adalah para dai ulama utusan kesultanan-kesultanan di seluruh penjuru Khilafah Islamiyah untuk menata dakwah di tanah Jawa serta memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan Islam, menjadi lembaran sejarah yang hilang di kalangan masyarakat Jawa dan bumi Nusantara. Yang banyak diangkat untuk menghapus dan menyimpangkan perjuangan para wali adalah mitos-mitos yang bahkan tercampuri dengan bid’ah, syirik dan khurafat.

Ada sebuah pernyataan heroik :
“Kaum muslimin di Indonesia, adalah cucu-cucu keturunan para da’i ulama dari poros Khilafah Islamiyah, keturunan para sultan pemberani yang dengan kekuatan aqidahnya mampu mengganti sistem kerajaan Hindu-Budha menjadi kesultanan Islam yang mulia, anak cucu Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Tuanku Imam Bonjol, dan para pejuang pembela Islam mulai dari Sabang hingga merauke yang bahagia gugur sebagai syuhada. Semoga doa dan harapan para ulama dan pejuang terdahulu mulai tumbuh, bersemi dan terkabul pada generasi saat ini”.

Sebuah pernyataan yang membuat aku termenung dan ingin rasanya untuk bisa “berdialog” dengan para leluhur bangsa Indonesia 5, 6, 7 atau 8 abad yang lampau atau setidaknya bisa “berfantasi/berimajinasi sejarah” apa gerangan yang terjadi di masa itu, Apakah sejarah yang ditulis sekarang ini adalah “mitos” atau “realitas”, atau manakah diantara keduanya, adakah yang “mitos” disangka dan di buat menjadi realitas sebaliknya yang “realitas” dikubur menjadi sebuah “mitos”. Simpul “imajinasi sejarah” yang aku miliki adalah “presepsi sejarah” atau “penilaian sejarah” atas fakta-fakta yang digali, dicari, diteliti, dipilah dan dipilih sehingga “sejarah bisa bicara”.

Sepertinya aku menunggu “biarlah sejarah yang bicara” agar aku bisa bertanya. Atau aku berharap ” bawalah diri ini ke masa lalu” agar aku bisa tahu tentang masa lalu itu. Lantas apa pentingnya itu semua ??. Memang tak akan ada pertanggung jawaban diriku atas perbuatan masa lalu sang pelaku, hidup ku kinilah yang akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang ku perbuat. Akan tetapi seperti anak yang dibesarkan dengan tidak tahu siapa orang tuanya, dia akan kehilangan arah hidupnya.. maka sebagai anak jaman bahwa masa kini tidak akan terlepas dari masa lalu dan masa depan adalah tumbuh dan berkembang dari masa dibelakangnya.. jadi tetaplah sejarah memberikan andil bagi peradaban manusia selanjutnya.

Pembelajaran sejarah pada akhirnya tidak akan pernah berhenti.. setiap fakta baru yang ditemukan dan mentidak sahih kan fakta sebelumnya, akan membuat “presepsi baru” terhadap sejarah atau setiap fakta baru yang ditemukan dan men-sahih-kan fakta sebelumnya, akan mengokohkan presepsi terhadap sejarah itu. Presepsi terhadap sejarah juga bisa menjadi “baru” bukan karena ada fakta baru yang ditemukan tetapi karena ada cara pandang baru, ada penilaian atau “pisau analisa” yang baru terhadap fakta-fakta itu.

Sepertinya untuk menunggu “biarlah sejarah yang bicara” tidak akan kunjung tiba kecuali ada yang “bicara tentang sejarah”………………..

Inilah sepenggal catatan sang penikmat sejarah yang masih gundah atas apa yang dibaca dan mencoba untuk terus membaca ulang……

5 Komentar

  1. eddyrock berkata:

    lo menurut gw sistem hindu buda itulah yg cocok dg corak bgs indonesia…. bukanya orang islam yang memaksakan kehendak dg berbagai cara yg sangat licik dan tipu muslihat mengatasnamakan quran contohnya ad salahseorang wali yg membangun masjid menyerupai candi genbelllll………. semoga org indonesia sadar siapa leluhur mereka kelak ato selama itu mereka akan terus mengalami kemerosotan moral yg parah

    1. dinantataka berkata:

      JIKA BERKOMENTAR TENTANG ISLAM PAHAMKAH ANDA AKAN ISLAM HAL YANG ANDA URAIKAN BUKAN LAH ISLAM DALAM PEMAHAMAN YANG SEBENARNYA YANG PERLU ANDA PAHAMI ISLAM TERBAGI MENJADI 73 GOLONGAN DAN MASARANI DI BAGI MENJADI 72 GOLONGAN DAN HINDU SENDIRI TERPECAH NENJADI 71 GOLONGAN ISLAM YANG BENAR ADALAH YANG BERPEGANG PADA AL QURAN DAN SUNAH,…. JIKA ANDA BICARA QURAN ITU BUKAN KITAP UMAT ISLAM JIKA BICARA AL QURAN SUDAHKAH ANDA MAMPU MEMAHIMI APA YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA,…!!!! MINIMAL SUDAHKAH ANDA MAMPU MEMBACA AL QURAN DENGAN BENAR,… MOHON LEBIH BIJAK MENANGGAPI SEBUAH PERMASALAHAN TENTANG AGAMA APA LAGI ISLAM, TERIMAKASIH

  2. Mahendra berkata:

    Membaca komentar eddyrock mengingatkan saya akan cerita sejarah tentang Sabdo Palon Naya Genggong. Cerita yang terjadi diakhir keruntuhan Majapahit dan masih melegenda hingga kini.

    Ketidakpuasan Sabdo Palon dan Naya Genggong akibat pengingkaran terhadap nilai dan tradisi kaluhuran yang telah dirintis oleh para karuhun dan pepunden bangsa. Pengkhianatan terhadap jati diri, terhadap cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa yang sudah digaris oleh Yang Maha Hidup.

    Sebelum mokswa, Sabdo Palon dan Naya Genggong bersumpah bahwa setelah 500 tahun (sejak sumpah itu diikrarkan), dia akan kembali lagi untuk mengembalikan Nusantara kepada jati dirinya.

    Sumpah ini tak ada kaitannya dengan soal islam, hindu, budha atau agama apapun. Tapi ini lebih pada soal jati diri bangsa, soal bagaimana memahami cara-ciri manusia sampai pada kehakikiannya. Soal bagaimana memahami cara-ciri bangsa sebagai sekelompok manusia yang bersama-sama hirup/hidup menetap di sebuah tempat dalam sebuah interaksi sosial antar manusia dan manusia dengan alam lingkungan dimana dia tinggal.

    Ketauhidan seharusnya justru membawa kita untuk melihat jati diri tanpa melihat lagi kemasan-kemasan agama yang justru memerangkap umat manusia kedalam konflik yang diatasnamakan kebenaran.

    ………………..
    Kopral Cepot said : “eddyrock n Mahendra…tanks atas komentarnya yang berharga… saya menangkap pada satu spirit yang sama.. spirit membangun manusia dan bangsa yang seutuhnya, karena pada hakekatnya hanya manusia dan bangsa yang seutuhnyalah yang bakal menghasilkan peradaban yang beradab. Dan bumi Nusantara yang kaya ini selalu merindukan lahirnya tatanan kehidupan yang memiliki peradaban yang beradab bukan yang biadab. Mempelajari sejarah terkhususnya dalam masa apapun, dengan peristiwa seperti bagaimanapun yang bisa kita peroleh bukanlah “merubah sejarah masa lalu” karena sejatinya sejarah tidak akan bisa dirubah tetapi mempelajari sejarah adalah untuk menggali nilai-nilai positif yang menjadi “cara ciri dan hirup hurip” manusia dan bangsa di masa lalu untuk diserap menjadi cara ciri dan hirup hurip manusia dan bangsa sekarang. Maka marilah kita songsong “peradaban yang beradab” dan lawan setiap upaya yang membawa kepada “peradaban yang biadab”.
    Sekali lagi… tanks.. komentarnya…

Tinggalkan Balasan ke Mahendra Batalkan balasan